Beberapa teman mengusulkan, supaya supaya diberikan keterangan tentang Program Maksimum.
Kami merasa perlu memberikan keterangan itu. Cuma beberapanya keterangan itu harus diberikan pada tingkat perjuangan kita sekarang.
Benar kita percaya, bahwa menuntut Materialisme dalam sejarah (historical materialism), maka masyarakat dunia seluruhnya bergerak menuju ke jaman sosialisme. Kita seterusnya percaya pula, bahwa kalau kelak lantai sosialisme sudah diletakkan buat seluruhnya dunia (atau sebagaian besarnya dunia kita ini!) maka masyarakat kita akan bergerak menuju ke jaman Komunisme. Tetapi beberapa lamanya gerakan masyarakat kita sekarang ke masyarakat sosialisme itu harus berlaku (apakah lagi beberapa lamanya gerakan masyarakat sosialisme-komunisme), serta bagaimana bentuk dan corak gerakan itu menurut tempat dan tempo seorangpun tak dapat meramalkan lebih dulu. Cuma praktek sejarahlah kelak yang dapat membuktikannya. Yang sudah agak lebih kita ketahui ialah: bahwa di jaman sosialisme, maka semua sumber penghidupan dalam masyarakat sudah dimiliki, dikendalikan dan dikerjakan oleh masyarakat pekerja itu sendiri. Pada tingkat sejarah ini hak milik dan kekuasaan kaum borjuis-kapitalis sudah dibatalkan. Tetapi dalam masyarakat ini masih berlaku undang-undang pergaulan yang berbunyi: (1) seorang pekerja menerima upah yang sama buat hasil kerja yang sama dan (2) siapa yang tiada kerja tiadalah pula akan diberi makan.
Di jaman komunisme, bilamana sumber penghidupan tetap dimiliki, dikendalikan dan dikerjakan oleh masyarakat pekerja itu, berlakulah undang-undang pergaulan: Setiap orang bekerja (sendirinya) menurut kecakapannya dan setiap orang mempergunakan sesuatu menurut keperluan hidupnya.
Syahdan, maka menurut ajaran Marx dan Lenin, pada permulaan jaman sosialisme, negara (state) dengan alat pemaksanya, ialah tentara, polisi, pengadilan dan algojo masih tetap ada. Tetapi di jaman peralihan, yang terletak antara jaman sosialisme dan komunisme, maka negara dengan alat pemaksanya itu semakin lama semakin lajur. Di jaman komunisme yang dimulai berhentinya/dengan berhentinya jaman sosialisme, maka berakhirlah, lenyaplah negara dengan alat pemaksanya itu.
Urusan pemerintahan dan politik negara di jaman peralihan (sosialisme) bertukar menjadi urusan tata usaha (administrasi) semata-mata.
Dalam jaman sosialismelah di tatanan pengetahuan, kemauan, perasaan dan kecakapan yang perlu buat tiap-tiap anggota masyarakat yang makmur, aman dan merdeka. Dalam jaman sosialisme, ialah jaman peralihan inilah, semua syarat hidup buat pergaulan yang makmur, aman dan merdeka itu ditanam dan dipelihara sampai menjadi kebiasaan, menjadi adat dan sifat mausia baru.
Dengan berubah bertukarnya adat – sifat – borjuis sedikit demi sedikit menjadi adat – sifat – komunis, maka berubahlah bertukarlah pula selangkah demi selangkah rasa terpaksa mengerjakan sesuatunya bagi keperluan/kepentingan masyarakat menjadi keikhlasan dan kewajiban mengerjakan sesuatunya itu buat kemakmuran, keamanan dan kemerdekaan bersama!
