Puluhan ribu tahun lalu, dimasa yang masih gelap gulita untuk ingatan kita sekarang, ketika mungkin kepulauan Indonesia masih besartu antara satu dengan lainnya, juga dengan Filipina dan benua Asia bahwa mungkin juga dengan Australia, menurut seorang ahli hiduplah disini, dekat desa Trinil, makhluk setengah hewan setengah manusia, yang oleh ilmu dinamakan pithecantropus erectus, manusia monyet. Di belahan bumi lain seperi di Tiongkok Utara, Afrika Selatan, serta Eropa Selatan dan Tengah ditemukan juga mahluk semacam itu.
Semenjak Charles Darwin, banyak sekali para ahli biologi (ilmu hayat) mendapatkan pandangan dan kesimpulan baru yang bertentangan dengan kepercayaan yang ditaati oleh agama selama ini tentang asal-usul dan hari akhir manusia di bumi kita yang kecil dan sama sekali tak berarti, kalau dibandingkan dengan besarnya pelbagai bintang diantara jutaan bintang di alam raya kita ini, di Universe kita ini.
Kita kembali kepada alam kita di Indonesia tadi serta kembali mengamati penghuninya! Maka sekarang pun Indonesia masih dapat menyaksikan manusia pada tingkat yang serendah-rendahnya, yang berada di antara jenis hewan yang paling tinggi derajatnya, seperti orang utan, dengan pelbagai penduduk manusia di gunung serta hutan rimba raya Indonesia.
Orang Kubu yang masih berkeliaran di hutan rimba Sumatera Selatan, orang Semang di Malaya dan banyak orang Dayak di hutan Kalimantan seperti banyak orang Irian (Papua) masih bisa mendapatkan semua keperluan hidupnya daripada Alam sekitarnya. Mereka belum lagi terpaksa mengerahkan otaknya dan tenaga untuk bertanam, bertukang atau berdagang, untuk mendapatkan makanan dan pakaian yang diperlukannya atau untuk memperoleh senjata buat membela diri mereka terhadap hewan atau pun manusia buas yang lainnya. Buah dari pohon di berlainan tempat dan musim, binatang liar dan ikan yang terdapat di sana-sini cukup untuk menjamin hidup mereka. Kulit dan daun kayu cukup untuk menutupi bagian badan yang perlu mereka tutupi. Dahan, ranting, dan daun kayu yang dibikin seperti sarang, tinggi di atas pohon, cukup pula untuk memberi sekedar perlindungan terhadap hujan, panas dan bahaya musuh.
Gambaran di atas kurang lebih memang masih terdapat pada beberapa bagian di kepulauan Indonesia. Ini saya majukan untuk memberi penjelasan, betapa dekat dan eratnya hubungan alam dan manusia. Alam Indonesia yang kaya raya ini tidaklah mendorong manusianya membanting tulang serta memutar otak terus-menerus untuk mendapatkan makanan dan pakaian serta memperoleh senjata dan perlindungan untuk membela diri terhadap binatang buas atau alam yang kejam. Di mana keadaan alam belum lagi memaksa, maka tenaga, kepandaian dan pengetahuan manusia itu tinggal tetap seperti awalnya. Tetapi dimana keadaan alam dan masyarakatnya mengalami perubahan, disana tenaga dan otak penduduk Indonesia menunjukkan juga kesanggupan penuh terhadap segala macam kemajuan jasmani dan rohani yang dikehendaki oleh alam dan masyarakat yang berubah itu. Sungguh besar perbedaan alam jiwanya orang Indonesia asli, seperti orang Kubu, Semang, Dayak, dan Irian seperti tergambar di atas tadi dengan alam-jiwanya seorang Indonesia desa kota seperti tani, buruh, doker, insinyur, atau pengacara. Tetapi dengan tiada sangsi dan bukan pula dengan maksud memuji atau menghina, saya berani mengatakan bahwa orang Dayak atau Irian pun jika berada dalam keadaan sama akan sanggup belajar sampai mencapai apa yang bisa dicapai oleh suku bangsanya yang berada di desa dan kota. Perbedaan orang Indonesia berada dengan yang sederhana (primitive) bukanlah disebabkan oleh perbedaan sifat dan kesanggupan sebagai manusia, melainkan disebabkan oleh perbedaan sekitar dan keadaan. Dengan kata lain, disebabkan oleh kodrat pendorong.
Rupanya perbedaan alam sekitar kita itulah yang menjadi alat adanya perbedaan Pandangan Hidup (Weltanschauung) Indonesia beradab dengan Indonesia primitif itu. Buat mengerti hal ini, maka sebaiknya sekejap kita mengandaikan berada di tengah-tengah hutan rimba Sumatera, Kalimantan, atau Irian! Bagi penduduk kota, ataupun hampir buat seluruh penduduk pulau Jawa, agak susah mengerti betapa dahsyatnya suasana hutan rimba yang sesungguhnya itu menekan jiwa kita.
Pohon yang besar tinggi menjulang ke angkasa; cuaca yang selalu gelap-gulita karena sang matahari tak sanggup menembus dinding daun kayu yang rindang itu; suara hewan yang mempengaruhi jiwa kita; kecurigaan kepada semua semak dan belukar, karena mungkin menyembunyikan biantang buas atau berbisa, semua itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak berdaya sebagai manusia menghadapi kebesaran dan kedahsyatan alam.
Bagi manusia yang sejak awal berpikir, yang sejak awal sekali mencerminkan alam-luar itu kepada alam-dalamnya, kepada jiwanya, cocok benarlah paham bahwa tekanan atas jiwa dalam dirinya disebabkan olah jiwa yang berada di Alam-Luar, yakni yang berada dalam hutan rimba raya itu. Buat pikiran orang serba sederhana itu jiwa cuma bisa dipatahkan karena ditimpa oleh pohon besar. Demikianlah di mata orang sederhana itu, semua benda yang dahsyat di sekitarnya dianggap mengandung jiwa seperti dirinya sendiri. Pohon besar yang rindang dahsyat, air mancur yang bergemuruh; binatang buas yang berbahaya; bahkan batu dan kayu pun dianggapnya berjiwa, bernyawa.
Sesungguhnya anti tesis antara buruk dan baik, yang terpendam dalam pengalamannya sehari-hari belum lagi begitu terpisah dalam pandangannya. orang sederhana memuja bukan yang baik asal baik saja, tetapi juga yang jahat. Mereka memberikan korban kepada keduanya, yang baik maupun yang jahat. Hantu yang jahat tak kurang menerima pujaan atau korban orang sederhana daripada hantu yang baik, yakni hantu kawan manusia. tentulah di mana alam sangat dahsyat di sanalah hantu jahat, harimau si raja hutan atau sang buaya mendapat perhatian lebih dari pada yang baik.
Teranglah sudah bahwa zaman serba permulaan itu pandangan bangsa Indonesia, dalam keadaan serba-serbi itu pula, berdasarkan paham yang oleh para ahli dinamai kepercayaan animisme. Semua yang ada di alam ini dianggapnya berjiwa, bernyawa.
Berkenaan dengan manusia sederhana bangsa kita tadi dengan alamnya di mana mansuia itu berlaku pasif, menerima, bahkan menderita ketakutan saja, di masa inipun berlakulah hukum dialektika, yakni perubahan bilangan sedikit demi sedikit, lama-kelamaan menjadi pertukaran sifat (quantity into quality).
Dalam pencarian hidupnya sehari-hari menghadapi pelbagai bahaya di hutan, di gunung, di air dan menderita bermacam-macam penyakit, lama kelamaan tahu-tahu tertumpahlah segala pengorbanan dan pemujaan kepada salah satu yang paling ditakuti di antara banyak-yang-ditakuti. Di antara macan, buaya, hantu pohon, hantu air, atau hantu pemburu, akhirnya jatuhlah Maha-Pujuaan kepada Maha-Hantu, yang paling penting-cocok dengan penghidupan dan pengalaman sehari-hari. Dimana pencarian dan pekerjaan berburu sangat dipentingkan, maka hantu pemburulah yang sengat dipuja. Di sinilah hantu-pemburu akhirnya mendapat kehormatan sebagai Maha-Hantu.
Dimana pergaulan sudah agak maju, dan alam-sekitar sudah agak ramah-tamah, maka yang baik mendapat perhatian agak lebih dari yang jahat. Konon kabarnya ada satu suku bangsa Irian yang menganggap pohon aren atau enau sebagai Tuhan dalam arti Maha-Dewa. Bukankah pohon aren juga antara segala pohon dan segala yang ada di alam sekitar mereka yang telah memberikan segala-galanya yang diperlukan buat kehidupan mereka? Sagu dari pohon Aren adalah makanan yang sehat dan mengandung banyak kegunaan. Ijuknya dapat dipakai buat atap rumah. Batangnya bsia juga dipakai sebagai tombak penangkap ikan dan alat membela diri terhadap musuh.
Seorang Irian asli cuma membutuhkan tujuh pohon Aren yang berurutan dari satu sampai tujuh tahun. Tebanglah pohon ketujuh yang berumur tujuh tahun, yang sudah masak itu. Tanamlah satu pohon penggantinya. Inilah pekerjaan yang perlu dilakukan seorang anggota, yakni memotong sepohon sagu sekali satun dan menanam sepohon sagu sekali setahu. Selainnya itu dia boleh memancing atau berburu, berkelahi atau bersuka ria. Dalam pergaulan semacam itu Dewi Sagu-lah yang dianggapnya pencipta segala-galanya dan yang berkuasa dalam segala-galanya. Demikianlah dalam Swarga-Loka di Irian.
Sederhana, Dewi Sagu menjunjung segala kemegahannya ke angkasa sambil memberi bahagia kepada makhluk manusia di sekelilingnya.
Melompat kita sekarang ke bagian lain di bumi kita ini, ke masyarakat lain, yakni India! Salah satu kesimpulan yang kita peroleh setelah membaca buku suci Mahabarat, Ramayan, dan Upanishad, serta tulisan tentang hidupnya Sidharta Gautama, Sang Budha, dan agama Budha, yakni bahwa pertama kali India mempunyai penduduk asli dan penduduknya terdiri dari bermacam-macam bangsa yang masuk menyerbu dari Utara dan mungkin pula dari Timur atau Selatan!
Kedua, bahwa mayarakat India di masa semua buku tersebut dikarang sudah mengenal alat perkakas produksi yang dibuat dari logam.
Ketiga, bahwa masyarakat India sudah meningkat dari komunis asli ke tingkat feodal yang mengenal beberapa raja dan maharaja, sedangkan aturan desanya berdasarkan komunis asli.
Keempat, dan inilah pula yang perlu diperhatikan disini, bahwa kebudayaan dan agama India yang tertulis itu cukuplah mencerminkan masyarakatnya di masa itu buat mereka yang berpedoman dialektisme materialistis, jadi bukan dialektisme idealistis.
Memang dalam kitab suci India itu sukar diperoleh fakta sejarahnya (historical facts) dan sukar pula didapat konsistensinya, yakni persamaan dasar antara bagian dengan bagian dan semua kecocokan dengan bukti serta hukum Common-Sense. Malah tarikh pun, yakni salah satu syarat yang penting bagi sejarah, sukar, kalau tak mustahil akan didapat.
Maksudnya di sini tidaklah akan bisa mengambil suatu kesimpulan secara pasti dari Buku-Suci yang tidak berdasarkan historical facts itu. Cuma sekedar menimbulkan kesamaan petunjuk buat ahli pemeriksa.
Berhubungan dengan dongeng Ramayana, maka dengan sendirinya timbul dalam hati kita pertanyaan, apakah monyet putih atau Hanoman itu benar penjelmaan manusia, berdasarkan ilmu gaib ataukah tiada lebih tepat bahwa Hanoman si Monyet Putih itu adalah seorang Panglima Aria, yakni bangsa Kaukasia yang berkulit putih? Tidakkah mungkin pula bahwa perkataan monyet itu adalah satu ejekan dari bangsa India asli, yang berkulit hitam, seperti bangsa Keling? Kita pun di Indonesia ini mengenal kata ejekan terhadap orang asing-putih, penjajah, yakni kebo bule, siwer matan.
Namun bagaimanapun juga, bagi saya dongeng Monyet Putih itu adalah suatu petunjuk buat memeriksa sejarah India yang sebenarnya. Tetapi pegangan yang sedikit kuat, yang kita peroleh dari dongengan Monyet itu ialah: India terdiri dari bermacam-macam bangsa, baik yang asli atau pun yang masuk menyerbu.
Mungkin sekali perbedaan kasta itu – yang belum pasti terbentuk dalam kitab suci itu, tetapi terlaksana sampai menjadi kurang lebih 3000 kasta pokok, cabang, dan ranting di masa imperialisme Inggris – bersandar mulanya kepada perbedaan bangsa.
Yang tiada pula kurang memberi sugesti kepada saya ialah adanya Trimurti, adanya tiga Mahadewa Hindu, yakni Wisnu Sang Pembangun, Shiwa Sang Perusak, dan Brahma Sang Pemelihara.
Banyak orang yang melihat pelaksanaan dialektika dalam kepercayaan Hindu Asli itu. Memang banyak ahli dialektika yang memandang semangat Hindu berdasar atas dialektika idealistik, bukan dialektika materialistik, meskipun Hegel menganggap dialektika Hindu itu kurang kaitannya antara satu faktor dengan faktor yang lain, yakni antara tesis dan anti tesis. Bagaimanapun juga Trimurti dari mahadewa Pembangun, Perusak dan Pemelihara, itu cocok sekali dengan Pandangan Hidup yang menyelami proses dalam segala yang ada baik lahir ataupun batin. Tidak sukar membelokkan proses tersebut kepada trimurti Hegel, yakni tesis, anti tesis, sintesis. Cuma buat Hegel, seorang ahli dalam ilmu filsafat, proses itu berlaku dalam otak manusia. sedangkan buat orang Hidnu, Trimurti itu adalah Mahadewa yang menguasai seluruhnya alam raya kita termasuk juga hidup dan matinya manusia.
Bagi saya asal-usul, serta sifat ketiga Mahadewa Hindu itu cukup tergambar dalam masyarakat Hindu yang kabur dan tiada logis-kronologis tercantum dalam Kitab Suci Hindu.
Tiada sukar bagi kita menggambarkan Hindustan yang pada mulanya terdiri dari berbagai-bagai kerajaan kecil, yang setelah lama bertempur satu sama lain akhirnya mendapatkan tiga maharaja atau pun satu maharaja yang terutama. Terhadap tiga mahadewa itu pun ada tingkat kekuasaan dan kehormatan yang diterima oleh ketiganya atau masing-masingnya yang berbeda dari tempo ke tempo dan tempat ke tempat.
Demikianlah di Hindustan sendiri pada satu tempo dan satu tempat Wisnu-lah yang dipuja. Pada lain tempo dan lain tempat Syiwa-lah yang diutamakan.
Tidak saja pelbagai dewa dan mahadewanya Hindu di dunia gaib itu mendapatkan penyesuaian pada pelbagai raja dan maharaja di dunia lahir, yakni dunia politik, tetapi juga mendapatkan penyesuaian penuh pada dunia-sosial Hindu. Pelbagai kasta dalam masyarkat Hindu itu berpuncak pula pada tiga kasta pokok, yakni Kasta Brahma, Kasta Satria, dan Kasta Waisya, atau Kasta Pendeta, Kasta Ningrat, dan Kasta Saudagar. Semua kasta itu berpuncak kepada Kasta Brahma. Jikalau sesudah mati, kembali ke dunia ini dan mendapatkan kemajuan, maka menurut hukum karma dan reinkarnasi seseorang harus melalui kasta dari bawah ke atas, setingkat demi setingkat. Dalam hal itu seorang Kasta Brahma sajalah yang berhak masuk ke dalam surga, sedangkan Kasta Sudra dan Paria (kelas rendah) mendengarkan bacaan kitab suci pun di dunia fana ini tiada diizinkan.
Masyarakat Hindu, terutama di bawah imperialisme Inggris, menjadi pecah belah dan beku, terpaku pada ribuan Kasta yang tiada boleh bercampur gaul satu dengan lainnya. Lama sebelum Masehi rupanya pemisahan masyarakat Hindu dalam beberapa kasta itu sudah menggelisahkan para ahli pemikirnya yang jujur dan mengandung pri-kemanusiaan.
Reaksi terhadap masyarakat berkasta-kasta itu datang dari pemikir besar Sidharta Gautama, putera mahkota dari raja Kapilawastu. Sidharta Gautama atau Budha membantah keras pembagian manusia ke dalam beberapa kasta itu dan mempropagandakan bahwa bukan anggota Brahmana saja yang dapat memasuki Nirwana sesudah mati, tetapi siapa saja yang menjalankan agamanya dengan sungguh-sungguh.
Proses untuk mendemokratisasi masyarakat Hindu yang dimulai pada kurang lebih 500 tauhn sebelum Masehi itu berakhir dengan kemenangan Agama Budha pada kurang lebih 500 tahun pula sesudahnya Nabi Isa, yakni dibawah pemerintah Ashoka. Tetapi aksi yang dilakukan oleh Sidahrta Gautama beserta para pengikutnya yang berakhir dengan kemenangan sesudahnya 500 tahun itu diikuti pula oleh reaksi dari pihak Hindu. Reaksi itupun memperoleh kemenangan penuh dan sampai sekarang Hinduisme masih bersimaharajalela di dalam masyarakat Hindu.
Setelah abad ke-14 masuklah dari jurusan Utara, agama baru yang terkenal sebagai agama Islam, yang lahir di antara masyarakat Arab di Arabia. Agama Islam segera mendapatkan penganut di Hindustan baik dengan propaganda secara damai ataupun dengan jalan peperangan. Sebelum imperialisme Eropa memasuki India, orang Islam-lain yang menjadi Maharaja di Hindustan.
Gerakan Pandangan-Hidup di India sepeti ditinjau selayang pandang di atas itu, menjalankan lakonnya pula di Indonesia kita ini. Di sini pun kita mengenal berlakunya diberlainan tempat dan diberlainan tempo Trimurti, Mahadewa Brahma, Wisnu, dan Shiwa. Kita pun mengenal pengembangan dan perluasan agama Islam.
Dengan berkembang dan berkuasanya perdagangan Hindu di Indonesia setahun demi setahun, berkembang dan berkuasa pula bansga Hindu (dibelakang hari juga bangsa Arab) atas masyarakat dan politik bangsa Indonesia asli. Dengan begitu berkembang dan berkuasalah pula semua agama Hindu dan Arab (Islam) itu dalam masyarakat Indonesia.
Dalam hal itu pada puncak kekuasaan masing-masing agama, Hindu ataupun Arab (Islam), kepercayaan Indonesia asli, kepercayaan yang timbul dari alam Indonesia sendiri, yakni animisme, tak pernah dapat dilenyapkan dari hati dan otaknya sebagian besar bangsa Indonesia. Sekarang pun para Hantu yang bersemayam di pohon besar, di hutan rimba atau air terjun yang terus-menerus menuangkan airnya itu masih menekan jiwa orang Indonesia yang melihat dan mendekatinya.
Perbandingan dalam dunia kepercayaan di zaman Hindu itu sesuai pula dengan perbandingan yang terdapat dalam dunia perekonomian bangsa Indonesia di zaman tersebut. Perdagangan dan perusahaan asing walaupun berkembang dan berkuasa dalam masyarakat Indonesia, belumlah pernah Indonesia lepas dari tangannya. Tegasnya, sawah, ladang, serta hutan, sungai dan lautan, ringkasnya tanah, air, dan udara masih tetap di dalam genggaman bangsa Indonesia asli. Dengan demikian masih terjamin bagi bangsa Indonesia asli hari depan yang lebih baik dan lebih gemilang daripada di waktu yang telah lampau.
