Sosialisme Utopis dan Sosialisme Ilmiah

Engels (1880)


Diterjemahkan dari: Introduction to the English Edition (1892) of Socialism: Utopian and Scientific. Marx & Engels Collected Work. Volume 27. Lawrence & Wishart, 2010. hal. 278-302.

Penerjemah: Ted Sprague (17 April, 2023)

Pertama kali diterbitkan di: Frederick Engels, Socialism: Utopian and Scientific, London, 1892, dan di terjemahan bahasa Jerman, dengan sejumlah perubahan, di Die Neue Zeit, Vol. 1, Nos. 1 dan 2, 1892-1893.


Pengantar Edisi Bahasa Inggris (1892) Sosialisme: Utopis dan Ilmiah

Friedrich Engels

 

Buku kecil ini mula-mula adalah bagian dari sebuah karya yang lebih besar. Sekitar tahun 1875, Dr. E. Dühring, dosen di Universitas Berlin tiba-tiba dan dengan cukup bising mengumumkan bahwa dia telah menjadi seorang sosialis, dan menyajikan kepada publik Jerman tidak hanya sebuah teori sosialis yang terperinci, tetapi juga sebuah rencana praktis yang lengkap untuk merombak ulang masyarakat. Tentu saja dia menyerang para pendahulunya; di atas segalanya, dia menyampaikan rasa hormatnya terhadap Marx dengan mengutuknya habis-habisan.

Ini berlangsung ketika kedua faksi Partai Sosialis di Jerman – faksi Eisenacher dan faksi Lassallean[1] – baru saja bersatu, dan dengan demikian menjadi lebih kuat dan mampu mengerahkan segenap kekuatannya untuk melawan musuh bersama. Partai Sosialis Jerman dengan cepat menjadi sebuah kekuatan. Tetapi untuk membuatnya menjadi sebuah kekuatan, syarat pertama adalah tidak membahayakan persatuan yang baru tercapai ini. Dan Dr. Dühring secara terbuka membentuk di sekelilingnya sebuah sekte, yang merupakan nukleus partai baru. Oleh karenanya, kita terpaksa menjawab tantangan ini, dan meluncurkan perjuangan ini, suka atau tidak.

Kerja ini, walaupun tidaklah terlalu sulit, ternyata memakan waktu panjang. Seperti yang diketahui dengan baik, orang Jerman mendalami segala sesuatu dengan teramat perlahan dan mendalam; kedalaman yang radikal atau radikalitas yang mendalam, terserah saudara ingin memanggilnya apa. Setiap kali orang Jerman memaparkan apa yang dia anggap sebuah doktrin baru, dia harus terlebih dahulu menguraikannya menjadi sebuah sistem yang menyeluruh. Dia harus membuktikan bahwa prinsip-prinsip logika pertama dan hukum-hukum dasar alam semesta telah ada untuk selama-lamanya, dan ini tidak lain untuk membawa kita akhirnya tiba pada teori besar yang baru saja dia temukan. Dan Dr. Dühring dalam hal ini sungguh tidak mengecewakan sebagai orang Jerman. Dia menguraikan sebuah Sistem Filsafat yang lengkap, yang mencakup ilmu psikologi, moral, alam, dan sejarah; sebuah Sistem Ekonomi Politik dan Sosialisme yang lengkap; dan, akhirnya, Sejarah Kritis Ekonomi Politik[2] – tiga volume besar, yang berat secara ekstrinsik dan intrinsik, tiga argumen yang dimobilisasi untuk membantah secara umum semua filsuf dan ekonom sebelumnya, dan khususnya Marx – pada kenyataannya, sebuah usaha untuk meluncurkan “revolusi menyeluruh dalam ilmu sains” – inilah yang harus saya jawab. Saya harus menjawab semua subjek, dari konsep waktu dan ruang sampai Bimetalisme[3]; dari ketakberhinggaan materi dan gerak, sampai ke watak fana ide-ide moral; dari seleksi alamnya Darwin sampai ke pendidikan anak-anak di masyarakat masa depan. Musuh saya menguraikan gagasannya secara komprehensif dan sistematis, dan dalam menjawab gagasannya ini memberi saya peluang untuk mengembangkan, dalam bentuk yang lebih terhubungkan daripada sebelumnya, pandangan-pandangan yang dipegang oleh Marx dan saya mengenai beragam subjek ini. Dan inilah alasan utama yang mendorong saya untuk mengemban tugas tanpa pamrih ini.

Jawaban saya awalnya diterbitkan dalam serangkaian artikel di Leipzig Vorwärts, koran utama partai sosialis Jerman, dan di kemudian hari diterbitkan dalam buku, Herrn Eugen Dühring's Umwälzung der Wissenschaft (Revolusi dalam Sains Tn. E. Dühring), yang edisi keduanya terbit di Zurich, 1886.

Atas permintaan sahabat saya, Paul Lafargue, yang sekarang menjabat sebagai perwakilan kota Lille di Dewan Perwakilan Rakyat Prancis, saya mengambil tiga bab buku ini dan menyusunnya menjadi sebuah pamflet, yang dia terjemahkan dan terbitkan pada 1880, di bawah judul: Socialisme utopique et socialisme scientifique.[4] Dari teks bahasa Prancis ini, edisi bahasa Polandia dan Spanyol disiapkan. Pada 1883, kawan-kawan Jerman kami menerbitkan pamflet ini ke dalam bahasa aslinya. Terjemahan bahasa Italia, Rusia, Denmark, Belanda, dan Rumania, berdasarkan teks Jerman, telah diterbitkan sejak itu. Maka dari itu, dengan edisi bahasa Inggris ini, buku kecil ini telah disirkulasikan dalam sepuluh bahasa. Saya tidak tahu apa ada karya sosialis lainnya, bahkan Manifesto Komunis kami pada 1848 atau Capital Marx, yang telah begitu sering diterjemahkan. Di Jerman, buku ini telah diterbitkan dalam empat edisi dengan oplah sekitar 20.000 eksemplar.

Lampiran dengan judul “The Mark” ditulis dengan tujuan untuk menyebarluaskan di antara anggota partai Sosialis Jerman pengetahuan dasar mengenai sejarah dan perkembangan kepemilikan tanah di Jerman. Ini tampaknya semakin dibutuhkan ketika partai sudah hampir selesai memenangkan kelas buruh di kota-kota ke sisinya, dan ketika partai harus mulai bekerja di antara buruh tani dan petani. Lampiran ini disertakan dalam edisi bahasa Inggris ini, karena bentuk asli kepemilikan tanah di antara semua suku Teutonic, dan sejarah kemunduran suku-suku ini, bahkan lebih tidak diketahui di Inggris daripada di Jerman. Saya telah meninggalkan teks lampiran ini seperti aslinya, tanpa mengupas hipotesis yang baru-baru ini diajukan oleh Maxim Kovalevsky. Menurut hipotesis Kovalevsky, sebelum tanah garapan dan padang rumput dipartisi di antara anggota Mark, tanah-tanah ini dikelola bersama oleh sebuah komunitas keluarga patriarkal besar, yang mencakup beberapa generasi (contohnya seperti di komunitas Zadruga di Slovenia Selatan yang masih eksis), dan bahwa partisi tanah ini di kemudian hari terjadi setelah komunitas ini telah menjadi besar, sehingga menjadi terlalu besar untuk dikelola bersama.[5] Kovalevsky mungkin saja benar, tetapi hipotesis ini masih dipelajari lebih lanjut.

Istilah-istilah ekonomi yang digunakan dalam karya ini, sejauh mereka baru, sesuai dengan istilah-istilah yang digunakan di edisi bahasa Inggris Capital Marx. Kami menyebut “produksi komoditas” sebagai fase ekonomi di mana barang-barang diproduksi tidak hanya untuk digunakan oleh produsen, tetapi juga untuk ditukarkan; yakni, sebagai komoditas, bukan sebagai nilai guna. Fase ini dimulai dari periode awal pertama produksi untuk pertukaran sampai hari ini; ini mencapai perkembangan penuhnya hanya di bawah produksi kapitalis, yakni, di bawah kondisi di mana kapitalis, yaitu pemilik alat produksi, mempekerjakan buruh, yaitu orang-orang yang sama sekali tidak memiliki alat produksi kecuali daya-kerja mereka sendiri, dengan mengupahnya, dan mengantongi selisih antara harga jual dan ongkos produksi. Kita membagi sejarah produksi industri semenjak Abad Pertengahan menjadi tiga periode: (1) Kerajinan tangan, para ahli pengrajin (master craftsman) kecil dengan beberapa pekerja harian (journeymen) dan pemagang (apprentice), di mana setiap pekerja memproduksi satu barang dengan sendirinya; (2) Manufaktur, di mana pekerja dengan jumlah yang lebih besar, yang dihimpun dalam satu perusahaan besar, memproduksi barang dengan prinsip pembagian kerja, setiap pekerja melakukan hanya satu operasi parsial, sehingga produk selesai hanya setelah melalui tangan banyak orang; (3) Industri modern, di mana produk dihasilkan dengan mesin yang digerakkan oleh tenaga, dan dimana kerja buruh terbatas pada mengawasi dan memperbaiki kinerja mesin.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa konten karya ini akan ditentang oleh sebagian besar publik Inggris. Tetapi bila kita orang Eropa Kontinental menggubris prasangka filistinisme Inggris, kita akan ada dalam kondisi lebih buruk daripada sekarang. Karya ini membela apa yang kita sebut “materialisme historis”, dan kata materialisme sangat mengusik telinga mayoritas besar pembaca Inggris. “Agnostisisme” mungkin masih bisa ditoleransi, tetapi materialisme sungguh tidak bisa diterima.

Kendati demikian, sejak abad ke-17, Inggris adalah tempat kelahiran semua materialisme modern.

Materialisme adalah anak kandung Inggris Raya. Filsuf Skolastik Inggris Duns Scotus[6] sudah bertanya, ‘apakah materi dapat berpikir?’

“Untuk menjelaskan mukjizat ini, dia berlindung di bawah kemahakuasaan Tuhan, dalam kata lain, dia membuat teologi berkhotbah mengenai materialisme. Terlebih, dia adalah seorang nominalis. Nominalisme[7], yaitu bentuk pertama materialisme, terutama ditemukan di antara filsuf Skolastik Inggris.

