Pasal 1. Dewan dan Parlemen
Sebenarnya perkataan Parlemen itu tiadalah boleh kita terjemahkan saja dengan perkataan yang lebih lazim kita dengar sekarang, yaitu “Dewan”. Wujud dan keadaan kedua anggota itu sangat berlainan sekali. Sungguhpun susah mencari kabar yang sah dan terang, bagaimana kuasanya Sultan atau Dewan (Dewan itu anggota yang membantu Sultan memerintah pada zaman dahulu kala). Masing-masing pada zaman purbakala, tetapi pada sangka kita cara-cara, yang dilakonkan di komedi bangsawan bolehlah dikatakan tiruan yang hampir sempurna.
Apabila tuanku yang maha tinggi itu, yang bersemayam di istana saja. Bertanyakan perihal negeri, kepada mamanda pemangku bumi atau yang mulia perdana menteri atau lain-lain pembesar kerajaan, maka jawabnya “bumi senang padi menjadi”. Jawab itu selalu hendaknya menyenangkan hati dan telinga yang dipertuan.
Pembesar-pembesar itu tiadalah dipilih oleh hamba rakyat; mereka biasanya raja-raja kecil, orang bangsawan dan terutama sekali kekasih dan kepercayaan raja. Banyaknya pula di antara isi Dewan itu, yang suka mengambil muka pada baginda dan ingin hendak mendapat pangkat tinggi. Dari pihak bangsawan semacam itu, yang hidup dengan boros, hal mana menyebabkan terpaksa memeras rakyat, tentulah kita tiada boleh mengharapkan ia terutama sekali akan menaikan keperluan rakyat atau mengeluarkan suara yang tiada nyaman didengar oleh telinga raja.
Biasanya pembesar-pembesar yang tersebut tiada pergi melihat dengan mata sendiri, bagiamana hal ihwalnya rakyat. Dengan pegawai, polisi atau mata-mata mereka merasa sudah cukup menjalankan kewajibannya. Untunglah kalau ada raja yang adil. Tetapi keuntungan ini jarang sekali didapat; raja itu manusia juga; lalimnya raja-raja Timur pada zaman dulu termasyur sekali.
Dengan peringatan yang sedikit ini bolehlah kita putuskan bahwa keadaan Dewan itu berlainan sekali dengan Parlemen masa sekarang. Seperti diterangkan tadi anggotanya Dewan itu tidaklah dipilih oleh orang banyak, melainkan oleh raja.
Dan kalau pembesar-pembesar itu bukan “untuk” anak rakyat melainkan musuhnya, tiadalah ada kuasa rakyat akan memecatkannya, dan menukar yang lain yang disukainya. Lain halnya Parlemen (Nanti kita memberi keterangan yang lebih lanjut tentang sesuatu Parlemen).
Anggotanya dipilih orang banyak dan mereka itu ada berkuasa akan memeriksa pekerjaan wakilnya itu.
Kalau kita pikir lagi, bahwa anggota-anggota Dewan itu asalnya dari golongan yang tinggi yang tiada campur dengan orang banyak, tiada merasa susahnya si Kromo (orang kecil), tiadalah kita sia-sia mengatakan yang anggota Dewan bukan wakil rakyat dan tiadalah kita heran, kalau keperluan mereka itu berlawanan dengan keperluan rakyat.
Kuasanya pun Dewan itu tidaklah berbandingan dengan Parlemen. Dewan itu gunanya untuk memberi suara saja, sungguhpun suara itu seperti diterangkan tadi, bukan suaranya orang banyak. Raja tiada perlu mendengarkan atau memperdulikan suara dan nasehat itu.
Tetulah ada juga kesamaan Dewan dengan Parlemen, yaitu dalam hal gunanya; keduanya bermaksud akan memerintah negeri, seperti ada juga kesamaan antara gerobak dengan kereta api, yaitu pengangkut barang. Tetapi seperti gerobak bukan kereta api, demikianlah juga Dewan itu bukan Parlemen.