Mata pencaharian yang masih erat pada genggamannya, tanah, air, udara yang teristimewa kaya-pemurah yang bagaimanapun juga hebatnya perasaan dan penindasan asing dan bangsa sendiri, di zaman Hindu itu, masih bisa menjamin kehidupan, walaupun sederhana sekali.
Seperti halnya dengan kekayaan dan kemurahan alam yang tiada memaksakan umat manusianya berebut-rebutan dan bunuh membunuh untuk mendapatkan nafkah, para arca dari bermacam-macam Mahadewa pun bisa duduk dalam satu gedung berhala.
Berbeda dengan keadaan di negara asalnya sendiri maka di Jawa-Swarga-Loka, kita dapat menyaksikan Arca Perusak, Shiwa, berdekatan dengan Arca Pembangun, Wishnu, sambil bersenyum-senyuman.
Marilah kita sekarang melayangkan pikiran kita ke arah sungai Nil di Mesir, ketika di bawah pemerintahan Maharaja Fir’aun.
Di sekitar bagian bumi sanalah kita mendapatkan bukti sejarah yang banyak sekali dan paling tua sekali di antara bukti sejarah yang sudah diperoleh di bagian bumi mana pun juga.
Egypt alias Mesir di zaman ribuan tahun yang lampau itu mengenal bermacam-macam dewa pula. Di antara berbagai Dewa itu maka Dewa Rah, yakni Dewa Matahari yang mendapatkan kehormatan dan pujaan sebagai Mahadewa.
Maka menurut kepercayaan bangsa asli di Mesir itu Dewa Rah-lah yang memfirmankan bumi, langit, sungai Nil dan gurun pasir beserta hewan dan manusia. Semua itu terbentuk sekaligus dengan mengucapkan sepatah kata saja, yakni Ptah. Jadi berlainan dengan pandangan Kant, Laplace atau Darwin, maka menurut kepercayaan di Mesir dahulu kala itu dunia dengan isinya ini menjelma dalam kurang sekejap mata lamanya dari dunia kosong, oleh ucapan Ptah.
Demikian pengertian Mahakuasa, yang sanggup menciptakan Yang Ada, atau benda dari Yang Tak Ada atau kosong, sudah tersebar pada masa hidupnya Nabi Musa.
Pengertian Mahakuasa ini pun sudah termasuk ke dalam kepercayaan bangsa Yahudi, yang pada zaman Fir’aun itu adalah bangsa budak terhina, berhijrah di kerajaan Fir’aun.
Karena tiada tahan lagi menderita pemerasan, penindasan serta penghinaan sebagai bangsa asing di tengah-tengah bangsa Mesir asli itu, maka suatu waktu bangsa Yahudi itu memutuskan, hendak pindah ke “Tanah susu dan madu” yang menurut kepercayaan yahudi sudah dijanjikan oleh Tuhan kepada bangsa Yahudi itu. Tanah makmur penuh dengan susu dan madu yang dimaksudkan itu, ialah tanah Palestina yang sekarang menjadi tanah-rebutan antara Yahudi dan Arab itu.
Buat bangsa budak, yang penghidupannya bergembala dalam suasana kemelaratan dan penghinaan terus menerus, maka satu daerah bumi dimana “susu dan madu berlimpahan” serta kemerdekaan penuh dijanjikan kepadanya, tentulah satu besi berani yang mengandung kekuatan penarik yang sangat besar.
Orang yang memimpin pemindahan besar-besaran (exodus) ke Palestina itu yang dilakukan secara ilegal dan rahasia sekali, dalam pengembaraan yang dijalankan dengan mengandung bahaya kemusnahan sebagai bangsa, karena dikejar oleh tentara Maharaja Fir’aun yang bersenjata lengkap patutlah disebut seorang pemimpin dalam arti kata sesungguhnya. Bangsa Yahudi akan musnah atau akan terpaksa kembali ke bawah penindasan Fir’aun, kalau yang memimpinnya bukanlah seorang pemimpin seperti Nabi Musa.
Walaupun sudah berumur tinggi sekali, menghadapi pelbagai bahaya yang oleh orang biasa dianggap suatu yang mustahil akan dapat diatasi oleh jenis manusia; memimpin rombongan yang terdiri dari orang tua-muda, bayi, lelaki, perempuan, sehat dan sakit yang sering bercecok satu sama lainnya lantaran 1001 macam kesulitan; membimbing rombongan yang sebagian terdiri dari mereka yang sudah patah hati dan mau kembali menyerah kepada Maharaja Fir’aun, yang dengan tentara berkudanya sudah dekat mengejar di belakang, dalam keadaan demikian cuma seorang pemimpin yang lahir sekali dalam 1001 tahun pula yang dapat terus memegang pimpinannya.
Pengetahuan yang luar biasa tentang sifatnya manusia serta keadaan alam sekitarnya, yang dimiliki oleh Nabi Musa. Pandangan tepat tentang kejadian yang mungkin terjadi di hari depan. Kebijaksanaan, kesabaran dan kecerdikan Nabi Musa melayani rombongan manusia yang terdiri dari pelbagai umur, pelbagai pengalaman dan keinginan, serta akhirnya tetapi tidak kurang artinya, kepercayaan yang tidak dapat dilunturkan oleh bahaya dan pertolongan yang dijanjikan oleh Jehovah kepada leluhur bangsa Yahudi dalam menuju ke “Tanah susu dan madu” yang dijanjikan itu. Semua syarat penting bagi seorang pemimpin dalam keadaan demikian yang terdapat pada Nabi Musa dapat mengatasi segala kesulitan, dan membawa bangsanya ke tempat yang aman dan bahagia, dengan tidak berkompromi sedikit pun dengan musuhnya yang 1001 kali lebih kuat.
Pimpinan ulung dari satu orang yang cuma mempunyai satu tujuan dan satu tekad, sebagaimana menurut kepercayaan Yahudi, Nabi Musa dalam keadaan kesusahan dan bahaya sering sendiri saja menjumpai Tuhan Yang Maha-Esa, pimpinan satu orang, yang berkeyakinan atas adanya satu Tuhan itu, …pimpinan yang membawa bangsa Yahudi ke zaman kejayaan itu, memperdalam kepercayaan Yahudi kepada keesaan dan kemahakuasaan Tuhan itu lebih daripada yang sudah-sudah. Bagi bangsa Yahudi di zaman itu, benar-benar the proof of the pudding is the eating (bukti enak atau tidaknya kue itu baru terbukti setelah dimakan).
Dengan sempurna jayanya pimpinan satu orang atau beberapa suku Yahudi, yang dahulu kala juga mengenal beberapa dewa, menurut sukunya, maka sempurna jayalah pula kepercayaan monotheisme, percaya kepada ke-esaan Tuhan di antara semua suku bangsa Yahudi.
Inkonsistensi, kontradiksi logika, pertentangan bagian dengan bagian, pertentangan dalam hal tarikh, pertentangan kejadian dengan hukum alam dan common sense, yang ditemukan oleh para ahli dan saya sendiri dalam kedua kitab suci, yakni kitab Injil Tua dan Injil Baru, tidak menjadi pusat perhatian saya di sini. Saya pikir dalam tingkat pengetahuan teknik dan ilmu, bukti di masa Nabi Isa itu, semua kegaiban alam dan kesaktian manusia seperti tertulis dalam kitab sudah pada tempat dan temponya. Yang menjadi pusat perhatian saya di sini ialah moral (kesusilaan) dan ketuhanan yang termaktub dalam kitab suci itu. Pertentangan arti dalam hal susila dan ketuhanan, yang saya rasa terdapat dalam kitab suci itupun dapat disesuaikan dengan pikiran kita, kalau kita berpendirian seperti ahli, bahwa kitab suci tertulis lama sesudahnya Nabi Isa wafat dan banyak mengandung faham yang sudah diucapkan oleh para pujangga Yunani lama sebelum Nabi Isa lahir ke dunia.
Bagaimanakah bisa dipersatukan dalil pokok dari agama Kristen yang berbunyi : “Kalau pipi kirimu dipukul orang berikanlah pipi kananmu kepadanya buat dipukul pula” dengan ucapan Nabi Isa yang berbunyi : “Saya tidak datang untuk berdamai, melainkan untuk berperang”.
Itu dalam hal kesusilaan. Dalam hal ketuhanan pun bagaimana pula bisa menyesuaikan Yang Maha-Esa, yang diutamakan Injil-Lama dan oleh nabi seperti kita bentangkan di atas dengan Trinitas-nya, dengan Trimurti-nya, karena Katholik, ialah kesatuan Yang Tiga, kesatuan Bapa (Tuhan), Anak (Yesus) dan Roh Suci.
Buat saya sendiri semuanya itu sudah semestinya, kalau diseluk-belukkan dengan tempo dan tempat. Dengan demikian maka kuranglah pula penting buat saya apakah pernah hidup seorang Yahudi, yang menamai dirinya Anak Tuhan. Buat saya sudahlah cukup jelas pelajaran yang diberikan oleh agama Kristen dan Ideal Keluruhan Jiwa yang dijunjungnya, seperti tergambar pada Nabi Isa. Sudah pula memuaskan pikiran saya, kalau ada para ahli sejarah, yang mendapatkan kesimpulan bahwa di mana bangsa Yahudi di bawah penjajahan bangsa Romawi, maka bangkitlah soerang pemberontak dari daerah Galilea, bernama Yesus dan terang-terangan membela kaum Murba menghadapi kaum pendeta (Rabbi) Yahudi, yang menjadi kaki tangannya kekuasaan Romawi di masa itu. Pemimpin pemberontak dari Galilea itu menamai dirinya raja Yahudi, Mahdi, Yezus Nazarenus Rex Judiorum!
Jika dipandang dari sudut ini, maka hilanglah sudah semua pertentangan di dalam pikiran kita. Nabi Isa melimpahkan segala kasih sayang serta mengorbankan jiwanya terhadap kaum Murba, yang memang melarat hidupnya di masa itu dan memang bersemangat pemberontak, terutama di daerah Galilea. Kalau dia menganjurkan sikap bermaaf-maafan menganjurkan sikap “pipi kiri dipukul, berikanlah pipi kanan” maka sikap itu terutama dimaksudkan bagi segenap Murba. Terhadap kaum pendeta dengan jelas Nabi Isa memajukan sikap menentang, yakni kalau perlu dengan senjata di tangan menghancurkan kaum Rabbi, penindas bangsa Yahudi dan kaki tangannya penjajah Romawi di masa itu.
Tentulah ada tafsiran lain yang rasional tentang dua susila yang bertentangan itu. Salah satunya dikatakan bahwa kaum Murba Yahudi di masa itu tidak berdaya pula menghadapi kaum Rabbi, penindas dan pemeras yang langsung berurusan dengan Murba Yahudi.
Jadi menurut tafsiran itu sikap pasif, sikap menerima yang dianjurkan oleh nabi Isa itu berasal dari perasaan tidak berdaya menghadapi kekuasaan Romawi serta para Pendeta (Rabbi) kaki-tangannya, “inlanders-alatnya” kekuasaan Romawi itu.
Bagi saya tafsiran yang belakangan ini memang, mengandung alasan tetapi kurang sempurna. Bangsa Yahudi, terutama kaum Murba-nya, dibelakang kota seperti di Yerussalem dan teristimewa pula di daerah Galilea, daerah asal Nabi Isa sendiri, jauh daripada sikap pasif atau nrimo. Pemberontakan besar dan kecil untuk melepaskan diri dari pemerasan dan penindasan Romawi dengan kaki tangannya acap kali terjadi. Jadi cocok pula dengan Nabi Isa sendiri ketika berhadapan dengan para Rabbi, para inlanders-alat itu, seperti di atas tadi.
Di masa “hidupnya” Nabi Isa sendiri tak tampak perbedaan dengan Tuhan Nabi Musa. Tuhan di masa Nabi Isa itu tetap Yang Maha Esa. Filsafat ketuhanan, bahwa 1+1+1=3 itu timbul dan tumbuh lama setelah Nabi Isa meninggalkan dunia fana. Tentulah banyak persoalan duniawi yang memungkinkan timbul dan tumbuhnya 3=1 itu. Dibelakang harinya di masa Revolusi Perancis banyak pula anasir masyarakat manusia ini yang menumbangkan filsafat 3=1 itu! Tetapi bagi saya filsafat semacam ini tidak menjadi soal pokok.
Yang lebih menarik hati saya ialah ketika 600 tahun lebih setelah Nabi Isa, maka kembalilah 1=1 itu. Bersamaan dengan itu kembalilah pula susila yang biasa, yang praktis, bagi masyarakat manusia, yakni yang salah dihukum setimpal dengan kesalahannya, dimaafkan salah seorang yang mengakui kesalahannya dan mengubah tingkah lakunya di hari depan dengan sungguh dan jujur. Yang mengembalikan itu ialah Muhammad bin Abdullah, seorang Arab dari suku Qurays. Karena bangsa Arab dan Yahudi tiada berapa bedanya menurut ilmu kebangsaan, dan kedua bangsa itu disebutkan bangsa Semit, maka sebetulnya ketiga nabi besar itu, yakni Nabi Musa, Isa dan Muhammad itu sebangsa dan seketurunan pula. Dalam kitab Injil sendiri disebutkan, bahwa bangsa Yahudi dan Arab turun temurun dari Nabi Ibrahim.
Jika kita melayangkan pandangan kita pada keseluruhan muka bumi yang kita kenal, pada permulaan abad ketujuh itu, maka yang kelihatan pada kita ialah cuma keruntuhan dalam hal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Sebaik-baiknya kita hanya dapat menyaksikan stagnasi, malaise, madegnya, tergenang-mogoknya masyarakat dalam semua hal.
Romawi Barat dengan jajahannya di Eropa Barat dan Utara, di Afrika Utara dan Asia Barat sedang menderita keruntuhan akibat desakan dan serangan pelbagai bangsa Jermania dari Utara. Romawi Timur hanya dapat melayani bangsa baru yang perkasa (Bulgaria dan lain-lain) yang menyerbu ke dalam daerahnya itu, sebagai tamu yang terpaksa diterima dan dijadikan anggota keluarga sendiri. Dalam hal kebudayaan, Romawi Timur hanya sanggup memamah-mamah pengetahuan yang dipusakakan oleh Yunani dan Romawi almarhum.
Mesir, Syria, Persia, Judea dan lain-lain negara bekas penguasa di sekitar Semenanjung Arabia, semuanya berada dalam keadaan hidup enggan mati tak mau. Sedangkan semenanjung Arabia yang mungkin sudah mempunyai cacah jiwa, lima juta, yang boleh dianggap tinggi di masa itu; sudah mencapai kemakmuran, karena perdagangan dengan negara luar, dengan perantaraan para saudagar yang pintar, berani dan bersandar pada kalifah yang kuat bersenjata, tersusun sebagai laskar teristimewa pula, belumlah pernah Semenanjung Arabia menderita penindasan dari bangsa asing. Dengan demikian maka bangsa Arab masih bersemangat tegak gagah perkasa dan percaya atas kekuatan diri sendiri. Cuma antar suku masih bertentangan dan perang memerangi. Sejajah dengan pertentangan dalam pergaulan itu, maka kepercayaan pun belumlah lagi bersatu, melainkan terpecah belah dalam pelbagai kepercayaan, yang setelah Nabi Muhammad dinamai Kafir-Jahiliyah.
Mempersatukan pelbagai kepercayaan Jahiliyah yang tergambar pada pelbagai patung di masa itu; mempersatukan ideologi sebagai sintesis dari pertentangan pelbagai ideologi yang ada di masa itu, inilah usaha yang pertama sekali dan terutama sekali dilakukan oleh Nabi Muhammad menjelang persatuan bangsa, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Persatuan itu tidak terdapat pada satu maha-patung, di antara beberapa patung yang ada di Arabia dan berpusat di Mekkah di masa itu melainkan pada ke-Esaan Tuhan dan Kemahakuasaan-Nya, yang tiada lagi takluk kepada tempat dan tempo, seperti patung dimanapun juga, yang dibikin oleh tangan manusia dari benda apapun juga di dunia ini.
Buta huruf bukanlah berarti buta kecerdasan, buta keberanian ataupun buta kejujuran. Sebaliknya pula, pendidikan pun tidaklah menjamin keberanian, keuletan, kejujuran, kecakapan memimpin, ketangkasan memandang ke hari depan dan mengambil sesuatu putusan dengan cepat serta tepat. (resourcefulness)
Sungguh banyak kebenaran yang terkandung dalam pepatah Indonesia “jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasai”. Perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullah ke negara-negara di sekitar Arab, bersama-sama dengan kafilah memberikan semua pengalaman dan pengetahuan yang cukup buat seorang pemimpin, jenderal, pujangga dan Nabi di hari depan, saat Semenanjung Arabia dan sekitarnya kelak akan sangat membutuhkan pemimpin semacam itu.
Nafsu ingin tahu, yang meluap dalam otak pemuda Muhammad bin Abdullah, yang ingin mengetahui asal-usul semua yang ada di alam dan masyarakat itu dapat dipenuhi oleh masyarakat di sekitar Arabia, yang sudah mencapai kebudayaan tinggi di masa lampau. Pendeta dan Rabbi dapat memberikan petunjuk ataupun cara berpikir beserta bahan berpikir buat menjawab semua soal yang timbul dalam otak yang ingin tahu dalam segala-galanya.
Bumi dan langit Semenanjung Arabia yang memberi kesan yang tidak dapat dilupakan oleh seorang yang mengamatinya akan menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh dengan percakapan dalam pulang pergi dari Mekah ke luar negeri itu. Pengalaman yang diperoleh ketika mengikuti kafilah, yang acap kali menghadapi pelbagai musuh telah mendidik, melatih semua sifat pemimpin yang terpendam dalam jiwa Muhammad bin Abdullah.
Terlatih tergembleng dalam “University of Life” (Universitas hidup) itu, maka apa bila Semenanjung Arabia membutuhkan persatuan dalam segala-galanya maka tampillah Muhammad bin Abdullah ke depan masyarakatnya, mengambil pimpinan sebagai propagandis, jenderal, pembesar negara, pemimpin masyarakat dan Nabi.
Tempo dan tempat amat sesuai dengan keesaan dan kemahakuasaan pada permulaan abad ketujuh itu. Perhatikanlah sekali lagi Semenanjung Arabia dan sekitarnya di masa itu.
Masyarakat di Semenanjung Arabia sangat membutuhkan kesatuan dalam pimpinan, yang sanggup menjalankan kekuasaannya, di atas pelbagai kekuasaan dari pelbagai suku. Lagi pula masyarakat itu memerlukan adanya satu kaum, yakni kaum Muslimin, yang berdiri di atas segala bangsa di Dunia. Semua keperluan itu sungguh dapat dipenuhi oleh kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Yang Maha Kuasa, yang menguasai serba sekalian alam dan manusia, bidadari dan malaikatnya.
Semangat Islam, yakni semangat menyerah kepada Kodrat Tuhan, semangat menerima putusan Tuhan itu dengan suka cita, semangat Islam itu sebagai pusat, jiwa dan filsafat serta prakteknya suatu kepercayaan, memang belum lagi dikenal dalam sejarah manusia. Agama baru yang bertentangan dengan kepercayaan pelbagai suku Arabia itu tidaklah akan dibatalkan ataupun disembunyikan oleh Nabi Muhammad. Apabila dalam suatu hari keluarga Nabi Muhammad meminta dalam satu rapat, supaya propaganda Islam itu dihentikan saja, karena sangat menimbulkan pertengkaran, dan sangat mengancam jiwa Nabi Muhammad, maka Nabi Muhammad menjawab : Bahwa walaupun matahari di kiri dan bulan di kanan melarang yang sedemikian, larangan itu tak akan diindahkan.