“Bapak materialisme Inggris yang sesungguhnya adalah Bacon. Baginya, filsafat alam adalah satu-satunya filsafat yang sejati, dan fisika yang berdasarkan pengalaman indra adalah bagian terutama filsafat alam. Bacon sering mengutip Anaxagoras dengan teori homoiomeriae-nya[8] dan Democritus dengan teori atomnya[9] sebagai gurunya. Menurutnya, indra tidak bisa salah dan merupakan sumber semua pengetahuan. Semua sains didasarkan pada pengalaman, dan sains menerapkan metode penyelidikan rasional pada data-data yang disediakan oleh indra. Induksi, analisis, perbandingan, observasi, eksperimen, semua ini adalah bentuk-bentuk dasar metode rasional tersebut. Di antara semua kualitas yang inheren dalam materi, gerak adalah yang pertama dan terutama, bukan hanya dalam bentuk gerak mekanik dan matematik, tetapi terutama dalam bentuk impuls, tenaga hidup, tegangan, – atau ‘qual’, istilahnya Jakob Bohme[10] – materi.

“Dalam diri Bacon, sebagai perumus pertama materialisme, materialisme masih menyembunyikan dalam dirinya sendiri benih-benih perkembangan banyak-sisi. Di satu pihak, materi, yang dipenuhi dengan pesona puitis yang indrawi, tampaknya memikat keseluruhan entitas manusia dan membuatnya tersenyum. Di pihak lain, doktrin yang dirumuskan secara aforistis ini penuh dengan inkonsistensi yang diimpor dari teologi.

“Dalam evolusi selanjutnya, materialisme menjadi satu-sisi. Hobbes adalah orang yang mensistematisasikan materialisme Bacon. Pengetahuan yang didasarkan pada indra kehilangan mekar puitisnya. Pengetahuan ini menjadi pengalaman abstrak ahli matematika; geometri dinyatakan sebagai ratu sains. Materialisme berubah menjadi misantropi. Bila materialisme ingin menang melawan musuhnya, yaitu spiritualisme yang misantropis dan terpisah dari dunia jasmani, maka materialisme harus menyingkirkan tubuh jasmaninya sendiri dan menjadi asketis. Maka dari itu, materialisme, dari entitas yang berdasarkan indra, menjadi entitas intelektual. Tetapi dengan demikian, materialisme juga mengembangkan semua konsistensinya, terlepas dari konsekuensinya, dan ini adalah watak intelek.

“Hobbes, sebagai penerus Bacon, berpendapat demikian: jika semua pengetahuan manusia datang dari indra, maka konsep dan ide kita hanyalah bayangan, yang dibebaskan dari bentuk-bentuk sensasinya, dari dunia nyata. Filsafat hanya dapat memberi nama pada bayangan-bayangan ini. Satu nama dapat diterapkan pada lebih dari satu dari mereka. Bahkan mungkin ada nama untuk nama. Akan menjadi kontradiksi bila, di satu sisi, kita meyakini bahwa semua ide berasal dari dunia sensasi, dan, di sisi lain, bahwa sebuah kata lebih dari sebuah kata; bahwa, selain wujud-wujud yang kita ketahui lewat indra kita, yakni wujud-wujud yang partikular, ada juga wujud-wujud yang berwatak umum, yang bukan partikular. Substansi tanpa-tubuh adalah sama absurdnya dengan tubuh tanpa-tubuh. Tubuh, wujud, substansi hanyalah istilah-istilah yang berbeda untuk realitas yang sama. Mustahil memisahkan pikiran dari materi yang berpikir. Materi ini adalah fondasi semua perubahan yang berlangsung di dunia. Kata ketakterbatasan tidaklah memiliki makna, kecuali bila kata ini menyatakan bahwa pikiran kita mampu melakukan proses menghitung tanpa akhir. Hanya benda-benda material yang dapat kita lihat, kita tidak bisa mengetahui apapun mengenai keberadaan Tuhan. Hanya keberadaan saya yang pasti. Setiap gairah manusia adalah gerakan mekanik, yang memiliki awal dan akhir. Objek impuls adalah apa yang kita sebut baik. Manusia tunduk pada hukum yang sama seperti alam. Kekuasaan dan kebebasan adalah identik.

“Hobbes telah mensistematisasikan Bacon, namun tanpa menyediakan bukti bagi prinsip fundamental Bacon, bahwa asal mula semua pengetahuan manusia adalah dunia sensasi. Locke-lah yang, dalam karyanya Essay on the Human Understanding, menyediakan bukti ini.

“Hobbes telah menghancurkan prasangka teistik materialisme Bacon; Collins, Dodwell, Coward, Hartley, Priestley juga menghancurkan palang teologis terakhir yang masih membingkai sensasionalismenya Locke.[11] Bagaimanapun, bagi kaum materialis praktis, Deisme[12] hanyalah cara mudah untuk menyingkirkan agama.” (Marx dan Engels. Keluarga Suci. 1844.)

Demikianlah tulis Karl Marx tentang asal-usul Inggris materialisme modern. Bila orang Inggris hari ini tidak terlalu menyukai komplimen yang Marx berikan kepada leluhur mereka, ini sungguh sayang sekali. Kendati demikian, tidak dapat disangkal bahwa Bacon, Hobbes, dan Locke adalah bapak mazhab materialisme Prancis yang brilian itu, yang membuat abad ke-18 terutama abadnya Prancis, walaupun Jerman dan Inggris mengalahkan Prancis dalam semua perang darat dan laut. Bahkan ini sebelum kemenangan besar Revolusi Prancis, dan kita orang luar baik di Inggris maupun Jerman masih berusaha menyesuaikan diri kita pada dampak Revolusi tersebut.

Ini tidak dapat disangkal. Sekitar pertengahan abad ini (abad ke-19), setiap orang terpelajar dari luar negeri yang menetap di Inggris akan menemukan bahwa dia harus mempertimbangkan keterbelakangan dan kebodohan religius tuan nyonya kelas menengah Inggris. Kami semua pada saat itu adalah kaum materialis, atau setidaknya pemikir bebas yang sangat maju, dan bagi kami tidak terbayangkan bahwa hampir semua orang terpelajar di Inggris percaya pada berbagai macam mukjizat yang mustahil, dan bahwa bahkan ahli geologi seperti Buckland dan Mantell memelintir fakta sains mereka supaya tidak terlalu berbenturan dengan mitos kitab Kejadian; sementara, untuk mencari orang-orang yang berani menggunakan kemampuan intelektual mereka sehubungan dengan masalah agama, kami harus pergi ke orang-orang yang tak terpelajar, “rakyat jelata”, kaum buruh, terutama kaum Sosialis Owenite.[13]

Tetapi Inggris telah menjadi “beradab” sejak saat itu. Pameran tahun 1851[14] mendentangkan lonceng kematian eksklusifitas insuler Inggris. Inggris perlahan-lahan menjadi internasionalis – dalam diet, dalam tata krama, dalam gagasan; sedemikian rupa sehingga saya mulai berharap agar beberapa tata krama dan kebiasaan Inggris memasuki Kontinen Eropa seperti halnya kebiasaan Kontinen Eropa telah memasuki Inggris. Masuknya dan menyebarnya minyak salad (sebelum tahun 1851, minyak salad hanya dapat diakses oleh kaum aristokrat) telah disertai dengan menyebarnya skeptisisme kontinental dalam hal agama. Dan situasinya telah mencapai ini, di mana agnostisisme, walaupun belum sedominan Gereja Inggris, tetapi sudah setara dan dihormati seperti gereja Baptis, dan jelas di atas gereja Salvation Army (Bala Keselamatan). Dan saya percaya bahwa di bawah situasi seperti itu, bila kita menjelaskan bahwa “gagasan baru” ini (agnostisisme) bukanlah gagasan yang berasal dari luar negeri, bukan “datang dari Jerman”, seperti halnya banyak barang kebutuhan sehari-hari lainnya datang dari Jerman, bahwa gagasan baru ini jelas berasal dari Inggris Kuno, ini akan menghibur banyak orang yang sangat menyesali dan mengutuk progres perselingkuhan ini. Dan juga, perintis gagasan agnostisisme di Inggris 200 tahun yang lalu berani melangkah jauh lebih maju dibandingkan para penerus mereka.

Apa itu agnostisisme kalau bukan materialisme yang “malu-malu”. Konsepsi Alam kaum agnostik bersifat sepenuhnya materialis. Seluruh dunia alam diatur oleh hukum, dan sama sekali tidak ada campur tangan dari luar. Tetapi, kaum agnostik akan menambahkan, kita tidak memiliki cara apapun untuk membuktikan benar atau salah keberadaan Makhluk Mahakuasa di luar alam semesta yang kita ketahui. Ini mungkin saja cukup di masa ketika sang astronom besar Laplace, dalam menanggapi Napoleon yang bertanya mengapa dalam karyanya Treatise on Celestial Mechanics dia tidak menyebut Sang Pencipta, dengan bangga menjawab: “Je n'avais pas besoin de cette hypothèse.” (“Saya tidak membutuhkan hipotesis ini.”) Tetapi hari ini, dalam konsepsi evolusioner kita mengenai alam semesta, tidak ada ruang sama sekali bagi Sang Pencipta atau Sang Penguasa. Dan bila kita berbicara mengenai Makhluk Mahakuasa yang dipisahkan dari dunia yang ada, ini adalah kontradiksi dalam istilah, dan, menurut saya, ini justru menghina perasaan orang beragama.