Perbedaan kaum sosialis dengan kaum komunis terletak terutama pada perbedaan paham tentang siasat dan alat mencapai masyarakat sosialistis itu. Mereka percaya bahwa dengan merebut kursi dalam dewan perwakilan, maka akhirnya kaum terbanyak dalam masyarakat kapitalis itu, ialah kaum proletar akan dapat merebut kursi terbanyak dalam parlemen itu, maka percaya sanggup merubah sifat masyarakat kapitalis menjadi masyarakat sosialis dengan jalan membikin undang-undang dalam parlemen (dewan perwakilan), jadi dengan damai parlementer. Kaum komunis tidak percaya, bahwa suatu dewan perwakilan sebagai warisan borjuis dapat dipakai sebagai alat membentuk masyarakat sosialis. Kaum komunis berpendapat bahwa kaum borjuis dengan perantaraan bank kapitalisnya mempunyai banteng yang sangat kuat buat memperlindungi dirinya. Benteng itu ialah birokrasi yang dikendalikan oleh golongan bankir, ialah pengemudi ekonomi dan politik negara di belakang layar. Semua undang-undang yang bisa merubah sifat masyarakat kapitalis dapat disabotir birokrasi itu. Berhubung dengan itu maka kaum komunis berpendapat, bersama-sama dengan pemindahan kekuasaan dari tangan borjuis ke tangan kaum proletar, maka birokrasi itu dibinasakan dan diganti dengan alat revolusinya kaum proletar.
Jadi kaum borjuis bersandar kepada aksi proletar (Murba) teratur untuk merebut kekuasaan dari tangan kaum borjuis dan untuk menghancurkan birokrasi borjuis itu. Seterusnya kaum komunis akan mengganti pemerintahan birokratis dengan pemerintahan Diktator Proletar, ialah alat kaum proletar yang terbanyak itu buat memaksakan kemauannya atas kaum borjuis yang terkecil. Jaman diktator itulah, yang oleh kaum komunis dianggap sebagai jaman sosialisme, atau jaman peralihan, menjelang jaman komunisme.
Pada tingkat permulaan maka Diktator Proletar berlaku waspada terhadap borjuis dan kaki tangannya yang sudah kalah tetapi belum lagi membatalkan keinginannya buat kembali menguasai politik dan ekonomi. Kaum komunis juga mempergunakan tenaga yang bukan proletar tetapi juga yang bersifat netral atau yang bersimpati dalam semua cabang administrasi, kaum kominis juga insyaf bahwa di bawah telapaknya kapitalisme tak ada kesempatan bagi kaum proletar untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang perlu buat mengurus administrasi negara itu.
Tetapi Diktator Proletar bertindak tegas-tegap terhadap semua percobaan kontrarevolusi. Dengan pesat timbul tumbuhnya angkatan baru buat administrasi di antara kaum proletar sendiri dalam suatu negara atau beberapa negara di dunia yang masih kapitalis ini, maka semakin kuranglah nafsu bekas borjuis itu untuk kembali menguasai segalanya. Dengan begitu, maka kian besarlah kemungkinan untuk memperluas demokrasi di kalangan seluruh rakyat dalam negara sosialis itu.
Demokrasi pada permulaan Diktator Proletar itu, terutama cuma berada dalam partai kominis sendiri, yakni para anggota Partai Komunis sendiri, yakni di antara pada anggota Partai Komunis sendiri dan di antara sebagian dari kaum proletar yang insyaf serta komunis, lama kelamaan bisa diperluas sampai keseluruha kalangan buruh, terutama ke kalangan tani-proletar dan akhirnya ke seluruh rakyat.
Cepat lambatnya demokrasi itu mengembang tergantung kepada pelbagai kedaan di dalam dan di luar negeri itu sendiri. Dengan tinjauan kilat di atas kita sekarang boleh memandang kepada Program Maksimum: pertama ke seluruh dan kemudian ke pasal demi pasal. Apakah kelak seluruh Program Maksimum itu dapat dilaksanakan atau sebagian saja dan bagaimana gerangan cara melaksanakannya, sebagian besar tergantung kepada hasil perjuangan rakyat murba Indonesia dan hasil perjuangan rakyat murba Asia-Afrika serta proletar Eropa dan Amerika di kemudian hari hasil perjuangan tentulah tidak bisa kita pastikan sekarang ini. Berkenaan dengan ini, maka semua yang berhubungan dengan benar dan lamanya melaksanakan Program Maksimum itu, terpaksa ditangguhkan pula.
