Akan menjawab pertanyaan ini dengan sempurna, haruslah lebih dahulu kita ingatkan, bahwa pada masa kita menulis brosur ini, kaum Buruh dengan kaum Modal di tanah Eropa tidak saja lagi bertentangan pikiran, tetapi sudah sampai musuh memusuhi dan berperang-perangan, sungguhpun kaum buruh terbanyak, sungguhpun serangannya hebat, tetapi kaum Modal lebih menahan serangannya tu, terutama lantaran bantuannya Parlemen yang berhubungan dengan balatentara, justisi, dan polisi. Teranglah anggota-anggota ini nyawanya suatu Negara, karena yang dinamai Negara itu oleh kaum Modal, ialah ”suatu kekuasaan pada suatu daerah yang dibatasi”. Kaum Modal dan kaum-kaum intelektualnya (terpelajar) mempunyai keyakinan bahwa dalam suatu Negara haruslah ada kekuasaan, yaitu buat menguasai sebagian besar dari manusia dalam perkumpulan tadi. Itulah tandanya bahwa persaudaraan atau kepercayaan manusia yang hidup dalam Negara zaman kapitalisme ini sama sekali hilang, sehingga apapun juga korban untuk keperluan bersama, pajak umpamanya, korban itu mengadakan pejabat, yang tiap-tiap mesti dibantu oleh justisi atau polisi, atau oleh rumah tahanan. Sedangkan pada zaman kuno, pada zaman familie-Negara umpamanya, seorang kepala dari familie itu tiada lain kekuasannya melainkan budi baik dan perkataan yang lemah-lemah saja.
Oleh karena curi-mencuri dan rampas-merampas itu dalam suatu Negara zaman sekarang terutama merugikan yang kaya-kaya juga, lantaran itulah maka peraturan negeri itu asalnya dari dan gunanya untuk kaum modal juga.
Dalam sejarah kita boleh buktikan, bahwa makin kaya kaum Modal, makin miskin pula kaum Buruh. Lantaran itu pertentangan kedua kaum tadi bertambah-tambah, dan hal ini terbukti pula atas sempurnanya peraturan dan kekuatan justisi, polisi dan rumah tahanan, benda-benda mana familie Negara Minangkabau umpamanya pada 100 tahun yang lalu tiada terdapat, tiada susah lagi kita menahankan arti kalimatnya Karl Marx, yang mengatakan, bahwa ”suatu Negara, yaitu pengakuan dan hasilnya pertentangan yang besar antara dua golongan (Buruh melawan Modal).”
Apabila kita perhatikan pertentangan kapital (pokok) dengan upah, perlawanan si Kapitalis dengan si Buruh, yang tiada akan habis-habisnya selama ada zaman kapitalisme, maka terbitlah dalam pikiran kita pertanyaan yang penting, apa bisakah Parlemen itu dipakai untuk mendatangkan cita-cita Sosialisme?
Berhubung dengan jawabnya, kelak, kita bisa menentukan jalan dan taktik, yaitu pertama jalan, semata-mata mendidik rakyat supaya bisa mengatur negeri ”dengan lekas” (haluan revousioner), atau kedua merebut kursi dalam Parlemen, supaya kaum buruh ”bisa menang suara” (haluan evolusi).
Persoalan itu menyebabkan datangnya beberapa partai di dalam golongan kaum sosialis sendiri, yang terutama ialah partai Sosial Demokrat dan Partai Komunis. (Partai anarkis, juga cabang dari partai Sosialis. Mereka menyangka, kalau tiap-tiap yang berkuasa, dimana bertemu, maka sifat seorang manusia menguasai manusia lain itu akan hilang dari dunia, dan kesudahannya keselamatan dan orde itu akan datang sendirinya saja. Anarkis Rusia, maksud mereka itu sosialisme juga tetapi jalannya mendatangkan tidak dengan organisasi damai). Kaum Sosial-Demokrat ini, sekarang di tanah Jerman, diakui sebagai partai yang memimpin, partai mana dikepalai oleh presiden Ebert: di negeri Belanda namanya SDAP yang dipimpin oleh Troelstra. Partai yang kedua ialah partai Komunis atau Bolshevik namanya di tanah Rusia, yang dipimpin oleh Lenin dan Trotsky.