Syahdan, dengan semangat bersatu padu di antara kaum Muslimin yang kian hari kian bertambah banyak juga anggotanya; dengan semangat bertawakal menyerahkan jiwa raganya kepada Yang Maha Kuasa, dengan semangat tak mengenal damai dengan kepercayaan Kafir Jahiliyah, maka dibawah pimpinan Nabi Muhammad akhirnya setelah kira-kira dua puluh tahun berjalan propaganda Islam, persiapan dan pertempuran sengit berulang-ulang, maka tercapailah persatuan seluruh Semenanjung Arabia.
Dengan persatuan yang kuat-kokoh di antara semua suku Arab, dengan semangat pantang menyerah, Islam, zonder (tanpa) janji kepada takdir Tuhan, seimbang dengan semangat menyerang zonder mengenal damai terhadap negara dan rakyat di sekitar Arabia, untuk memperoleh kemenangan lahir dan batin, maka dalam kurang lebih 100 tahun dapatlah bangsa Arab menguasai hampir seluruh Laut tengah di Asia, Afrika dan Eropa.
Seharusnya lebih daripada penghargaan resmi, yang diberikan oleh dunia Kristen kepada Arab Islam, di Abad Pertengahan sampai sekarang pun, jasa Arab-Islam, tentang filsafat dan ilmu pengetahuan empirik, sesungguhnya belum mendapatkan penghargaan yang sepatutnya!
Dengan bangsa Arab, maka selesailah sudah circle edaran dialektika! Dengan Nabi Musa majulah ke depan filsafat ketuhanan 1=1 sebagai tesis. Setelah Nabi Isa, maka timbullah tentangan berupa 3=1, sebagai anti-tesis. Dengan Nabi Muhammad terbentuklah sintesis, yakni kembalinya filsafat 1=1 dengan lebih sempurna dan lebih kaya isinya daripada semula.
Sedikit saja filsafat Ketuhanan Islam yang tercantum dalam takdir, kemauan Tuhan, yang tak dapat dielakkan itu menoleh ke dunia lama, yakni masyarakat Yunani, maka filsafat Islam mendapatkan bahan serta petunjuk yang berharga. Filsafat Islam dapat mengangkat kembali filsafat Yunani yang ratusan tahun terpendam di bawah haribaan kerajaan Romawi. Filsafat Islam dapat memisahkan padi yang berisi dari padi yang hampa, menanam yang berisi sampai tumbuhnya di Abad Pertengahan.
Dengan demikian sepatutnyalah kita menoleh ratusan tahun ke belakang masyarakat Islam yang jaya-mulia-makmur di Spanyol, Mesir, dan Bagdad dan kembali sebentar menoleh ke masyarakat Yunani asli.
Bagi kebudayaan Eropa-Amerika modern, maka kebudayaan Yunani asli masih dianggap Kebudayaan Ibu. Plato, sebagai ahli filsafat, masih menjadi sumber bagi filsafat Idealisme. Filsafat Heraklitos masih dianggap uratnya materialisme dan dialektika. Aristoteles masih dianggap moyang pelbagai ahli ilmu pengetahuan empirik (scientis dalam sudut pandang positivisme) modern. Demikianlah bermacam cabang kebudayaan modern dapat dicari uratnya pada Kebudayaan Yunani asli. Tidaklah mengherankan, kalau bahasa Yunani asli itu sampai sekarang masih perlu diajarkan kepada mahasiswa yang harus menyelami semua ilmu modern itu lebih dengan dalam, sampai keuratnya.
Kalau sekarang kita memusatkan perhatian kepada dunia Barat, yakni Eropa dan Amerika, maka tampaklah di mata kita tiga garis pokok kebudayaan. Semenjak 2500 tahun sejarah Dunia Barat, yakni dari kurang lebih tahun 500 SM sampai sekarang tiga garis pokok itu adalah garis agama, garis filsafat dan garis ilmu pengetahuan empirik. Semua cabang kebudayaan yang lain termasuk ke dalam atau bersandar kepada tiga garis pokok itu.
Syahdan, tiga garis pokok dalam sejarah dunia barat yang 2500 tahun itu, banyak sekali mengalami kemajuan, kemunduran serta pertukaran nilai dan kedudukan.
Dalam garis besarnya, maka dari tahun 500 SM sampai tahun 1500 M, agama memperoleh nilai kedudukan tertinggi. Di masa itu maka ilmu filsafat cuma mengabdi kepada agama serta ilmu pengetahuan empirik boleh dianggap melalaikan otak dan pikiran belaka. Saat itu meliputi zaman Yunani, Romawi dan Abad Pertengahan, yang dikuasai oleh masyarakat Islam dan masyarkaat Nasrani. Pada zaman Yunani dan Romawi ahli filsafat sudah mengambil bagian terkemuka dalam masyarakat dan negara.
Boleh dikatakan pula, dalam garis besarnya maka dari tahun 1500 sampai 1850 masehi, ilmu filsafatlah yang memperoleh nilai dan kedudukan yang tertinggi dalam masyarakat Barat tadi. Di masa ini maka mulailah agama terdesak ke belakang. Bahkan pada masa Revolusi Perancis agama mendapat perlawanan yang sekeras-kerasnya.
Sedangkan ilmu pengetahuan empirik makin mendesak dan sudah menjadi sandaran utama bagi ilmu filsafat. Pada saat itu, bukan lagi kaum pendeta yang memegang pimpinan masyarakat dan negara, melainkan mereka yang mempunyai pengetahuan filsafat dan ilmu pengetahuan empirik, ilmu nyata.
Akhirnya kira-kira dari tahun 1850 sampai sekarang, maka ilmu pengetahuan empirik (science)-lah yang memperoleh nilai dan kedudukan tertinggi dalam masyarakat serta negara Eropa dan Amerika modern itu. Agama yang di masa Revolusi Perancis mendapat tentangan yang sekeras-kerasnya bisa bangun kembali, tetapi tidak lagi mendapatkan nilai dan kedudukan seperti sebelum Revolusi Perancis.
Pada pertengahan abad ke-19 ilmu filsafat dalam arti aslinya mulai turun dari singgasananya seperti terdapat di zaman sebelumnya. Satu golongan ahli filsafat, yakni filsafat materialisme dialektis, di bawah pimpinan Marx dan Engels memproklamirkan : “Hari Akhir Filsafat”. Semenjak itu ilmu kemasyarakatan pun sudah didasarkan atas hukum ilmu pengetahuan empirik. Ilmu pengetahuan empirik dalam pelbagai pokok, cabang dan ranting sudah mengambil nilai serat kedudukan yang tertinggi sampai sekarang.
Ahli ilmu pengetahuan empirik memakai perkataan filsfat tetapi artinya berlainan dari semula. Artinya sekarang, terutama ialah weaving up general principles (penyusupan prinsip umum), seperti dikatakan Francis Bacon, salah seorang ahli ilmu pengetahuan empirik besar.
Jelas kiranya bahwa dalam tiga zaman yang kita kemukakan buat Dunia Barat seperti tersebut di atas salaing beralihan nilai dan kedudukan yang diambil oleh tiga garis pokok kebudayan itu: agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan empirik. Adapun peralihan ketiga garis pokok yang sejajar pula dengan peralihan kedudukan yang dialami oleh para penguasa masyarakat dan negara (Social-political regime) adalah berurat pada peralihan yang dialami oleh sistem produksi yang berdasarkan teknik yang ada.
Pada masa pendeta dan ningrat memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara baik di Yunani, Romawi maupun di Eropa Barat di zaman pertengahan (kurang lebih tahun 1500 sampai 1850 M), produksi sudah lebih dipusatkan pada manufaktur. Di akhir masa itu, pengoperasian pabrik sudah mulai dijalankan dengan mesin uap.
Pada masa borjuis (yang dibantu atau ditentang oleh kaum sosialis) di mana kaum borjuis memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara di Eropa-Barat dan Amerika, (berkisar sejak tahun 1850 sampai 1948), produksi sudah dikuasai finance capital (modal bank) dan monopoli. Tekonologi maju cepat, dari tenaga uap sampai tenaga listrik, minyak dan sekarang tenaga atom.
Adapun soal agama, kita semua kurang lebih sudah mengetahuinya. Soal itu berpusat kepada : Dari mana asalnya dan bagaimana akhirnya Bumi, Bintang, dan langit pendeknya alam raya ini?
Dari mana asal dan bagaimana akhirnya manusia? Tiga agama ketuhanan, yakni agama Yahudi, Nasrani, dan Islam mendasarkan semua asal dan akhir itu kepada kodrat Tuhan. Alam raya itu sekaligus difirmankan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Nasib manusia oleh tiga agama diserahkan kepada kemauan Tuhan. Nasib itu dipertimbangkan pula oleh amal dan ibadahnya. Amal dan ibadahnya itulah setelah hari kiamat yang akan ikut menentukan, apakah pahala atau hukuman yang akan diterimanya di akhirat. Yang beribadah dan bernasib baik akan diampuni dosanya dan masuk surga. Yang bersalah atau bernasib malang akan dimasukkan ke dalam neraka. Ringkasnya ketiga agama itu tidak saja menetapkan awal dan akhir manusia tetapi juga menetapkan jalan buat mendapatkan surga dan menghindarkan neraka.
Agama Hindu dan Budha mempunyai pengertian lain tentang awal dan akhir manusia itu. Budha, Sidharta Gautama, mengemukakan lima jalan untuk mendapatkan surga. Berbeda daripada tiga agama tersebut diatas, agama Budha lebih menggantungkan akhir manusia itu kepada tanggung jawab diri sendiri dan perbuatan diri sendiri.
Semua itu sudah kita ketahui. Mana yang betul tentulah terserah kepada masing-masing penganut agama itu sendiri. Yang benar menurut satu belum tentu benar menurut yang lain. Bagi saya agama itu tetap “eine Privatsache” atau kepercayaan masing-masing orang. Dengan majunya ilmu filsafat, logika, dan matematika maka ahli agama pun memakai ilmu ini buat menjelaskan sendi agamanya. Tetapi, yang jelas bagi penganut satu agama belum tentu jelas bagi penganut agama lain. Agama tinggal tetap sesuatu kepercayaan bagi masing-masing orang.
Seperti soal agama, maka soal filsafat juga banyak tergantung kepada sudut pandangnya. Tetapi bagi kami sudut pandang yang bisa berhasil memuaskan dan yang tepat, yang bsia memberi penyelesaian ialah soal yang sudah dimajukan oleh Fredrich Engels pada abad lampau. Menurut Engels, ahli filsafat bisa dibagi dua golongan, yakni golongan materialis dan golongan idealis. Di antara dua golongan besar yang merupakan dua-kutub yang saling bertentangan itu terdapatlah pelbagai golongan, yang kalau dikupas lebih dalam sebenarnya termasuk ke dalam salah satu golongan, materialis atau idealis. Ahli-ahli filsafat itu terpecah dua sebagai akibat pertentangan jawaban yang diberikan oleh mereka atas soal filsafat, yang berbunyi : “Manakah yang asal (primus) dan manakah yang turunan (derivative) diantara benda (matter) dan paham (idea)? Di alam raya terdapat soal benda dan kodrat yang menggerakkan benda itu. Di dalam jenis hewan soal itu berubah menjadi soal badan dan jiwa (nyawa-naluri). Di dalam jenis manusia, soal itu berubah-bertukar menjadi soal jasmani dan rohani-pikiran. Ahli filsafat bertanya, manakah yang asal, benda atau kodrat, badan atau jiwa, dan jasmani atau rohani?
Kaum materialis menjawab bahwa benda dan jasmani itulah yang asal, yang pokok : “Tak ada kodrat zonder benda. Manusia haruslah dapat makan, supaya dapat berpikir”. Syahdan sebelum manusia itu ada di bumi ini, maka bumi dan bintang itu sudah ada, kata kaum filsafat materialis.
Menurut kaum idealis, maka ide, kodrat atau rohani itulah yang asal (primus) dan benda jasmani itulah yang turunan (derivative). Kata idealis ekstrem, maka yang ada di alam raya ini cuma ide saja, yakni ide yang ada dalam otaknya ahli filsafat itu sendiri. Memang paham ini ada hubungannya dengan kekuasaan mahadewa Rah, yang mengisi dunia-kosong pada awal dunia ini dengan binatang, bumi, langit, sungai, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia dalam sekejap mata setelah kata “Ptah” difirmankan (lihat Madilog)
Bagaimanapun juga perbedaan paham itu, teranglah sudah bahwa ejekan yang ditujukan oleh kaum idealis kepada kaum materialis, bahwa kaum materialis cuma memikirkan makan-minum serta kesenangan hidup saja, tidaklah pada tempatnya sama sekali.
Bahwasanya setelah para ahli pikir Yunani mulai melepaskan diri dari tali pusat kepercayaan yang bersandar kepada dogma semata-mata, dan mulai kritis menghadapi alam raya kita ini, kita mengenal juga jawab yang diberikan oleh mereka itu. Mereka sampai kepada empat anasir asli, yakni tanah, air, udara dan api. Terkurung dalam rohaninya sendiri sebagai penyelidik alam raya ini serta terganggu oleh benda dan gerakan benda di luar pikirannya sendiri, maka Zeno, idealis Yunani, mengambil kesimpulan bahwa: “Gerakan (benda) itu cuma bayangan panca indera manusia saja (illusion of the sense)."
Pemikir ulung masyhur dari bangsa Yunani juga, yakni Plato setelah memakai cara berpikir yang memisahkan benda dengan kodrat, serta memisahkan jasmani dengan rohani, mendapat kesimpulan bahwa yang asal itu ialah ide-mutlak (absolute idea). Dengan cara berpikir yang abstrak, pilah-memilah (analisis), dia sampai kepada Dunia Logos, Dunia Roh. Banyak persamaan Logos Plato itu dengan Atma-nya Hindu.
Sebaliknya, seorang pemikir tandingannya yang dengan dua kakinya bersandar atas benda yang nyata, serta gerakan benda, yakni Heraklitos, mengucapkan kesimpulan yang sampai sekarang masih besar artinya bagi kita, yaitu :”Sesuatu itu ada dan tak ada karena semua itu cair, luntur, senantiasa berubah, selalu timbul dan lenyap”. Heraklitos mengakui adanya benda, bahkan memajukan hipotesis molekul, yang lebih dari dua ribu tahun kemudian baru dibenarkan oleh ilmu pengetahuan empirik. Lagi pula dalam pertentangannya dengan Zeno, Heraklitos mengemukakan bahwa gerakan, sebagai sifat benda dan yang menyebabkan benda, senantiasa mengalami perubahan (Nich ist, alles wird) menurut hukum gerakan, yakni Hukum Dialektika.
Di antara kaum di samping kedua golongan ahli filsfaat tersebut hidup raksasa pemikir Yunani, yakni Aristoteles. Sebagai seorang tabib yang senantiasa mengenal adanya benda dan jiwa, sebagai bapak dari beberapa ilmu, terutama ilmu hayat (biologi), maka Aristoteles memusatkan perhatiannya kepada suatu susunan, suatu sistem. Aristoteles lebih daripada Zeno dan Plato dalam memperhatikan benda. Tetapi hukum berpikir yang diutamakannya ialah hukum logika dan hukum dialektika yang dikemukakannya tidak sama dengan hukum dialektika yang dipakai oleh Heraklitos dan Demokritos.
Besar sekali pengaruh para ahli filsafat Yunani pada umumnya, serta pengaruh Aristoteles dan Plato khususnya terhadap masyarakat di zaman pertengahan, yakni masyarakat Islam dan Nasrani. Dunia filsafat Barat memuncakkan pujiannya pada Ibnu Rusyd, yang terkenal sebagai Averoes, atau Ariestoteles-nya bangsa Arab. Dan memang bendera filsafat Ariestoteles yang sudah terbenam ratusan tahun itu diangkat kembali oleh Ibnu Rusyd, diperbarui dan diserahkannya sebagai warisan masyarakat Yunani. Plato pun banyak mendapat penghargaan di masyarakat Islam dan Nasrani di zaman pertengahan. Pada kedua masyarakat itu kita kurang mendengar nama Heraklitos dan Demokritos. Tetapi mungkin pengaruhnya juga cukup besar atau lebih besar daripada keterangan sejarah yang diwariskan kepada kita.
Masyarakat Islam di Abad Pertengahan mengenal satu golongan pemikir yang dinamai Mu’tazilah. Mereka terdapat di kota-kota besar kerajaan Islam dan dianggap ilegal sebagai pemberontak, sebagai anarkis dan ateis. Keterangan lebih lanjut tentang paham dan kehidupan mereka tidaklah sampai kepada kita, selain daripada bahwa mereka itu dianggap murtad oleh agama resmi. Ibnu Rusyd sendiri, kalau saya tidak salah adalah seorang Mu’tazilah dan kebebasan pahamnya itu sangat ditakuti oleh para pendeta di Eropa, sehingga para murid Eropa (Nasrani) yang kembali dari Spanyol Islam ke Eropa itu sangat diawasi gerak-geriknya. Tetapi tidak mengherankan kalau mereka kaum Mu’tazilah adalah Murba-Kota yang berpaham revolusioner dan penganut materialisme dialektis walaupun masih serba sederhana (rudimentary).
Tidaklah mengherankan kalau di Eropa Barat di zaman pertengahan itu, kita sedikit sekali mendengar nama Heraklitos dan lebih banyak mendengar nama Plato dan Ariestoteles.
Hidup amat sukar sekali bagi kaum budak-serf di zaman pertengahan Eropa Barat itu. Hawa yang dingin, kabut yang tebal, alat yang serba sederhana, ringkasnya kesengsaraan hidup lantaran pemerasan dan tindasan yang kejam atas budak-serf oleh kaum ningrat dan pendeta, tidaklah memberikan kesempatan mereka memikirkan soal filsafat. Soal ini diserahkan kepada para pendeta yang tinggal di pekarangan gereja yang besar, dikelilingi oleh pohon dan dilayani oleh rakyat budak disekitarnya. Terpisah dari masyarakat pekerja seperti Logosnya Plato, terpisah dari benda yang kasar fana itu, maka para rahib dan pendeta mendapat kesempatan penuh untuk menguji filsafat Plato dan Ariestoteles. Logos dan rohani mutlak Plato cocok benar dengan sifatnya God (Tuhan) yang berada lepas dari segala-galanya dan berada di atas segala itu. Paham mereka, para rahib dan pendeta, merupakan pelaksanaan Logos dan God itu di duniawi ini.
Klasifikasi Ariestoteles, tentang tumbuhan, hewan dan lain-lain yang terpisah dari tumbuhan dan hewan yang sesungguhnya sangat digemari oleh schoolmen, scholasticus, ahli buku, di Abad Pertengahan. Karena ahli buku yang memang hidup terpisah dari Murba itu, memisahkan diri pula dari hewan dan tumbuhan yang sesungguhnya! Demikianlah pengetahuan buku ahli filsafat di Abad Pertengahan itu tergantung di awang-awang saja, seperti hidupnya sendiri terpisah dari rakyat Murba yang sesungguhnya, yang menghasilkan semua kebutuhan hidup para ahli filsfaat di Abad Pertengahan itu.
Dari tahun 500 SM sampai tahun 1500 M, maka filsafat masih bersandar kepada agama dan ilmu pengetahuan empirik yang sederhana. Kaum idealis masih memakai kepercayaan agama sebagai premis (bukti-dasar) dalam pembentukan sistem (karangannya). Tetapi kaum materialis tidak lagi memakai anasir kepercayaan agama itu sebagai premis. Mereka ini memakai bukti yang nyata saja sebagai premis.