Nanti kalau keadaan, kuasa dan gunanya Parlemen diuraikan lebih dalam dan lanjut, bolehlah kita merasa, perbedaan kedua bahwa Dewan pada zaman kuno boleh digulak-gulingkan oleh raja menurut sekehendak hatinya pada tiap-tiap ketika, sedangkan di negeri yang berparlemen sejati zaman sekarang raja itu haruslah mengikuti saja apa kemauan Parlemen, meskipun tiada setuju dengan paham atau kemauannya.
Pasal 2. Parlemen berlawanan dengan raja
Seperti diceritakan tadi Dewan itu tinggal suatu anggota yang semata-mata menjadi perkakas bagi raja. Tiadalah begitu di sebelah Barat. Barangkali sebab keras hati kemerdekaannya bangsa Barat, barangkali sebab tiada buta lantaran adat atau agama, maka Parlemen sudah melawan keras pada kemauan raja sewenang-wenang, dan perselisihan atau peperangan itu disudahi dengan kuat dari pihak raja, “bahwa Parlemen itulah yang terkuasa sebagai kemauan rakyat” (Volssouvereinitcit).
Perselisihan itu, lebih-lebih pada abad yang baru lalu boleh dikatakan di seluruh Eropa. Dimana Parlemen meminta kuasa yang tertinggi dan memaksa, supaya raja mengaku kekuasaannya. Sungguhpun perselisihan itu terjadi di antara tanah Eropa, tetapi gelanggang yang akan kita pilih ialah tanah Inggris, karena di sanalah orang banyak yang sebenarnya sadar dan di sanalah orang banyak yang sebenarnya sadar dan di sanalah Parlemen itu yang tertua. Sungguhpun tanah Perancis boleh dikatakan pokok dari pergerakan demokrasi zaman sekarang, sungguhpun di sana rakyat mengalahkan raja, bangsawan dan pendetanya dengan ribut dan topan yang hampir tiada berbanding. Tetapi kemenangan Parlemen atas raja sudah satu abad dahulu dari itu terjadinya di tanah Inggris.
Marilah kita ikut perkelahian itu.
Pada abad ke 17 tanah Inggris sudah lama mempunyai parlemen, asalnya sudah dari abad ke 13 (tahun 1215). Pada waktu ini dapatlah hamba rakyat memaksa pada rajanya yang dalam kesempitan berperang, mengaku sahnya pelakat “Magna Carta”. Di sana ditetapkan alasan kemerdekaan tiap-tiap orang dan hak pada harta bendanya. Tiadalah boleh seorang juga dihukum, kalau tiada dengan alasan undang-undang negeri. Kebenaran dan keadilan tiadalah boleh dijual atau dibeli. Wujudnya tiadalah hakim boleh menghukum menilik kekayaan, atau kemiskinan orang, atau menerima uang suapan.
Oleh karena raja tiada menepati janji yang tertulis di Magna Carta itu dan sebab keborosannya, maka berkumpullah wakil bangsawan dan rakyat dan mengadakan rapat. Kesudahannya dijadikan Parlemen yang terpaksa diakui dan disahkan raja. Anggotanya dan kuasanya Parlemen itu makin lama makin bertambah-tambah. Segala pajak haruslah dulu dibenarkannya demikianlah kehendak raja tadi tiada boleh dilakukannya saja oleh menghukumi atau perdana menteri, kalau Parlemen belum lebih dulu mengabulkan. Perlu diwartakan sedikit, bahwa Parlemen itu terbagi dua atas “Majelis Tinggi” (House of Lord, atau Majelis Tinggi – Ed.) yang beranggota bangsawan-bangsawan tinggi dan “Lagerhusis” (House of Common, atau Majelis Rendah, seringkali inilah yang disebut Parlemen – Ed.) yang beranggota bangsawan rendah-rendahan dan wakil-wakil orang banyak.
