Sebuah tugas yang berat tapi suci, sekarang dipikulkan di atas bahu setiap orang Indonesia untuk memerdekakan 55 juta jiwa dari perbudakan yang beratus-ratus tahun lamanya, dan memimpin mereka ke pintu gerbang hidup baru.
Zaman yang lalu, zaman penjajahan Hindu dan Islam serta zaman "kesaktian" yang gelap itu, tak dapat menolong kita sedikit pun. Marilah sekarang kita bangun termbok baja antara zaman dulu dan zaman depan, dan jangan sekali-kali melihat ke belakang dan mencoba-coba mempergunakan tenaga purbakala itu untuk mendorongkan masyarakat yang berbahagia. Marilah kita pergunakan pikiran yang "rasional" sebab pengetahuan dan cara berpikir yang begitu adalah tingkatan tertinggi dalam peradaban manusia dan tingkatan pertama buat zaman depan. Cara berpikir yang rasional membawa kita kepada penguasaan atas sumber daya alam yang mendatangkan manfaat, dan pemakaian yang benar — kepada cara pemakaian itu makin lama makin bergantung nasib manusia. Hanya cara berpikir dan bekerja yang rasional yang dapat membawa manusia dari ketakhayulan, kelaparan, wabah penyakit dan perbudakan, menuju kepada kebenaran. Kita sangat menjunjung tinggi kesaktian dan adat istiadat serta kebenaran bangsa Timur. Akan tetapi semuanya itu tidaklah mendatangkan pencerahan, kemauan kepada peradaban dan kemajuan, cita-cita tentang masyarakat yang baik, tinggi, bagus, serta tidak pula mendatangkan yang baik di dalam sejarah dunia. Pujilah kepintaran Timur sang pemilik batinnya sendiri, kegaiban atau kekeramatan Timur, bilamana anda suka. Semuanya itu sebenarnya merupakan asal mula dari kesengsaraan dan penyiksaan mematikan semangat kerja dalam masyarakat yang tak layak bagi pergaulan manusia. Manusia haruslah berdaya, mencoba berjuang, kalah atau menang dalam ikhtiarnya itu. Sebab, inilah yang dinamakan hidup! Karena itu, hapuslah segala macam kepuasan yang menyuburkan semangat budak dan buanglah kesalahan kosong sebab ini adalah kesesatan pikiran semata.
Manusia mesti mematahkan semua yang merintangi kemerdekaannya. Ia harus merdeka! Sebuah bangsa pun mesti merdeka berpikir dan berikhtiar. Jadi ia mesti berdiri atau berubah dengan pikiran dan daya upaya yang sesuai dengan kecakapan, perasaan dan kemauannya. Tiap-tiap manusia atau bangsa harus mempergunakan tenaganya buat memajukan kebudayaan manusia umum. Jika tidak, ia tak layak menjadi seorang manusia atau bangsa dan pada hakikatnya tak berbeda sedikit jua dengan seekor binatang.
Tetapi kamu orang Indonesia yang 55,000,000 tak kan mungkin merdeka selama kamu belum menghapuskan segala "kotoran kesaktian" itu dari kepalamu, selama kamu masih memuja kebudayaan kuno yang penuh dengan kepasifan, membatu, dan selama kamu bersemangat budak belia. Tenaga ekonomi dan sosial yang ada pada waktu ini, harus kamu persatukan untuk menentang imperialisme Barat yang sedang terpecah-pecah itu, dengan senjata semangat revolusioner-proletaris, yaitu dialektis materialisme. Kamu tak boleh kalah oleh orang Barat dalam hal pemikiran, penyelidikan, kejujuran, kegembiraan, kerelaan dalam segala rupa pengorbanan. Juga kamu tidak boleh dikalahkan mereka dalam perjuangan sosial. Akuilah dengan tulus, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru orang Barat, melainkan seorang murid dari Timur yang cerdas, suka mengikuti kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat.