Seandainya besok atau lusa Revolusi Dunia selesai sekaligus, maka tentulah Program Maksimum ini atau beberapa pasal di antaranya akan mendapat corak yang baru dan kemungkinan yang lebih luas. Urusan politik, milik dan ekonomi tentulah akan mendapatkan bahan dan jaminan yang tiada terbatas oleh masih adanya negara kapitalis dan imperialis. Dalam hal ini, maka Program Maksimum itu mungkin akan bertukar menjadi Program Minimum, dalam fase sejarah yang lebih tinggi. Tetapi kalau seandainya pula kapitalisme-imperialisme masih lama melingkungi Indonesia sekarang, maka mungkin sekali Program Maksimum ini akan tinggal maksimum dalam arti yang sesungguhnya. Dalam hal ini kita akan terpaksa bergerak ke jaman sosialisme dengan alat dan kekuatan yang ada pada kita sendiri.
Sebagaimana keterlaluan pesimisme (selalu memandang gelap di hari depan) bisa membekukan semua kekuatan, begitulah pula sebaliknya keterlaluan optimisme (selalu memandang baik saja) bisa menimbulkan kekecewaan yang mematahkan puncak semangat berjuang. Sebalinya ada perlantunan dan keseimbangan antara pesimisme dan optimisme dalam taksiran dan tafsiran kita di hari depan. Dipandang dari sudut inilah kiranya Program Maksimum ini berada dalam titik berat, kemungkinan, dan boleh dipakai sebagai working-hipothesis yakni membuka jalan atau jalan pembuka untuk hari depan.
Program Maksimum
1. Pemerintah, untuk dan Oleh rakyat (Murba)
Dunia demokrasi borjuis memang juga sering mempergunakan formula tersebut, buat merebut hatinya para rakyat dalam pemilihan umum. Prakteknya pemerintah demokrasi borjuis masih bertentangan dengan isi formula ini. Formula ini memang berasal dari kalangan borjuis. Tetapi kaum borjuis sendiri tiada bisa dan tiada mau mempraktekkannya.
Jika di dalam negeri yang “demokratis” seperti Amerika dan Inggris formula politik ini benar-benar dilaksanakan, tentulah suatu pemilihan umum akan menaruh pemerintahan negara itu di tangan kaum proletar, ialah kelas terbesar dalam negara itu.
Formula politik terlaksana menjadi pemerintah dari kaum proletar, untuk proletar dan oleh proletar. Dengan demikian (seandainya tak ada birokrasi dalam pemerintahan), maka tiap-tiap pemilihan umum dalam dunia demokrasi akan menaruhkan kekuasaan pada kaum buruh yang terbanyak jumlahnya itu.
Tetapi dalam prakteknya kaum borjuis itu bisa mengisi dewan perwakilan dengan wakil dari kelas borjuis sendiri atau dari kelas buruh yang beraliran kanan (borjuis). Sebabnya maka pemerintahan itu jatuh ke tangan borjuis yang kecil itu, ialah karena semua alat propaganda, seperti surat kabar, gedung tempat rapat, radio, bioskop, dan lain-lainnya beserta semua kekuasaan berada di tangan kaum borjuis-kapitalis. Semua alat propaganda yang bisa menghitamkan yang putih dan memutihkan yang hitam itu, beserta alat kekuasaannya itu berlaku sebagai banjir, yang melondong-hanyutkan perasaan dan pikiran si pemilih ke arah politik yang dipegang oleh suatu partai politik borjuis.
Bagaimana juga nasibnya formula politik tersebut di atas dalam suasana borjuis-kapitalis, seperti nasibnya yang baik dalam dunia kapitalis itu (ilmu, teknik dan moral umpanya) formula itu masih banyak mengandung kemungkinan teristimewa buat masyarakat kita. Dalam masyarakat merdeka 100%, maka formula itu semestinya akan mendapat tempat lebih baik dari pada di dunia kapitalis seperti Amerika dan Inggris karena sedikit atau tak adanya kapitalis besar di Indonesia ini. Jika rakyat insyaf akan artinya pemerintah dari, untuk dan oleh rakyat itu dan memegang pendiriannya itu dengan konsekuen, maka Indonesia merdeka 100% dengan cara pemilihan langsung, umum dan rahasia sekali bisa mendapatkan pemerintahan yang sungguh-sungguh demokratis. Apalagi kalau demokrasi dalam politik itu disertai pula demokrasi dalam ekonomi, seperti maksud dari beberapa pasal ekonomi dalam Program Minimum Partai Murba ini.
Teristimewa pula dalam sosialisme dunia dapat mengembangkan sayapnya lebih lanjut.