Adapun Parlemen tiadalah bisa berdamai dengan raja. Satu di antaranya mesti mundur. Satu dari perkelahian yang banyak dan hebat itu, terjadi pada abad ke 17 ketika raja Charles I memerintah tanah Inggris. Kesumatnya sudah dicari lebih dahulu oleh Jacob I., bapak dari raja tersebut tadi. Jacob I sudah mengumumkan (mengumumkan), bahwa dialah yang terkuasa dan kuasanya itu diterimanya dari Tuhan, dan hak-hak Parlemen disebabkan oleh belas kasihannya Baginda itu saja. Sekarang Parlemen mengawasi segala haknya, supaya jangan dipotong-potong.
Pemerintah Charles I disambut dengan perjuangan yang besar dengan Parlemen, oleh karena menteri beliau adalah sangat boros. Karena raja yang kalah, haruslah dia mengakui sahnya “Petition of Right, pada undang-undang mana ditentukan, bahwa tiada boleh orang ditangkap, kalau tiada bersebab, dan dilarang mengambil pajak. Memungut uang tunai pada barang-barang masuk dan ke luar tiadalah diizinkan lagi seperti biasanya, selama dia memerintah, melainkan untuk setahun saja. Masygul dan murka akan kuasanya Parlemen maka oleh sebab itu Baginda mencoba memerintah tidak dengan Parlemen, lamanya 11 tahun.
Kemudian karena berperang dengan bangsa Schot (sebagian dari beliau punya rakyat) terpaksalah pula memanggil Parlemen kembali. Jangankan Parlemen memperlihatkan takutnya, tetapi ia tiada memberi izin pula lagi kepada raja memungut tunai dan ia mencacat-cacat akan kelaliman orang-orang pemberi nasihat Baginda. Disuruh saja Parlemen itu pulang, karena suara yang macam itu tiada nyaman kedengaran oleh telinga baginda. Tetapi karena dikalahkan oleh bangsa Schot tadi, maka Bagindapun terpaksalah pula memanggil kembali (tahun 1640). Dua puluh tahun lamanya tidak disuruh-suruh pulang.
Sekarang Parlemen memperlihatkan kuasanya, serta ia menuduh seseorang kepercayaan raja, yaitu menteri Graaf Strafford, yang dihukum bunuh. Kesumat (permusuhan) antara raja dan Parlemen tiadalah berubah. Kesudahannya sampai berselisih. Baginda menuduh beberapa anggota-anggota parlemen, bahwa mereka memecahkan rahasia. Tetapi daya upaya Baginda hendak menangkap mereka itu tinggal sia-sia saja. Selisih tadi mendatangkan peperangan. Mula-mula raja ada beruntung tetapi tatkala Cromwell, juga seorang anggota Parlemen, masuk gelanggang peperangan, maka bala tentara Parlemen berurut-turut mendapat kemenangan.
Cromwell tiada dapat sekata dengan Parlemen, tetapi karangan ini akan melampaui maksudnya, kalau kita mesti menguraikan pula perselisihan antara Cromwell dengan Parlemen itu. Sebab itulah kita lekas kembali kepada Baginda. Dekat negeri Naseby beliau dikalahkan oleh Cromwell, sehingga terpaksa lari pada bangsa Schot, yang memerangi beliau dahulu, bangsa Schot menyerahkan Baginda pada Parlemen.
Sesudah Cromwell mengusir musuhnya dalam Parlemen (yaitu anggota-anggota juga seperti dia sendiri) yang selalu merintangi kemauannya maka diangkatnya satu “Sidang Hakim” yang menjatuhkan hukuman mati pada raja Charles I. Belumlah terseua dalam sejarah (sejarah) manapun kejadian semacam ini, yang hamba rakyat berani mengangkat pedang di atas kepala seorang raja.
Sesudahnya raja dibunuh, maka tanah Inggris dijadikan Republik, yang dikepalai oleh Cromwell.
Anak Cromwell tiadalah dapat mempertahankan republik yang didirikan bapaknya, sehingga “Kaum raja” sangguplah menaikkan Charles II (anak Charles I) ke atas kerajaan. Oleh karena kekasihannya kepada kaum Alim Katholik, maka ia diseterui kembali oleh Parlemen. Permusuhan itu makin lama makin dalam, disebabkan juga karena kelemahan Charles II itu tentang politik dalam dan luar negeri.