Keduanya, idealis dan materialis mempergunakan matematika, ilmu alam dan ilmu hayat yang sederhana sekali dalam penjelasannya. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan empirik, maka kian ditinggalkan penjelasan yang berdasarkan kepercayaan yang tak dapat dibuktikan itu (petitio principi).
Di sekitar zaman Revolusi Perancis, maka ilmu pengetahuan empirik sudah jauh sekali mendapat kemajuan, kalau dibandingkan dengan zaman Plato, Heraklitos dan Aristoteles. Di Perancis kita mengenal raksasa matematika dan ilmu-ilmu alam (physic) serta mekanika seperti Maupertuis, Clairut, D’Alembert, Lagrage, Laplace, Fourier, Carnot, Pascal dan lain-lain. Di Inggris bangkit seorang raksasa matematika ilmu alam dan fisika, yakni Isaac Newton. Dalam dunia ilmu Kimia hadirlah seorang berkebangsaan Perancis bernama Lavoiser yang menyusun secara sistematis ilmu kimia, yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari pemikiran Ibnu Sina, ahli kimia Arab!
Sedangkan Cuvier mengembangkan pemikiran Aristoteles. Perbandingan Phytagoras dilanjutkan oleh Newton, begitu juga pemikiran Archimedes oleh Pascal. Masih banyak yang bisa disebut, namun itu semua ibarat memperbandingkan anak bayi dengan orang dewasa.
Tidaklah mengherankan kalau kemajuan ilmu pengetahuan empirik, yang telah membikin jarak zaman kuno dan Abad Pertengahan seolah-olah puluhan ribu tahun lamanya itu memberikan bahan yang tidak ternilai pada ahli filsafat. Tetapi para ahli filsfaat tetap terpecah dua, yakni golongan idealis dan materialis. Bahkan masing-masing golongan itu mempergunakan kemajuan ilmu pengetahuan empirik itu sebagai penjelasan (proof) kebenaran masing-masing teori mereka.
Di Inggris muncul dua ahli filsafat yang terkemuka, yakni pendeta Berkeley dan David Hume. Berdasarkan atas kerohanian si pemandang, maka David Hume dengan tekad konsekuensi seorang ahli filsafat berkata bahwa setelah final analysis (kupasan terakhir) maka segala yang ada dalam alam raya ini tidak lain hanyalah a bundle of conceptions (gabungan paham) tentang alam raya itu. Bahkan Hume mengatakan bahwa “kamu-pun” buat dia (Hume) hanyalah satu “gambaran” dalam otak Hume semata-mata. Sesungguhnya dengan begitu maka Hume meniadakan dirinya sendiri. Karena kalau Hume mengatakan bahwa orang lain, buat dia cuma satu “gambaran” dalam otak Hume saja, maka orang lain itu pun bisa berakat bahwa Hume sendiri tidak akan ada bagi orang lain itu saja, selain daripada satu gambaran dalam otak orang lain itu saja. “Kamu” buat Hume adalah “saya” buat orang lain itu. Sebaliknya “saya” buat Hume adalah “kamu” buat orang lain itu.
Imanuel Kant ahli filsafat Jerman yang banyak dipengaruhi oleh David Hume tidak berani menarik kesimpulan nekat layaknya David Hume itu. Kant berdiri ditengah-tengah! Dia tidak bisa meniadakan yang ada di alam raya ini. Tetapi selain mengakui yang ada itu, dia lari pula kepada “Ding An Sich” “benda pada dirinya sendiri”, yang belum diketahuinya. Dengan hadirnya Imanuel Kant di Jerman, maka timbul-tumbuhlah juga filsafat idealisme yang kemudian diteruskan oleh para ahli seperti Fichte dan Hegel.
Berkeley dan Hume, kedua ahli filsafat idealis Inggris di sekitar revolusi borjuis itu mendapat kritikan yang keras sekali dari ahli filsafat materialis Perancis yang termashur seperti Diderot dan Lamartine. Bersandarkan matematika, ilmu alam dan fisika yang maju pesat pada masa itu, maka mereka meniadakan kemahakuasaan kerohanian di alam raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan kerohanian di alam raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan Matter in move, benda bergerak. Seolah-olah manusia tak memiliki daya berhadapan dengan benda dan hukum gerakan benda di alam raya ini. Manusia itu adalah mesin yang pasif, menerima saja. Kalau ada kodrat penggerak bergeraklah dia, kalau tidak berhentilah dia. Jadi seperti mesin yang pasif, penerima itu, demikianlah pula manusia itu takluk tanpa syarat apa-apa kepada alam disekitarnya. Materialisme yang semacam ini kami namai Mechanical-matterialism, yakni materialisme yang menganggap manusia itu seperti mesin yang menerima nasibnya dari kodrat yang ada di luar dirinya saja. Seolah-olah manusia itu tidak berdaya untuk mengubah suasana dan keadaan alam disekitarnya. Rupanya masih ada sisa semangat lama yang melekat pada semangat kaum materialisme mekanis itu. Seperti manusia sederhana merasa tak berdaya terhadap takdir Tuhan, demikian pula kaum materialis di masa Revolusi Perancis merasa tidak berdaya terhadap kebendaan itu (mechanism of matter).
Suara ahli filsafat materialisme, seperti juga suara ahli filsafat idealisme bisa diterima dengan baik di kalangan pemikir Jerman. Ludwig Feurbach, seorang profesor Jerman, mengadopsi filsafat materialisme dari Perancis, tetapi terutama yang menyangkut pada apa yang dinamakan menschalische taotigkeit (perbuatan manusia). Marx dalam 11 tesis bantahan terhadap Feurbach, menyatakan bahwa pemikiran Feurbach itu menyangkut “Perbuatan manusia itu pada idealisme”, sedangkan bagi Marx “Perbuatan manusia masuk ke dalam golongan kebendaan”. Setelah Feurbach dipecat oleh kaum borjuis dari pekerjaanya sebagai mahaguru lantaran dianggap terlampau radikal, maka feurbach terpaksa hidup terpisah di desa Jerman dan kian hari kian luntur dalam pandangan revolusioner dan dalam cara berpikir menurut cara dialektika materialistis.
Pemikiran yang bersandar kepada dialektika dilanjutkan oleh Marx dan teman sezamannya, yakni Frederich Engels. Di samping pujangga, kedua orang ini adalah ahli dan penggemar matematika yang kerap mempergunakan utopis sosialisme Perancis dan Inggris. mereka juga memanfaatkan teori Evolusi dari Charles Darwin, serta teori ekonomi Adam Smith dan David Ricardo dalam pembentukan teori mereka. Dengan mendapatkan cause atau lebih tepat condition (keadaan), yakni sebab kemajuan masyarakat itu, maka sosialisme, yang berdasarkan impian (utopia) seperti dicetak oleh Thomas Moore, Saint Simon, Fourir, dan Robert Owen, berubah menjadi scientific socialism, yakni sosialisme ilmiah. Adapun yang dianggap menjadi sebab (cause) perubahan, termasuk perubahan masyarakat, dari tingkat ke tingkat itu ialah perubahan sistem produksi ilmu sejarah yang didasarkan pada benda yang nyata dinamai historical materialism (materialisme sejarah), yakni teori materialisme tentang sejarah. Pandangan hidupnya yang berkenan dengan kebendaan yang bergerak itu dinamai juga Materialisme Dialektis.
Disebut materialisme karena matter, bendalah yang dianggap primus, pokok, asal di alam raya ini. Disebut pula dialektis karena cara menghampiri soal benda serta kejadian di alam raya ialah dalam keadaan bertentangan dan bergerak, yakni dalam keadaan timbul, tumbuh, dan tumbang.
Setelah Marx dan Engels mendapatkan cause atau condition, sebabnya dari perubahan dan pertukaran sesuatu masyarakat manusia itu, maka berubah-bertukarlah pula sejarah manusia, dari satu kebetulan, dari satu nasib yang tiada bersebab dan tiada pula mengakibatkan sesuatu yang nyata, menjadi sesuatu peristiwa yang berpangkal, berujung, bersebab dan berakibat. Dengan begitu, maka berpindahlah pula ilmu sejarah itu dari dunia-gaib ke dunia nyata. Demikianlah asal dan tujuan, serta lakonnya suatu masyarakat itu mulai dapat diselami oleh akal. Setelah segala kebendaan dan semua gerakannya dalam alam raya ini dipecah-pecah, dikupas, diselidiki, dan dipastikan hukumnya semenjak ahli filsafat Yunani, maka berubah bertukarlah pula filsafat, yang berbunyi what does this all mean (apakah arti semuanya ini), menjadi soal kaum ahli ilmu pengetahuan empirik yang mengupas, menyelidiki serta membentuk pelbagai ilmu pengetahuan empirik.
Tepat juga kesimpulan Engels yang mengatakan bahwa dalam perkembangan ratusan tahun itu, maka ilmu filsafat sudah berpecahan dan berpisahan menjadi ilmu pengetahuan empirik, Wissenschafft, Science, yakni pelbagai ilmu tentang sejarah dan pelbagai ilmu tentang alam raya (natura). Sisa dari filsafat itu menurut Engels, ialah logika dan dialektika.
Kembali lagi kita kepada ilmu pengetahuan empirik awalnya, ke zaman Yunani dan dari sini secepat kilat kita berlari ke zaman modern. Kemudian dapatlah kita menoleh sebentar kepada logika dan dialektika yang oleh Engels disebut sebagai sisanya filsafat itu.
Syahdan, dalam kurang lebih 2500 tahun perantauannya, maka sains, ilmu pengetahuan empirik, yang dianggap sebagai anak dari filsafat dan cucu dari agama, yang sampai sekarang sebagian besarnya belum lagi lepas dari ari-ari (tali pusat) ibu dan neneknya, ilmu pengetahuan empirik tentang alam raya –dunia terbesar yang tidak tampak semuanya karena besarnya itu- sudah sampai ke dunai terkecil yang tidak tampak oleh mata, karena kecilnya. Satu ‘universe’ (alam) yang dapat ‘universe’. Kini kita mengenal adanya planet-planet dan tatasurya lain. Kita juga mengenal alam molekul dan atom Molekul dan atom yang tercipta dalam hipotesis atau dugaan kedua materialis dialektis, Heraklitos dan Demokritos itu sekarang bisa dibuktikan oleh mata dengan bantuan teropong. Bahkan ilmu pengetahuan empirik sudah sampai kepada benda yang lebih kecil lagi. Atom yang semula diduga tak dapat dibagi-bagi lagi itu ternyata masih bisa dibagi menjadi dua, yakni proton dan elektron. Seperti bumi dan matahari; seperti satu tatasurya lainnya; seperti universe dengan universe lain di alam raya ini diikat oleh kodrat Tolak dan Tarik (repultion dan atraction), yang boleh dikatakan masih termasuk jenisnya kodrat tesis dan anti tesis dalam dialektika, maka demikian juga dua dunia terkecil tadi, yaitu proton dan elektron tadi, diikat oleh kodrat Tolak dan Tarik menjadi satu atom satu sintesis atom. Ringkasnya sintesis dari proton dan elektron adalah atom; sintesis atom dan atom ialah molekul; sintesis molekul dan molekul yakni badan; sintesis dari bumi dan matahari ialah tatasurya, sintesis dari satu tatasurya dengan tatasurya lainnya serta akhirnya satu ‘universe’ dengan ‘universe’ lainnya, ialah alam raya kita ini.
Dalam 2500 tahun ini, menurut dialektika dan hukumnya tesis, anti tesis, dan sintesis, maka otak manusia sudah mengenal alam terbesar, yakni alam raya kita dan alam terkecil ialah elektron dan proton tadi.
Entah sampai mana ilmu pengetahuan empirik bakal bercabang lagi!
Kalau kita pergunakan logical division (pembagian logika) atas ilmu pengetahuan empirik, maka kita memperoleh dua kelas, yakni yang masuk kelas sejarah dan yang masuk kelas alam. Maka ilmu pengetahuan empirik mengenai sejarah manusia itu sudah terpecah-pecah pula menjadi ilmu kemasyarakatan (sosiologi) dan sejarahnya, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu kesusasteraan dan lain-lain. Ilmu pengetahuan empirik yang mengenai alam raya ini sudah terbagi sudah menjadi ilmu bintang, ilmu alam (phisic), ilmu kimia, ilmu listrik dan lain-lain. Disamping itu kita kenal pula ilmu matematika yang bukti dasarnya berlandaskan barang ciptaan seperti angka (number) dan huruf (letter). Kita kenal ilmu ukur, ilmu hitung, aljabar, trigonometri dan sebagainya.
Perpecahan ini tidak hanya dalam cabang besarnya saja, tiap-tiap cabang itu sudah terpecah-pecah juga. Cermati saja berapa banyak ahli yang sudah terdapat dalam ilmu kedokteran. Kita mengenal ahli gigi, ahli telinga, ahli hidung, ahli rambut dan lain-lain. Ambillah juga contoh dari cabang ilmu hukum yang sudah terbagi juga atas beberapa ranting seperti ilmu hukum undang-undang dasar (constitutional laws), ilmu hukum tata negara (laws of nation) hukum sipil (civil laws) dan hukum kejahatan (criminal laws).
Besar sekali bahayanya kalau orang yang ahli dalam suatu cabang ilmu pengetahuan empirik tidak lagi mengenal hubungan ilmunya dengan berlusin-lusin ilmu lain sehingga dia hidup terpisah oleh keahliannya itu. Tegasnya adalah bahaya kalau seorang dokter ahli rambut hilang lenyap dalam haarklovery-nya saja dan melupakan hubungan rambut itu dengan seluruh bagian tubuh yang lain dan seluruhnya kesehatan manusia. Tak kurang juga besar bahaya kalau seorang ahli kejahatan, kriminolog, memandang kejahatan dari sudut tingkah laku seseorang saja, seolah-olah dia lupa bahwa perbuatan orang yang hidup dalam masyarakat itu conditioned tergantung pada pelbagai keadaan di dalam dan luar dirinya sendiri; tergantung kepada gerakan jiwa yang berseluk-beluk dan berkenaan pula dengan keadaan ekonomi-politik, sosial dan kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri.
Berhubung dengan bahaya keterpecahan, keterpisahan, keterasingan itulah maka kuat sekali arusnya satu aliran dalam dunia ilmu pengetahuan empirik untuk mengkoordinasi, menghubungkan kembali pelbagai ilmu pengetahuan empirik untuk mengkoordinasi, menghubungkan kembali pelbagai ilmu yang terpecah-belah karena kemajuannya sendiri itu! Seperti sudah lebih dahulu saya sebutkan, inilah rupanya yang dimaksudkan seorang scientis ternama dengan weaving up general principles sebagai tafsiran dari filsafat modern.
Tidaklah mungkin, tetapi tidak juga perlu disini kita menghampiri dan menafsirkan isi semua atau sebagian pun dari pelbagai cabang pengetahuan itu. Sudahlah cukup kepentingan kita disini, mencoba menafsirkan maksud ilmu pengetahuan empirik, cara ilmu pengetahuan empirik memperoleh maksudnya. Serta bahan yang dipakainya dan akhirnya semangat yang dikandungnya buat mencapai maksudnya itu.
Salah satu kalimat yang lazim dipakai buat mendefinisikan (menetapkan) maksud ilmu pengetahuan empirik ialah : simplification by generalization atau mempermudah dengan memasukkan sesuatu yang dipelajari itu ke dalam sesuatu yang sudah lebih dikenal atau memasukkan yang belum dikenal itu ke dalam yang sudah lebih dikenal.
Kalimat lain yang juga biasa digunakan untuk mendefinisikan maksud ilmu pengetahuan empirik berbunyi : the organization of facts (menyusun segala bukti). Formula ini saya rasa amat praktis. Berhubung dengan inilah pula, maka sains itu saya terjemahkan dengan ‘ilmu bukti’.
Tetapi tidak pula kurang praktisnya formula yang lain, yang juga dipublikasikan di dunia ilmu sebagai maksud sains, yaitu to estabish laws and system, untuk membentuk hukum dan sistem.
Sekian tentang maksud ilmu pengetahuan empirik.
Tentang caranya mendapatkan maksud itu, ialah dengan cara logika, klasifikasi, statistik dan ukur-mengukur serta timbang-menimbang. Sering juga dipakai cara dialektis. Dalam logika kita berurusan dengan apa yang dinamakan induksi, deduksi dan verifikasi. Dalam matematika kita berurusan dengan apa yang disebut metode sintetik, analitik dan reductio ad absurdum. Kedua ragam cara berpikir dalam logika dan matematika itu tiada berapa bedanya. Di tempat lain saya sudah uraikan perkara itu lebih lanjut, yaitu dalam buku Madilog. Di sini saya cuma hendak menyebutkan sambil lalu saja caranya kaum scientis itu mendapatkan maksudnya, yaitu mendapatkan hukum dan sistem itu (laws and systems).
Bahan atau bukti yang dipergunakan oleh kaum ahli ilmu pengetahuan empirik itu diperoleh dengan jalan observation (pengamatan) atau experiment (praktek). Jalan experiment lebih banyak mendapatkan hasil. Karena dengan jalan pengamatan penyelidik cuma pasif, berdiam diri dan mengamati saja, sedangkan dengan jalan praktek si penyelidik boleh memindahkan barang dari tempat ke tempat dan mencampurkan pelbagai benda menurut maksud yang dituju. Sedangkan si pengamat cuma bisa mengamati hidup dan sifatnya masing-masing tumbuhan atau hewan di masing-masing tempatnya, tetapi si pelaksana praktek dapat mengawinkan tumbuhan maupun hewan untuk mendapatkan jenis yang baru, yang lebih besar, lebih kuat dan lebih sehat.
Alangkah pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan empirik semenjak Galileo. Pada permulaan abad ke-17 Galileo mengadakan experiment-nya di menara kota Pisa. Boleh dikata experiment itu telah membuka pintu untuk mendapatkan kekayaan alam yang tak ada batasnya bagi umat manusia. Dari empat anasir yang dikenal oleh Yunani asli, yakni tanah, air, udara, dan api maka ilmu kimia sekarang saja sudah mengenal 92 elements (anasir)
Akhirnya, dan tidak juga kurang pentingnya maka semangat objectivity (tidak melibatkan subyektivitas, termasuk emosi dan kepentingan) di samping semangat adventure, dalam arti sanggup meloncat dari dunia bukti ke dunia hipotesis dan teori adalah satu sine qua non bagi seorang sciencetis. Seorang ahli yang cuma tetap berada dalam dunia bukti saja dan tak sanggup melepaskan bukti-bukti itu supaya bsia melayang ke dunia hipotesis dan teori, tidaklah akan sanggup membentuk laws and systems seperti maksud science. Mereka akan tetap tinggal pada dunia bukti saja.
Kurang tepat kalau dikatakan bahwa masyarakat Timur, di luar Arab tidak mengenal ilmu pengetahuan empirik. Kurang tepat jika disebut bahwa India, Tiongkok dan lain-lainnya cuma mengenal agama dan filsafat saja dan tidak mengenal science, ilmu pengetahuan empirik. Konon kabarnya bapak ilmu ukur (geometri) itu adalah seorang Hindu asal Birma dan katanya juga India lama sudah mengenal aljabar. Juga Tiongkok sudah mengetahui bagaimana membuat lingkaran, walaupun tidak memkai rumus P.R yang kita kenal. Tak ada yang tak akan terkagum-kagum dan terpengaruhi oleh logikanya mahaguru Kung (Confucius) kalau membaca sistem kekeluargaan dalam empat bukunya. Tak ada pula orang yang tak akan terpesona mengikuti cara dialektis yang dipergunakan oleh mistikus maha guru Lao Tze, apa bila dia menjelaskan pahamnya. Saya sendiri berkali-kali mengagumi kemajuan obat orang Tionghoa. Bahkan dalam meramalkan hari depan, sehubungan dengan hujan, panas, angin ribut dan topan sering kali saya menyaksikan keulungan pawang Tionghoa (biasanya para rahib) di atas ilmu pengetahuan empirik Barat dengan weather forecast, weerbericht atau ramalan cuacanya. Dan bukankah pengetahuan percetakan, bubuk mesiu dan kompas diwariskan oleh Tiongkok ke dunia Barat melalui Arab?