Lagi, kaum agnostik mengakui bahwa semua pengetahuan kita didasarkan pada informasi yang disediakan oleh indra kita. Tetapi, dia menambahkan, bagaimana kita tahu kalau indra-indra kita memberi kita representasi yang benar mengenai objek yang kita persepsi lewat indra-indra ini? Dan dia melanjutkan, setiap kali dia berbicara mengenai objek atau kualitasnya, dia sesungguhnya tidak sedang merujuk pada objek dan kualitas tersebut, yang tidak bisa dia ketahui secara pasti, tetapi dia hanya merujuk pada kesan-kesan yang dihasilkan oleh objek dan kualitas tersebut pada indranya. Cara penalaran ini tampaknya sulit dibantah hanya dengan argumentasi saja. Tetapi sebelum ada argumentasi, ada tindakan. Im Anfang war die That. (“Pada mulanya adalah perbuatan.” Goethe, Faust). Dan tindakan manusia telah memecahkan kesulitan ini jauh sebelum kecerdikan manusia menciptakannya. Bukti adanya puding adalah dengan menyantapnya. Dari saat kita menggunakan objek yang ada untuk keperluan kita, seturut dengan kualitas yang kita persepsi darinya, kita telah secara mutlak menguji kebenaran persepsi indra kita. Bila persepsi ini keliru, maka perkiraan kita tentang kegunaan objek tersebut akan keliru pula, dan usaha kita untuk menggunakannya pasti gagal. Tetapi bila kita berhasil memenuhi tujuan kita, bila kita menemukan objek tersebut setuju dengan gagasan kita mengenainya, dan memenuhi tujuan yang kita maksud darinya, maka ini bukti positif bahwa persepsi kita mengenai objek tersebut dan kualitas-kualitasnya, sejauh ini, bersesuaian dengan realitas di luar diri kita sendiri. Dan, setiap kali kita menemukan diri kita berhadapan langsung dengan kegagalan, maka biasanya tidak akan membutuhkan waktu lama sebelum kita menemukan penyebab kegagalan kita; kita menemukan bahwa persepsi yang menjadi landasan tindakan kita entah tidak lengkap dan dangkal, atau dipadukan dengan hasil dari persepsi lain dengan cara yang keliru – apa yang kita sebut penalaran yang cacat. Selama kita terus melatih dan menggunakan indra kita dengan benar, dan menjaga tindakan kita di dalam batas-batas yang ditentukan oleh persepsi yang dibuat dengan benar dan digunakan dengan benar, maka kita akan menemukan bahwa hasil tindakan kita membuktikan kesesuaian persepsi kita dengan karakter objektif benda-benda yang kita persepsi. Tidak pernah sekali pun, sejauh ini, kita terdorong ke kesimpulan bahwa persepsi-indra kita, yang dikendalikan secara ilmiah, menimbulkan dalam pikiran kita gagasan mengenai dunia luar yang, secara esensial, bertentangan dengan realitas, atau ada ketidakcocokan yang inheren antara dunia luar dan persepsi-indra kita mengenainya.

Tetapi kemudian datanglah kaum agnostik Neo-Kantian yang berkata: kita bisa saja mempersepsikan dengan benar kualitas-kualitas suatu benda, tetapi kita tidak dapat memahami benda-dalam-dirinya-sendiri lewat proses indra atau mental apapun. “Benda-dalam-dirinya-sendiri” ini berada di luar pengetahuan kita. Mengenai ini, Hegel sejak lama telah menjawabnya: bila Anda mengetahui semua kualitas suatu benda, maka Anda tahu benda itu sendiri; tidak ada yang tersisa kecuali fakta bahwa benda tersebut eksis tanpa kita; dan, ketika indra Anda telah mengajarkan Anda fakta ini, Anda telah memahami hal terakhir dari benda-dalam-dirinya-sendiri, yakni Ding an sich Kant yang tidak bisa diketahui itu. Kita juga bisa menambahkan, bahwa pada masa Kant pengetahuan kita mengenai benda-benda alam memang sangat fragmentaris, sehingga dia bisa jadi curiga, di balik sedikitnya yang kita ketahui tentang benda-benda ini, ada “benda-dalam-dirinya-sendiri” yang misterius. Tetapi satu demi satu benda-benda yang tidak dipahami ini telah mulai dipahami, dianalisis, dan, terlebih lagi, direproduksi oleh kemajuan besar sains; dan apa bisa kita produksi jelas tidak bisa kita anggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diketahui. Bagi ilmu kimia pada paruh pertama abad ini (abad ke-19), zat organik adalah objek yang begitu misterius; sekarang kita tahu bagaimana membangunnya satu per satu dari unsur-unsur kimia mereka tanpa bantuan proses organik. Ahli kimia modern menyatakan bahwa setelah kita mengetahui susunan kimia zat apapun, kita dapat membangunnya dari unsur-unsurnya. Kita masih jauh dari mengetahui susunan zat organik tertinggi, yaitu albumin. Tetapi tidak ada alasan mengapa kita tidak bisa, setelah berabad-abad, meraih pengetahuan ini dan berdasarkan pengetahuan ini memproduksi albumin artifisial. Tetapi, bila kita telah mencapai ini, kita pada saat yang sama telah menciptakan kehidupan organik, karena kehidupan, dari bentuk terendahnya sampai bentuk tertingginya, tidak lain adalah moda eksistensi normal albumin.

Namun, segera setelah kaum agnostik kita membuat reservasi mental formal ini, dia berbicara dan bertindak seperti seorang materialis kacangan. Dia mengatakan, sejauh yang kita ketahui, materi dan gerak, atau yang sekarang disebut energi, tidak dapat diciptakan atau dihancurkan, tetapi kita tidak punya bukti bahwa mereka tidak diciptakan pada satu waktu tertentu. Tetapi bila kita mencoba menggunakan pengakuan ini untuk membantahnya dalam kasus tertentu, dia akan segera menolak mendengar ini. Bila dia mengakui kemungkinan spiritualisme in abstracto (secara abstrak), dia tidak akan mengakuinya in concreto (secara konkret). Sejauh yang kita ketahui dan dapat ketahui, dia akan mengatakan kepada kita bahwa tidak ada sang Pencipta dan sang Penguasa alam semesta; sejauh yang kita ketahui, materi dan energi tidak dapat diciptakan atau dihancurkan; bagi kita, pikiran adalah moda energi, fungsi otak; yang kita ketahui hanyalah bahwa dunia materi diatur oleh hukum-hukum pasti, dan seterusnya. Maka, sejauh dia adalah seorang ilmuwan, sejauh dia mengetahui sesuatu, dia adalah seorang materialis; di luar sainsnya, di bidang-bidang yang tidak dia ketahui, dia menerjemahkan ketidaktahuannya ke dalam bahasa Yunani dan menyebutnya agnostisisme.

Bagaimanapun, satu hal tampak jelas: bahkan bila saya seorang agnostik, jelas bahwa saya tidak dapat menjabarkan konsepsi sejarah yang diuraikan dalam buku kecil ini sebagai “agnostisisme historis”. Orang-orang beragama akan menertawakan saya, kaum agnostik akan bertanya dengan marah, apakah saya sedang mengolok-olok mereka? Dan, maka dari itu, saya berharap bahkan kaum filistin Inggris tidak akan terlalu terkejut bila saya menggunakan, dalam bahasa Inggris dan juga banyak bahasa lainnya, istilah “materialisme historis”, sebagai definisi cara pandang alur sejarah yang berusaha mencari penyebab akhir dan kekuatan penggerak besar semua peristiwa bersejarah yang penting dalam perkembangan ekonomi masyarakat, dalam perubahan moda produksi dan pertukaran, dalam pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas yang berbeda, dan dalam perjuangan kelas.

Mungkin saya akan diizinkan bila saya menunjukkan bahwa materialisme historis mungkin bisa menguntungkan bahkan bagi nama baik kaum filistin Inggris. Saya telah menjelaskan bahwa sekitar 40 sampai 50 tahun yang lalu, setiap orang asing berbudaya yang menetap di Inggris dikejutkan oleh apa yang saat itu dia lihat sebagai kefanatikan religius dan kebodohan kelas menengah Inggris. Saya sekarang akan membuktikan bahwa kelas menengah Inggris pada saat itu tidaklah sebodoh yang dikira oleh orang asing terpelajar. Kecenderungan religiusnya dapat dijelaskan.

Ketika Eropa keluar dari Abad Pertengahan, kelas menengah kota yang tengah bangkit adalah elemen revolusionernya. Kelas ini telah menaklukkan posisi penting dalam lembaga feodal medieval, tetapi posisi ini menjadi terlalu sempit bagi kekuatannya yang terus tumbuh. Perkembangan kelas menengah ini, yakni kelas borjuasi, menjadi tidak kompatibel dengan sistem feodal; oleh karenanya sistem feodal harus tumbang.

Tetapi pusat feodalisme dunia adalah Gereja Katolik Roma. Gereja Katolik menyatukan seluruh Eropa Barat yang feodal, terlepas dari semua perang internal, menjadi satu sistem politik besar, yang menentang filsafat Yunani yang sesat dan juga negara-negara Islam. Ia memberi institusi-institusi feodal halo konsekrasi ilahi. Ia telah mengorganisir bangunan hierarkinya berdasarkan model feodal, dan ia sendiri adalah tuan tanah feodal terkuat, yang menguasai sepertiga tanah di dunia Katolik. Sebelum feodalisme dapat dilawan di setiap negeri, Gereja, yang merupakan organisasi sentralnya yang keramat, harus dihancurkan.

Terlebih lagi, seiring dengan kebangkitan kelas menengah kita juga saksikan kebangkitan kembali sains; ilmu astronomi, mekanika, fisika, anatomi, fisiologi kembali dikembangkan. Dan kaum borjuasi, demi perkembangan produksi industrinya, membutuhkan sains yang mempelajari sifat-sifat fisik benda-benda alam dan moda aksi kekuatan Alam. Sampai saat itu, sains hanya berperan sebagai pelayan setia Gereja, tidak diizinkan melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh iman, dan oleh sebab itu sains ini bukanlah sains sama sekali. Sains memberontak melawan Gereja; kaum borjuasi tidak bisa hidup tanpa sains, dan, oleh karenanya, harus bergabung dalam pemberontakan ini.

Hal di atas, walaupun menunjukkan hanya dua poin di mana kelas menengah yang sedang bangkit niscaya berbenturan dengan tatanan agama, sudah cukup untuk menunjukkan ini: Pertama, kelas yang paling langsung berkepentingan dalam perjuangan melawan klaim kekuasaan Gereja Roma adalah kelas borjuasi; dan kedua, bahwa setiap perjuangan melawan feodalisme, pada saat itu, harus menggunakan kedok agama, harus pertama-tama diarahkan melawan Gereja. Bila universitas-universitas dan para pedagang di kota-kota memulai pekik perjuangan, ini pasti akan menemukan, dan sudah menemukan, gaung luas di antara massa pedesaan, yakni kaum tani, yang di mana-mana harus berjuang demi penghidupan mereka dengan melawan tuan-tuan feodal mereka, spiritual (gereja) dan duniawi (kaum bangsawan).

Perjuangan panjang kelas borjuasi dalam melawan feodalisme memuncak dalam tiga pertempuran besar yang menentukan.