Banyaklah pula dalam masa ini undang-undang yang didirikan yang menambah pengakuan kemerdekaan orang-orang negeri tanah Inggris. Yang terutama sekali “Habeas Corpus Act.” (tahun 1679) yang menetapkan, bahwa tiada boleh seorang juga dimasukkan ke dalam penjara atau ditahan (preventief), kalau tidak lebih dahulu dengan surat perintah, dimana diterangkan kesalahannya, dan perkara seorang yang tertuduh haruslah sesudah tiga hari tutupan, atau tahanan, diperiksa. Jadi tiadalah boleh siapapun ditangkap saja atau ditahan lama, karena hal-hal itu boleh melahirkan sewenang-wenang.
Dalam pemerintahan Jacob II (anak dari Charles II), perseteruan raja dengan Parlemen tiadalah mundur. Setelah jemulah kaum di Inggris akan Rajanya, yang bersifat lalim, maka dipanggilnya Willem van Oranye dari negeri Belanda akan memerintah negerinya, permintaan itu dikabulkan. Setelah ia tiba di tanah Inggris dengan bala tentara, maka raja Jacob II larilah ke Perancis.
Willem van Oranye mengakui “Declaration of Right” dengan sumpah. Dalam undang-undang inilah ditetapkan hak-haknya rakyat. Dari sekarang tiadalah raja boleh menggulak-galikan Parlemen lagi, karena Parlemen sendiri berhak akan memilih raja. Sudah tentulah dipilihnya raja, yang mau memerintah menurut undang-undang yang menghormati kemerdekaan dan kekuasaan rakyat dan Parlemen.
Kita harap, bahwa dengan misal yang terjadi di tanah Inggris ketika 250 tahun terlampau itu akan sampai maksud kita buat memutuskan, bahwa kemauan Parlemen dan kemauan raja selalu berbantah, dan perlawanan itu tiadalah akan berhenti, sebelum salah satunya mundur. Akan penambahan keterangan yang lebar, diambil misal tanah Jerman, dimana pemerintah dan Parlemen juga tiada bisa cocok.
Pasal 3 Parlemen di Jerman sampai ke tahun 1918 hanyalah perkakas saja.
Kebetulan di tanah Inggris perlawanan Parlemen dengan pemerintahan raja (Monarki) disudahi oleh kemenangan pada pihak yang pertama. Tiadalah begitu di tanah Jerman, terutama karena lembutnya hati wakil-wakil Rakyat dan kedua, lantaran keras lawannya pemerintah, lebih-lebih pada ketika parlemen baru lahir.
Adapun kerajaan Jerman dinaikkan oleh Kaisar Bismarck. Kebetulan pada masa Bismarck menjadi kepercayaan kaisarnya (Wilhelm I), maka kaum Sosialis di Eropa dimana-mana mau merebut banyak kursi dalam Parlemen, supaya dengan jalan ini dia boleh menyampaikan niatnya akan memajukan rakyat. Kaum yang berkehendak kemajuan di dalam Parlemen, sesudah tanah Jerman menjadi masyhur, (disebabkan kemenangan atas bangsa Perancis pada tahun 1870), ialah kaum “National Liberal”. Tentulah kaum ini tidak searah (setuju) dengan partai yang kuat pula, yaitu bangsawan, dengan militernya. Bangsawan, militer dan orang kaya-kaya, yang setia pada Kaisarnya, mendapat kepala yang keras dan pintar sekali pada Kaisar Bismarck. Jaranglah satu diplomat pada abad yang ke 19 sanggup menyamai Bismarck. Oleh karena kemenangan perang atas bangsa Perancis semata-mata disebabkan oleh Kaisar perkasa itu, maka Bismarck sangatlah dicintai orang banyak dan bangsawan-bangsawan.
Kalau kita pikir, berapa banyaknya kaum bangsawan kuno, yang menyebrang di dalam Parlemen ke pihak Bismarck, maka dengan kepintaran dan kemauanya yang begitu keras, mudahlah ia melawan “national Liberal” tadi dan meneruskan kemauannya sendiri.