Namun semua yang disebut itu tidak lantas menyatakan bahwa masyarakat Tiongkok asli sudah sampai ke tingkat science, seperti masyarakat Yunani 500 tahun SM. Mahaguru Kung walaupun logis berpikir belum sampai kepada tingkat membentuk logika sendiri, yakni memisahkan hukum berpikir itu dari process (lakonnya) berpikir itu sendiri. Mahaguru Lao belum pula dapat menarik hukum dialektika dari proses berpikir, yang memang dialektis. Demikian juga tukang ukur, ahli kedokteran, dan ahli cuaca di Tiongkok belumlah sampai ke tingkat memisahkan, hukum ilmu ukur, hukum kedokteran dan kimia dari proses ukur-mengukur, obat mengobat dan memisahkan hukum gerakan udara daripada proses yang berlaku di udara. Kung tzu memakai logika itu cuma menurut nalurinya (instinct) saja! Begitu juga Lao tze mempergunakan dialektikanya. Dan cara mencatatnya pun itu semua dalam bentuk ingatan analogi saja. Demikianlah tukang ukur, ahli obat dan ahli keadaan cuaca di Tiongkok menjalankan prakteknya. Mereka tak pernah lepas dan melompat lalu melambung ke dunia hukum. Di sinilah kelebihan hukum dan pengetahuan yunani daripada dunia India dan Tiongkok. Rupanya kodrat pendorong di India dan Tiongkok berupa sistem produksi, cara menghasilkan dan membagikan hasil, tiada berapa majunya semenjak kurang lebih empat ribu tahun! India terpaku pada sistem kastanya. Tiongkok terpaku pada dunia feodal yang mengakar kepada sistem kekeluargaan. Terpaku kepada teknik, sosial, ekonomi, politik serta kebudayaan yang berlainan coraknya dengan sistem yang ada di Eropa Barat, seperti huruf alfabet (a,b,c) belum lagi lepas dari gambaran suatu pengertian menurut sistem menulis di Tiongkok (Han-dji). Begitulah juga hukum ilmu pengetahuan empirik belum lagi lepas-terpisah, melompat-melambung keluar dari bukti itu sendiri.
Dengan demikian maka patutlah kita memberikan piala kehormatan ke tangan bangsa Yunani sebagai pelopor ilmu pengetahuan empirik modern. Dalam arti tulisan dan lisan memang Archimedes melompat dan melambung dari dunia bukti nyata ke dunia hukum atas bukti yang nyata.
Sekian lama Archimedes bertanya kepada dirinya sendiri tentang mengapa dan bagaimana badannya bisa melambung ke atas, kalau dia mencemplungkan dirinya ke dalam air, ke dalam sembarang air di sembarang tempat. Akhirnya dia mendapatkan ilham dan pertama kali menetapkan, sebab dan akibat, yang dicarinya itu. Archimedes mendapat hukum, tentang benda yang terbenam, melayang dan mengapung dalam air, yang sekarang kita jadikan pelajaran di sekolah. Dalam kegembiraannya Archimedes tidak saja melompat keluar dari air dan berteriak-teriak Eureka, Eureka (saya dapat) ke sana kemari melupakan pakaian tetapi ia sudah melompat melambung dari dunia benda ke dunia hukum. Hukum yang pertama sekali ditetapkan itu kian tahun kian mengembang dan melambung. Hukum tadi dilaksanakan pada semua tempat dan semua waktu, sampai salah seorang pengikutnya menemukan air raksa (kwik). Barang biasa seperti kayu tidak terbenam di dalam air raksa melainkan terapung. Nyatalah di belakang hari, bahwa bukan Hukum Archimedes yang salah melainkan formulanya masih kurang luas. Hukum Achimedes bahkan mendapatkan verification (pembuktian), lantaran bukti baru (air raksa) tadi. Kini air diperluas daerahnya, yakni mengenai minyak, air raksa dan lain-lain atau mengenai semua yang cair. Orang atau kayu diperluas pula daerahnya menjadi semua benda. Hukum Archimedes tumbuh dengan subur sampai kepada Gay Lusac dan lain-lain. Sampai dilanjutkan ke udara, ke strastosphere, ke mana Prof. Piccard melambung mencari pengesahan alam. Merantaulah Piccard ke dunia yang belum di alami, ke dunia yang cuma dianggap benar menurut hipotesis saja! Merantau berpetualang dari alam terkenal ke alam yang belum di kenal, seperti Columbus, Ronald Amunsen dan lain-lain para ahli penjelajah samudra!
Dengan begitu sempurnalah cara induksi, deduksi, verifikasi yang diutamakan oleh logika dan ilmu pengetahuan empirik itu. Dan lebih sempurnalah pula mencari sebab, yakni dengan lima jalan yang sudah dikenal :
Sejarah menceritakan kepada kita bahwa Pytahogras tidak tinggal menguji (to prove) sudut siku yang kita kenal. Selain pertama sekali menegakkan teori dan cara menguji teori, Pythagoras pun cocok dengan suasana zamannya mengangkat angka dan teorinya itu ke dunia gaib. Banyak angka yang dianggap sakti oleh mahaguru Pythagoras. Dengan demikian maka Pythagoras mempengaruhi dunia keagamaan, dunia filsafat dan yang berkenaan dengan uraian kita disini, yakni dunia matematika. Dipelopori oleh Pythagoras, kita setelah 2500 tahun ini sampai kepada pelbagai teori matematika yang sulit seperti teori relativitas Einstein, melalui para ahli matematika raksasa seperti Fermat, Laplace, Newton dan lain-lain. Dan dalam semua kebesaran dan jasa para ahli matematika itu, sekali-kali tidak dapat kita lupakan kebesaran dan jasa para ahli Islam yang melakukan pemilahan (abstraction) yang lebih tinggi. Angka yang dipakai sebagai simbol (lambang) benda sudah dipisahkan dari sembarang benda. Angka 3 boleh menjadi lambang dari tiga prajurit, tiga bomber ataupun tiga bambu runcing. Tetapi Aljabar naik setingkat lagi mengangkat huruf menjadi lambang. Huruf X umpamanya boleh mewakili angka 1,2,3 dan seterusnya. Tanpa Aljabar tidaklah mungkin kita sampai kepada teori trigonometri dan relativitas Einstein. Teknik Aljabar memungkinkan atau sekurangnya sangat memudahkan kemajuan matematika. Pelambungan benda ke angka dan pelambungan angka ke huruflah yang memberi pesawat kepada Einstein dan Newton supaya mudah melambung ke dunia bintang di langit dan mengukur segala kodrat yang bergerak di alam raya ini, dari gerakan pasir, batu, bumi, matahari sampai ke gerakan atom dan sinar matahari yang laju 300.000 km dalam sedetik!
Dikatakan oleh beberapa ahli bahwa klasifikasi yang dilakukan Ariestoteles dibekukan oleh pengetahuan di Abad Pertengahan. Ucapan semacam itu tidak boleh diterima begitu saja. Haruslah diperiksa bagaimana keadaan produksi dan masyarakat di Abad Pertengahan itu membekukan klasifikasinya Aristoteles. Tetapi yang nyata ialah klasifikasi yang banyak dipergunakan oleh Aristoteles dalam ilmu hayat (biologi) itu menjadi perkakas yang penting, disamping dialektika, bagi pelopor biologi modern, yakni Charles Darwin. Di masa Darwin bertualang dengan kapal Beagle-nya mempelajari jenisnya (species) tumbuhan dan hewan, di daratan, lautan dan udara Darwin tak lepas dari cara klasifikasi, induksi, deduksi dan cara menetapkan sebab yang dibentuk oleh Aristoteles dalam logikanya. Memang permulaan abad ke-19 adalah abad yang sanggup mengangkat kembali ilmu yang hidup yang sudah dipelopori oleh Aristoteles. Ilmu yang dirintis oleh raksasa pemikir Yunani itu sempat terhenti di zaman tengah dan di belakangnya, karena produksi, teknik dan ilmu umumnya belum lagi mengizinkan kebangkitannya kembali untuk maju dengan pesat cepat, seperti setelah sampai ke tangannya Charles Darwin yang hidup dalam kandungan masyarakat kapitalisme modern.
Demikian juga lebih dari 2000 tahun teori molekul dan atom serta tafsiran materialisme dan cara berpikir dialektis dari Heraklitos, Demokritos dan Epicurus harus beku terpendam menunggu masyarakat dan produksi yang cocok serta para ahli yang pantas seperti Marx, Engels, dan Lenin yang sanggup membangkitkan teori, tafsiran dan cara yang telah lama beku terpendam itu buat dilanjutkan dan disempurnakan.
Sekianlah di sini tentang ilmu pengetahuan empirik!
Serba sedikit juga di sini akan diuraikan tentang logika dan dialektika.
Isi, bagian, sifat, sejarah, daerah serta batas logika, seperti juga isi, bagian, sifat, sejarah, daerah dan jenisnya dialektika, sudah kami uraikan juga dengan panjang lebiar dalam buku Madilog. Di sini akan kami bentangkan perbedaan dan daerah masing-masing dari kedua cara berpikir itu secara garis besarnya saja. Lagi akan kami singgung pula dua jenis dialektika, yakni dialektika idealistis dan dialektika materialistis.
Dunia mengakui Aristoteles sebagai bapak logika. Dialah yang pertama kali membentuk logika, yakni cara berpikir sebagai suatu ilmu yang terpisah. Pembentukan itu sudah sampai begitu sempurna, sehingga bolehlah dikatakan bahwa dari zaman Aristoteles sampai ke zaman John Stuart Mill dan Ueberweg, logika itu tidak banyak lagi mengalami perubahan penting. Boleh dikatakan bahwa dalam segala cabang ilmu pengetahuan maka logika itu tidak dapat disingkirkan ataupun diabaikan zonder menderita kegagalan atau kekurangan di pihak ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dialektika di tangan Heraklitos dan demokritos sudah sanggup menyelami dunia benda sampai ke molekul dan atom yang tidak kasat mata dan baru bisa dilihat dengan mikroskop di zaman modern. Tetapi dengan majunya pengetahuan tentang semua benda dan gerakan benda maka dialektika sebagai hukum berpikir yang berdasarkan benda dan gerakannya mendapat dorongan yang belum pernah dialaminya di dunia lampau, di dunia statis, berhenti dan pasif tadi.
Di tangan Hegel, pemimpin aliran borjuis demokratis Jerman yang menentang feodal-autokratis, maka dialektika idealistis melambung setinggi-tingginya. Di tangan Marx dan Engels sebagai pemimpin aliran proletaris-komunis Eropa Barat yang menentang kapitalis demokratis, dialektika materialistis menjadi perkakas berpikir kaum revolusioner-proletaris bagi seluruh dunia.
Di tangan kaum Bolsyewik Rusia cara berpikir dialektika materialis dapat membentuk satu partai Murba yang sanggup menghancur leburkan feodal borjuis Rusia dan mendirikan diktatornya kaum Murba Rusia.
Syahdan logika itu sering juga ditafsirkan sebagai hukum berpikir, atau cara berpikir. Itu tafsiran yang sah.
Adakah perbedaan dan apakah perbedaan kedua hukum berpikir itu? Sepintas lalu saja, saya pikir, perbedaan antara kedua hukum berpikir itu, terutama sekali terletak pada cara menempatkan (barang) yang diselidiki oleh penyelidik.
Pemakai logika menempatkan sesuatu yang diperiksa itu dalam keadaan berhenti (static), terpisah (distinct), tak berubah-ubah (unchangable) dan kekal. Sesuatu itu harus diselidiki satu persatu, terpisah-pisah dan dianggap tak berhubungan dan berkenaan satu dengan lainnya sesuai waktu dan tempat.
Pemakai dialektika menempatkan sesuatu yang diselidiki itu dalam keadaan bergerak (movement), berhubungan (connection), berubah-berubah (change) dan bertentangan. Sesuatu itu harus diselidiki dalam gerakan, pertentangan, timbul-tumbuh dan tumbangnya dalam suatu waktu pula.
Bagi seorang pemakai logika dalam menghadapi suatu soal dalam keadaan itu, maka dalam jawabannya, “ya itu adalah ya dan tidak itu tidak. Ya itu tidak boleh tidak dan tidak itu tidak boleh ya”. Satu sama lainnya bertentangan, tak bisa liput-meliputi. Seperti kata Ueberweg :”Pertanyaan yang pasti dalam arti yang pasti pula, yakni apakah suatu sifat tertentu dimiliki oleh suatu barang, harus dijawab dengan ya atau tidak. Tidak boleh dijawab dengan ya dan tidak”. Tiga premis pokok bagi logika adalah : Pertama A itu = A; kedua A itu bukannya Non A; dan ketiga tak ada jembatan antara A dan Non-A (tiga premis pokok ini disebut juga ‘prinsip identitas’).
Berhubung dengan tiga premis pokok tersebut maka sesuatu (barang) itu masuk jenis A atau masuk jenis Non-A. Dan suatu kesimpulan yang satu dengan yang lainnya bertentangan, tak bisa benar kedua-duannya.
Contoh :
Apakah warna sapi itu hitum atau putih jika dipandang dari sebelah kiri ini?
Memang jika hanya satu atau terbatas warna yang dimiliki oleh benda yang tak bergerak, pertanyaan semacam itu dapat dijawab dengan hitam atau putih saja. Umpamanya sebagian dari sapi itu dipandang dari kiri putih, bukannya hitam. Dan kalau dipandang dari sebelah kanan maka sapi itu sebaliknya, yakni hitam bukannya putih.
Jadi jawabannya boleh cocok A=A itu bukannya Non-A.
Tetapi apakah jawabannya, kalau orang bertanya :
Apakah warna sapi itu seluruhnya hitam atau putih?
Pertanyaan itu sudah tak dapat lagi dijawab dengan putih saja atau dengan hitam saja.
Tetapi disini dialektika bisa melangkah masuk dan ikut campur memberi jawaban sebagai berikut :
Seluruh sapi itu ya putih ya hitam. Atau dengan perkataan lain :
Sapi itu belang.
Belum lagi sapi itu menjalani sepanjang umurnya, yakni sejak masa bayi sampai ia menjadi dewasa, ketika warnanya sering mengalami perubahan. Dan belum lagi sapi itu digerakkan dengan kecepatan sinar, yaitu 300.000 km sedetik. Dalam hal ini, maka belum tentu warna belang itu bisa memadai. Bukankah pada masa perang dunia kedua penipuan warna (aberation, aberratie) itu, (ialah lantaran pertukaran warna berkenaan dengan sinar, gerakan dan antara), dipakai oleh armada Amerika buat menipu musuhnya?
Demikianlah, maka sehubungan dengan sesuatu yang sulit (complex) tetapi masih dalam keadaan tak bergerak saja, logika sudah terpaksa meminta bantuan kepada dialektika. Apalagi dalam keadaan bergerak!
Memang suatu pertanyaan seperti : “ Apakah bola yang bergulir cepat ini pada detik ini berada di titik ini atau tidak lagi? Ini tidak dapat lagi dijawab ya atau tidak saja. Kalau dijawab tidak, maka jawaban itu salah, karena memangnya bola itu pernah berada pada titik yang dimaksudkan itu. Kalau dijawab ya, maka jawaban ini pun salah karena belum lagi si penjawab selesai mengucapkan ya, bola itu sudah melewati titik itu. Jadi logika tak berdaya apa-apa dalam hal ini, logika harus meminta pertolongan kepada dialektika untuk memberi jawaban ya dan tidak sekaligus.”
Bahwa sesungguhnya, maka semenjak abad yang lalu ilmu pengetahuan empirik sudah mengakui bahwa :
Oleh Charles Darwin dijelaskan bahwa semua tumbuhan, hewan dan manusia yang sekarang ada di atas bumi kita ini adalah hasil dari kemajuan ratusan-ribu tahun dari beberapa sel-tunggal dalam suasana struggle for existence (perjuangan hidup) suasana survival of the fittest (kejayaan yang kuat) dan adaptability (kemampuan menyesuaikan diri). Beberapa sel-tunggal ini muncul dari putih telur dan protoplasma menurut hukumnya ilmu kimia.
Joule dan Mayer menunjukkan bahwa panas bisa beralih menjadi listrik. Memang selama masih berada dalam jenis panas dan listrik kita bisa menjawab semua pertanyaan menurut logika, statistik, dan ukuran. Dengan pasti bisa dijawab, berapa derajatkah tingginya panas dan berapa satuan tenaga kudakah listrik. Juga bisa kita jawab pertanyaan Ueberweg, apakah ini panas atau listrik, dengan ya atau tidak. Tetapi apabila panas bukan lagi panas, namun belum lagi menjadi listrik, maka pertanyaan tadi tidak lagi dapat dijawab dengan ya atau tidak saja. Pertanyaan itu harus dijawab dengan ya dan tidak sekaligus.
Demikian pula dalam keadaan di mana satu kodrat sedang mengalami satu peralihan : seperti air sedang berubah menjadi uap, kodrat bergerak sedang beralih menjadi dinamo (listrik) dan sebagainya, atau satu zat sedang mengalami peralihan juga : atom beralih menjadi molekul, putih telur beralih menjadi benda hidup, tumbuhan beralih menjadi hewan dan 1001 contoh lainnya…., maka logika statika dan ukur-mengukur secara matematika itu tidak berdaya lagi. Dalam hal ini maka dialektikalah yang sanggup memberi jawaban.
Apabila kepastian dalam peralihan itu sudah terampil (air sudah menjadi uap, magnetisme sudah menjadi listrik, matahari sudah menjadi bumi, tumbuhan sudah menjadi hewan) maka dalam hal itu dapatlah juga dipergunakan logika, statika, matematika, dan ilmu ukur-mengukur serta timbang-menimbang! Di belakang hari Ueberweg juga mengambil kesimpulan seperti berikut : Dalam soal yang gampang (simple) boleh dipakai logika. Tetapi dalam berurusan dengan pelbagai barang yang mengandung pelbagai sifat yang bertentangan, maka kita harus mengakui coincidence of oposites (perjumpaan beberapa pertentangan). Jadinya dalam hal ini boleh dipergunakan ya dan tidak sekaligus!
Dalam salah satu halaman buku karangannya yang berjudul logik, Hegel seorang raksasa filsafat Jerman berkata kurang lebih begini, “dialektik nennen wir solche geistlische Bewegung, bei denen das getrennt scheinenden durch ischselbst, d.h ducrh das, was sie sind in einander uebergehen, und so des getrent scheinenden aufheben”.
(saya tepaksa mencatat di luar kepala pula!)
Artinya kurang lebih :”Yang kita namakan dialektika ialah gerakan pikiran (rohani), ketika yang berbentuk saling terpisah itu, olehnya sendiri artinya terbawa oleh sifatnya sendiri saling berpindahan, dan dengan begitu, maka yang berbentuk keterpisahan itu ditiadakan (artinya bersatu kembali).”
Banyak persamaan antara Hegel dengan bekas muridnya Marx! Tetapi besar pula perbedaan di antara guru dan murid, setelah pikiran murid keluar dari kandungan pikiran gurunya.