Yang pertama adalah apa yang disebut Reformasi Protestan di Jerman. Seruan perang melawan Gereja yang dipekikkan oleh Luther ditanggapi dengan dua insureksi politik: pertama, insureksi bangsawan rendahan yang dipimpin oleh Franz von Sickingen (1523), kemudian Perang Tani 1525. Keduanya dikalahkan, terutama karena kebimbangan dari pihak yang paling memiliki kepentingan dalam gerakan ini: kaum burgher di kota-kota. Kita tidak akan mengkaji penyebab kebimbangan ini di sini. Sejak itu, perjuangan ini merosot menjadi pertikaian antara pangeran-pangeran daerah dan pusat, dan berakhir dengan tersingkirnya Jerman, selama dua ratus tahun, dari bangsa-bangsa Eropa yang aktif secara politik. Reformasi Luther menghasilkan sebuah kredo baru, sebuah agama yang cocok dengan monarki absolut. Segera setelah para petani Jerman Utara-Timur berganti agama ke Lutheranisme, mereka juga tereduksi dari orang bebas menjadi hamba.

Tetapi di mana Luther gagal, Calvin berhasil. Kredo Calvin cocok dengan kaum borjuasi yang paling berani pada masanya. Doktrin predestinasinya adalah ekspresi religius dari kenyataan bahwa dalam dunia kompetisi komersial keberhasilan atau kegagalan tidak ditentukan oleh aktivitas atau kecerdikan manusia, tetapi oleh kondisi-kondisi yang tidak bisa dikontrol olehnya. Ini tidak tergantung pada kehendaknya atau usahanya, tetapi pada kemurahan hati kekuatan ekonomi superior yang tak dikenal; dan ini terutama benar selama periode revolusi ekonomi, ketika semua rute-rute dan sentra-sentra niaga yang lama digantikan dengan yang baru, ketika India dan Amerika terbuka ke dunia, dan ketika bahkan benda-benda ekonomi yang paling keramat – nilai emas dan perak – mulai terhuyung-huyung dan anjlok. Konstitusi gereja Calvin sepenuhnya demokratik dan republik; dan ketika kerajaan Tuhan sudah menjadi republik, dapatkah kerajaan-kerajaan di muka bumi tetap berada di bawah kuasa monarki, uskup, dan tuan tanah? Sementara Lutheranisme Jerman menjadi alat kekuasaan para pangeran, Calvinisme mendirikan sebuah republik di Belanda, dan partai-partai republiken yang aktif di Inggris, dan, terutama, Skotlandia.

Dalam Calvinisme, revolusi borjuis kedua[15] menemukan doktrinnya siap pakai. Revolusi ini berlangsung di Inggris. Kelas menengah kota yang meluncurkannya, dan kaum tani pedesaan yang bertempur. Anehnya, di ketiga revolusi borjuis besar ini (Perang Tani Jerman 1525, Revolusi Inggris 1642-52, dan Revolusi Prancis 1789), kaum tani-lah yang menyediakan tentara yang berperang; dan kaum tani adalah kelas yang, setelah kemenangan diraih, paling menderita kehancuran oleh konsekuensi ekonomi kemenangan tersebut. Seratus tahun setelah Cromwell, kelas tani Inggris sudah hampir menghilang. Bagaimanapun, bila bukan karena kaum tani dan elemen plebeian di kota-kota, kaum borjuasi tidak akan pernah berjuang sampai titik akhir, dan tidak akan pernah memancung Charles I. Untuk memastikan agar pencapaian-pencapaian borjuasi yang sudah matang itu dapat dipetik pada waktunya, revolusi harus dibawa lebih jauh – persis seperti 1793 di Prancis[16] dan 1848 di Jerman. Nyatanya, ini tampaknya adalah salah satu hukum perkembangan masyarakat borjuis.

Setelah ekses revolusioner ini, reaksi secara tak terelakkan menyusul, yang pada gilirannya melampaui titik tujuan yang ditetapkan. Setelah serangkaian osilasi, titik keseimbangan baru akhirnya tercapai dan menjadi titik awal yang baru. Periode besar dalam sejarah Inggris yang dikenal oleh kaum filistin Inggris dengan nama “Pemberontakan Besar” 1642, dan perjuangan-perjuangan yang menyusulnya, diakhiri dengan peristiwa yang relatif kecil, yang disebut “Revolusi Agung” 1688 oleh para sejarawan Liberal.[17]

Titik awal yang baru ini adalah kompromi antara kelas menengah yang tengah bangkit dan kaum tuan tanah eks-feodal. Yang belakangan ini, walaupun hari ini disebut aristokrasi, sudah lama menjadi borjuasi seperti halnya Raja Louis Philippe[18] di Prancis menjadi “borjuasi pertama di kerajaan Prancis”. Untungnya bagi Inggris, para baron feodal tua telah saling membunuh selama Perang Mawar 1455-85.[19] Penerus mereka, meskipun kebanyakan adalah keturunan dari keluarga lama, sudah begitu terpisah jauh dari garis keturunan langsung sehingga mereka membentuk sebuah kelompok yang baru, dengan kebiasaan-kebiasaan dan kecenderungan-kecenderungan yang jauh lebih borjuis daripada feodal. Mereka memahami sepenuhnya nilai uang, dan segera menaikkan harga sewa tanah dengan mengusir ratusan petani kecil dan menggantikan mereka dengan domba. Raja Henry VIII (1509-1547), sementara menyita dan membagi-bagi tanah Gereja, menciptakan selapisan besar tuan tanah borjuis baru; penyitaan tanah dalam jumlah besar, yang lalu diserahkan ke tuan-tuan tanah baru, dan kebijakan ini diteruskan selama abad ke-17, memberi hasil yang sama. Sebagai konsekuensinya, sejak Raja Henry VII (1485-1509), kaum “aristokrasi” Inggris, alih-alih menghalangi perkembangan produksi industri, justru mencari keuntungan secara tidak langsung; dan selalu ada selapisan tuan tanah besar yang bersedia, untuk alasan ekonomi atau politik, bekerja sama dengan tokoh-tokoh borjuasi finansial dan industrial. Kompromi pada 1689, oleh karenanya, mudah dicapai. Jabatan-jabatan empuk dalam pemerintah diserahkan ke keluarga-keluarga tuan tanah besar, selama kepentingan ekonomi borjuasi finansial, manufaktur, dan komersial diperhatikan dengan baik. Dan kepentingan ekonomi ini pada saat itu cukup kuat untuk menentukan kebijakan umum negara. Mungkin ada percekcokan di sana sini mengenai masalah detail, tetapi, secara keseluruhan, oligarki aristokrasi mafhum bahwa kemakmuran ekonominya terkait erat dengan kemakmuran ekonomi kelas menengah industrial dan komersial.

Sejak saat itu, kaum borjuasi adalah bagian dari kelas penguasa Inggris, yang walaupun tidak signifikan tetapi masih diakui. Bersama dengan kelas penguasa lainnya, kaum borjuasi memiliki kepentingan bersama untuk menundukkan rakyat pekerja luas. Para pedagang atau pabrikan berdiri dalam posisi majikan, atau, panggilannya baru-baru ini, “atasan alamiah” atas pegawainya, pekerjanya, pembantu rumah tangganya. Kepentingan dia adalah memperoleh sebanyak mungkin kerja yang baik dari bawahannya; untuk itu, mereka harus dilatih untuk patuh. Dia sendiri orang yang religius; agamanya telah memberinya prinsip yang digunakannya untuk melawan raja dan kaum bangsawan; dia lalu menemukan peluang untuk menggunakan agamanya untuk mempengaruhi benak pikiran bawahannya, dan membuat mereka tunduk pada perintah majikan mereka. Singkatnya, kaum borjuasi Inggris sekarang harus mengambil bagian dalam menundukkan “kelas bawah”, yakni massa rakyat pekerja, dan salah satu sarana yang digunakan untuk tujuan ini adalah pengaruh agama.

Ada fakta lain yang turut memperkuat kecenderungan religius kaum borjuasi. Ini adalah kebangkitan materialisme di Inggris. Doktrin baru ini tidak hanya mengguncang kesalehan kelas menengah; doktrin ini juga memproklamirkan dirinya sebagai sebuah filsafat yang hanya cocok untuk kaum intelektual dan orang berbudaya, tidak seperti agama yang hanya cocok untuk massa tak terdidik, termasuk kaum borjuasi. Dengan Hobbes, materialisme naik ke atas panggung sejarah sebagai pembela hak prerogatif dan kekuasaan mutlak monarki; materialisme menyerukan kepada monarki absolut untuk menundukkan puer robustus sed malitiosus (massa liar), yakni rakyat jelata. Demikian pula, dengan para penerus Hobbes, yaitu Bolingbroke, Shaftesbury, dll., bentuk deistik baru dari materialisme tetap merupakan doktrin yang aristokratis dan esoterik, dan, oleh karenanya, dibenci oleh kelas menengah baik karena ajaran sesatnya maupun karena koneksi politiknya yang anti-borjuis. Maka dari itu, bertentangan dengan materialisme dan deisme kaum aristokrat, sekte-sekte Protestan, yang telah menyediakan panji dan pasukan tempur dalam melawan keluarga dinasti Stuart, terus menjadi kekuatan utama kelas menengah progresif, dan bahkan hari ini menjadi tulang punggung “Partai Liberal”.

