1. Uang dan Rencana Lima Tahun
Kita telah mencoba memeriksa rejim Soviet dalam sebuah uji silang tentang mata uang. Dua masalah ini, Negara dan uang, memiliki sejumlah kesamaan karakter karena, pada analisa terakhir, keduanya tereduksi pada akar segala masalah: produktivitas tenaga kerja. Pemaksaan oleh Negara, seperti halnya pemaksaan oleh uang, adalah warisan dari masyarakat berkelas, yang tidak sanggup mendefinisikan relasi manusia dengan manusia lain kecuali dalam bentuk pemberhalaan (fetisisme), baik yang agamawi maupun sekular; setelah menunjuk pembela mereka dari antara sekian banyak fetisisme, justru yang paling berbahaya adalah Negara yang dipersenjatai sampai ke gigi-giginya. Dalam masyarakat komunis, Negara dan uang akan lenyap. Pupusnya kedua hal ini secara bertahap seharusnya dimulai di bawah sosialisme. Kita baru bisa berbicara tentang kemenangan sosialisme yang sesungguhnya pada titik sejarah ketika Negara berubah menjadi semi-Negara dan uang mulai kehilangan daya magisnya. Ini akan berarti bahwa sosialisme, setelah membebaskan dirinya dari fetisisme kapitalis, akan mulai menciptakan satu hubungan antar manusia yang lebih rasional, bebas, dan bernilai. Tuntutan berkarakter anarkis seperti “penghapusan” uang, “penghapusan” kerja upahan, atau “likuidasi” negara dan keluarga, hanya menarik bagi kita sebagai contoh-contoh cara berpikir mekanis. Uang tidak bisa begitu saja “dihapuskan”, seperti halnya Negara dan keluarga tidak dapat begitu saja “dilikuidasi”. Lembaga-lembaga ini harus menghabiskan tujuan historisnya, menguap, dan gugur. Pukulan mematikan bagi fetisisme uang hanya akan dapat dihantarkan pada tahap dimana pertumbuhan stabil dari kekayaan sosial telah membuat kita, makhluk-makhluk berkaki dua ini, melupakan sikap kikir kita dalam bekerja dan ketakutan kita akan besarnya jatah makan kita. Setelah kehilangan kemampuannya untuk mendatangkan kebahagiaan atau menjerumuskan manusia ke lumpur kehinaan, uang akan berubah menjadi sekedar nota-nota pembukuan untuk kemudahan para ahli statistik dan untuk tujuan-tujuan perencanaan. Di masa depan yang lebih jauh lagi, mungkin nota-nota ini tidak lagi kita butuhkan. Tetapi kita dapat membiarkan anak-cucu kita menjawabnya, karena mereka akan tumbuh lebih cerdas daripada kita semua saat ini.
Nasionalisasi atas alat-alat produksi dan kredit, koperasi atau pengelolaan negara atas perdagangan dalam negeri, monopoli atas perdagangan internasional, kolektivisasi pertanian, hukum-hukum pewarisan – memasang batasan yang ketat terhadap akumulasi uang oleh individu dan mencegah perubahannya menjadi kapital pribadi (baik yang rente, komersial maupun industrial). Akan tetapi, fungsi-fungsi uang ini, yang terikat dengan proses penghisapan, tidaklah dapat dihapus pada awal revolusi proletariat, tetapi dalam bentuk yang termodifikasi uang akan dialihkan kepada Negara, yakni sang pedagang, kreditor, dan industrialis universal. Pada saat bersamaan, fungsi uang yang lebih mendasar, sebagai pengukur nilai, alat tukar dan perantara pembayaran, tidak hanya dipelihara melainkan mendapat ruang tindak yang lebih besar daripada yang diijinkan di bawah kapitalisme.
Perencanaan administratif telah cukup menunjukkan kedigdayaannya – namun, dengan demikian, juga keterbatasan kemampuannya. Sebuah perencanaan ekonomi yang a priori – terutama yang dijalankan di sebuah negeri terbelakang dengan populasi 170 juta, dan yang juga mengandung kontradiksi mendasar antara desa dan kota – bukanlah sebuah kitab suci yang tak dapat diubah, tetapi sebuah hipotesa kerja yang kasar yang harus terus diuji dan diperbaiki dalam proses pemenuhannya. Kita bahkan boleh meletakkan satu aturan: semakin “akurat” tugas administratif dijalankan, semakin buruklah kepemimpinan ekonominya. Untuk mengatur dan melaksanakan rencana, ada dua tuas yang diperlukan: tuas politik, dalam bentuk partisipasi nyata dalam kepemimpinan oleh massa rakyat itu sendiri, satu hal yang akan mustahil tanpa demokrasi Soviet; dan tuas finansial, dalam bentuk pengujian nyata terhadap perhitungan-perhitungan a priori dengan bantuan sebuah penyetara yang universal, satu hal yang akan mustahil tanpa sistem keuangan yang stabil.