Seandainya terus borjuis-kecil dan tengah Indonesia dapat mempelitbelitkan tafsiran formula pasal ini buat kepentingan mereka sendiri (untuk membangun kapitalis nasional) atau untuk atau untuk kepentingan kapitalis asing, maka kita akan terpaksa mengerahkan reserve dan mengemukakan: Pemerintah dari, untuk dan oleh rakyat murba, (lebih kurang dictator murba) selama perlunya. Ringkasnya formula pasal 1 pun boleh dipakai buat pembuka, yang mungkin sekali terhambat atau terbelok-belok ataupun turun naik perginya ke depan kita.
2. Tentara dari, untuk dan oleh rakyat (Murba)
Penjelasan bagi pasal ini tiadalah perlu dipanjangkan. Dalam Risalah Sang Gerilya dan Gerpolek rasanya sudah cukup sifat dan sejarah Tentara Rakyat itu dijelaskan.
Ringkasnya: janganlah hendaknya di hari kemudian hari Tentara Indonesia menjadi suatu alat kekuasaan, yang berada di atas dan terpisah dari rakyat murba, tetapi hidup dari hasil keringat rakyat/murba itu untuk diperalatkan oleh yang berkuasa dengan maksud menetapkan pemerasan dan penindasan atas rakyat/murba sendiri. Hendaknya Tentara Rakyat itu terdiri dari rakyat/murba sendiri, dipimpin oleh wakil sebenarnya dari rakyat/murba sendiri untuk kepentingan rakyat/murba sendiri. Di antara beberapa syarat yang terpenting untuk menjawab sifat semacam itu, maka haruslah tentara itu berhubungan rapat dengan penghidupan rakyat dalam politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Apakah lagi dalam tingkatan gerilya (rombongan yang masih kecil) maka anggota Tentara Rakyat mempunyai hak memilih yang sempurna. Dengan demikian, maka prajurit tentara itu memegang senjata politik untuk memilih pemimpin yang cakap dan dicintai serta memperhentikan pemimpin yang tak cakap dan dibenci. Suasana mengakui dan menjalankan disiplin (tetapi seperti anak terdapat bapak), inilah yang dikejar Tentara Rakyat.
Dalam penghidupan sehari-hari janganlah rakyat/murba itu merasa bahwa tentara itu golongan manusia yang unproductive (tak mengadakan hasil) yang seperti lintah hidup oleh darah rakyat/murba. Banyak sekali pekerjaan yang produktif yang dapat dilakukan oleh tentara itu seperti pekerjaan dilakukan oleh buruh tani biasa dan bermacam-macam pekerjaan otak. Tidaklah sukar mengimbangkan serta menggabungkan pekerjaan biasa dengan sport dan latihan kemiliteran sehingga sifat prajurit akan tercapai juga dan tercapai dalam keadaan sehat. Dalam sosial janganlah prajurit itu dipisahkan dari masyarakat biasa. Janganlah mereka itu dikazernekan atau ditangsikan seperti jaman Belanda. Dengan begini mereka akan memiliki kebiasaan yang dulu lazim dinamai “adat tangsi”. Hendaknya anggota tentara di luar dinasnya, yang teristimewa militer itu, dapat juga bergaulan dengan anggota masyarakat biasa. Cuma buat sementara tempo dan keadaan istimewa militeris saja (penjagaan pos yang terpencil strategis) bolehlah anggota Tentara Rakyat terpisah dari masyarakat biasa. Akhirnya tentulah didikan dan pelajaran keparajuritan Tentara Rakyat itu diselenggarakan cocok dengan kedudukan anggota kader dalam politik, ekonomi social masyarakat Indonesia di hari depan.
3. Menetapkan dalam konstitusi kedudukan murba dalam politik, ekonomi, sosial dan lain-lainnya.
4. Nasionalisasi, mekaninasi, rasionalisasi dan kolektifisasi dari perusahaan vital, penting (perkebunan, pertembangan, industri dan transportasi).