Sementara itu, materialisme pindah dari Inggris ke Prancis, di mana materialisme ini bertemu dan berpadu dengan mazhab materialisme lainnya, yakni cabang Cartesianisme.[20] Di Prancis, materialisme pada awalnya adalah doktrin yang secara eksklusif aristokratis. Tetapi dengan segera karakter revolusionernya menegaskan dirinya. Kaum materialis Prancis tidak membatasi kritik mereka pada masalah keyakinan agama saja; mereka memperluasnya ke semua tradisi ilmiah atau lembaga politik yang mereka temui; dan untuk membuktikan klaim bahwa doktrin mereka memiliki aplikasi universal, mereka mengambil jalan pintas terpendek, dan dengan berani menerapkannya ke semua subjek pengetahuan dalam karya raksasa yang mereka beri nama Encyclopédie. Dengan demikian, dalam salah satu dari dua bentuknya – materialisme atau deisme – materialisme menjadi kredo semua kaum muda terpelajar Prancis; sedemikian rupa sehingga ketika Revolusi Besar Prancis pecah, doktrin yang dirumuskan oleh kaum Royalis Inggris ini menjadi panji teori bagi kaum Republiken dan Jacobin Prancis, dan menjadi basis Deklarasi Hak Manusia.[21]

Revolusi Besar Prancis adalah pemberontakan borjuis yang ketiga, tetapi adalah yang pertama kalinya menanggalkan jubah agama, dan diperjuangkan di atas garis politik secara terbuka. Revolusi ini juga adalah yang pertama kalinya diperjuangkan hingga menghancurkan musuhnya, kelas aristokrat, dan mencapai kemenangan penuh bagi kelas borjuasi. Di Inggris, keberlanjutan lembaga-lembaga pra-revolusi dan pasca-revolusi, dan kompromi antara kaum tuan tanah dan kapitalis, menemukan ekspresinya dalam keberlanjutan sistem hukum preseden serta dipertahankannya secara religius bentuk-bentuk feodal dalam hukum. Di Prancis, Revolusi pecah sepenuhnya dari tradisi masa lalu; Revolusi ini membersihkan semua sisa-sisa feodalisme, dan menetapkan Code Civil[22] (kitab undang-undang perdata). Code Civil merupakan adaptasi yang luar biasa dari hukum Romawi kuno – yang merupakan ekspresi relasi yuridis yang hampir sempurna bagi tahapan ekonomi yang disebut oleh Marx sebagai tahapan produksi komoditas – ke kondisi kapitalisme modern. Adaptasi ini begitu luar biasa sehingga undang-undang revolusioner Prancis masih menjadi model bagi reforma hukum properti di semua negara lainnya, bahkan di Inggris. Namun, jangan lupa bahwa jika hukum Inggris terus mengekspresikan relasi-relasi ekonomi masyarakat kapitalis dalam bahasa feodal yang barbar itu, seperti halnya ejaan Inggris tidak sesuai dengan pengucapannya – seperti kata orang Prancis, vous écrivez Londres et vous prononcez Constantinople (kalian menulis London dan kalian mengucapkan Konstantinopel) – hukum Inggris yang sama ini adalah satu-satunya yang telah melestarikan selama berabad-abad, dan menyebarkan ke Amerika dan koloni-koloninya, bagian terbaik dari kebebasan pribadi Jermanik kuno, otonomi pemerintahan daerah dan kemandirian dari semua intervensi kecuali intervensi pengadilan, yang di Kontinen Eropa telah lenyap selama periode monarki absolut, dan sampai sekarang belum dipulihkan sepenuhnya.

Kembali lagi ke borjuasi Inggris kita. Revolusi Prancis memberi borjuasi Inggris sebuah peluang emas, dengan bantuan monarki-monarki Eropa lainnya, untuk menghancurkan perdagangan maritim Prancis, mencaplok koloni-koloni Prancis, dan meremukkan aspirasi terakhir Prancis bahwa ia adalah rival Inggris di laut. Ini adalah salah satu alasan mengapa Inggris menentang Revolusi Prancis. Alasan lainnya adalah Revolusi ini sungguh bertentangan dengan kepribadiannya. Tidak hanya terornya yang “mengerikan”, tetapi juga usahanya untuk mendirikan kekuasaan borjuasi sampai ke titik ekstremnya. Kaum borjuasi Inggris bukanlah apa-apa tanpa kaum aristokrat, yang mengajarkannya tata krama seperti mereka dan menciptakan fashion baginya, yang menyediakan perwira-perwira untuk angkatan bersenjatanya, yang menjaga ketertiban di dalam negeri, dan memberinya angkatan laut yang telah menaklukkan koloni-koloni dan pasar baru di luar negeri. Memang ada selapisan minoritas borjuasi yang progresif, yang kepentingannya tidak terlalu mendapat perhatian di bawah kompromi itu; lapisan ini, yang terutama terdiri dari kelas menengah yang tidak terlalu kaya, bersimpati dengan Revolusi Prancis,[23] tetapi mereka tidak berdaya di dalam Parlemen.

Maka, bila materialisme menjadi kredo Revolusi Prancis, kaum borjuasi Inggris yang takwa-pada-Tuhan justru semakin berpegang erat pada agamanya. Bukankah pemerintahan teror di Paris membuktikan apa yang akan terjadi bila naluri agama rakyat sirna? Semakin materialisme menyebar dari Prancis ke negeri-negeri tetangga, dan diperkuat lebih lanjut oleh tendensi-tendensi filsafat lainnya, terutama oleh filsafat Jerman, semakin materialisme dan pemikiran bebas secara umum menjadi kualifikasi pokok bagi seorang yang terpelajar di Kontinen Eropa, maka semakin keras kepala kelas menengah Inggris berpegang teguh pada beragam kredo agamanya. Kredo-kredo ini mungkin saja berbeda satu sama lain, tetapi mereka semua adalah kredo Kristen yang jelas-jelas religius.

Sementara Revolusi Prancis memastikan kemenangan politik kelas borjuasi di Prancis, di Inggris tokoh-tokoh penemu seperti Watt, Arkwright, Cartwright, dan yang lainnya[24] memulai revolusi industri, yang sepenuhnya menggeser pusat gravitasi kekuatan ekonomi. Kekayaan kaum borjuasi meningkat jauh lebih cepat daripada kekayaan kaum aristokrasi tanah. Di antara kaum borjuasi sendiri, lapisan aristokrasi finansial – yaitu para bankir, dll. – semakin terdorong ke belakang oleh lapisan borjuasi manufaktur. Kompromi 1689, bahkan setelah perubahan-perubahan gradualnya yang menguntungkan kaum borjuasi, tidak lagi sesuai dengan perimbangan kekuatan kelas-kelas yang ada di dalamnya. Karakter kelas-kelas ini juga sudah berubah. Kelas borjuasi tahun 1830 sangatlah berbeda dari kelas borjuasi pada abad sebelumnya. Kekuatan politik masih ada di tangan aristokrasi, dan digunakan oleh mereka untuk melawan kelas borjuasi industrial yang baru; dan kekuatan politik ini sudah tidak kompatibel dengan kepentingan-kepentingan ekonomi yang baru. Diperlukan sebuah perjuangan baru untuk melawan aristokrasi; dan ini hanya dapat berakhir dengan kemenangan kekuatan ekonomi yang baru. Pertama, di bawah impuls Revolusi Prancis 1830, Reform Act of 1832 (Undang-undang Reforma 1832)[25] disahkan, kendati semua perlawanan dari aristokrasi. UU ini memberi kaum borjuasi posisi yang kuat dan sah dalam Parlemen. Kemudian Repeal of the Corn Laws (Pencabutan Undang-undang Jagung) pada 1846,[26] yang untuk selama-lamanya memastikan supremasi kaum borjuasi – dan terutama lapisannya yang paling aktif, yaitu borjuasi pabrikan – atas aristokrasi tanah. Ini adalah kemenangan terbesar kaum borjuasi Inggris; akan tetapi ini juga adalah kemenangan terakhir yang dicapainya demi kepentingannya sendiri secara eksklusif. Apapun kemenangan yang diperolehnya di kemudian hari, mereka harus berbagi dengan kekuatan sosial baru, yang awalnya adalah sekutunya, tetapi tak lama kemudian menjadi rivalnya.

Revolusi industri tidak hanya menciptakan kelas kapitalis manufaktur besar, tetapi juga kelas buruh manufaktur dengan jumlah yang jauh lebih besar. Kelas ini perlahan-lahan jumlahnya meningkat, seiring dengan perkembangan revolusi industri yang mendominasi satu demi satu cabang industri. Dan seiring dengan itu pula, kekuatannya meningkat. Kekuatan ini dibuktikannya seawal 1824, dengan memaksa Parlemen untuk membatalkan hukum-hukum yang melarang pembentukan organisasi buruh.[27] Selama masa agitasi UU Reforma 1832, kaum buruh merupakan sayap Radikal partai Reforma. Setelah UU Reforma 1832 mengesampingkan mereka dari hak pilih, kaum buruh merumuskan tuntutan mereka dalam People’s Charter (Piagam Rakyat) pada 1838,[28] dan membentuk partai mereka sendiri yang mandiri, yakni Partai Chartist, partai buruh pertama di zaman modern. Partai ini dibentuk sebagai tandingan partai Anti-Hukum-Jagung borjuis.[29]

Kemudian revolusi-revolusi kontinental meletus pada Februari (di Prancis) dan Maret 1848 (di Jerman), di mana rakyat pekerja memainkan peran yang begitu menonjol, dan, setidaknya di Paris, mengedepankan tuntutan-tuntutan yang jelas tidak bisa diterima dari sudut pandang masyarakat borjuis. Dan ini lalu disusul dengan reaksi. Pertama, kekalahan kaum Chartist pada 10 April, 1848, lalu penumpasan insureksi rakyat pekerja Paris pada Juni 1848, lalu serangkaian bencana pada 1849 di Italia, Hungaria, Jerman Selatan, dan akhirnya kemenangan Louis Bonaparte di Paris pada 2 Desember, 1851. Setidaknya untuk sementara waktu, momok perjuangan kelas-buruh diremukkan, tetapi dengan biaya yang tinggi! Bila borjuasi Inggris sudah yakin sebelumnya bahwa mereka harus menyebarkan ilusi keagamaan di antara rakyat jelata, maka bagaimana sekarang setelah semua pengalaman ini? Dia pasti merasa semakin harus menyebarkan ilusi keagamaan. Walaupun diejek oleh kawan-kawan kontinentalnya, mereka terus menghabiskan ribuan dan puluhan ribu pound, tahun demi tahun, untuk kampanye penginjilan di antara kelas-kelas bawah. Tidak puas dengan mesin agamanya sendiri, borjuasi Inggris mendatangkanorang-orang Amerika, yang dikenal paling mahir mengorganisir agama sebagai bisnis, dan mengimpor dari gerakan revivalism (Kebangunan Rohani)[30] Amerika tokoh-tokoh seperti Moody dan Sankey, dan yang lainnya[31]. Dan, akhirnya, borjuasi Inggris menerima bantuan yang berbahaya dari gereja Bala Keselamatan, yang membangkitkan kembali propaganda Kekristenan Awal, yang mengajarkan bahwa kaum miskin adalah kaum yang terpilih, yang melawan kapitalisme dengan cara religius, dan dengan demikian memupuk elemen antagonisme kelas dari Kekristenan Awal, yang suatu hari dapat menjadi masalah bagi kaum kaya yang hari ini mendanainya.