Peran uang dalam ekonomi Soviet bukan saja belum dituntaskan tetapi, sebagaimana kami nyatakan sebelumnya, masih membutuhkan perkembangan yang jauh. Epos peralihan antara kapitalisme dan sosialisme, dipandang secara keseluruhan, tidaklah berarti pemangkasan perdagangan namun, sebaliknya, perluasannya sampai cakupan yang luar biasa. Semua cabang industri mentransformasi dirinya dan berkembang. Cabang-cabang baru akan bermunculan terus-menerus, dan semuanya akan dipaksa mendefinisikan hubungan mereka satu sama lainnya secara kuantitatif maupun kualitatif. Likuidasi atas perekonomian pedesaan yang konsumeristis, dan pada saat bersamaan kehidupan keluarga yang tertutup, berarti sebuah perpindahan ke lingkup pertukaran sosial, dan ipso facto sirkulasi keuangan, atas semua daya kerja yang sebelumnya dihabiskan dalam batas-batas tanah kaum tani atau di balik dinding-dinding rumah kediamannya. Semua barang dan jasa, untuk pertama kalinya dalam sejarah, akan dipertukarkan satu sama lainnya.
Di pihak lain, sebuah konstruksi sosialis yang berhasil akan mustahil bila sistem perencanaan tidaklah menyertakan kepentingan pribadi dari produsen dan konsumen, egoisme mereka, yang pada gilirannya mungkin hanya akan menyingkapkan dirinya sepenuhnya apabila dilayani dengan instrumen yang dapat diandalkan dan fleksible, uang. Peningkatan produktivitas tenaga kerja dan peningkatan kualitas produknya tidak akan tercapai tanpa sebuah alat ukur yang akurat yang dengan bebas meresap ke dalam sel-sel industri – yakni, tanpa sebuah unit mata uang yang stabil. Maka jelaslah bahwa dalam perekonomian transisional, sebagaimana juga di bawah kapitalisme, satu-satunya uang yang otentik adalah yang didasarkan pada emas. Semua jenis uang lainnya hanyalah pengganti. Pastinya, negara Soviet pada saat bersamaan juga memiliki sejumlah besar komoditi dan mesin-mesin untuk mencetak uang, Walau demikian, ini tidak mengubah situasinya. Manipulasi-manipulasi administratif dalam lingkup harga komoditi tidaklah sedikitpun menciptakan, atau menggantikan, unit mata uang stabil yang dapat digunakan untuk perdagangan dalam negeri maupun internasional. Karena dipisahkan dari basis independennya – yakni, basis emas – sistem keuangan Uni Soviet, sebagaimana di sejumlah negeri kapitalis, memiliki karakter yang pada dasarnya tertutup. Bagi pasar dunia, rubel tidaklah dianggap ada. Jika Uni Soviet dapat mengatasi dampak buruk dari sistem mata uang seperti ini dengan lebih mudah dibandingkan dengan Jerman dan Italia, itu karena kekayaan alam negeri ini. Hanya ini yang memungkinkannya lolos dari jerat otokrasi. Walau demikian, tugas historisnya bukan sekedar menghindari jerat otokrasi, tetapi membangkitkan sebuah perekonomian yang perkasa, rasional sampai ke tulang sumsumnya, yang sanggup berhadapan langsung dengan pencapaian tertinggi dari ekonomi-ekonomi adidaya di pasar dunia, yang akan menjamin terlaksananya penghematan waktu dan, sebagai konsekuensinya, dimungkinkannya perkembangan kebudayaan yang tertinggi.
Dinamika perekonomian Soviet, yang sekarang sedang melewati revolusi-revolusi teknologi secara terus-menerus dan eksperimen-eksperimen skala besar, memerlukan di atas segalanya tes-tes dengan alat ukur nilai yang stabil. Secara teoritik tidak akan ada keraguan sedikitpun bahwa jika perekonomian Soviet memiliki rubel emas, hasil dari rencana lima tahun ini akan jauh lebih besar daripada hasil yang dicapai sekarang. Tentu saja Anda tidak dapat “mengada-adakan apa yang mustahil” [Ha nyet cuda nyet]. Tetapi Anda tidak boleh juga mendewa-dewakan kekurangan dan kemelaratan, karena hal itu pada gilirannya akan membawa Anda pada lebih banyak lagi kesalahan dan kerugian-kerugian ekonomi.
2. Inflasi “Sosialis”
Sejarah mata uang Soviet bukan hanya sebuah sejarah kesulitan, keberhasilan dan kegagalan ekonomi, tetapi juga sebuah sejarah zig-zag pemikiran birokratik.