5. Menasionalisasi ekspor dan impor.
6. Menasionalisasi bank.
7. Membangun Industri berat.
Lima pasal Program maksimum ini sebaiknya diterangkan sekaligus banyak seluk beluknya serta kena mengenanya satu pasal dengan lainnya. Demikianlah pasal 3 tak bisa diatur, ditetapkan dan dilanjutkan, kalau pasal 5 dan 6 tiada dijalankan sekaligus. Dan pasal 4, 5, 6 dan 7 tiada pula bisa dilaksanakan dengan berhasil, kalau tiada memakai pasal 3 sebagai pedoman. Teristimewa pasal 3 dan pasdal 7 amat rapat sekali hubungan satu dengan lainnya.
Tegasnya, kaum murba bisa dipastikan kedudukannya dalam UUD tentang politik, ekonomi dan sosial itu, hanyalah setelah diadakan nasionalisasi dan kolektifisasi dalam perusahaan vital setelah ekspor, impor serta keuangan (bank) dinasionalisir sambil mengusahakan berdirinya industri berat. Semua perusahaan tersebut harus diperbaharui dengan mesin yang paling modern (mekanisasi), buat mendapatkan hasil kerja yang setinggi-tingginya (nasionalisasi) dengan cara kerja tolong menolong (kolektifisasi).
Kaum murba tak akan tetap kedudukannya, kalau semua perusahaan penting ekspor, impor serta keuangan tiada dijadikan hak milik dan urusan rakyat/murba dan negara (nation) serta pembangunan industri berat tiada dijadikan hak dan urusan rakyat/ murba dan negara. Seterusnya pula industri berat, yang dalam masyarakat kapitalisme adalah salah satu banteng terkuat bagi kaum borjuis, haruslah dibentuk di Indonesia hari ini, untuk dan oleh rakyat murba itu sendiri. Pembentukan ini akan gagal kalau pasal 4, 5 dan 6 diabaikan saja.
Pemilihan dan pengusahaan atas ekspor-impor dan keuangan (bank) adalah syarat mutlak buat menguasai penjualan hasil Indonesia ke luar negeri. Pemasukan mesin di Indonesia ini adalah syarat mutlak bagi industrialisasi dan mekanisasi di Indonesia.
Maksud rakyat/murba di Indonesia sepanjang Program Maksimum ialah merubah-menukar Indonesia terutama pertanian ini (industri agraria) menjadi satu negara masyarakat, di mana ada perimbangan yang sehat antara industri berat atau industri induk, yakni, mesin pembikin mesin (umpanya mesin pembikin lokomotif, mesin kapal, mesin pesawat terbang, pembikin mesin auto dan tank, meriam, roket dan atom) akan memberi jaminan terakhir kepada pembelaan dan kemakmuran Indonesia.
Perimbangan industri berat, industri ringan dan pertanian modern akan membangunkan perekonomian yang sehat bagi Indonesia. Bolehlah pula dikatakan, bahwa tanah, air dan isinya tanah Indonesia ini akan memberi jaminan yang kokoh buat berdirinya perekonomian yang sehat itu. Bukannya seperti di masa “Hindia Belanda” bilamana industri berat tak ada. Industri ringan baru timbul dan sedikit pula sedangkan pertanian modern berlebih-lebihan selain ekspor hasil perkebunan dan tambang yang jauh melebihi impor dan jauh pula melebihi keperluan rakyat Indonesia sendiri.
Maksud merubah perekonomian dan masyarakat Indonesia, sebagai warisan penjajahan Belanda menjadi perekonomian dan masyarakat kemurbaan tiadalah bisa dipisahkan dari siasat atau politik kemurbaan itu sendiri. Akhirnya kedua maksud dan siasat itu tiadalah pula bisa dipisahkan dari alat buat mencapai maksud itu.
Ketiga, ialah maksud, siasat dan alat itu berdasar kepada kaum murba sebagai benda hidup dan bersandar atas alat produksi sebagai benda mati. Di sini murba dan alat produksi saling bertukar tempat sebagai sebab dan akibat. Tetapi dalam hal itu teranglah sudah bahwa murba itu bisa menjadi maksud dan siasat (politik), kalau murba itu sudah memperalat dirinya sendiri buat mencapai maksudnya itu dan tiada lagi diperalat oleh kelas lain buat maksud lain, yakni oleh kaum feudal atau borjuis buat maksud feudal atau maksud borjuis itu.