Tidaklah kita heran, kalau di tanah Jerman orang mengatakan, bahwa Parlemen itu berlawanan dengan Pemerintah yang dikatakan pemerintah itu yakni raja, Kaisar dan menteri-menteri. Di tanah Inggris pembesar-pembesar semuanya diangkat oleh Parlemen, dipilih dari antara anggotanya, yaitu anggota-anggota yang disukai orang banyak. Apabila anggota-anggota itu dalam pekerjaan Menteri tiada memadai, maka Parlemen ada berkuasa akan menurunkannya. Dan raja pun sudah bersumpah lebih dahulu tiada akan melanggar undang-undang orang banyak dan Parlemen, maknanya, raja, Premier (menteri yang pertama) dan segala menteri yang lain cuma menurut perintah Parlemen saja (ini sepanjang teori kaum modal).
Tetapi di tanah Jerman raja itu berkuasa sekali. Ialah yang boleh memilih menteri-menteri, ialah yang boleh memecatnya. Kita lekas merasa, bahwa wakil dari kaum buruh selalu akan berlawan dengan pemerintah yaitu menteri-menteri yang diangkat kaisar (Sultan) yang tiada memperdulikan sayang atau tiadanya hamba Rakyat pada pembesar-pembesar yang disorongkannya itu.
Tetapi apakah daya, kaum sosialis? Pada waktu memilih wakil untuk Parlemen saja, sudah kelihatan kuasanya bangsawan, hartawan dan kaum militer. Lebih-lebih di Pruisen, dimana orang gemetar kalau melihat kaum Militer, takut pada pegawai yang asalnya bangsawan; tentulah orang terpaksa memilih wakil dari golongan yang tinggi juga, yang tentu tiada akan menaikkan keperluan orang banyak, melainkan semata-mata keperluan tuan-tuan tanah yang memiliki kebun-kebun di Pruisen. Wakil yang macam itu sudah tentu mendukung pada Kaisar Bismarck dan pemerintah. Kelemahan kaum “National Liberal” adalah baik sekali dilukiskan oleh Von Gerlach, pengarang parlementarisme (ilmu tentang parlemen). Demikianlah bunyinya:
"pada pembacaan Bergrooting (maksudnya pemerintah) yang pertama kalinya, maka kedengaranlah kaum “National Liberal” mempertahankan dan mengumumkan cita-citanya. Dalam commissie (dimana maksud pemerintah itu diperiksa oleh anggota-anggota Parlemen) orang mencoba memasukkan sebagian dari pahamnya tadi ke dalam Begrooting Bismarck (cuma sebagian saja, alamat kaum National Liberal akan mundur).
Dalam pembacaan (Pembacaan) yang kedua Bismarck bertitah, bahwa pertimbangan kaum liberal tiada boleh diterima. Dalam waktu antara pembacaan ke 2 dengan ke 3 kaum Liberal mencoba tawar menawar dengan kepercayaan Bismarck, supaya Bismarck jangan membelakang (membuang) paham kaum liberal sama sekali (sudah merasa akan mundur). Tetapi seperti biasanya tiadalah ada paham kaum Liberal yang boleh dipakai. Bismarck mau atau semua atau sekali-kali tidak. Dia tinggal bersikeras dan lawannya menjadi bubur. Dan pada pembacaan yang ketiga kaum Liberal sendiri membatalkan, yaitu dengan hati keberaratan, segala yang dikehendakinya sendiri, pada pembacaan yang kedua dan ketiga. Bismarck menang. Dan kaum Liberall berserah saja."
Pada petikan dari karangan tuan Von Gerlach sedikit ini kita boleh melihat betapa kuasanya pemerintah dalam hal ini Kaisar Bismarck – dan betapa lemahnya Parlemen Jerman. Sebenarnya salah Parlemen juga, karena selalu mundur. Kalau anggotanya ada bermalu dan yakin, tentulah ia harus mempertahankan pahamnya sendiri dan keperluan orang banyak. Kalau Bismarck mau melangsungkan juga, baik, tetapi Bismarck-lah sendiri menanggung hasil perbuatannya. Sekarang kaum Liberal sendiri serta membenarkan pemerintah tadi artinya juga serta menanggung baik buruknya aturan itu.