Persamaan pertama :
Kedua jenis pemikiran itu sama-sama mempergunakan cara dialektik, yakni menyelidiki sesuatu dalam keadaan bergerak, bertentangan timbul, tumbuh dan tumbang.
Persamaan kedua :
Keduanya sama-sama menolak pemisahan kekal antara ya dan tidak itu. Dalam gerakan tesis, antitesis, dan sintesis, maka akhirnya ya itu bisa menjadi tidak dan sebaliknya. Dalam gerakan itu maka perubahan quantity (jumlah) lambat laun beralih menjadi perubahan quality (sifat). Dengan demikian tercapailah Negation der Negation (peniadaan ketiadaan).
Syahdan menurut ilmu logika dan matematika, maka dua barang yang masing-masingnya bersamaan dengan barang ketiga, kedua barang itu bersamaan pula satu dengan lainnya. Tetapi dua barang yang masing-masing berbeda dengan barang ketiga belumlah tentu bersamaan satu dengan lainnya.
Di atas sudah kita tunjukkan, bahwa dua pemikir besar, yakni Hegel dan Marx kedunya sama berbeda sikapnya soal logika.
Mereka sama-sama tidak setuju dengan pemisahan kekal dan pertentangan kekal antara ya dan tidak itu. Mereka sama-sama juga menyelidiki sesuatu itu dalam suasana dialektika (gerakan pertentangan). Tetapi ada juga perbedaan besar antara kedua penganut dialektika itu.
Adapun Hegel menyandarkan dialektika itu kepada tafsiran dan teori idealisme. Sedangkan Marx mendasarkan dialektika itu atas teori dan tafsiran materialisme. Hegel adalah penganut dialektika idealistik. Marx dan teman pembentuknya Engels, adalah penganut dialektika materialistik.
Dalam “Dialektika dan Logika” maka Plekanov mengikhtiarkan perbedaan dialektika materialstik dan dialektika idealistik sebagai berikut :
Dalam sistem Hegel, maka dialektika sama diri dengan metafisika. Buat kami maka dialektika bersendi atas ilmu ke-alam-an (hukum alam).
Dalam sistem Hegel, maka demiurge, creator atau pembikin yang nyata (reality), ialah absolute idea (akal atau ide mutlak). Buat kami, ide mutlak itu, cuma satu pemisahan (abstraction) dari gerakan. Dan oleh gerakan itu terjadilah semua perpaduan dari keadaan semua benda.
Menurut Hegel, maka paham itu maju disebabkan oleh keinsyafan dan penyelesaian beberapa pertentangan yang berada di dalam pikiran (concept). Menurut teori materialis kami, maka semua pertentangan yang ada dalam pikiran oleh dunia pikiran, atas pelbagai pertentangan yang ada itu adalah bayangan di otak manusia; adalah satu tafsiran pada dunia nyata (fenomena), sebagai akibat dari pertentangan yang terdapat pada dasarnya-bersama, yakni gerakan.
Menurut Hegel, maka semua kemajuan yang nyata, itu ditetapkan oleh kemajuan pikiran (idea). Menurut paham kami, maka kemajuan pikiran itu dapat dijelaskan oleh kemajuan yang nyata, kemajuan paham oleh kemajuan hidup (manusia).
Demikianlah Marx dan Engels membalikkan kembali yang di udara itu ke tanah dan kepada yang oleh Hegel ditaruh di tanah kembali ke udara dan membuka kudung kegaiban yang dikenal oleh Hegel kepada dialektika itu. Dengan begitu, maka di tangan Marx dan Engels dialektika menjadi senjata revolusi semata-mata.
Diselimuti oleh kudung gaib, maka dialektika menjadi senjata kaum reaksioner di Jerman. Buat Hegel maka dialektika adalah senjata revolusi terhadap kaum feodal tetapi berubah menjadi senjata reaksioner terhadap kaum proletar. Buat Marx dan Engels sebagai para pembela kaum proletar, maka dialektika yang bersandar pada materialismelah senjata yang tepat, tetap, dan sempurna terhadap kaum feodal dan kaum borjuis.
Akan terlampau panjang kalau kita mengupas lebih dalam persamaan dan perbedaan, cara dan teori berpikir antara Hegel dan Marx dalam karangan yang dimaksudkan cuma sebagai satu tujuan singkat saja ini. Di lain tempat tinjauan yang lebih luas dan lebih dalam sudah saya kerjakan agak lebih lanjut. cuma sebagai penguji, ingin saya menyinggung lagi sedikit persamaan dan perbedaan itu, serta menyinggung pula persamaan dan perbedaan materialisme mekanik dengan materialisme dialektik!
Janganlah hendaknya kita menyangka bahwa Hegel terus melayang-layang di dunia pikiran saja dengan tak pernah menginjakkan kakinya ke tanah-bukti (reality). Sebaliknya pula jangan dikira bahwa Marx dan Engels tak pernah melepaskan kakinya dari tanah-bukti dan tak pernah memasuki dunia cita-cita, pikiran, ide itu!
Kedua jenis pemikiran tadi maju berpikir dengan berpegangan kepada kedua dunia pikiran dan bumi-bukti. Tetapi Hegel berpangkalan kepada dunia pikiran dan Marx-Engels berpangkalan kepada bumi-bukti. Dengan demikian, maka hasil yang diperoleh Marx dan Engels juga jauh lebih kaya daripada hasil yang diperoleh Hegel.
Demikian Hegel pernah mengucapkan, bahwa rohani (spirit) itu adalah dasar pendorong (motive-principle) sejarah. Tetapi disamping itu, diucapkan pula bahwa keadaan-ekonomi pada satu tingkat menjadi kodrat, yang berlaku dengan perantaraan (instrumentality) rohani.
Marx, walaupun pada titik terakhir berpangkalan pada kebendaan ada juga mengucapkan pada suatu tingkat, maka rohani itu bisa pula menjadi kodrat yang arahnya ditentukan oleh keadaan ekonomi.
Dengan demikian, maka akhirnya jelas juga bagi kita persamaan dan perbedaan antara materialisme mekanik dan materialisme dialektik. Keduanya sama-sama bersandar kepada kebendaan. Tetapi bagi pengikut materialisme mekanik, maka manusia dengan pikiran, perasaan, dan kemauannya (ringkasnya manusia dengan jiwanya) seolah-olah tidak berdaya menghadapi alam raya dan hukumnya.
Sebaliknya bagi Marx dan Engels serta para pengikutnya, dalam wilayah yang dibatasi oleh keadaan masyarakat sendiri, manusia dengan jiwanya bukanlah benda yang pasif, nrimo, seperti mesin saja. Beberapa ayat dari tulisan Marx yang memperlihatkan perlantunan (interaction, wissel werking) antara manusia dan alam di sekitarnya berbunyi, kurang lerbih :
“Bumi sekeliling (geographical environment) mempengaruhi manusia dengan perantaraan kemajuan ekonomi, pada salah satu daerah, atas salah satu kodrat-produksi (force of production) yang sifatnya ditentukan pula oleh bumi sekelilingnya itu”.
“Kodrat produksi (uap, listrik, atom dan lain-lain) mempertinggi kekuasaan manusia atas alam sekelilingnya. Keadaan ini membentuk hubungan baru antara manusia dan alam-sekitarnya”.
“Manusia sambil bertindak terhadap alam sekitarnya, mengubah sekitarnya itu dan dengan begitu mengubah diri (jiwanya) sendiri”.
Akhirnya, sambil menghadapi kaum ahli filsafat, dalam 11 tesis Marx mengucapkan :
”Die Filosopen hebben die Welt nu verschieden interpretiert. Es Kommt aber daraufan, die welt zu aendern” (Kaum ahli filsafat cuma berbeda dalam menafsirkan dunia ini, yang terpenting ialah mengubah dunia, yakni alam dan masyarakat kita ini).
Dari beberapa catatan tersebut di atas nyatalah sudah salah benar mereka yang mengatakan bahwa kaum materialis itu cuma orang fatalis, penerima kodrat alam saja, dan cuma memikirkan makan-minum dan kepelesiran hidup semata-mata. Sebaliknya bukan juga hasil pelaksanaan kemauan manusia itu tak terbatas! Melainkan dibatasi oleh keadaan lahir dan batin yang telah dicapai oleh suatu masyarakat itu sendiri (ilmu, teknik, produksi, sosial, politik, kebudayaan, sejarah dan lain-lain).
Terbatas oleh alam dan masyarakat yang ada di Indonesia ini, maka bagi saya, menafsirkan materialisme dialektik itu dipandang dari salah satu sudut ialah :
Sebagai hasil dari cara berpikir berdasarkan logika yang mengesampingkan pertentangan, maka ahli borjuis seperti Kranenburg dan Krabbe (Belanda), Blackstone (Inggris) dan lain-lainnya mendefinisikan negara itu, kurang lebih sebagai berikut :
“Negara adalah wilayah tertentu, didiami oleh rakyat (bangsa asli dan warga baru) tertentu di bawah kekuasaan (authority) yang syah dan tertentu pula”.
Ayat ilmu politik yang lazim dikemukakan di Amerika ialah : Wilayah yang tertentu untuk menyusun suatu pemerintahan (for the sake of organizing a government).
Sebagai hasil cara berpikir dialektika yang melaksanakan pertentangan atas paham (teori) idealisme, maka Hegel mendefinisikan negara itu, sebagai “Pernyataan paham kesusilaan (moral) ….atau gambaran dan kenyataannya akal, atau ……kerajaan Tuhan di dunia, dimana hakekat dan keadilan yang abadi dilaksanakan”.
Sebagai hasilnya cara berpikir dialektik, yakni logika-pertentangan yang diselenggarakan atas paham (teori) materialisme, maka Marx mendefinisikan itu dengan kalimat yang terkenal : “Negara itu adalah hasil dan pernyataan perjuangan kelas yang tidak bisa didamaikan” (The state is the product and the manifestation of the irreconcilability of class-antagonism”).
Dalam buku karangan Engels judul Der Uspung der Familie, der Privateigentums und des State (1894) tertulis di antara lain-lainnya " ….(negara) adalah hasil masyarakat pada suatu tingkat kemajuannya, dia (negara) adalah suatu pengakuan bahwa masayrakat ini sudah terlibat dalam pertentangan dengan dirinya sendiri sehingga tak dapat diselesaikan lagi; sampai (negara) itu terbelah dua dalam pertentangan dendam dan kesumat yang tidak dapat disingkirkan lagi”.
“Supaya pertentangan ini, (yaitu pertentangan) dua kelas yang berdasarkan pertentangan kepentingan ekonomi ini, jangan melenyapkan diri dan masyarakat sendiri oleh perjuangan sia-sia, maka perlu ada sesuatu kekuasaan yang rupanya seolah-olah berdiri di atas masyarakat untuk menjabarkan perjuangan dan membatasi perjuangan itu dalam daerah ketentraman; dan kekuasaan ini yang timbul dalam masyarakat, tetapi menempatkan dirinya di atas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan dirinya dari masyarakat, yakni negara”.
“Kekuasaan umum itu ada pada tiap-tiap negara; kekuasaan itu tidak saja terdiri dari orang bersenjata, tetapi juga disertai oleh badan seperi penjara dan berbagai rupa alat pemaksa, yang semuanya tidak dikenal dalam suatu masyarakat kekeluargaan.”
Lenin dalam brosur “Negara dan Revolusi” (State and Revolution) berkata : "Dua badan yang teristimewa menjadi syarat mutlak mesin negara ialah birokrasi dan tentara”.
“Birokrasi dan tentara adalah lintah darat yang melekat pada badan masyarakat borjuis, lintah darat yang timbul dari pertentangan yang membela dua masyarakat itu, tetapi lambat laun yang menghisap semua lubang hidup masyarakat”.
Sekianlah dahulu catatan saya tentang negara itu yang saya rasa perlu sebelum saya memulai uraian saya.
Karena berlainan cara berpikir, berlainan bahan-berpikir dan berlainan pula semangat berpikir, maka ketiga jenis ahli pikir tersebut di atas mendapatkan hasil pikiran yang berbeda pula bentuk dan isinya.
Dengan cara berpikir logika, maka seorang profesor borjuis tidak mengemukakan pertentangan kelas dengan kelas dalam masyarakat yang diliputi oleh negara itu. Hegel memang guru Marx dalam hal ilmu berpikir secara dialektik, yakni cara berpikir yang berdasarkan pertentangan. Tetapi ia mempergunakan dialektika itu atas pengertian-tafsiran dan teori idealisme. Marx, Engels, dan Lenin tidak saja berpikir secara dialektik, tetapi mereka memakai dialektika itu atas teori kebendaan, kenyataan (materialisme).
Bahan berpikir yang diutamakan oleh ahli borjuis ialah wilayah (territory), rakyat (people), dan kekuasaan (authority). Dalam definisi tersebut di atas Hegel tidak mengacuhkan daerah dan rakyat itu. Dia mengemukakan kesusilaan (moral), atau akal (Rede) atau paham (Idea). Pun Marx, Engels, dan Lenin tidak memasukkan wilayah ke dalam definisinya. Tetapi mereka mengutamakan perpecahan kelas di antara rakyat itu dan mengemukakan kekuasaan yang dipakai oleh salah satu kelas dalam rakyat itu untuk menindas kelas yang lain dengan alat kekuasaan negara itu.
Tentang semangat menghampiri persoalan kenegaraan pun ketiga jenis ahli di atas tadi berlainan satu sama lainnya. Ahli borjuis bersemangat menyebarkan dan membatasi perjuangan. Sebaliknya Marx, Engels, dan Lenin mempertajam dan memperluas perjuangan kelas dari lingkup nasional ke lingkup international. Sedangkan Hegel bersemangat revolusioner terhadap sistem negara feodal tetapi bersemangat reaksioner terhadap gerakan proletar!
Meskipun Marx, Engels, dan Lenin tidak memasukkan wilayah dan rakyat ke dalam definisi negara itu, walaupun ketiga pemikir proletar ini lahir-batin adalah internationalis, tetapi hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak memperdulikan soal kebangsaan (nasional-question). Jauh dari pada itu!
Semua persoalan yang berhubungan dengan kemegahan dan kebangsaan (nasional-question), seperti soal bentuk suatu negara, yakni bentuk kesatuan (unitary) atau bentuk gabungan (federation); soal bentuk pemerintahan; yakni bentuk kerajaan (monarchy) atau republik; soal yang berhubungan dengan iklim, bahasa, kebudayaan, dan sejarah semua yang mengenai masing-masing negara tidak luput dari perhatian, penyelidikan, dan pertimbangan Marx, Engels, Lenin, Stalin. Dalam pemecahan persoalan kebangsaan dan kenegaraan itu, maka sampai sekarang di antara beberapa negara raksasa, maka Soviet Rusia banyak sekali mendapat hasil segala usahanya (tahun 1947).
Internationalisme adalah wujud yang terakhir dan semboyan “kaum buruh sedunia bersatulah” adalah pekik proletar kepada kelas sejawatnya di seluruh dunia untuk melaksanakan internasionalisme itu. Internasionalisme bukanlah berarti menyuruh kaum buruh di dunia berpangku tangan saja mengharapkan datanganya internasionalisme itu sebagai keajaiban yang jatuh dari langit. Tiap-tiap negara masih mempunyai wilayah sendiri, rakyat sendiri dan kekuasaan sendiri sebagai hasil perjuangan kelas lawan kelas dalam negara itu dengan negara lain.
Tiap-tiap proletar di masing-masing negara masih harus berjuang memperluas wilayahnya, atau harus menerobos batas negara yang terbawa oleh sistem kapitalisme untuk berjabat tangan dengan proletariat dunia menghancurkan kapitalisme dunia.
Negara sosialis terbesar seperti Uni Soviet yang berdiri sejak Perang Dunia I (1914-1918) bersama dengan beberapa negara sosialis lain di sekitarnya, Polandia, Ceko-Slowakia, Hongaria, Rumania, Bulgaria, Yugoslavia dan lainnya yang berdiri sejak akhir Perang Dunia II (1935-1945). Uni Soviet dan sekitarnya itu sekarang (tahun 1947), yakni tepat 100 tahun semenjak Manifesto Komunis dikeluarkan (yakni tahun 1847) masih memperjuangkan batas wilayah negaranya, dan membela rakyat (kewargaan) yang termasuk ke dalam negara sosialis itu.
Bukankah sekarang (Desember 1947) soal wilayah dan rakyat yang kita anggap harus masuk ke bawah kekuasaan Republik Indonesia, serta soal kebudayaan yang kita anggap terutama adalah urusan bangsa Indonesia sendiri itu juga yang menjadi persoalan yang kita rasa penting dan hangat, soal yang bisa menggagalkan atau melanggengkan, dengan langsung atau tidak, semua daya upaya menegakkan kemerdekaan 100 %.
Dimana dan kapan, dalam suatu masyarakat timbul dua kelas yang bertentangan ekonominya, tak dapat didamaikan, maka disana dan pada saat itu juga dalam masyarakat itu timbul satu kekuasaan untuk membatasi dan menempatkan pertentangan itu dalam suatu ketentraman umum.
Kekuasan ini, yang timbul dalam masyarakat itu sendiri, yang semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat dan berada di atas masyarakat itu sendiri, oleh Marx dan Engels kekuasaan ini dinamakan sebagai negara. Kekuasaan yang secara telanjang bulat berupa birokrasi, tentara, pengadilan, polisi, dan penjara pada awalnya berdiri di tengah-tengah, sebagai wasit tetapi dalam batinnya dia adalah alat kaum berpunya untuk menindas kaum tak berpunya. Semakin keras pemerasan kelas berpunya atau kelas tak berpunya, maka semakin tajamlah juga pertentangan di antara kedua kelas itu. Dengan bertambah tajamnya pertentangan itu, maka bertambah terang pula sifat negara itu, sebagai suatu alat penindas kaum berpunya atas kelas tak berpunya.
Di mana dan kapan tak ada pertentangan kelas dalam masyarakat itu kerena tak adanya pertentangan ekonomi di situ, maka di sana dan pada saat itu masyarakat tidak memerlukan satu kekuasan yang teristimewa dan terpisah dari masyarakat itu, serta berdiri di atas masyarakat itu sendiri. Dengan perkataan lain, masyarakat semacam itu tidaklah memerlukan negara (state), tidak memerlukan alat penindas seperti birokrasi, tentara, pengadilan, polisi, penjara dan algojo. Selama pertentangan ekonomi antar kelas dan kelas manusia dalam masyarakat itu belum ada maka selama itu pula masyarakat itu bsia berdamai antar sesama dengan mudahnya. Semua urusan perekonomian, sosial, dan kebudayaan di dalam masyarakat itu dan semua urusan pembelian ke luar masyarakat diurus dengan dasar kemerdekaan, persamaan, persaudaraan, dan permufakatan. Paksaan dengan alat penindas oleh satu kelas yang lain tidak diperlukan dan tidak timbul. Dalam menghadapi semua persoalan, semua anggota masyarakat berunding atas dasar sama rata, untuk mendapatkan putusan yang dimufakati bersama dan akhirnya untuk bertindak bersama. Keadaan masyarakat yang semacam itu rupanya yang oleh Engels di namai “Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri” (Self acting armed organisation of the population). Masyarakat yang begini adalah masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri, ia terdapat pada masyarakat yang berdasarkan Komunisme asli (Oer-kominisme).
Banyak sekali pelajaran yang kita peroleh dari buku kecil karangan Engels tersebut diatas. Semakin dalam kita kaji pendapat Engels tentang masyarakat dahulu kala di Amerika (Masyarakat Indian) yang diterima oleh Engels sebagai hasil penelitian seorang pengarang Amerika, bernama Lewis H. Mergand dalam buku Ancient Society, semakin mengerti pula kita akan seluk beluk masyarakat kita sendiri.
