Pasal 1. Di Negeri Belanda
Sebelum kita memeriksa Parlemen atau bakal Parlemen yang ada di Asia, haruslah juga kita raba sedikit aturan pemerintahan di negeri Belanda. Pertama, sebab juga di sana ada Parlemen yang tiada berapa ubahnya dengan Parlemen yang sempurna seperti di tanah Inggris; kedua, sebab pengetahuan yang sedikit tentang parlemen negeri Belanda bagi kita tidak percuma saja, sebab kita banyak bersangkutan dengan negeri itu.
Serupa dengan di tanah Inggris, juga di negeri Belanda pemerintahan dijadikan oleh raja dan Parlemen. Kedua tanah itu boleh kita namakan negeri yang diperintahi menurut aturan parlemen sejati. Parlemennya bukan perkakas raja saja, sekali-kali tidak, melainkan raja yang harus memerintah dengan konstitusi.
Adapun yang dinamai konstitusi, yaitu segala alat dan perkumpulan segala undang-undang, yang menjadi alasan bagi pemerintah negeri, undang-undang mana menetapkan hak dan milik, dan kewajiban rakyat. Maka kesamaannya raja negeri Belanda itu dengan raja negeri Inggris yang terutama sekali tentang hal memerintah, karena dalam hal itu kedua mahkota tersebut hampirlah tiada berkuasa suatu apa. Segala aturan atau perintah dipetik dari Konstitusi yang sudah diakui sahnya ketika naik tahta. Aturan dan perintah itu mula-mula diperiksa oleh Parlemen dan dijalankan oleh kabinet.
Kita mengerti, bahwa hal ini tiadalah didapat dengan patut dalam perdamaian saja. Banyaklah pula perselisihan dan perkelahian besar yang sudah terjadi antara rakyat dan raja di negeri Belanda maka sampai kekuasaan Parlemen diakui semacam sekarang.
Perkelahian itu tidak akan diulang sekali lagi, tetapi hal itu bolehlah kita ingatkan untuk menyaksikan dan menetapkan paham kita bahwa kemauan seorang raja tiada akan cocok dengan kemauan dan keperluan orang banyak yang terbayang di parlemen.
Seperti biasanya perubahan konstitusi tiada pernah datangnya disebabkan oleh perubahan paham saja, melainkan lantaran paksaan dari bawah, rebutan dari orang banyak. Begitu juga huru-hara di Eropa pada tahun 1849 menyebabkan di negeri Belanda raja mesti memberikan sebagian besar haknya dan mensahkan aturan konstitusi baru. Dalam konstitusi itu ditetapkan bahwa raja onschendbaar (yaitu tiada bertanggungan, artinya tiada boleh dituntut atau dihukum kalau salah memerintah).
Rupanya perubahan itu, kalau kita baca begitu saja, tiada berapa dalam artinya, tetapi yang sebenarnya perubahan itu menjatuhkan segala kekuasaan atas parlemen dan kabinet (yang berasal dari parlemen juga).
Kita tahu, bahwa sebelum tahun 1849, di negeri Belanda menteri juga perkakas raja saja, seperti di tanah Jerman, juga Kaisar tanah Jerman tiada bertanggungan (onverantvoordelijk). Kalah ada salah, tiadalah dia dituntut, karena tiada berkemauan sendiri, melainkan mendapat perintah dari kaisar yang boleh bersimaharajalela saja. Sekarang seperti di negeri Belanda sesudah tahun 1849, menteri itu harus menanggung buruk baiknya perintah yang diturunkannya. Tentulah dia tiada akan berkata “ya” saja (inggih) kalau raja berkata karena dia sendiri nanti ikut menanggung kalau parlemen menuntut keterangan atau kebenaran. Kalau raja hendak memajukan juga apa kehendaknya, haruslah dan tentulah menteri akan berkata: ”baik, tetapi saya tiada mau menanggung hasilnya kelak, sebab itu baik saya diperhentikan saja”. Kalau betul ia sampai diberhentikan, sebab raja hendak berlaku menurut pahamnya sendiri, tentulah jarang dapat menteri gantinya yang mau menanggung saja kemauan raja itu. Lebih-lebih kalau sudah tampak kesalahannya oleh orang banyak. Jadi kemauan raja sejati, mendatangkan pertentangan antara pemerintah (menteri-menteri) dan Parlemen, artinya melanggar hak Rakyat yang dipercayakan kepada Parlemen.