Kelemahan itu bukan saja memberi malu bagi “Wakil Rakyat” tetapi juga boleh mendatangkan celaka pada Rakyat dan pada kaum yang membatalkan paham sendiri (Partai Liberal). Untunglah Bismark selalu beruntung. Juga karena sangat lanjut pikirannya. Tetapi bagaimanakah kalau pemerintah tiada sepintar Bismarck?
Kalau tahu, bahwa belum lama lagi antaranya, ketika tanah Jerman berperang besar, selalu kaum progresif itu (kecuali kaum Sosialis yang dikepalai oleh Liebknecht) mengabulkan sekalian permintaan pemerintah, selalu mengizinkan “memakai” orang untuk perang. Kecelakaan politik perang pemerintah itu mesti juga tertanggung oleh kaum progresif yang menamai dirinya wakil kaum buruh, yang berkata mencintai “Damai di seluruh Dunia”, dan tidak setuju dengan kemauan kaum kapitalis yang mau memiliki tanah-tanah kepunyaan orang lain.
Barangkali bangsa Jerman dipukul rata tidak sebegitu bersifat keras hati semacam bangsa Inggris dan barangkali juga Parlemen di Jerman masih ingat pada “momok Bismarck” yang pada masa kecilnya begitu kerap kali mengejut-ngejuti dan menakutinya. Tetapi sungguhlah betul, bahwa parlemen di Jerman, meskipun hidup di abad ke dua puluh, masih tidak insaf akan kodratnya, dan masih jadi perkakas pada pemerintah dan kaisarnya.
Marilah kita periksa lebih lanjut, bagaimana Parlemen ini menyia-nyiakan senjatanya yang tajam sebagai hak Initiatief (yaitu hak bagi tiap-tiap wakil untuk mengeluarkan pertimbangan yang boleh menjadi undang-undang untuuk kebaikan orang kecil) dan “hak Interpellatie” (hak wakil rakyat akan meminta keterangan pada pemerintah tentang segala pembuatannya. Maksudnya supaya pekerjaan sewenang-wenang dari pihak pejabat boleh terhindar).
Di tanah Inggris umpamanya, dimana pemerintah asalnya dari Parlemen: “hak Initiatief” tiadalah begitu perlu karena hak itu boleh dipulangkan kepada Menteri-menteri, yang dipilih oleh parlemen dari anggotanya sendiri (di tanah Inggris partai yang kuat dalam Parlemenlah yang mengangkat menteri-menteri). Tetapi di tanah Jerman di mana Parlemen dan Pemerintah berlawanan (di tanah Jerman Menteri-menteri bukan diangkat oleh Parlemen, melainkan oleh Kaisar) haruslah hak itu dimuliakan benar. Apa yang kekurangan pada urusan Pemerintah, boleh dipenuhi oleh wakil-wakil Rakyat. Meskipun pertimbangan wakil-wakil tidak dikabulkan pemerintah, tiadalah mengapa karena suara dalam Parlemen itu sudah didengar oleh orang banyak dan pertimbangan yang diketengahkan wakilnya itu boleh dipikirkannya oleh Rakyat sendiri lebih lanjut.
Kalau kelihatan berfaedah, tentulah tiada akan hilang dari kenang-kenangannya. Pada “waktu Pilihan”, yang akan datang tentulah wakil yang mengeluarkan pertimbangan tadi dan kalau sistem di Parlemen akan dipilih, dan musuh wakil itu tiada dipilih, melainkan diganti dengan yang suka menaikkan pertimbangan itu sekali lagi, sampai pemerintah terpaksa mengabulkan permintaan orang banyak.
Tetapi salah langkah, kalau percaya, bahwa wakil kaum buruh Jerman bisa boleh memakai senjata-senjata yang tajam itu.