Ini tampaknya merupakan hukum perkembangan sejarah, bahwa kelas borjuasi di semua negara Eropa tidak dapat mempertahankan kekuasaan politik, setidaknya untuk waktu yang lama. Ini tidak seperti kelas aristokrasi feodal yang dapat mempertahankan kekuasaan mereka selama Abad Pertengahan. Bahkan di Prancis, di mana feodalisme sudah sepenuhnya disingkirkan, kaum borjuasi secara keseluruhan hanya memiliki kontrol penuh atas Pemerintah untuk waktu yang sangat singkat saja. Selama kekuasaan Louis Philippe pada 1830-1848, hanya selapisan kecil borjuasi memegang kekuasaan; secara umum sebagian besar dari mereka tidak memiliki hak pilih karena persyaratan yang tinggi. Di bawah Republik Kedua, 1848-1851, semua borjuasi berkuasa, tetapi hanya untuk tiga tahun saja. Ketidakmampuan mereka untuk mempertahankan kekuasaan membuka jalan bagi Kekaisaran Kedua[32]. Hanya sekarang, selama Republik Ketiga,[33] kaum borjuasi secara keseluruhan telah mempertahankan kemudi selama lebih dari dua puluh tahun; dan mereka sekarang sudah menunjukkan tanda-tanda dekadensi. Sampai hari ini, kekuasaan borjuasi yang bertahan lama hanya kita saksikan di negeri-negeri seperti Amerika, di mana tidak pernah ada feodalisme, dan masyarakatnya sedari awal dimulai di atas landasan borjuis. Dan bahkan di Prancis dan Amerika, penerus kaum borjuasi, yaitu rakyat pekerja, sudah mengetuk pintu.

Di Inggris, kaum borjuasi tidak pernah tidak pernah memegang kekuasaan dengan sendirinya. Bahkan setelah kemenangan pada 1832, aristokrasi tanah masih memegang hampir semua posisi penting dalam departemen-departemen Pemerintah. Kelas menengah yang kaya menerima fakta ini dengan patuh dan tanpa perlawanan, dan bagi saya ini tetap susah dibayangkan, sampai pada suatu hari saya membaca ceramah publik Tn. W. A. Forster, seorang Liberal dan pemilik pabrik besar. Dia memohon dengan sangat kepada para pemuda Bradford untuk belajar bahasa Prancis supaya bisa maju di dunia, dan dia menceritakan pengalamannya sendiri, bagaimana dia merasa malu ketika sebagai Menteri Kabinet dia harus bergaul di lingkungan dimana bahasa Prancis setidaknya sama pentingnya dengan bahasa Inggris! Kenyataannya demikian: kelas menengah Inggris pada saat itu adalah orang kaya baru yang tidak terlalu terdidik, dan terpaksa menyerahkan posisi-posisi penting dalam Pemerintahan yang membutuhkan kualifikasi-kualifikasi lain selain kedangkalan dan keangkuhan yang picik, yang dibumbui dengan ketajaman berbisnis.[34] Bahkan sekarang, debat-debat tanpa henti di koran mengenai pendidikan kelas menengah menunjukkan bahwa kelas menengah Inggris belum menganggap dirinya cukup pantas untuk mengenyam pendidikan terbaik, dan menginginkan pendidikan yang lebih sederhana. Jadi, bahkan setelah Pencabutan UU Jagung, orang-orang yang bertanggung jawab atas kemenangan ini – Cobden, Bright, Forster, dll. – tidak memperoleh jabatan dalam pemerintahan. Hanya dua puluh tahun kemudian dengan UU Reforma baru pada 1867[35] pintu menjadi terbuka bagi mereka untuk masuk ke Kabinet. Kaum borjuasi Inggris, sampai hari ini, begitu dirasuki oleh perasaan inferior sosial sehingga mereka mempertahankan sebuah kasta parasit yang ornamental sebagai pejabat pemerintah, walaupun ini merugikan diri mereka sendiri dan bangsa; dan mereka merasa sangat terhormat setiap kali salah satu dari mereka dianggap layak masuk ke dalam lembaga yang istimewa dan terdiri dari orang-orang terpilih ini, walaupun sebenarnya lembaga ini dibentuk oleh mereka sendiri.

Oleh karena itu, kelas menengah industrial dan komersial belumlah berhasil menyingkirkan aristokrasi tanah sepenuhnya dari kekuasaan politik, ketika kompetitor lainnya, kelas buruh, muncul di panggung sejarah. Masa reaksi setelah gerakan Chartist dan revolusi-revolusi kontinental, dan juga perluasan perdagangan Inggris yang luar biasa dari 1848 hingga 1866 (yang dipercaya karena Perdagangan Bebas saja, tetapi sebenarnya lebih disebabkan oleh perkembangan kolosal dalam sarana transportasi kereta api, kapal laut, dan sarana-sarana transportasi lainnya), telah sekali lagi mendorong kelas buruh untuk menjadi tergantung pada partai Liberal. Seperti sebelum masa Chartist, kelas buruh menjadi sayap Radikal partai Liberal ini. Namun, perlahan-lahan aspirasi kelas buruh untuk memperoleh hak pilih menjadi tak tertanggungkan; sementara para pemimpin Whig partai Liberal ketakutan, pemimpin Partai Konservatif Disraeli menunjukkan superioritasnya dengan memanfaatkan momen yang menguntungkan ini untuk memperluas hak pilih kepada penyewa rumah di kota, serta mencanangkan redistribusi dapil. Ini disusul dengan penerapan asas pemilu rahasia; dan lalu pada 1884 hak pilih diperluas ke penyewa rumah di daerah pedesaan dan dapil didistribusi ulang kembali, sehingga dapil sampai tingkatan tertentu menjadi setara. Semua kebijakan ini meningkatkan kekuatan elektoral kelas buruh, sedemikian rupa sehingga di setidaknya 150 sampai 200 dapil mayoritas pemilih adalah kelas buruh. Tetapi pemerintahan parlementer adalah sebuah sekolah yang sangat baik untuk mengajarkan rasa hormat pada tradisi; bila kelas menengah menaruh hormat dan kagum pada apa yang disebut Lord John Manners sebagai “bangsawan tua kita”, maka massa rakyat pekerja menaruh hormat dan kagum pada “atasan mereka”, kelas menengah. Memang, buruh Inggris, sekitar lima belas tahun yang lalu, adalah buruh teladan, yang menghormati posisi majikan mereka, yang sopan dan mampu menahan diri dalam menuntut haknya, sehingga ini menghibur para ekonom Jerman dari mazhab Katheder-Sosialis[36] yang terusik oleh kecenderungan komunistik dan revolusioner di antara buruh Jerman.

Tetapi kelas menengah Inggris – para pengusaha yang mahir ini – berwawasan lebih jauh dari pada para profesor Jerman. Mereka telah membagi kekuasaan mereka dengan kelas buruh, walaupun dengan rasa enggan. Mereka telah belajar, selama periode gerakan Chartist, apa yang mampu dilakukan oleh puer robustus sed malitiosus (rakyat jelata). Dan sejak saat itu, mereka terpaksa memasukkan sebagian besar Piagam Rakyat ke dalam Konstitusi Inggris. Sekarang, rakyat harus dijinakkan secara spiritual, dan metode spiritual terbaik sampai hari ini adalah agama. Inilah mengapa dewan-dewan sekolah mayoritas diisi oleh pendeta; inilah mengapa kaum borjuasi membiayai berbagai macam gerakan Kebangunan Rohani, dari ritualisme[37] sampai gereja Bala Keselamatan.

Dan sekarang tibalah kemenangan filistinisme Inggris atas kebebasan berpikir dan kelalaian beragama kaum borjuasi kontinental. Kaum buruh Prancis dan Jerman telah menjadi pemberontak. Mereka sepenuhnya terjangkiti dengan sosialisme, dan, untuk alasan yang sangat baik, tidak terlalu peduli pada legalitas bagaimana mereka meluncurkan perjuangan mereka. Puer robustus (rakyat jelata) di sana semakin hari semakin malitiosus (jahat). Tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh borjuasi Prancis dan Jerman selain secara diam-diam membuang prinsip kebebasan berpikir mereka – layaknya seorang pemuda, ketika dia merasa mabuk laut di atas kapal, lalu diam-diam membuang cerutunya yang sebelumnya dia bawa ke atas kapal dengan congkaknya. Satu demi satu, mereka yang sebelumnya menyindir agama menjadi saleh dalam penampilan luarnya; mereka berbicara dengan penuh rasa hormat pada Gereja, dogma dan ritusnya, dan bahkan menyesuaikan dirinya pada Gereja sebisa mungkin. Kaum borjuasi Prancis puasa pantang-daging setiap Jumat, dan kaum borjuasi Jerman duduk di bangku gereja dengan sabarnya mendengarkan khotbah Protestan yang panjang setiap hari Minggu. Mereka telah mencampakkan materialisme. "Die Religion muss dem Volk erhalten werden," – agama harus dipertahankan demi rakyat – inilah satu-satunya cara untuk menyelamatkan masyarakat dari kehancuran. Sayangnya bagi mereka, mereka tidak menyadari ini sampai mereka telah melakukan sebisanya untuk menghancurkan agama. Dan sekarang gilirannya borjuasi Inggris untuk mengejek dan mengatakan: “Bodoh sekali kamu, saya sudah memberitahumu 200 tahun yang lalu!”

Namun, baik ketakwaan agama di Inggris maupun konversi agama kaum borjuasi kontinental yang terlalu telat ini tidak akan dapat membendung gelombang kebangkitan proletariat. Tradisi adalah kekuatan penghalang besar terhadap laju sejarah, tetapi karena kekuatan ini bersifat pasif maka pasti akan bisa diruntuhkan. Dan, maka dari itu, agama tidak akan dapat melindungi kapitalisme untuk selama-lamanya. Relasi-relasi ekonomi dalam masyarakat secara tidak langsung menentukan ide-ide yudisial, filsafat, dan religius yang ada, dan maka dari itu ide-ide tersebut tidak dapat, dalam jangka panjang, menahan dampak perubahan dalam relasi-relasi ekonomi. Dan, kecuali bila kita percaya pada wahyu supernatural, kita harus mengakui bahwa ajaran agama tidak akan bisa menopang masyarakat yang sudah goyah.