Perselisihan kedua partai yang terbesar itu teranglah tidak lantaran maksud, karena baik Sosial-Demokrasi maupun Komunisme mau mendatangkan sosialisme (keselamatan). Tetapi daalm hal caranya berjalan dan lamanya berjalan, mereka bertukar paham. Pengarang dan juru berpikir kaum Sosial Demokrat yaitu Karl Kautsky, yang ketika mudanya juga menamai dirinya seorang Marxis, menyangka bahwa kalau lambat laun kaum buruh mendapat kursi terbanyak, maka wakil-wakil kaum buruh itu akan bisa mengalahkan suara kaum modal. Dengan jalan suara itu, maka hak diri (particulier bezit) boleh ditukar dengan hak bersama sehingga segala ”mata pencaharian” (pabrik, tambang, spoor tanah dan sebagainya) jatuh di tangan dan diurus oleh orang banyak.
Tetapi Lenin menyangka bahwa Parlemen yang berhubungan dengan biro-biro, balatentara, Negara, polisi dan justisi dan berhubungan keras dengan Bank-bank, yakni bentengnya kaum modal itu, tiada bisa akan semata-mata menaikkan keperluan rakyat yang terbukti bertentangan dengan keperluan dan sifatnya kaum modal.
Sesungguhnya zaman ini terpenting sekali, kedua partai tersebut tadi sekarang menjadi pemimpin Rakyat. Zaman inilah juga kelak akan menjadi hakim, yang memutuskan siapa yang berpaham betul. Tetapi sampai sekarang belumlah ada kemenangan kaum Buruh Jerman atas kaum Modal. Sebaliknya kaum Bangsawan dan Hartawan, yang pada tahun 1918 menarik diri dari pemerintahan negeri, dan mesti mengaku Ebert jadi presiden Rakyat, sekarang makin lama makin timbul. Pabrik-pabrik, tambang, dan spoor masih tinggal di tangan dua tiga orang dalam negeri.
Bank-bank masih bersimaharajalela seperti dahulu, pendidikan masih mencukupi anaknya kaum modal saja, surat-surat kabar yang besar-besar masih tinggal di tangan dua tiga orang kapitalis, ya, kekuasaan parlemen dan makin lama makin menjadi seperti ketika di bawah pemerintahnya kaisar Wilhelm II. Pengaruhnya kaum Modal sekali-kali tidak kurang, malah bertambah-tambah, dan tiap-tiap ia berusaha supaya kaisar Wilhelm itu dinaikkan kembali dan supaya ”republik” yang sekarang ini diganti dengan ”Kerajaan”. Hal ini tiada boleh dilangsungkan, juga disebabkan oleh lasykarnya kaum Sarekat (Inggris, Perancis, dan lain-lain) yang menjaga supaya kaum-kaum yang membikin peperangan pada tahun 1914 (kaum militeris Jerman) jangan kembali memerintah.
Oleh karena kaum Komunis di tanah Jerman, yang dipimpin oleh Almarhum Liebknicht dan Rosa Luxemburg, sama sekali tiada mau campur memerintah dalam Parlemen kaum modal itu, maupun dengan wakilnya kaum Kapitalis, maupun dengan wakilnya kaum militer, maka kaum komunis itu menjadi bertentangan dengan kaum Sosial-Demokrat. Pertentangan itu menjadikan permusuhan, sehingga kaum Sosial Demokrat alias kaum buruh itu mesti meminta-minta dan menerima pertolongan dari kaum Modal dan Militer. Lama-lama kaum ini bisa merebut kembali kekuasaannya seperti sebelum tahun 1914, sehingga sekarang Parlemen, biro-biro dan sebagainya penuh pula dengan wakilnya kaum Modal serta militer itu, sehingga Presiden Ebert itu cuma tinggal semacam bendera merah, yang terkibar di atas benteng kaum uang saja.
Teranglah sekarang bagi siapapun, bahwa Republik tanah Jerman cuma namanya saja, Republik Rakyat yang sesungguhnya berkuasa ialah kaum modal, dan kita bisa meneruskan keyakinan kita, bahwa Parlemen, yang berhubungan dengan biro-biro, justisi dan balatentara yang bersifat kemodalan itu tiadalah bisa kita pakai untuk menyampaikan cita-cita sosialisme. Sebaliknya pula haruslah kaum Buruh sendiri bikin organisasi, kelak kalau saatnya datang, sanggup mengatur pemerintah, hasil negeri, pengadilan dan pendidikan
Buanglah sama sekali pengharapan, yang disangkakan datang dari sesuatu Parlemen!!