Sebelum bangsa Indonesia mengerti dan mempergunakan segala kepandaian dan pengetahuan Barat, belumlah ia tamat dari sekolah Barat. Karena itu, janganlah menjatuhkan diri dalam kesesatan dengan mengira bahwa kebudayaan Timur yang dulu atau sekarang lebih tinggi dari kebudayaan Barat sekarang. Ini boleh kamu katakan, bilamana kamu sudah melebihi pengetahuan, kecakapan dan cara berpikir orang Barat. Sekurang-kurangnya masyarakat kamu sudah mengeluarkan orang yang lebih dari seorang dari Newton, Marx dan Lenin, barulah kamu boleh bangga. Pada waktu ini sungguh sia-sia dan tak layak bagi kamu mengeluarkan perkataan sudah "lebih pintar" dan tak perlu belajar lagi, sebab banyak sekali yang belum kamu ketahui. Pun jika perkataan itu keluar dari seorang bekas murid yang melupakan ajaran gurunya. Kamu belum boleh membanggakan kelebihanmu karena kamu belum layak jadi seorang murid, seperti terbukti dengan kekolotan dan akar-akar takhayul yang masih berbelit-belit dalam kepalamu. Bila sekalian keruwetan itu sudah lenyap dari kepalamu, barulah kamu dianggap orang sebagai murid, dan mulailah mempergunakan pikiran "baru" dengan sempurna.
Jadi, janganlah bimbang merampas kemerdekaan bila kamu ingin jadi seorang murid Barat. Juga jangan dilupakan bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum seorang manusia, bila kamu tak ingin merdeka dan belajar bekerja sendiri! Bagi bangsa Indonesia, manusia tiada harapan akan memperoleh kemajuan bila berada di bawah tumit imperialisme Belanda. Bila seseorang ingin menaiki tangga sosial dan kebudayaan, haruslah ia merdeka lebih dulu. Adapun paham tentang kemerdekaan, di Baratlah dilahirkan dan dipergunakan.
Seseorang yang ingin menjadi murid Barat atau manusia, hendaklah merdeka dengan mernakai senjata Barat yang rasional. Apabila sudah dapat memakainya, barulah ia dapat menciptakan sebuah pergaulan hidup yang baru dan rasional.
Kemudian kecakapan dan kemauan menurut alam dapat tumbuh, dan dengan itu pula kekayaan tanah Indonesia yang tak terkira itu dapat diusahakan dan dipergunakan buat keluhuran bangsa Indonesia yang telah tertindas dan merana sekian lama di bawah tapak kaki Belanda.
Karena itu, wahai kaum revolusioner, siapkanlah barisanmu dengan selekas-lekasnya! Gabungkanlah buruh dan tani yang berjuta-juta, serta penduduk kota dan kaum terpelajar di dalam satu partai massa proletar.
Tunjukkan kepada tiap-tiap orang Indonesia yang cinta akan kemerdekaan tentang arti kemerdekaan Indonesia dalam hal materi dan ide. Panggil dan himpunkanlah orang-orang yang berjuta-juta dari kota dan desa, pantai dan gunung, ke bawah panji revolusioner. Bimbingkanlah tangan si pembanting tulang dan budak belian itu hari ini dan besok; bawalah mereka menerjang benteng musuh yang rapi itu! Di sanalah tempatmu pemimpin-pemimpin revolusioner! Di muka barisan laskar itulah tempatmu berdiri dan kerahkanlah teman sejawatmu menerjang musuh; inilah kewajiban seorang yang berhati singa! Dirikanlah di tengah-tengah laskarmu itu satu pusat pimpinan, tempat menjatuhkan suatu perintah kepada mereka semua yang haus serta lapar itu, dan pasti kata-katamu akan didengar dan diturut mereka dengan bersungguh hati.
Kamu, ahli pidato pahlawan Homerus modern, berserulah di tengah-tengah massa yang tak sabar menanti-nantikan kedatanganmu dengan tepuk sorak dan kegembiraan.
Dan dengan pidatomu itu, tegakkanlah mereka yang lemah, bukakan mata yang buta, korek kuping yang tuli, bangunkan yang tidur, suruh berdiri yang duduk dan suruh berjalan yang berdiri; itulah kewajiban seorang yang tahu akan kewajiban seorang putera tumpah darahnya. Di situlah tempatmu berdiri dan berdiri, di situ sampai nyawamu dicabut oleh peluru atau pedang musuh yang bengis keji dan hina itu.
Itu kewajibanmu!
Kamu pahlawan dari angkatan revolusioner! Tuntunlah massa si lapar, si miskin, si hina, si melarat, si haus itu menempuh barisan musuh dan robohkanlah bentengnya itu, cabut nyawanya, patahkan tulangnya, tanamkan tiang benderamu di atas bentengnya itu. janganlah kamu biarkan bendera itu diturunkan atau ditukar oleh siapapun. Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putera Tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.
Biarlah yang tersebut di atas itu senantiasa menjadi kenang-kenangan bagi kita semua. Bersama massa, kita berderap menuntut hak dan kemerdekaan.