Pada kenyataannya, begitu juga di Inggris, kelas buruh sudah mulai bergerak kembali. Tentu saja mereka terbelenggu oleh berbagai macam tradisi. Tradisi borjuis, seperti kepercayaan yang luas bahwa hanya bisa ada dua partai, Partai Konservatif dan Partai Liberal, dan bahwa kelas buruh harus mencari keselamatannya dari dan melalui Partai liberal. Tradisi buruh, yang diwarisi dari usaha tentatif mereka untuk bertindak secara independen, misalnya di banyak serikat-serikat buruh tua, buruh yang belum melalui proses magang dilarang masuk ke dalam serikat buruh; dan dengan demikian justru membiakkan pekerja pengganti. Kendati semua ini, kelas buruh Inggris tengah bergerak; bahkan Profesor Brentano harus melaporkan ini dengan sedih ke saudaranya Katheder-Sosialis.[38] Kelas buruh Inggris bergerak, seperti semua hal di Inggris, dengan langkah yang perlahan dan terukur, dengan keraguan, dan dengan usaha-usaha tentatif yang kurang lebih tidak membuahkan hasil; mereka bergerak di sana dan di sini dengan kecurigaan terhadap nama Sosialisme, sementara mereka perlahan-lahan menyerap substansi Sosialisme; dan gerakan ini menyebar dan melibatkan lapisan demi lapisan buruh. Gerakan buruh telah membangkitkan para buruh tidak terampil di East End London, dan kita semua tahu bagaimana kekuatan segar ini telah memberikan dorongan yang luar biasa bagi gerakan buruh. Dan bila kecepatan gerakan ini tidak memuaskan ketidaksabaran beberapa orang, mari kita ingatkan mereka bahwa kelas buruh-lah yang mempertahankan kualitas-kualitas terbaik karakter Inggris; dan, bila satu langkah maju tercapai di Inggris, biasanya langkah maju ini tidak pernah hilang setelahnya. Bila anak-anak kaum Chartist mengecewakan, maka cucu-cucunya menunjukkan potensi untuk menjadi seperti pendahulu mereka.

Tetapi kemenangan kelas buruh Eropa tidak bergantung pada Inggris saja. Kemenangan ini hanya dapat terjamin lewat kerja sama antara, setidaknya, Inggris, Prancis, dan Jerman. Di Prancis dan Jerman, gerakan kelas buruh jauh lebih maju daripada Inggris. Di Jerman, gerakan ini bahkan sudah dekat ke kemenangan. Kemajuan yang telah dicapainya selama 25 tahun terakhir tidak ada paralelnya. Ia terus maju dengan semakin cepat. Bila kelas menengah Jerman telah menunjukkan dirinya begitu menyedihkan dan tidak memiliki kapasitas politik, kedisiplinan, keberanian, energi, dan ketangguhan, kelas buruh Jerman sebaliknya telah membuktikan dirinya memiliki semua kualitas ini. Empat ratus tahun yang lalu, Jerman adalah titik-tolak pergolakan pertama kelas menengah Eropa[39]; mengingat situasi hari ini, apakah di luar batas kemungkinan bahwa Jerman akan menjadi panggung kemenangan besar pertama proletariat Eropa?

F. Engels

20 April, 1892


Catatan kaki:

[1] Kongres Persatuan di Gotha yang digelar pada 22-27 Mei, 1875, menyatukan dua tendensi dalam gerakan kelas buruh, Partai Buruh Sosial-Demokratik (kaum Eisenacher) yang dipimpin oleh August Bebel dan Wilhelm Liebknecht, dan kaum Lassallean dengan organisasinya Perhimpunan Umum Buruh Jerman. Sebelum kongres ini, sudah berlangsung perseteruan panjang antara kaum Eisenacher, yang secara umum membela komunisme ilmiah, dan kaum Lassallean, yang membela semacam sosialisme borjuis-kecil dan menolak mengakui perlunya aksi ekonomi dan pendirian serikat buruh. Sampai pada 1890, partai yang bersatu ini disebut Partai Buruh Sosialis Jerman. Ini memperbaiki keretakan dalam kelas buruh Jerman. Ketika pada Februari 1875 mereka merumuskan platform bersama (draf AD/ART dan terutama program), kepemimpinan Eisenacher setuju untuk berkompromi secara ideologis dengan kaum Lassallean, dengan mengutamakan aspirasi buruh Jerman untuk bersatu dan berusaha mencapai persatuan ini dengan cara apapun. Walaupun menyambut persatuan partai sosialis ini, Marx dan Engels tetap menentang kompromi ideologis dengan kaum Lassallean dan mengkritik dengan tajam draf program yang keliru itu (Baca Critique of the Gotha Programme). Akan tetapi, ini tidak mencegah kongres untuk mengesahkan draf program tersebut dengan hanya perubahan-perubahan kecil.

[2] Ini merujuk pada buku-buku E. Dühring: Cursus der Philosophie als streng wissenschaftlicher Weltanschauung und Lebensgestaltung; Cursus der National- und Socialökonomie einschliesslich der Hauptpunkte der Finanzpolitik; Kritische Geschichte der Nationalökonomie und der Socialismus. (Catatan Engels)

[3] Bimetalisme – sebuah sistem moneter yang berdasarkan dua logam (misalnya emas dan perak) dengan rasio tetap di antara keduanya, dan digunakan sebagai alat pembayaran legal.

[4] Engels menyusun pamfletnya dari Seksi I Pengantar Anti-Dühring, dan Bab I dan II dari Bagian III karya ini, dengan sejumlah tambahan dan perubahan.

[5] Engels merujuk pada karya M. M. Kovalevsky: Tableau des origines et de l'évolution de la famille et de la propriété.

[6] John Duns Scotus (1265-1308) adalah pendeta Katolik dan teolog dari Skotlandia. Dia mengembangkan teori Univocity of Being, bahwa semua kualitas hanya memiliki satu makna, entah bila kita berbicara mengenai dunia alam ataupun Tuhan. Ini bertentangan dengan doktrin resmi Gereja saat itu, bahwa kualitas yang menjelaskan Tuhan memiliki makna yang sepenuhnya berbeda bila diterapkan ke manusia atau dunia alam.

[7] Nominalisme adalah filsafat Abad Pertengahan yang menolak bahwa konsep-konsep universal atau objek-objek abstrak memiliki eksistensi yang terpisah dari dunia nyata. Konsep-konsep universal, seperti pohon, buah-buahan, dll. hanyalah nama atau label yang kita berikan pada benda-benda yang serupa. Perintis awal Nominalisme adalah Peter Abelard (1079-1142), yang lalu dikembangkan oleh William of Ockham (1287-1347). Nominalisme menjadi filsafat yang menentang doktrin Realisme Gereja Katolik, yang landasannya dibangun oleh Augustine of Hippo (354-430), bahwa konsep-konsep universal sungguh eksis secara independen dari dunia nyata dan bahkan sebelum dunia ada, dan konsep-konsep universal ini ada di pikiran Tuhan dan hanya bisa diakses lewat iman. Dengan demikian untuk mencari pengetahuan kita harus mengarahkan pandangan kita ke surga. Nominalisme menghancurkan pandangan demikian, bahwa pengetahuan diperoleh di dunia nyata yang bisa diamati, dan maka dari itu Nominalisme membuka pintu ke materialisme modern.

[8] Anaxagoras (500-428 SM) adalah filsuf Yunani Kuno, yang mengajukan teori homoiomeriae, bahwa semua benda terbentuk dari kumpulan partikel-partikel yang lebih kecil (yang disebut homoiomeriae) yang memiliki kualitas yang sama. Homoiomeriae memiliki jumlah dan keberagaman yang tak terhingga.

[9] Democritus (460-370 SM) adalah filsuf Yunani Kuno, yang mengajukan teori atom, bahwa benda terdiri dari atom-atom yang tidak bisa dipecah, yang tidak bisa dihancurkan, dan senantiasa dalam keadaan gerak.

[10] ‘Qual’ adalah permainan kata filsafat. Qual secara harfiah berarti siksaan, rasa sakit yang mendorong semacam tindakan; pada saat yang sama, Bohme yang mistik memberi kata Jerman ini semacam makna dari kata Latin qualitas; ‘qual’nya adalah prinsip aktivasi yang muncul dari, dan juga mendorong pada gilirannya, perkembangan spontan benda, relasi, atau orang yang berada di bawah pengaruhnya, dan ini berbeda dari rasa nyeri dari luar. (Catatan Engels)

[11] Sensasionalisme mengatakan bahwa pikiran manusia itu ketika lahir adalah seperti kanvas kosong, sebuah tabula rasa, yang lalu diisi oleh pengalaman dan sensasi.

[12] Deisme, kepercayaan pada Tuhan yang berdasarkan nalar, alih-alih berdasarkan ajaran agama atau wahyu.

[13] Owenite – kaum Sosialis dan aktivis serikat buruh Inggris yang mengikuti ajaran Robert Owen (1771-1858).

[14] Ini merujuk pada Great Exhibition, pameran industri dunia pertama yang diselenggarakan pada Mei-Oktober 1851 di London.

[15] Engels merujuk pada Revolusi Inggris 1642-1652 (atau Perang Sipil Inggris), yang dipimpin oleh Oliver Cromwell.

[16] Ini merujuk pada periode “Pemerintahan Teror” selama Revolusi Prancis 1789, ketika kaum kiri radikal Jacobin yang dipimpin Robespierre mengambil kekuasaan pada 1793 dan menuntaskan Revolusi Prancis dengan menghapus semua sisa-sisa monarki dan feodalisme sampai ke akar-akarnya. Selama periode ini, kaum Jacobin menangkap dan mengeksekusi musuh-musuh revolusi, termasuk Raja Louis XVI dan ratu Marie Antoinette.

[17] “Revolusi Agung” 1688 di Inggris mendirikan sebuah monarki konstitusional yang merupakan hasil kompromi antara aristokrasi dan kaum borjuasi finansial. Para sejarawan liberal mencibir Revolusi Inggris 1642-52 dan menamainya “Pemberontakan Besar” karena semangat revolusioner yang terkandung di dalamnya, sementara mengagung-agungkan “Revolusi Agung” 1688 karena sifat komprominya.

[18] Louise Philippe (1773-1850), menjadi Raja Prancis pada 1830-1848, sebelum ditumbangkan oleh Revolusi Prancis 1848. Rejim Louis Philippe dikenal sebagai Monarki Juli, yang didominasi oleh bankir dan industrialis kaya.

[19] Perang Mawar (1455-85) adalah perang untuk memperebutkan takhta kerajaan Inggris antara dua keluarga dinasti: dinasti York dengan lambang mawar putih, dan dinasti Lancaster, dengan mawar merah. Mendukung dinasti York adalah selapisan bangsawan feodal besar dari daerah selatan yang lebih berkembang secara ekonomi, bangsawan rendahan (para ksatria) dan kota-kota. Lancaster didukung oleh bangsawan feodal dari utara. Perang yang berdarah-darah ini nyaris menghancurkan kedua dinasti dan berakhir dengan naik takhtanya keluarga Tudor, yang memperkenalkan absolutisme ke seluruh Inggris.