Bahwasanya syarat yang terutama sekali, supaya murba Indonesia bisa mencapai maksud, siasat serta alat bagi dirinya sendiri ialah kemerdekaan 100% tercapai, untuk, oleh dan dari rakyat/murba barulah kaum murba dapat menguasai seluruhnya atau sebagaian besar dari pembangunan Indonesia sepanjang Program Maksimum. barulah kaum murba dapat menguasai seluruhnya atau sebagaian besar hak milik produksi, distribusi dan social, ini berarti menetapkan dalam UUD (konstitusi) mendudukkan murba di dalam politik, ekonomi dan sosial.
Buat menjamin tercapainya dan menjamin tetap adanya kedudukan semacam itu maka seharusnya pula kaum murba mengambil seluruh bagian terbesar dalam pembelaan kemerdekaan 100% itu, ialah kemerdekaan politik yang penuh disokong oleh hak ekonomi yang cukup. Pada titik terakhir terasa sekali rapat hubungan antara program minimum dan maksimum.
8. Pendidikan (pengajaran dan kebudayaan) atas dasar mekanisasi kolektifisasi.
Dalam garis besarnya pendidikan di atas bumi ini, ialah untuk mempersiapkan anak dan pemudanya untuk memegang pekerjaan dan ideologi dalam masyarakat di masa depan. Pendidikan feudal yang mempersiapkan pemudanya menjalankan pekerjaan dalam masyarakat feudal yang bersifat tinggi rendah menurut berbagai kasta dalam masyarakat feudal itu. Kapadanya anak pemuda Brahma (pendeta) dipusatkan didikan kecerdasan dengan mengabaikan samasekali kerja tangan.
Kepada anak pemuda Kesatria (pahlawan) dipusatkan pendidikan keberanian yang kesatria dengan memberikan sedikit pendidikan kecerdasan (sosial) tetapi dengan mengabaikan pula samasekali didikan kerja tangan.
Kasta saudagar mendidik anaknya menjadi orang yang ulung licin dalam hal jual beli. Kasta Sudra dan parialah yang melatih anaknya buat kerja tangan.
Begitulah kiranya pendidikan hingga di jaman lampau yang juga dikenal di Indonesia ini. Begitulah pula kurang lebih didikan yang diberikan oleh feudal Tiongkok kepada golongan yang ada dalam masyarakat (1) Su sama dengan golongan kesusasteraan (2) Dong sama dengan golongan tani, (3) Kong sama dengan golongan pekerja, dan (4) Siong sama dengan golongan saudagar. Walaupun golongan pahlawan tak disebut, tetapi golongan yang melatih diri buat kepahlawanan amat besar juga di jaman Tiongkok asli. Pendidikan kapitalisme ialah mempersiapkan kecakapan dan semangat pemerintah dan memimpin bagi anak-anak muda borjuis di satu pihak serta kacakapan dan ketabahan bekerja tangan buat kaum buruh di lain pihak.
Didikan yang berdasarkan individualisme, memberi kesempatan kepada pemuda borjuis buat melalui semua tingkat sekolah, karena kemampuan orangtuanya. Didikan borjuis tidak memberikan kesempatan itu kepada proletar, karena kemiskinan, walaupun si anak/pemuda proletar cukup mempunyai kecerdasan untuk melalui semua tingkatan kesekolahan itu. Buat mencari kesenangan hidup anak borjuis yang kecerdasannya sedang bisa melalui tingkatan setinggi-tingginya (student) dalam dunia pengajaran. Sedangkan buat mencari nafkah anak proletar yang cerdas pun terpaksa lekas meninggalkan bangku sekolah. Dengan demikian anak borjuis mendapatkan pelajaran yang cukup memegang pimpinan politik, ekonomi, militer dan kebudayaan. Sedangkan anak proletar cuma mendapatkan sekedar pelajaran saja buat mengerjakan kerja tangan dalam semua cabang pencaharian hidup (tani, tambang, pabrik, bengkel) dalam masyarakat itu.
Demikianlah sifat tinggi rendah itu kita kenal dalam masyarakat penjajah “Hindia Belanda” cuma sifat kekastaan itu dipertajam pula oleh perbedaan bangsa penjajah Belanda dengan bangsa terjajah Indonesia.
Anaknya Inlanders – alat seperti bestuur-ambtenaren mendapat kesempatan yang luas untuk belajar, sedang anak buruh dan tani Indonesia dibatasi dan ditekan kepintaran, kemauan dan perasaannya dengan sistem sekolah kolonial (sekolah kelas dua, sekolah desa dan lain-lain).