Sesungguhnya perubahan tadi “yaitu raja tidak dan menteri ada bertanggungan” menyebabkan menterilah yang berkuasa. Lahirnya segala perintah disebutkan datang dari mahkota, tetapi pula perintah itu harus terkenal tanda tangannya menteri, artinya, kalau turun perintah tentang pendidikan umpamanya pada propinsi atau kota, haruslah perintah raja itu disahkan menteri pendidikan itu dengan tanda tangannya. Tiadalah boleh raja bertitah-titah saja pada siapapun. Sebab itulah boleh dipastikan bahwa yang sebenar-benarnya pemerintah ialah menteri-menteri.
Adapun menteri itu beruratnya di parlemen juga. Satu kabinet dipilih dari anggota-anggota parlemen yang disukai orang banyak, yaitu seperti di tanah inggris dari partai yang terkuat dalam parlemen. Wakil-wakil dalam parlemen negeri Belanda disebabkan karena “hak memilih” yang sempurna (evenredige vertegenwoordiging) adalah cukup perbandingan banyaknya dengan kaum-kaum dan partai-partai rakyat sendiri.
Dahulu “hak memilih” itu bergantung pada banyaknya pajak yang dibayar. Lantaran itu, orang yang berhasratlah yang berhak memilih; jadi yang kaya atau setengah kayalah, yang boleh diwakili dalam parlemen, yang dibela atau diuruskan keperluannya. Tetapi oleh karena usahanya kaum sosialis, maka pada tahun 1917 pemerintah terpaksa melebarkan hak memilih itu, sampai kepada tiap-tiap orang, sehingga siapapun orang yang beranggota sempurna, boleh menentukan sendiri siapa yang direlahinya akan membela nasibnya. Dari masa ini seorang kuli buruhpun boleh memilih (algemen kisrecht).
Lagi pula pada masa dulu itu tiadalah bebas seorang yang berhak memilih. Kalau satu daftar dari orang yang akan dipilih (bakal-bakal wakil) dikirim oleh pemerintah pada seorang yang berhak memilih, maka berkerumunlah di rumah si Pemilih itu segala yang lebih tinggi dari padanya umpamanya pendeta-pendeta dan alim-alim yang memaksa memilih orang alim juga; (kalau tidak masuk neraka nanti, awas!) atau seorang majikan yang menyuruh memilih konconya pula dan sebagainya. Demikianlah si pemilih jadi perkakas para kanjeng-kanjeng, santri-santri dan majikan-majikan, pada siapa kaum kromo bersangkutan nasib dan budi. Sekarang memilih itu terjadinya di muka pegawai pemerintah, yang menjaga supaya si pemilih bebas memilih yang disukainya. Tiadalah ia perlu sekarang mengatakan pada siapapun mana wakil yang dipilih (sungguhpun begitu, tiadalah lazim yang seorang dari kaum khatolik (agama) akan memilih seorang wakil sosialis, lebih-lebih di daerah yang penuh didiami yang alim-alim itu).
Satu dari “hak memilih” yang terutama juga ialah hak rakyat sendiri boleh memilih wakil parlemen tadi. Dahulu wakil itu datangnya dari tingkat yang tertinggi sekali, yang tiada berkenalan lagi dengan orang kecil, yaitu dari propinsi. Jalannya pilih memilih dulu itu adalah seperti berikut: “Rakyat memilih wakil untuk pemerintah kota (gemeenteraad). Cemeenterad menunjukkan orang yang akan jadi wakil di propinsi (daerah). Dan propinsi boleh baru memilih wakil untuk parlemen. Jadi dahulu adalah tiga tingkat yang mesti ditempuh supaya sampai di Parlemen, sehingga wakil Parlemen itu bukan datang dari harta rakyat, melainkan dari propinsi tingkat di atas sekali. Kita mengerti, bahwa wakil itu tentulah sudah dirusakkan dan digilakan raport-raport, dan rakest-rakest dan lupa akan rakyat yang di bawah yang harus diwakilinya. Macam yang begini sekarang sudah diubah pula, sehingga rakyat boleh dengan terus mengirim wakilnya ke Parlemen. Perasaan rakyat yang dikandungnya ketika masuk Parlemen bolehlah dikeluarkannya terus terang.