[20] Cartesianisme, sebuah doktrin yang dianut oleh para pengikut Rene Descartes (Cartesius dalam bahasa Lain), seorang filsuf Prancis abad ke-17. Mereka menarik kesimpulan materialis dari ajaran Descartes.

[21] Ini merujuk pada Déclaration des droits de l'homme et du citoyen (Deklarasi Hak Manusia dan Warga) yang diadopsi oleh Majelis Konstituen Prancis pada 26 Agustus, 1789, selama Revolusi Prancis. Deklarasi ini memproklamirkan prinsip-prinsip utama revolusi: kedaulatan rakyat dan hak asasi manusia (hak atas kebebasan, properti, keamanan dan hak untuk melawan penindasan).

[22] Code Civil, adalah satu dari lima undang-undang yang ditetapkan di Prancis pada 1804-10 di bawah Napoleon I (maka dari itu istilah Code Napoléon adalah nama lain Code Civil), yang mewakili sistematisasi hukum borjuis. Engels menyebut Code Civil yang disahkan pada 1804 ini sebagai “hukum legal klasik masyarakat borjuis”.

[23] Engels merujuk pada anggota-anggota London Corresponding Society dan kelompok-kelompok lainnya di kota-kota Inggris. Para pengikutnya menuntut pemilu universal dan reforma demokratik lainnya. Kelompok-kelompok ini direpresi oleh pihak otoritas.

[24] James Watt (1736-1819) adalah ilmuwan dari Skotlandia. Dia terkenal sebagai penemu mesin uap Watt, yang fundamental bagi revolusi industri di Inggris dan seluruh dunia.

Richard Arkwright (1732-1792) adalah penemu Inggris dan seorang pengusaha terkemuka selama revolusi industri. Dia menemukan berbagai teknik produksi, seperti spinning frame, dan teknik organisasi produksi, sehingga dikenal sebagai bapak sistem pabrik industri modern.

Edmund Cartwright (1743-1823) adalah penemu Inggris lulusan Oxford University. Dia menemukan mesin pintal yang menjadi salah satu impuls revolusi industri di Inggris.

[25] Ini merujuk pada The Reform Act of 1832, yang disahkan oleh Parlemen Inggris pada Juni 1832. Undang-undang ini terdiri dari tiga pasal yang diadopsi oleh Inggris dan Wales pada 7 Juni, Skotlandia pada 17 Juli, dan Irlandia pada 17 Agustus, 1832. UU ini diarahkan untuk melawan monopoli politik kaum aristokrasi tanah dan finansial, dan membuka pintu bagi perwakilan kaum borjuasi industrial di dalam Parlemen. Kaum proletariat dan borjuasi kecil, yang merupakan kekuatan utama dalam perjuangan reforma ini, tetap termarginalisasi dari parlemen.

[26] UU Jagung menetapkan tarif tinggi dan berbagai regulasi perdagangan lainnya terhadap impor pangan (kata “corn” dalam bahasa Inggris merujuk pada semua biji-bijian, termasuk gandum). UU ini diterapkan di Inggris dari 1815 hingga 1846. UU ini membuat harga pangan tinggi, sehingga memperkuat posisi ekonomi dan politik kelompok aristokrasi tanah. Karena harga pangan yang tinggi, ini menghalangi pertumbuhan sektor ekonomi lainnya, terutama menghalangi perkembangan kelas borjuasi manufaktur. Kampanye pencabutan UU Jagung diluncurkan oleh Liga Anti UU Jagung, yang dibentuk pada 1838 oleh pemilik pabrik di Manchester, Cobden dan Bright. Kampanye ini menuntut diturunkannya tarif pangan dan perdagangan bebas. Pemenuhan tuntutan ini melemahkan kekuatan ekonomi dan politik kaum aristokrasi tanah, dan juga menurunkan upah buruh tani. Kampanye ini akhirnya berhasil membatalkan UU Jagung pada 1846.

[27] Pada 1824, di bawah tekanan massa, Parlemen Inggris membatalkan larangan berserikat buruh. Namun pada 1825, Parlemen mengesahkan undang-undang mengenai organisasi buruh yang, walaupun mempertegas keputusan sebelumnya, membatasi aktivitas serikat buruh. Khususnya, semua agitasi yang mencoba meyakinkan buruh untuk bergabung ke dalam serikat buruh dan melakukan mogok dianggap sebagai pemaksaan dan kekerasan, dan akan dihukum sebagai kejahatan.

[28] Piagam Rakyat menyerukan reforma untuk memperluas demokrasi bagi rakyat pekerja. Enam tuntutan utamanya adalah: 1) Hak memilih bagi semua laki-laki berumur 21 tahun ke atas; 2) Kertas suara rahasia; 3) Hapus syarat kepemilikan properti untuk anggota parlemen; 4) Gaji untuk anggota parlemen, agar rakyat pekerja dapat terlibat dalam parlemen tanpa kehilangan nafkahnya; 5) Dapil yang setara, sehingga jumlah pemilih yang sama mendapat jumlah perwakilan yang sama; 6) Pemilu tahunan.

[29] Ini merujuk pada Liga Anti UU Jagung, yang dibentuk pada 1938 untuk memimpin kampanye pencabutan UU Jagung.

[30] Revivalism, atau Kebangunan Rohani, sebuah tendensi dalam Gereja Protestan yang muncul di Inggris pada paruh pertama abad ke-18 dan menyebar ke Amerika Utara. Pengikut tendensi ini bertujuan mengkonsolidasikan dan memperluas pengaruh Kristen dengan penginjilan dan membangun kongregasi-kongregasi baru.

[31] Dwight Lyman Moody (1837-1899) dan Ira David Sankey (1840-1908) adalah tokoh gerakan Kebangunan Rohani dari Amerika Serikat. Mereka melakukan kunjungan ke Inggris untuk melakukan penginjilan.

[32] Ini merujuk pada Kekaisaran Louis-Napoleon Bonaparte, yang berkuasa sebagai Kaisar Prancis dari 1852-1870. Marx menulis mengenai ini dalam karyanya yang terkenal itu, 18th Brumaire of Louis Bonaparte.

[33] Kekaisaran Louis Bonaparte tumbang pada 1870 selama Perang Franco-Prusia 1870-71. Berita ditangkapnya Kaisar Louis Bonaparte oleh pasukan Prusia dalam pertempuran Sedan pada 1 September 1870 memicu revolusi di Prancis, dengan jatuhnya kekaisaran dan diproklamirnya Republik Ketiga pada 4 September 1870. Ini lalu disusul dengan Komune Paris 1871 yang terkenal itu.

[34] Dan bahkan dalam urusan bisnis, keangkuhan sauvinisme nasional adalah penasihat yang buruk. Hingga baru-baru ini, rata-rata pabrikan Inggris merasa terhina bila seorang warga Inggris harus berbicara bahasa lain selain bahasanya sendiri, dan merasa agak bangga kalau orang-orang asing menetap di Inggris, dan tidak ambil pusing untuk menjual produknya ke luar negeri. Dia tidak pernah memperhatikan bahwa orang-orang asing ini, kebanyakan orang Jerman, dengan demikian berhasil menguasai sebagian besar perdagangan luar negeri Inggris, impor dan ekspor, dan bahwa perdagangan luar negeri Inggris menjadi terbatas hampir seluruhnya pada koloni-koloninya, China, Amerika Serikat, dan Amerika Selatan. Dia juga tidak memperhatikan bahwa orang-orang Jerman ini berdagang dengan orang-orang Jerman di luar negeri, yang perlahan-lahan mengorganisasi sebuah jaringan niaga antar koloni di seluruh dunia. Tetapi ketika Jerman, sekitar 40 tahun yang lalu, dengan serius memulai manufaktur untuk keperluan ekspor, jaringan niaga ini memainkan peran besar dalam transformasinya, dalam waktu yang sangat singkat, dari eksportir gandum menjadi negara manufaktur kelas satu. Kemudian, sekitar 10 tahun yang lalu, pabrikan Inggris menjadi takut, dan bertanya pada para duta besarnya mengapa mereka tidak bisa lagi menjaga pelanggannya. Jawaban bulatnya adalah: (1) Anda tidak mempelajari bahasa pelanggan Anda, tetapi mengharapkan dia berbicara bahasa Anda sendiri; (2) Anda bahkan tidak berusaha menyesuaikan diri pada kebutuhan, kebiasaan, dan selera pelanggan Anda, tetapi berharap dia yang menyesuaikan diri pada Anda. (Catatan Engels)

[35] Ini merujuk pada UU Reforma 1867 yang disahkan oleh pemerintahan Konservatif Derby-Disraeli. Di bawah reforma 1867 ini, hak pilih diberikan kepada penduduk kota, yakni pemilik rumah dan penyewa rumah yang menyewa rumah setidaknya selama 12 bulan dan membayar uang sewa setidaknya 10 poundsterling setiap tahunnya. Di wilayah kabupaten, kualifikasi properti untuk menjadi pemilih adalah membayar uang sewa 12 poundsterling setiap tahunnya. Reforma ini memperluas hak pilih ke selapisan buruh. Pemungutan suara secara rahasia diperkenalkan pada 1872. Reforma 1884 memperluas reforma 1867 ke daerah pedesaan, dan memberikan hak pilih pada selapisan penduduk desa. Tetapi bahkan dengan reforma-reforma ini, 87 persen populasi tetap tidak memiliki hak pilih, termasuk penduduk kota dan desa yang miskin dan semua perempuan.

[36] Mazhab Katheder-Sosialis adalah tendensi yang dimulai pada akhir abad ke-19 oleh kaum akademisi borjuis Jerman untuk melawan Marxisme. Kaum intelektual ini, yang mengaku sosialis, menganjurkan intervensi negara dalam relasi ekonomi dan sosial guna melunakkan perjuangan kelas, dengan memperkenalkan “sosialisme” dari atas.

[37] Ritualisme, sebuah tendensi dalam Gereja Anglikan dari 1830an hingga 1860an, yang juga disebut Puseyisme, dari nama salah satu pendirinya, Edward Bouverie Pusey, seorang teolog Universitas Oxford, yang menganjurkan restorasi ritus-ritus dan dogma Gereja Anglikan.

[38] Ini merujuk pada tulisan L. Brentano mengenai serikat buruh di Inggris: Die Arbeitergilden der Gegenwart. Vol. 2: Zur Kritik der englischen Gewerkvereine.

[39] Engels merujuk pada gerakan Reformasi Jerman 1517 dan Perang Tani Jerman 1524-25 yang menyusulnya.


Daftar Isi