Buat menentang sistem feudal sistem kapitalisme dan sistem kolonial dalam pendidikan itu tak cukup diutamakan didikan yang dipusatkan kepada pembentukan “watak” dan perasaan “kebangsaan” saja. Praktek hari-hari menunjukkan bahwa didikan watak (moril) dan kebangsaan itu kandas, kalau berhadapan dengan kemelaratan.
Pendidikan kemurbaan haruslah didasarkan atas kemauan mengadakan kemakmuran bersama oleh kerjasama, buka kemakmuran buat perseorangan (individu). Kemakmuran bersama ialah ialah kemakmuran buat tiap-tiap anggota yang suka bekerja untuk masyarakat itu (sosialisme). Kemakmuran yang setinggi-tingginya dapat diperoleh cuma dengan jalan mekanisasi (pemakaian mesin semodern-modernnya). Pemakaian mesin yang paling efisien cuma dapat diperoleh dengan kerja gotong-royong yang teratur rapi (kolektifisasi).
Pendidikan, pelajaran dan kebudayaan itu hendaknya dipusatkan kepada kecerdasan, kemauan dan perasaan untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan rukun – ikhlas kerja buat kemakmuran, kesehatan dan kebudayaan bersama pula.
Pendidikan haruslah memberikan kesempatan kepada setiap anak-anak anggota masyarakat buat mempelajari sesuatu yang digemari sampai ke tingkat yang setinggi-tingginya atas ongkos masyarakat sendidri.
Bukan buat membangunkan kecerdasan, kemauan dan perasaan buat kemegahan sendiri seperti terdapat di dunia feudal, kapitalisme dan kolonialisme.
Bukan pula buat membangunkan perasaan kebangsaan dan melatih watak saja, tetapi mengabaikan kemakmuran bersama yang bisa dijalankan dan dipelihara dengan kecerdasan kemauan dan kebudayaan yang bersandar kepada kenyataan di dalam teknik dan ilmu bukti.
Cuma masyarakat Indonesia yang makmur yang mempunyai anggota yang haus teknik dan berbagai ilmu, yang berkenaan dan berperasaan luhur buat bangsa Indonesia, sendiri dan seluruhnya manusia serta yakin atas kepentingan dan ikhlas melakukan kerja gotong-royong itu. Cuma masyarakat yang semacam itu sajalah yang bisa menahan badai penyerbuan yang berkali-kali dilakukan bangsa asing terhadap bumi dan rakyat Indonesia kita kini dengan segala kejayaannya bagi mereka itu sendiri.
9. Mengadakan perhubungan dagang luar negeri dan perhubungan sosial politik dengan kaum murba di luar negeri atas dasar persamaan status.
10. Berusaha menjadi anggota UNO atau organisasi internasional yang lain atas dasar persamaan status, demokrasi dan tujuan kepemerintahan dunia kemurbaan.
Kedua pasal ini bisa dilayani sekaligus dengan serba ringkas pula. Karena kedua pasal itu, sama melayani perhubungan dengan luar negeri, bedanya cuma pasal 9 melayani perhubungan (dagang, social dan politik) itu secara informal, ialah menurut aturan (diplomasi), jadi menurut perhubungan de jure, dan perhubunngan de jure itu tidak bisa pada sembarang waktu dan sembarang negara bisa dilakukan. Dan bisa dilakukan setelah persetujuan formal dari kedua belah pihak dan berlakunya setelah persetujuan itu ditandatangani dan diumumkan.
Tetapi walaupun perhubungan dengan luar negeri itu dilakukan secara informal menurut de facto atau de jure, bangsa dan negara, masyarakat Indonesia mesti menurut keadaan “duduk sama rendah dan tegak sama tinggi” dengan negara manapun dan waktu bilapun juga.
Baik dalam perhubungan dagangpun atau sosial politik dengan negara atau bangsa Asia-Afrika atau Eropa-Amerika, negara kapitalis atau negara sosialis, baik dalam hubungan diplomasi sekarang atau di masa depan dengan bangsa, negeri, masyarakat apapun juga kita harus berhadapan satu sama lainnya atas status (kedudukan) yang sama, 100% samanya. Kita wajib membasmi perasaan inferiority complex atas diri kita sendiri.