Kalau kita masukkan lagi bahwa wakil-wakil negeri Belanda berhak seperti temannya di tanah Inggris, yaitu berhak initiatief (menaikan pertimbangan) berhak Interpelatie (bertanyakan kelakuan pemerintah) berhak Enqueto (memeriksa kelakukan pemerintah dengan mata kepala sendiri) berhak amandement (untuk mengubah) satu pertimbangan yang datang dari menteri, maka bolehlah kita putuskan bahwa kekuasaan Parlemen negeri Belanda cukup dan sempurna.
Dengan hak memilih yang begitu lebar ia boleh mengadakan wakil dari segala golongan dalam negeri (golongan alim, kaum buruh, atau kapitalis dan sebagainya) sehingga Parlemen itu bolehlah dikatakan cermin bagi “kemauan dan kekuatan” segala golongan dalam negeri. Dari partai yang kuatlah dipilih kabinet, sehingga kabinet ini boleh mendapat suara lebih, kalau mengeluarkan pertimbangan untuk mendirikan undang-undang, sehingga Parlemen dan pemerintah (kabinet) boleh dikatakan cocok.
Sebaliknya, kalau parlemen dan kabinet menjadi bertentangan, maka adalah hak akan mengeluarkan “mosi tak percaya lagi” suatu senjata akan penarik kaki menteri dari tempat yang tertinggi itu. Dengan pilihan yang baru, boleh pula diukur kemauan rakyat. Kemauan itulah yang membayangkan dan ialah partai yang terkuat dalam Parlemen, yang akan menjadi tumpuan dan urat buat kabinet baru.
Cerita parlemen negeri Belanda bolehlah kita tutup dengan peringatan bahwa Eerste Kamer, seperti Majelis Tinggi di tanah Inggris, sekali-kali tidak menyamai kuasanya Twede Kamer; inilah yang sebenarnya Parlemen, yakni: “Twede Kamer”.
Pasal 2. Jepang dan Hindia
A. Jepang.
Tentulah kelak akan terlalu panjang dan tidak berfaedah, kalau di Asia kita bicarakan segala lembaga-lembaga untuk memerintah negeri. Sudah cukup rasanya kalau kita ambil lembaga itu dari negeri yang merdeka, dan kedua dari suatu jajahan (koloni). Segala bakal Parlemen di bagian besar Asia yang lain bolehlah kira-kira dimasukkan ke dalam kedua macam yang tersebut.
Adapun pemeriksaan kita atas Parlemen tanah Jepang tiadalah akan panjang, karena lembaga di sana tidak asli, malah tiruan dari Barat juga. Sebab itu cukuplah sudah, kalau kita sebutkan saja nama segala anggota di situ sambil memberi di sana-sini sedikit peringatan. Selainnya bolehlah dengan pengetahuan Parlemen di Barat kita dengan lekas menghargainya.
Seperti keterangan Sen Katayama, maka hal pilih-memilih adalah sangat kuno. Seorang wakil bukan dipilih karena pahamnya disukai, melainkan karena malu melalui kepada majikan atau ningrat-ningrat tanah Jepang. Lantaran itu si Kromo sama sekali menambah kekuasaan yang Hartawan dan Bangsawan saja. Lagipun cuma sebagian kecil orang yang berhak memilih, karena sudah ditetapkan bahwa yang berhak itu ialah mereka yang penuh membayar pajak, seperti yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Sen Katayama menunjukkan pemilihan tahun 1917 dengan angka-angka dimana kita boleh buktikan berapa kecilnya yang berhak memilih disebabkan peraturan yang berhubung dengan bayaran pajak itu.
Dan lagi si pemilih banyak kena pengaruh si kaya. Kalau dipikirkan lagi, bahwa vergadering-vergadering banyak dihalang-halangai oleh polisi, sehingga kaum buruh tidak bisa berkata terus terang, maka nyatalah bagi kita bahwa mereka yang masuk ke dalam Parlemen itu ialah wakilnya kaum Hartawan dan Bangsawan Belaka.
Kekuasaan Parlemen di tanah Jepang bolehlah dikatakan tidak berapa. Yang berkuasa ialah “Huis der Lords” (semacam Majelis Tinggi di tanah Inggris. Tempat bersemayamnya kanjeng-kanjeng dan ningrat-ningrat. Tetapi di Jepang lebih besar kuasanya daripada tanah Inggris), dan lagi suatu anggota yang bernama “Genro” yaitu sidang pembesar yang tua-tua. Genro inilah berhak mendirikan “Kabinet” (sidang menteri-menteri) dan mereka itulah pemberi nasehatnya Mikado. “Huis der Lords” dan “Genro” penuh dengan kaum Militer dan Hartawan yang menyangka bahwa memerintah negeri tak perlu memperdulikan rakyat (Parlemen). Asal saja, mereka sudah bertanggungan terhadap kepada Mikado.