Hari Rabu umpamanya Parlemen boleh mengeluarkan pertimbangan (hak Initiatief). Tetapi hari yang satu ini dalam satu minggu tiadalah pula boleh dipakai sama sekali, karena sudah ditetapkan lebih dulu, bahwa lima perenam bagian dan hari itu akan dipergunakan untuk membicarakan pertimbangan yang datangnya dari pihak pemerintah. Cuma seperenamnya untuk pertimbangan, yang datang dari pada pihak anggota Parlemen yang bernafsu. Tetapi biasanya pemerintah tiada memperdulikan aturan itu. Demikianlah dari antara 100 pertimbangan yang datangnya dari Parlemen pada tahun 1907 dari bulan Febuari sampai bulan Mei tiada satu diperdulikan.
Apakah gunanya hak Initiatief semacam itu?
Lagi pula Parlemen tiada berkausa buat memaksa pemerintah menjalankan apa yang sudah dikabulkan tadi. Sungguhpun begitu besar kehinaan datangnya dari pihak pemerintah, tetapi tiadalah Parlemen Jerman pernah memperlihatkan tulang kerasnya, yaitu melarang segala pertimbangan yang datang dari pemerintah dengan jalan Obtaructie artinya menghalang-halangi segala pertimbangan pemerintah dengan bermacam-macam muslihat, umpamanya membuat gaduh bersama-sama, sehingga “Pembacaan” tidak kedengaran, atau tidak boleh dilangsungkan; atau membuat pidato yang berjam-jam lamanya, sehingga pemerintah pusing. Demikianlah, kalau pemerintah besoknya datang dengan pertimbangan itu sekali lagi, perbuatan Obstructie itu diulangi lagi. Belumlah tentu siapa yang akan menang, kalau kerasnya pemerintah dilawan dengan keras pula oleh Parlemen.
Di tanah Inggris seorang anggota Parlemen boleh bertanya tentang perbuatan pemerintah (menteri-menteri). Dengan jalan ini rakyat boleh mengetahui dan menimbang, bilamana juga, baik atau tidaknya perbuatan pemerintah. Kalau pertanyaan itu ditimbang berarti atau penting, haruslah menteri yang ditanya itu esok harinya dengan berhadap-hadapan memberi jawab. Anggota boleh memutuskan, cukup, atau tidak jawaban itu.
“Hak bertanya“ semacam di Inggris ini tidak ada di tanah Jerman, tetapi “hak Interpellatie” wujudnya boleh hampir bersamaan.
Tetapi jalan untuk bertanya itu sangat sekali diperpanjang oleh pemerintah tanah Jerman. Mula-mulanya haruslah pertanyaan itu ditanda tangani oleh 30 orang anggota. Di Parlemen barulah boleh ditimbang, atau dibicarakan, kalau sekurang-kurangnya 5 orang anggota yang memberi izin. Sungguhpun tanda tangan yang 50 orang itu diperoleh, tetapi belumlah boleh dapat jawaban besok harinya seperti di tanah Inggris, karena pemerintah berhak boleh memberi jawab bila dia mau saja. Kalau pemerintah sudah “main gelap”, maka waktu menjawab tadi, dijanjikannya dari besok ke minggu yang akan datang, dari minggu itu ke bulan baru, sampai pertanyaan dan jawabnya lupa oleh segenap pihak. Tetapi, kalau pertanyaan tadi datang dari konco-konco pemerintah, yang jadi wakil dalam Parlemen, maka pertanyaan tadi segera di jawab, sebab sudah tahu dari dulu, bahwa konco-konco itu tiada akan menanyakan perkara yang akan membuka rahasia pemerintah. Demikianlah pandai pula pemerintah itu bermuka manis memperlihatkan kelurusan dalam segala perbuatannya. Dengan jalan serupa itu “hak Interpellatie” yang begitu berfaedah bagi satu Parlemen yang sejati dihinakan oleh pemerintah tanah air sendiri.
Aturan yang semacam ini tidak dapat menyelesaikan yang kusut antara Parlemen dan tidak boleh pula mendatangkan kepercayaan rakyat baik atas Parlemen baik atas pemerintahnya.