Saya sendiri, ketika membaca buku Engels itu, acap kali merasa ada beberapa persamaan di antara masyarakat Amerika asli (Indian) dengan masyarakat beberapa daerah di Indonesia. Sebagai contoh, rasanya tidak banyak bedanya keadaan masyarakat Minangkabau lampau, di waktu luhurnya, dengan keadaan “Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri itu”! Dasar seia-sekata menurut pepatah Minangkabau bukanlah satu perhiasan kata saja. Seia-sekata itu adalah dasar yang dipegang teguh dalam suatu rapat umum. Rapat umum ini pun adalah satu kata yang kosong isinya. Laki-perempuan, tua dan muda boleh hadir dan berhak penuh untuk berbicara dalam suatu rapat umum, yang acapkali disebut : “bersuluh bulan dan matahari, bergelangkan mata orang banyak”, artinya berterang-terangan. Ada pun permusyawaratan itu adalah wajib dilakukan untuk mendapatakan sia-sekata atau kebulatan pikiran. Kata pepatah : bulat air dek (oleh) pembuluh, bulat kata dek mufakat. Azasnya suatu permusyawaratan itu ialah kemerdekaan berbicara bagi tiap-tiap orang laki, perempuan, tua dan muda. Suatu permusyawaratan harus jauh dari kekerasan dan paksaan. Yang menjadi dasar perundingan itu adalah alur (penjelasan yang logis menurut adat dan undang-undang) dan yang ditujukan kepada yang patut (adil).
Bunyi pepatah: "mufakat beraja kepada alur dan patut”. Setelah seia dan sekata atau kebulatan kata itu diperoleh dengan cara permusyawaratan yang bebas dari segala macam kekerasan dan paksaan, maka barulah masyarakat itu boleh bertindak bersama, cocok dengan dasarnya "Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri" ke dalam dan ke luar.
Satu misal saja! Perkara bunuh-membunuh harus diperiksa di depan umum, dimana si tertuduh dan si penuduh di depan para hakim dan khalayak, berhak membela perkaranya sepuas-puasnya. Mereka diperbolehkan memajukan keterangan dan saksi selengkap-lengkapnya. Kalau perlu mereka boleh memakai pertolongan seorang cerdik-pandai sebagai pembela. Suatu hukum atas pelanggaran sepanjang adat, harus terlebih dahulu disetujui oleh kedua belah pihak sebelum hukuman itu dijalankan.
Kata mufakat pula menetapkan beratnya pihak yang bersalah membayar denda (bangun!), yakni hukuman yang seberat-beratnya menurut sistem Datuk Perpatih, walaupun dalam perkara bunuh membunuh. Dalam hal ini, oleh permufakatan, pihak yang bersalah diwajibkan memotong sekian banyak kerbau, untuk satu selamatan, dimana kedua belah pihak yang disaksikan oleh pihak ketiga, bermaaf-maafan (Acapkali terjadi pembunuhan, sesudah bermaaf-maafan itu lari ke negeri asing, membuang diri sendiri atau bahkan bunuh diri, karena malu). Demikian pula dalam hal menentukan sikap berdamai atau berperang, kebulatan kata diperoleh dengan jalan permufakatan.
Barulah seluruhnya daerah dan seluruhnya masyarakat Minangkabau bertindak, cocok dengan dasar “Rakyat bersenjata bertindak sendiri”.
Pepatah : Tegak (tinggal) di kampung pagar kampung, tinggal di alam (Minangkabau) pagar (nya) alam. Dan : Melompatlah sama pata, menuruk (sembunyi) sama hilang.
Keadaan di atas terdapat di Minangkabau ketika perekonomian masih belum atau sedikit sekali dipengaruhi uang. Harta benda, sebagian besar masih berada di tangan suku (keluarga). Harta pusaka, seperti sawah dan rumah sekali-kali tidak boleh dijual ataupun digadaikan, kalau dalam permusyawaratan keluarga ternyata bahwa ada seorang saja anggota, laki atau perempuan (biasanya perempuan) yang tidak setuju. Kemakmuran masih merata di antara semua suku. Pekerjaan penting seperti bersawah dan mendirikan rumah adat, apalagi balai masih berdasarkan pertobohan atau tolong-menolong.
Sambil lalu saja saya hendak mengemukakan di sini bahwa menurut bukti yang saya peroleh, maka masyarakat Arab, di masa Nabi Muhammad dan tiga khalifah berikutnya, yakni Abu Bakar, Umar dan Usman, juga berada dalam tingkat dasar “Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri”. Setelah kaum Muslimin menaklukkan beberapa negara yang kaya raya seperti Syiria, dan lain-lain, maka barulah masyarakat Muslimin terbelah dua, yang berpunya dan tak berpunya. Pertentangan antara yang berpunya dengan yang tak berpunya kian hari kian tajam dan tak dapat didamaikan. Seiring dengan berlanjut dan kian tajam pertentangan itu, maka kian terpusatlah kekuasaan pada khalifah dan keluarga serta pembantunya. “Masyarakat Bersenjata yang bertindak sendiri” yang berdasarkan permusyawaratan di masa Nabi dan tiga khalifah yang mengikuti, lama kelamaan beralih menjadi satu negara, satu kerajaan (monarchy). Negara (kerajaan) Islam itu sering mengenal kemakmuran-umum dan keadilan, seperti kerajaan Spanyol Islam di bawah pemerintahan Abdur-Rahman; kerajaan Baghdad dibawah Khalifah Harun al-Rasyid dan kerajaan Hindustan Islam dibawah Sultan Akbar. Tetapi sering pula negara (kerajaan) Islam menderita kemelaratan dan kedzaliman, saat khalifah, tentara, polisi, hakim dan algojo bertindak sewenang-wenang.
Syahdan Benua Eropa sampai sekarang sudah mengenal lima tingkat kemajuan masyarakat: 1)Masyarat komunisme asli; 2) Masyarakat budak (slave); 3) Masyarakat feodal (budak, serf); 4) Masyarakat kapitalis; 5) Masyarakat sosialis (Rusia, Polandia, Cheko-Slowakia, Hongaria, Rumania, Yugo-Slavia dan Bulgaria!).
Pada tingkat pertama (masyarakat komunisme-asli) maka state, negara sebagai alat penindas satu kelas atas kelas lain belum dikenal. Setelah masyarakat di sana pecah menjadi kelas berpunya dan kelas budak (tingkat 2) seperti Yunani-Kuno dan Romawi, maka barulah diperlukan negara, sebagai alat kaum berpunya untuk menindas budak, yang boleh dijual-berlikan dan dibunuh.
Konon kabarnya kurang lebih 25.000 antara keluarga yang berpunya, yang berdemokrasi, “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” memeras dan menindas kurang lebih 500.000 (setengah juta) kaum Budak. Semakin keras pemerasan, semakin kejamlah pula penindasan; jadi semakin kejam pula tindakan alat-alat negara itu, yakni militer, polisi, penjara, dan algojo.
Pada tingkat ke-3 (masyarakat feodal), maka negara serta alat penindasanya dipegang oleh keluarga raja dan ningrat untuk memeras dan menindas kaum budak (serf) yang terikat kepada tanahnya yang boleh dijual belikan tetapi tidak boleh dibunuh semau-maunya oleh yang punya.
Pada tingkat ke-4 (masyarakat kapitalis), maka negara serta alat penindasnya dipegang oleh kaum kapitalis dan tuan tanah untuk memeras proletariat melalui mesin dan tanah. Di samping birokrasi, militer, polisi, mahkamah, penjara dan algojo maka kaum borjuis mempunyai pula alat batin untuk menindas mental kaum proletariat, yakni surat kabar, gambar hidup, sekolah dan gereja.
Akhirnya pada tingkat ke-5 (masyarakat sosialis) negara itu sebagai alat penindas belum juga hilang. Negara pada tingkat ini berupa diktator proletariat, yakni kaum proletariat, sebagai kelas yang berkuasa. Ditaktor proletariat mendiktekan kemauannya atas masyarakat baru (sosialis): Membangun dasar untuk tumbuhnya komunisme; menindas sisa kapitalisme dan feodalisme di dalam negara, serta mempertahankan negara proletar itu dari serangan kapitalisme-imperialisme luar.
Suatu negara bisa tumbuh untuk jangka yang lama, yakni selama kaum yang berpunya dan berkuasa masih sanggup mengadakan kemajuan (teknik-sosial, politik, dan budaya). Negara yang lama tumbang dan negara yang baru timbul kalau yang lama itu tak sanggup lagi memberi kemajuan, dan kelas baru dalam masyarkat, yakni yang selama ini tertindas, sanggup berorganisasi, berjuang dan menggantikan yang lama, serta mengadakan kemajuan dalam semua lapangan masyarakat.
Demikianlah di benua Eropa, negara budak bertukar menjadi negara feodal seterusnya negara feodal di Perancis bertukar menjadi negara kapitalis (Revolusi Borjuis tahun 1789) dan negara feodalis-kapitalis di Rusia bertukar menjadi negara sosialis (Revolusi Proletar 1917).
Pertukaran bentuk demi bentuk negara didahului dan didorong oleh perubahan ekonomi, yakni perubahan produksi (penghasilan), distribusi (pembagian hasil), pertukaran barang dan pengangkutan serta keuangan, sedikit demi sedikit, dari tahun ke tahun, berubah sampai satu ketika berubah bilangan (quantity) berubah menjadi peralihan sifat (quality), sesuai dengan hukum dialektika.
Perubahan peraturan ekonomi dalam masyarakat komunisme asli, sedikti demi sedikit berganti menjadi peralihan besar dan cepat, melompat atau meletus menjadi perekonomian feodal. Selanjutnya sepanjang hukum dialektika itu juga perekonomian sosialis di antara lebih dari pada tiga ratus juta (300.000.000) manusia yang mendiami Uni Soviet dan beberapa negara sekitarnya (belum termasuk Tiongkok dan Korea).
Perubahan dan peralihan ekonomi dari sistem ekonomi komunis asli menjadi perekonmian budak itu mendorong perubahan masyarakat komunis asli menjadi negara budak. Seterusnya perubahan dan perubahan ekonomi yang terjadi berturut-turut dari perekonomian budak ke perekonomian feodal, dari perekonomian-feodal ke perekonomian kapitalis, dan dari perekonomian kapitalis ke perekonomian sosialis mendorong pula kepada perubahan bentuk negara budak berturut-turut kepada bentuk negara feodal, negara kapitalis, dan negara sosialis (ditaktor proletariat).
Ringkasnya gerakan bentuk negara, dari sesuatu bentuk ke bentuk lainnya, didorong oleh gerakan perekonomian yang sesuai.
Apa pula yang menjadi kodrat pendorong (moving forces)-nya perekonomian itu? Marx dan Engels menjelaskan semua bukti yang dikemukakan oleh para ahli sejarah di masa mereka hidup, bahwa perekonomian (produksi, distribusi dan lainnya) itu digerakkan oleh kekuatan produksi (forces of production), yakni oleh tenaga (manusia), alat, dan mesin. Dengan perubahan dan beralihnya kekuatan produksi ini, maka berubah-beralih pula perekonomian itu.
Entah di abad ke berapa dan di tahun berapa pula, maka manusia itu pada tingkat masyarakatnya yang pertama sekali cuma mengenal batu sebagai alat. Kemudian mereka mendapatkan panah. Dengan tenaga (manusia), batu dan panah, maka mereka mencari hasil buat hidup serta membela diri terhadap musuh yang berupa manusia biadab dan binatang buas. Makanan yang utama adalah buah-buahan dan binatang liar. Pekerjaan seperti itu cuma dapat dijalankan bersama-sama atas dasar tolong-menolong dan gotong royong. Orang tak bisa hidup dan bertindak sendiri-sendiri di zaman manusia dan hewan serba liar serta ganas itu.
Kerja bersama untuk mencari makan dan membela diri itu dengan sendirinya mendorong kepada pemilikan bersama atas alat dan senjata (kecuali dalam satu dua hal!). Pemilikan bersama berlaku pula atas hasil produksi atau hasil kerja bersama itu. Di sini dan di zaman ini tak ada pemerasan manusia atas manusia atau satu kelas atas kelas lainnya. Semua anggota masyarakat bersama-sama memiliki alat dan hasil produksi. Tak ada yang tak berpunya. Tak ada pula pertentangan antara kelas yang berpunya dengan kelas yang tak berpunya. Jadi masyarakat semacam itu tak memerlukan negara sebagai alat penindas yang istimewa, “yang menempatkan dirinya dalam masyarakat itu”. Masyarakat semacam ini adalah masyarakat komunis asli.
Pada tingkat ke-2, masyarakat budak, alat (produksi) itu bukan lagi batu melainkan logam, yakni tembaga, besi dan baja. Kaum yang berpunya memiliki tenaga (manusia) dan alat untuk produksi. Budak dan tenaganya boleh dijual-belikan dan boleh pula dibunuh. Masyarakat manusia bukan lagi masyarakat pemburu yang belum mengenal pertanian seperti pada zaman batu. Masyarakat di zaman logam sudah mengenal peternakan, pertanian (meskipun masih dalam keadaan sederhana) dan sudah mengenal pertukaran barang. Pada masa ini juga sudah timbul pembagian pekerjaan (division of labour) antara golongan peternak, petani, dan tukang. Seorang anggota masyarakat di zaman itu tidak lagi seperti sebelumnya, misalnya pagi berburu, petang mengembala, sore bertani dan malam bertukang atau bertenun, sehingga tak ada satu pekerjaan yang mahir dikerjakannya. Manusia dalam masyarakat itu sudah terpisah-pisah dalam golongan menggembala, pemburu, petani, dan tukang, masing-masing golongan melakukan pekerjaan sendiri-sendiri. Dengan begitu, kepandaian dan keahlian kerja kian bertambah. Hasil pun terus bertambah. Dalam keadaan demikian, lahirlah pertukaran barang antara orang dan orang, antara golongan dengan golongan dalam masyarakat itu sendiri kemudian antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Yang membutuhkan pakaian, tetapi mempunyai makanan berlebih menukarkan makanannya (misalnya: gandum) dengan yang mempunyai pakaian berlebih tetapi membutuhkan makanan.
Pada masa ini mulailah timbul kaum saudagar dan timbul pula kemungkinan bahwa semua kodrat penghasil, yakni kaum budak serta alat, jatuh terkumpul di tangan beberapa orang yang berpunya.
Kerja bersama atas dasar kemerdekaan dan kekeluargaan hilang lenyap. Timbullah kerja-paksa oleh kelas orang berpunya atas kelas budak yang kebanyakan adalah tawanan perang atau keturunan tawanan itu atau orang yang berhutang tetapi tidak sanggup lagi melunasi. Milik bersama atas alat dan hasil seperti pada zaman komunis asli beralih menjadi milik perseorangan (private ownership) atas alat, tenaga, dan hasil. Kelas yang kecil, yakni kelas yang berpunya, memeras dan menindas kelas yang besar tetapi tidak memiliki apa-apa. Pertentangan yang sering beralih menjadi perjuangan semakin menghebat dengan bertambah tajamnya pertentangan dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Disinilah timbul alat penindas yang istimewa “yang menempatkan dirinya diatas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan dirinya dari masyarakat itu”. Timbul dan tumbuh tentara dan polisi, yakni “alat utama untuk mempertahankan kekuasaan negara.” Beralih masyarakat komunis asli, dari “satu masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri” menjadi negara budak, dengan serdadu, reserse, polisi, jaksa, penjara, dan algojonya.
Pada tingkat ke-3, masyarakat feodal, maka pemakaian besi bertambah baik. Bajak besi dan jentera buat menenun berkembang. Peternakan, pertanian, dan pengusaha susu buat membikin keju dan mentega (dairying) sedang maju. Mulai timbul manufacturies (parik atas dasar kerja tangan) disamping pertukangan. Keluarga raja dan ningrat memiliki alat produksi (tanah dan perkakas). Budak yang di zaman Yunani boleh dibunuh dan diperjualbelikan, tidak boleh lagi dibunuh, tetapi masih boleh diperjualbelikan. Budak-slave bertukar menjadi budak-serf (lijfeigene). Produksi di zaman feodal menghendaki sedikit perhatian serta initiatif dalam pekerjaannya. Budak-slave sama sekali tidak mempunyai kedua sifat itu karena memang badan dan jiwanya sendiri bukan milik mereka, apa lagi alat dan hasil. Budak-serf diizinkan sedikit mempunyai tanah (husbandry) dan perkakas (implements) untuk digarap. Dengan demikian mereka sanggup membayarkan sebagian hasilnya kepada ningrat dan sanggup memegang sisa pajak itu buat hidupnya sendiri beserta keluarganya. Sebab itu pula maka mereka sekedarnya menaruh perhatian terhadap dan menunjukkan initiatif dalam pekerjaannya. Disamping milik feodal ada juga milik perseorangan oleh petani dan tukang alat beserta hasilnya yang berdasarkan kerja perseorangan. Milik perseorangan itu bertambah maju dalam zaman feodal ini. Umumnya pemerasan di zaman budak-serf hampir tidak beda dengan zaman budak-slave. Demikian juga pertentangan dan perjuangan antara kelas ningrat dengan kelas budak-serf bersama-sama dengan pertentangan serta perjuangan antara baas dengan knecht (majikan dan pembantu) pada suatu usaha manufaktur tidak pula berkurang dibandingkan di zaman budak-slave. Di zaman feodal ini negara dengan perlengkapannya seperti serdadu, polisi, jaksa, penjara, dan algojo disertai gereja sebagai penekan mental, jelas sekali sifat dan coraknya sabagai alat penindasnya satu kelas atas kelas yang lain.
Tingkat ke 4 adalah zaman kapitalisme yang sudah lebih kita kenal. Perkakas digerakkan dengan tangan di masa manufaktur dahulu, sekarang digerakkan dengan uap dan listrik. Godam yang beratnya ½ kg di zaman manufaktur yang sukar buat diayunkan oleh seorang pekerja, maka 500.0000 kg dengan mudah bisa diayunkan oleh kekuatan listrik. Sedangkan satu pabrik dizaman manufaktur cuma bisa memusatkan 1000 orang kaum pekerja, maka pabrik mesin sekarang sanggup pemusatkan 30.000 pekerja dalam satu pabrik dan ratusan ribu dalam satu perusahaan (tambang dan kereta). Menjalankan dan mengawasi satu mesin memerlukan latihan dan kepintaran. Budak-slave ataupun serf yang bodoh itu tak dapat lagi dipakai oleh kapitalisme zaman sekarang.
Proletar mesin harus disekolahkan lebih dahulu. Di sinilah awalnya undang-undang demokratis (compulsory education). Seandainya saja tiap-tiap warga negara mempunyai sebidang tanah atau satu pertukangan, maka tak akan bisa atau susah sekali buat seorang kapitalis mendapatkan buruh buat dipekerjakan. Namun hal itu tidak terjadi.