Tiadalah perlu kita memakai pengetahuan yang lanjut, untuk membedakan Parlemen Jepang itu dengan Parlemen di negeri Belanda umpamanya, dimana segala yang memerintah (kabinet) dan raja harus berakar dan bersitumpu pada Parlemen.
Menurut kabar bulan Juli tahun 1920 ini, keadaan Parlemen itu, belumlah berubah, dan pemerintah di negara Jepang masih tinggal semata-mata dalam tangannya Hartawan dan Ningrat.
B. Di Hindia
Kalau kita hendak mengetahui kedudukannya pemerintahan tanah Hindia ini, haruslah kita menoleh ke negeri Belanda, dari mana segala peraturan yang terutama bagi tanah kita dijatuhkan.
Dalam “Kleintjes” (Staatsinstelling van Nederlansch Indie, aturan pemerintah negeri Hindia) pada muka kira-kira kita membaca:
“……oleh karena menteri jajahan (di negeri Belanda) itulah yang mempunyai “verantwoordelijkheid” (bertanggungan, terhadap kepada parlemen) maka pemerintahan Gubenur Jenderal itu jauh sama sekali di bawah toezich (penjagaan) Parlemen”.
Dari satu kalimat ini saja, sudah boleh kita pelajari bahwa menteri jajahanlah yang menanggung baik buruknya pemerintah Hindia. Tanggungan itu menyebabkan maka kekuasaan yang tertinggi jatuh di tangannya G.G (Governer General – Ed.) tiadalah diberi berhak boleh menjalankan perintah sekehendak hatinya, karena kalau ia salah kelak akan ditanggung oleh menteri jajahan juga. Kalau kesalahan menteri ini sah, maka Parlemen di negeri Belanda berhak akan menganti dengan menteri yang lain. Pendeknya: menteri jajahan adalah seperti menteri-menteri lain-lain, yakni takluk pada Parlemen.
Sebab menterilah yang menanggung terhadap kepada Parlemen, dan lantaran seorang G.G sebagai seorang pejabat saja. (Kleintjes muka 245, dimana diterangkan juga, bahwa G.G itu di bawah menteri jajahan). Maka tentulah seorang G.G perlu sekali cocok dengan menteri jajahan itu.
Adapun G.G itu di tanah Hindia ini dibantu pula oleh “Raad Van Indie”. Bersama dengan anggota inilah ia memerintah. Lagi pula adalah suatu biro tertinggi, yakni “De Alegemeene Secretarie”. Lembaga inilah sebetulnya yang terkuasa sekali, yang menjalankan correspondentie (surat-surat perintah) dan yang memeriksa segala persembahan terhadap G.G segala lembaga-lembaga tersebut, yang memerintah tanah kita ini (menteri jajahan, parlemen, de Algemeene Secretarie, Raad van Indie dan sebagainya) tidaklah keluar dari – dan berurat pada Rakyat Hindia sejati.
Hal ini tidak patut mendatangkan keheranan bagi kita, karena tanah Hindia bukan tanah yang merdeka. Sebab itulah sebetulnya kita tidak perlu melukiskan bagian fasal ini. Tetapi sebab banyak di antara orang-orang Hindia, maupun dalam surat-surat kabar, ataupun di lain-lain tempat, yang suka menyebut-nyebutkan nama Dewan Rakyat akan ganti nama Volsraad maka kita merasa perlu menoleh sebentar pada Dewan Rakyatnya itu.
Namanya itu adalah tiada cocok dengan keadaannya. Kalimat ini tidak perlu kita saksikan lagi. Barang siapa sudah paham akan arti dan keadaan sesuatu Parlemen yang sejati (seperti di negeri Belanda atau Inggris) anggota-anggota dalam Parlemen mempunyai hak yang cukup, seperti interpellatie, initiatief, amandement, enquote dan lain-lain; berhak menaik dan menjatuhkan pemerintah (menteri-menteri yang tiada disukai), lekas ia akan merasa perbedaan besar antara Dewan Rakyat (Volksraad) itu dengan suatu Parlemen.