Di tanah Jerman Kaisar itu atau wakilnya bolehlah memutuskan sendiri, mau atau tidaknya ia datang di Parlemen. Biasanya kalau ia merasa, bahwa ada topan akan datang, (kalau Parlemen mau mengeluarkan suara yang tiada nyaman didengar telinga), maka ia tinggal bersemayam di istananya saja. Acap kali Kaisar itu bersituli dan kursi-kursi pembesar pemerintah kosong, kebetulan kalau anggota-anggota Parlemen datang dengan hati panas, serta hendak mengeluarkan teguran atau celaan pada perbuatan pemerintah, labraknya anggota-anggota itu dielakkan dengan jalan tidur atau sembunyi saja.
Berhamburanlah kata-kata yang pedas-pedas di Parlemen tadi, tetapi percuma saja.
Pada Parlemen yang sejati adalah “Mosi tak Percaya” pada pemerintah suatu muslihat hendak menyuruh suatu Menteri memperhentikan pekerjaannya. “Mosi tak percaya” itu tidak ada di Jerman. Apa guna? Menteri diangkat kaisar, bukan oleh Parlemen.
Menteri-menteri cuma perkakas saja, tiada memikul tanggungan sendiri. Kalau salah perbuatannya, bukanlah dia yang menanggung, karena semua itu suruhan dari yang maha tinggi. Menteri tiadalah berkemauan sendiri. Wujudnya walaupun Parlemen mengeluarkan “Mosi tak percaya” Kaisar boleh berituli.
Apa boleh buat, Kaisar Jermanlah, yang biasanya menghapuskan saja mosi apapun pada telapak sepatunya.
Menilik karangan tuan Van Gerlach tadi, menilik hal bahwa senjata tajam pada parlemen sejati, seperti hak Interpellatie, dan initiatief, hak mengeluarkan “Mosi tak percaya” tiada dipakai oleh Parlemen di tanah Jerman, menilik perbandingan antara Parlemen dengan Kaisar Wilhelm dalam peperangan yang besar yang baru lalu ini; mengenang suatu kejadian seperti tidak ada bandingannya dalam sejarah Parlemen yang balid dalam abad 20, yaitu kejadian, apabila kaisar Wilhelm II mengangkat saja seorang pejabat yang namanya hampir tiada dikenal oleh orang banyak jangankan jasanya – ialah Michaelis, menjadi Kaisar pada waktu yang begitu penting, maka tiadalah bisa kita menanggung kehormatan terhadap kepada Parlemen yang semacam itu. Tidaklah kita rasanya terlanjur mengatakan bahwa Parlemen di tanah Jerman cuma perkakas saja. Apabila Kaisar Wilhelm II dengan hati batinnya hendak memerangi tanah kerajaan lain; hendak mengambil koloni orang pendeknya dengan jalan perang ia hendak memuaskan keinginan dan kelobaannya yang tiada berhingga itu maka tiadalah ia perlu memikirkan sekejap juga, bahwa Parlemen akan menegakkan perbuatan yang barangkali akan mendatangkan celaka benar atas Rakyat dan negerinya.
Sudahlah diterangkan oleh Karl Kautky dengan keterangan yang sempurna, bahwa peperangan yang lalu (Perang Dunia Pertama – Ed.) ini semata-mata disebabkan oleh dahaganya para kekuasan dan kemasyuran. Ialah yang mencari kesumat, yang memaksa dengan tipu muslihat, supaya peperangan datang.
Apabila waktu perang tiba, maka ia memperoleh lagi perlindungan dan pertolongan dari pihak Parlemen yang mengikuti saja, apa yang dikehendakinya. Terhadap kepada Rakyatnya dan bangsa-bangsa sopan di atas dunia, dia boleh berlaku seperti orang yang teraniaya, yang dimusuhi dan dikhianati bangsa lain, dan dia tiada bermalu mengatakan bahwa Parlemen “Wakil Rakyatnya” merelakan berperang. Semuanya itu tanda kelemahan Parlemen Jerman.