Pada zaman kapitalis ini suatu perusahaan besar menindas dan melenyapkan perusahaan kecil. Karena penindasan dan pelenyapan itu, tidak setiap warga memiliki hak milik sendiri. Dalam satu persaingan ekonomi yang tajam kejam itu, maka pabrik melenyapkan kebanyakan perusahaan tangan yang kecil, perkebunan besar melenyapkan atau mendesak sawah dan ladang. Sebagian besar penduduk menjadi melarat atau menjadi proletar (tak berpunya) karena didesak oleh perusahaan besar itu, mereka, proletar, terpaksa menjual tenaganya kepada kapitalis. Mereka “merdeka” karena “dimerdekakan” oleh revolusi borjuis dari tanahnya ningrat dan kaum tukang yang kecil “dimerdekakan” dari alatnya karena disaingi dan dilenyapkan oleh mesin pabriknya kaum kapitalis. Mereka “merdeka” juga menjual tenaganya kepada kapitalis. Tetapi karena mereka terikat oleh bahaya kelaparan, maka mereka terpaksa menjual tenaganya kepada kapitalis itu dengan harga semurah-murahnya, lantaran persaingan yang tajam antara seorang proletar dengan proletar lainnya. Dengan terpukulnya perusahaan kecil oleh perusahaan besar, maka harta benda dalam negara terpusat pada yang berpunya. Yang miskin bertambah miskin di samping yang kaya bertambah kaya. Yang miskin bertambah besar jumlahnya dan yang kaya bertambah kecil jumlahnya.
Syahdan di dunia kapitalis modern tulen seperti Amerika, dua lusin orang memiliki hampir semua mata pencarian hidup, seperti pabrik, kebun, tambang, kereta, kapal, bank dan sebagainya. Dengan begitu, hasil produksi jatuh ke tangan yang memiliki faktor produksi juga. Sebagian besar rakyat tak mempunyai apa-apa, tetapi merekalah yang memproduksi dengan cara kerja bersama. Pertentangan selusin dua lusin orang yang tidak bekerja tetapi memiliki alat dan hasil produksi dengan sebagian besar rakyat yang bekerja membantung tulang tetapi tidak memiliki alat produksi dan hasil produksi. Pertentangan ini sangat berbahaya di masa krisis ekonomi. Di masa inilah negara kapitalis beserta birokrasi, militer, polisi, kejaksaan, penjara, algojo, pendeta, dan profesornya bertindak mencegah pecahnya pemogokan atau revolusi proletar. Di masa krisis inilah negara borjuis bertelanjang bulat mempertontonkan dirinya sebagai alat penindas kaum borjuis atas kaum proletar dan melemparkan topengnya sebagai “wasit” yang berdiri di tengah-tengah, yang adil tidak memihak ke sana atau ke sini.
Revolusi proletar yang melenyapkan pertentangan dalam dunia kapitalisme dan membawa masyarakat ke tingkat ke-5 yakni ke tingkat sosialisme, gagal di Perancis pada tahun 1871 dan jaya di Rusia pada tahun 1917. Di Rusia tak ada lagi pertentangan antara hak milik pribadi dan hak milik bersama atas alat dan hasil produksi penting. Di negeri ini rakyatnya hidup dengan cara kerja yang berdasarkan kolektivitas (sosial) sejak Perang Dunia Pertama. Di sana sekitar 150 juta manusia pada masa Perang Dunia I dan lebih dari 300 juta manusia sejak Perang Dunia II, dijauhkan dari pertentangan antara kelas yang berpunya dengan kelas yang tak berpunya. Alat produksi penting dan hasilnya dimiliki secara bersama-sama juga dibagi-bagi (masih) menurut aturan :”Siapa yang tidak bekerja tidak akan dapat makan”. Dengan adanya revolusi di Rusia, timbullah kekuasaan baru, negara baru, yakni diktator proletariat, yakni kaum proletar sebagai kelas yang menumbangkan negara feodal kapitalis. Tumbuhlah Soviet, tentara, polisi, mahkamah dan penjara proletar buat menumbangkan dan menjaga tetap lenyapnya birokrasi, tentara, polisi dan penjara Tsar, kapitalis Rusia serta semua bantuan-bantuan konco-konco kaum kapitalis dan imperialis di luar Rusia.
Dalam garis besarnya sudah hampir nyata berlaku hukum-dialektika yang berupa tesis, anti tesis dan sintesis dalam perjalanan ribuan tahun kemajuan masyarakat di dunia.
Sebagai tesis maka masyarakat itu berada atas dasar kerja bersama dan milik bersama atas alat dan hasil. Keadaan semacam ini didapati hampir di seluruh dunia pada zaman komunis asli.
Sebagai anti tesis maka masyarakat komunisme asli terpecah dua dan menimbulkan pertentangan antara dasar milik bersama terhadap milik perorangan, antara kelas tak berpunya tetapi bekerja melawan kelas berpunya tetapi tidak bekerja. Keadaan begini terdapat di tiga tingkat masyarakat Eropa, yaitu 1) Tingkat masyarakat Budak-Slave 2). Masyarakat Feodal; dan 3) Masyarakat Kapitalisme.
Sebagai sintesis, maka masyarakat manusia di seluruh dunia sekarang sedang menuju kepada masyarakat komunis modern. Disini pertentangan di dalam masyarakat kapitalis, yakni pertentangan antara kerja bersama oleh yang tak berpunya melawan milik perseorangan oleh yang berpunya tetapi tidak bekerja akan hilang lenyap. Kita sedang menuju kepada masyarakat komunis modern yang (seperti masyarakat sosialisme) berdasarkan atas kerja bersama dan milik bersama atas alat dan hasil produksi.
Dipandang dari sudut pemerintahan, sejajar dengan cara produksi dan cara memiliki hasil itu tadi, pada zaman komunis asli “rakyat bersenjata itu bertindak sendiri” (untuk menentang musuhnya). Pada zaman berkelas, kelas dalam masyarakat memaksakan kemauannya atas kelas yang lain dalam masyarakat itu sendiri. Akhirnya kelak – pada zaman komunisme modern – seluruh manusia akan menjadi pekerja masyarakat yang merundingkan semua persoalan masyarakat, melaksanakan keputusan bersama, dan dengan sendirinya bertindak untuk menjaga kelancaran jalannya semua urusan masyarakat (pada awal komunisme masih perlu bertindak dengan keras).
Pada tingkat komunisme yang terakhir (fase yang tertinggi) negara (state), sebagai alat penindas bagi satu kelas atas kelas lainnya, hilang lenyap (withering away) karena tak ada lagi pertentangan dalam masyarakat. Tak ada lagi kelas yang akan ditindas. Perilaku memerintah sudah beralih menjadi perilaku mengatur dan mengawasi pekerjaan masyarakat, oleh, dari, dan untuk masyarakat itu sendiri atas dasar kemerdekaan persamaan dan persaudaraan yang sesungguhnya. Di masa ini semua kebiasaan yang diperlukan oleh fase komunisme yang tertinggi sudah ditanam dan tumbuh dalam fase komunisme yang pertama, yakni fase sosialisme yang didiktatori oleh kaum pekerja.
Proses (yang berupa ½ komunis asli) peralihan dari masyarakat berkelas ke komunisme modern itu bukanlah siklus dalam suatu lingkungan yang tertutup (circle), melainkan satu siklus dalam lingkungan yang terbuka dan terus naik (spiral). Komunisme modern sebagai puncak proses (sintesis) yang mungkin sekali akan mengalami gerakan dialektika pula (dalam badannya sendiri!) akan mempunyai sifat yang lebih banyak dan lebih baik daripada segala sifat yang terdapat pada komunisme asli (pada tesis!).
Kerja bersama pada komunisme modern adalah kerja bersama yang lebih rasional (teratur) dengan alat (mesin, listrik, dan energi kimia) yang semuanya jauh lebih maju daripada alat dari batu dan tenaga manusia di zaman komunisme asli. Milik bersama atas hasil produksi adalah milik bersama atas hasil yang berjuta-juta kali lipat ganda banyak sifat serta nilainya daripada hasil yang diperoleh dengan tangan dan alat dari batu di zaman komunisme asli. Hubungan antara manusia dengan manusia di zaman komunisme modern adalah hubungan yang tidak memandang kulit, darah, dan keluarga (suku) lagi seperti pada zaman komunisme asli, melainkan hubungan yang luas berdasarkan prikemanusiaan yang sejati.
Ringkasnya masyarakat baru itu akan mempunyai pengetahuan, pengalaman, dan perbendaharaan yang diperoleh seluruh manusia dari berbagai bentuk dan warna selama sejarah seluruh manusia dalam puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun.
Syahdan seperti dibayangkan di atas, maka zaman diktator proletariat itu bukanlah zaman komunisme modern. Bolehlah diktator proletariat itu dikatakan sebagai zaman peralihan yang menyambungkan dunia kapitalisme dengan komunisme modern. Pada permulaan zaman peralihan itu, masyarakat yang didiktatori oleh kaum proletar itu meninggalkan masyarakat kapitalisme dan menginjak masyarakat komunisme modern. Pada akhir zaman peralihan itulah terletak masyarakat komunisme modern, masyarakat pada tingkat tertinggi.
Adapun diktator proletariat itu masih mengandung sifat kenegaraan, yakni alat penindas yang diadakan oleh kaum proletar untuk kaum proletar itu sendiri sebagai alat untuk menumbangkan alat penindas milik kaum borjuis. Tetapi pemerintah proletar, yang bersifat memaksa terhadap bekas borjuis itu sedang menanam semua bibit yang akan tumbuh menjadi pohon komunisme. Setelah semua alat produksi yang penting dijadikan milik masyarakat pekerja, maka semua sistem perekonomian, sosial, dan kebudayaan didasarkan atas maksud menanam semua kebiasaan yang diperlukan oleh masyarakat komunis, masyarakat fase tertinggi. Semua pekerjaan dilakukan menurut rencana, yang ditentukan oleh kaum pekerja sendiri, dijalankan dan diawasi jalannya oleh kaum pekerja untuk seluruh masyarakat pekerja.
Tetapi pada zaman peralihan, yakni zaman sosialisme atau zaman diktator proletariat itu distribusi (pembagian hasil) masih dijalankan menurut hukum borjuis, yaitu pertama: siapa yang tidak bekerja tidak akan makan, dan kedua “Seorang mengeluarkan tenaga yang sama untuk mendapatkan hasil yang sama.”
Kedua hukum tersebut masih bersifat borjuis, sebab seperti juga diakui oleh Marx, orang memang tidak sama satu dengan lainnya. Yang satu kuat dan yang lain lemah, yang satu kawin dan yang lain tidak, yang satu beranak banyak yang lain tidak beranak. Oleh sebab itu, tidak adil sama sekali kalau yang lemah diharuskan mengeluarkan tenaga yang sama banyak dengan yang kuat. Begitu juga sebaliknya, yang kuat menghasilkan lebih banyak dari pada yang lemah (dalam tempo yang sama) menerima upah yang sama dengan yang lemah itu; atau yang beranak-istri harus mendapat sama banyak dengan yang tidak; atau yang beranak banyak mendapat sama pula dengan yang tidak beranak. Persamaan macam itu adalah persamaan untuk semua orang yang tidak sama satu dengan lainnya atau persamaan yang palsu.
Tetapi Marx, Engels, Lenin, dan Soviet Rusia merasa terpaksa mempergunakan dasar tersebut sebagai titik melangkah ke dunia komunisme. Manusia yang baru keluar dari dunia kapitalisme itu haruslah mempunyai suatu pegangan buat melangkah. Masyarakat baru itu terpaksa terkait dengan masyarakat lama, seperti seorang bayi lahir masih disambungkan oleh ari-ari dengan ibunya. Kelak, setelah kelas dan ideologi borjuis lenyap dan kebiasaan serta kemauan bekerja sudah merata di seluruh masyarakat, di samping produksi yang dijalankan menurut rencana dan pemakaian teknik dan ilmu, maka hasil masyarakat itu akan berlipat ganda. Dengan produksi yang melimpah-limpah itu, maka dengan sendirinya berlaku dasar komunisme yakni : "Seorang bekerja menurut kecakapannya dan menerima hasil menurut kebutuhannya”.
Sebanding dengan majunya kebiasaan bekerja dan naiknya produksi maka lenyaplah kelas dan ideologi borjuis. Akhirnya, akan lenyap pulalah diktator proletariat tadi (withering away) sebagai alat penindas kaum pekerja terhadap kaum borjuis. Bersama dengan lenyapnya diktator proletariat, timbullah komunisme, fase tertinggi. Zaman yang di sebut belakangan itu tidak lagi mengenal negara besarta alat penindasnya, melainkan merupakan satu masyarakat yang makmur, rasional, adil, serta penuh perikemanusiaan.
Kaum anarko-sindikalis (bukan yang berlagak-lagak anarkis!) yang seharusnya cukup kita hormati, tidaklah memikirkan apakah yang selanjutnya akan terjadi, kalau negara borjuis sudah diruntuhkan. Mereka seakan-akan percaya bahwa apabila semua orang yang memegang kekuasaan itu (raja, menteri, jendral dan lainnya) dibunuh saja di mana pun dijumpai, maka keadaan seperti dalam komunisme – fase tertinggi – akan tumbuh dengan sendirinya. Mereka melupakan bahwa semua sifat borjuis dari kelas borjuis yang juga meresap ke dalam kelas proletar itu tidak akan lenyap begitu saja dengan terbunuhnya semua orang yang memegang kekuasaan negara.
Kaum sosialis berkeyakinan bahwa kekuasaan kaum borjuis akan bisa direbut dengan merebut kursi dalam parlemen saja. Dengan jalan membuat undang-undang oleh para wakilnya kaum terbesar dalam parlemen, yakni para wakilnya kaum pekerja, maka mereka percaya bahwa alat produksi bisa dijadikan milik bersama oleh negara. Mereka lupa bahwa negara itu ialah “suatu negara”, sebagai alat penindas yang kaya atas yang miskin. Mereka lupa bahwa dalam badan pemerintahan, seperti dalam tentara, polisi, kehakiman, administrasi dan sebagainya, kaum intelek borjuislah yang menjadi pemimpin. Mereka ini dapat melakukan sabotase terhadap undang-undang yang menguntungkan kaum proletar dan merugikan kaum borjuis yang sudah diterima oleh parlemen, yang setelah itu harus dijalankan oleh berbagai alat negara. Dalam prakteknya sabotase itu selalu dilakukan oleh negara. Pengalaman kaum sosialis di Jerman yang memegang kekuasaan sesudah Perang Dunia I (pemerintah Ebort, Noske, dan Sheidemann) serta 3 kali masa pemerintahan sosialis di Inggris membuktikan bahwa kaum buruh tidak dibolehkan dengan bulat begitu saja mewarisi alat pemerintahan negara borjuis. Baik pemerintahan sosialis Jerman maupun pemerintah sosialis Inggris tidak berdaya menjalankan undang-undang sosialis yang bisa memotong akar-akar kapitalisme yang terpenting.
Mengambil pelajaran dari Revolusi Proletar di Perancis yang didirikan Comune Kota Paris (pemerintah kota Paris) pada tahun 1870, Marx dalam bukunya “Peperangan Saudara di Perancis” menyatakan bahwa kaum proletar tak boleh begitu saja mewarisi bulat-bulat negara (state) kaum borjuis, melainkan harus menghancurkan alat perlengkapan negara (birokrasi, tentara, polisi, mahkamah, dan lainnya) dan menukar alat negara itu dengan alat negara kaum proletar. Dari sinilah asalnya pengertian diktator proletariat yang oleh kaum Bolshewyk di Rusia di bawah pimpinan Lenin dilaksanakan dan oleh pihak internasional kedua dibawah pimpinan Karl Kautzky selalu dilupakan atau pura-pura dilupakan.
Lenin dalam State and Revolution, halaman 30-31 sepakat dengan Marx yang berpendapat bahwa pada tahun 1871 – ketika Inggris masih “sebagai contoh satu negara kapitalis tulen, tetapi tidak mempunyai unsur militerisme dan juga hampir tidak mengenal birokrasi” – adalah masa revolusi. Malah satu revolusi rakyat bisa dimengerti dan boleh jadi berlaku tanpa memerlukan satu jaminan, yakni lebih dahulu alat negara yang sudah siap itu harus dihancurkan. Tetapi, menurut Lenin, pada tahun 1917 dalam masa perang besar imperialis, paham Marx tadi tidak tepat lagi. Inggris dan Amerika sebagai buah kemerdekaan (liberty) Anglo-Saxon yang terbesar dan terakhir tanpa militerisme dan birokrasi, sebaliknya sekarang sudah terjun ke dalam lumpur perlengkapan birokrasi militerisme yang kotor berlumuran darah itu, yang menguasai dan menginjak-injak segalanya. Saat ini, baik di Inggris maupun di Amerika, bagi Lenin, hal terpenting sebagai syarat terjadinya revolusi rakyat yang sejati adalah memecahkan dan menghancurkan alat negara yang sduah siap itu (ready made state machine yang dimasukkan ke dalam ke dua negara itu antara tahun 1914 dan 1917). Selanjutnya menurut Lenin yang kini harus dilakukan adalah memberi perhatian istimewa kepada peringatan Marx bahwa penghancuran alat negara yang berupa birokrasi dan militerisme itu adalah syarat terpenting penjamin tiap-tiap revolusi rakyat yang sesungguhnya.
Sistem ditaktor proletariat bukanlah satu mimpi atau ciptaan Marx. Sebagai seorang scientist, Marx tak pernah memimpikan atau menciptakan sesuatu seperti kaum utopis : Thomas Moore, Saint-Simon, Fourir, dan Robert Owen. Sebagai scientist maka Marx membentuk suatu tesis atau suatu pengalaman, yakni suatu bukti. Perbuatan kaum proletar para pemimpin Comune di Paris pada tahun 1871 mewarisi alat negara secara bulat begitu saja. Mereka membiarkan kaum borjuis bersarang terus dalam semua alat negara dan melakukan perlawanan diam-diam terhadap kaum proletar, serta mensabotase semua putusan dan undang-undang kaum proletar yang memegang kekuasaan di masa itu. Para pemimpn proletar tidak menukar alat negara borjuis dengan alat negara proletar, oleh dan untuk kaum proletar.
Kealpaan kaum proletar Paris itulah yang oleh Marx dianggap menjadi sebab utama Comune Paris dapat dihancurkan oleh kaum borjuis dari dalam dan dari luar dalam waktu singkat.
Proletar Rusia di bawah pimpinan Partai Komunis tidak mewarisi bulat-bulat alat negara yang dipusakakan oleh Tsar, seperti yang berturut-turut diwarisi oleh kaum borjuis Rusia, di bawah pimpinan profesor Miljukoff dan oleh partai sosial revolusioner yang mewakili kaum borjuis kecil, di bawah pimpinan Kerensky dan kawan-kawannya. Kaum komunis menghancurkan alat negara peninggalan Tsar beserta ningratnya yang diwarisi bulat-bulat oleh borjuis besar dan kecil itu, sambil menggantinnya dengan alat negara proletar. Pemerintahannya lama diganti dengan Soviet, tentara feodal borjuis diganti dengan tentara merah, polisi feodal borjuis di babat dan ditukar dengan polisi proletar, mahkamah feodal borjuis dihapuskan dengan mahkamah proletar, Pendidikan feodal borjuis ditukar pendidikan proletar dan sebagainya.
Dengan diktator proletariatnya, maka Soviet Rusia, sudah berdiri lebih daripada 30 tahun dan sudah sanggup mengganti negara setengah kapitalis dengan negara industri kelas satu : sudah menang berperang dan sudah saggup memusatkan tenaga lebih dari pada 300 juta manusia, atau sepertujuh dari jumlah seluruh manusia, serta menduduki seperlima dari seluruh daratan di dunia.
Tetapi komunisme sejati yang meliputi seluruh dunia haruslah lebih dahulu melalui zaman peralihan, yakni zaman diktator proletar yang menguasai seluruh dunia pula. Sekarang manusia yang berpaham komunis, manusia yang berbentuk dan berwarna bermacam-macam itu, yang mendiami puluhan negara pada pelbagai macam kondisi geografis serat kebudayaan di lima benua, memang sedang mengorganisasi dan mengerahkan kaum proletar dunia dengan hasrat menghancurkan kaum ningrat-borjuis beserta kaki tangannya di seluruh dunia.