Kita insyaf, bahwa sekali kita digendong oleh bangsa, negara, masyarakat lain dalam hubungan diplomasi itu, atas dasar “kerjasama” dan semua “perjanjian pincang” maka kita kelak akan tetap “digendong” oleh bangsa, negara, masyarakat asing itu.
Contoh di sekitar kita amat banyak buat dimajukan di sini. Semua corak kerjasama dalam hal diplomasi, ekonomi, kemiliteran dan kebudayaan itu baru bisa memberi keuntungan bagi kita, kalau memang atas dasar persamaan status.
Salah satu dari syarat buat persamaan status itu, ialah melaksanakan demokrasi (bukan teori atau ucapan “demokrasi” saja). Kasar logisnya: kalau suatu komite internasional kita masuki maka haruslah kita membawa suara 70 juta manusia. Artinya itu suara 70 juta manusia itu adalah 10 kali (sepuluh kali) lebih banyak daripada 7 juta suara manusia (belum lagi kita kemukakan soal kekayaan Indonesia dan soal pentingnya Indonesia buat strategi dan lain-lain soal). Seterusnya jika kelak kita memasuki UNO atau organisasi internasional yang lain-lain, maka haruslah kita membawa suara 70 juta manusia ke dalam UNO atau organisasi yang lain itu. Kalau kemudian hari dunia sanggup mendirikan Pemerintah Dunia baik bercorak demokratis atau kemurbaan (keproletaran) maka kita pun akan membawa suara 70 juta manusia (tentu akan lebih) yang menjadi warga negara atau masyarakat Indonesia di hari depan denga segala kekayaan, kepentingan dan kekuatan yang ada di belakang, di bawah atau di atas 70 juta (atau lebih) manusia itu.
Selanjutnya dalam UNO organisasi internasional atau Pemerintah Dunia itu kita harus berhak penuh dan menjalankan segala hak yang sudah terkenal sebagai hak demokrasi, seperti hak mengusulkan (inisiatif), hak bertanya, hak memutuskan, hak amandemen, hak menyelidiki (enguette), hak menentukan dan hak memeriksa belanja dan lain-lain.
Akhirnya tiada pula kurang pentingnya bahwa kelak kepala negara, pemimpin-pemimpin suatu partai atau organisasi kita, cuma boleh dipilih dan dipecat oleh rakyat murba Indonesia sendiri. Janganlah dibiarkan negara asing, organisasi internasional atau Pemerintah Dunia sendiri memilih dan memecat/memberhentikan atau menyuruh memberhentikan atau mempengaruhi rakyat/murba kita supaya diberhentikan.
Dalam tingkat kemajuan internasional pada abad ini, ataupun pada abad depan, bilamana peleburan dalam perekonomian, sosial, kebudayaan dan kejiwaan (phsychology) itu belum akan sampai ke tingkat yang homogeen (bersatu corak) maka amat berkuasanya suatu organisasi internasional di pusat itu akan sangat melemahkan inisiatif dan kemauan suatu bangsa yang mungkin lambat laun akan melenyapkan kemerdekaan bangsa itu samasekali.
Pemerintah internasional yang bercorak satu, cuma akan boleh terlaksana di hari depan setelah terdapat “corak yang satu” dalam perekonomian, kebangsaan, pergaulan, kebudayaan dan kejiwaan di seluruh dunia kita ini. Kita percaya sungguh bahwa corak satu cuma bisa terdapat pada kasta dan sifat kemurbaan.
Menjelang waktu peleburan dalam perekonomian, kebangsaan, pergaulan, kebudayaan dan kewajiban itu dan menjamin supaya sampai dengan lekas selamat ke tempat peleburan itu haruslah lebih dulu diakui perbedaan antara berbagai tingkat perekonomian, kebangsaan, kebudayaan, kejiwaan itu di muka seluruh bangsa di bumi ini.
Mendahului peleburan berbagai bangsa di dunia, yang masih mengandung berbagai corak itu dengan jalan paksa dari atas (bukan dengan jalan damai demokratis dari bawah) hanya akan menimbulkan kecurigaan dan permusuhan satu dengan lainnya dan mempelambat datangnya Pemerintah Dunia dan Internasionalisme yang sesungguhnya.