Restorasi rubel di tahun 1922-24, dalam kaitannya dengan peralihan ke NEP, terikat erat dengan restorasi “norma-norma hak borjuis” dalam distribusi barang-barang konsumsi. Selama kebijakan yang memihak pada para petani kaya diteruskan, chervonetz akan tetap menjadi keprihatinan pemerintah. Selama masa rencana lima tahun pertama, sebaliknya, semua gerbang penghambat inflasi dibuka lebar-lebar. Dari 0,7 milyar rubel di awal 1925, total pencetakan uang telah meningkat di awal 1928 menjadi 1,7 milyar, satu jumlah yang lumayan, yang setara dengan sirkulasi uang kertas di masa kekaisaran Tsar Rusia menjelang pecahnya perang – tetapi ini, tentu saja, tanpa basis logam mulia yang memadai. Kurva inflasi yang menyusul dari tahun ke tahun tergambarkan dalam rangkaian yang menggidikkan ini: 2,0 – 2,8 – 4,3 – 5,5 – 8,4! Angka terakhir 8,4 milyar rubel tercapai di awal 1933. Setelah itu tibalah tahun-tahun re-konsiderasi dan kemunduran: 6,9 – 7,7 – 7,9 milyar (1935). Rubel yang di tahun 1924 setara, dalam nilai tukar resmi, dengan 13 frank, telah terpangkas di bulan November 1935 menjadi hanya setara dengan 3 frank – yakni, kurang dari seperempat nilai awalnya, atau hampir sama dengan pemangkasan nilai yang dialami frank Perancis sebagai akibat perang. Kedua angka ini, baik yang lama maupun yang baru, memiliki karakter yang kondisional; daya beli rubel dalam harga dunia kini nyaris tidak sampai 1,5 frank. Sekalipun demikian, skala devaluasi ini menunjukkan betapa cepatnya valuta Soviet anjlok sampai tahun 1934.
Di masa avonturisme ekonominya yang paling tinggi, Stalin berjanji untuk mengirim NEP – yakni, relasi pasar – “ke dasar neraka.” Semua surat kabar menulis, sebagaimana di tahun 1918, tentang penggantian perdagangan dengan “distribusi langsung sosialis”, yang bentuk kasat matanya adalah kupon makanan. Pada saat bersamaan, inflasi ditolak secara kategorikal sebagai sebuah fenomena yang tidak konsisten dengan sistem Soviet. “Stabilitas valuta Soviet,” kata Stalin di tahun 1933, “dijamin terutama oleh besarnya jumlah komoditi di tangan negara, yang diedarkan dengan tingkat harga yang stabil.” Sekalipun kalimat-kalimat singkat yang penuh misteri ini tidak dikembangkan atau diperkaya lebih lanjut (sebagian justru karena ini), ucapan Stalin ini menjadi sebuah hukum teori uang Soviet yang fundamental – atau, lebih tepatnya, hukum inflasi yang ditolaknya. Chervonetz terbukti di kemudian hari bukan sebagai sebuah penyetara nilai universal, melainkan hanyalah sebuah bayang-bayang universal dari “besarnya” jumlah komoditi. Dan sebagaimana semua bayang-bayang lain, ia juga bisa memanjang dan mengerut. Jika doktrin penghibur hati ini masuk akal sedikit saja, maka doktrin tersebut hanya berarti ini: uang Soviet tidak lagi menjadi uang; tidak lagi merupakan alat ukur nilai; “tingkat harga yang stabil” dirancang oleh negara; chervonetz adalah sebuah label konvensional untuk ekonomi terencana – yakni, selembar kupon distribusi universal. Dengan kata lain, sosialisme telah menang “secara mutlak dan tak tergoyahkan.”
Pandangan-pandangan paling utopis dari masa-masa Komunisme Militer, dengan demikian, dihidupkan kembali di atas sebuah basis ekonomi yang baru – sedikit lebih tinggi, tentu saja, tetapi sayangnya masih belum cukup untuk melikuidasi sirkulasi uang. Para pimpinan penguasa sungguh-sungguh terobsesi oleh pendapat bahwa, dengan perekonomian terencana, inflasi tidak perlu ditakuti. Hal ini kira-kira berarti bahwa jika Anda punya kompas maka tidak akan ada lagi bahaya bocornya kapal. Dalam realitasnya, inflasi mata uang, yang niscaya menghasilkan inflasi kredit, berakibat digantikannya ukuran riil dengan ukuran imajiner, sekaligus menggerogoti perekonomian terencana dari dalam.
Tidak perlu dikatakan lagi bahwa inflasi berarti beban berat di pundak massa pekerja. Mengenai manfaat dari inflasi untuk sosialisme, ini adalah kebohongan. Industri, tentunya, terus bertumbuh dengan cepat, tetapi efisiensi ekonomi dari pembangunan yang megah ini diperkirakan secara statistik, bukan secara ekonomi. Dengan pengendalian rubel – dengan memberinya daya beli yang acak di berbagai lapisan masyarakat dan sektor perekonomian – kaum birokrasi tidak memiliki sebuah instrumen penting untuk mengukur keberhasilan dan kegagalannya sendiri secara objektif. Tidak adanya pembukuan yang tepat, yang disamarkan di atas kertas melalui kombinasi dengan “rubel konvensional”, pada kenyataannya menghasilkan berkurangnya gairah bekerja, menurunnya produktivitas, dan jatuhnya tingkat kualitas hasil produksi.
Dalam perjalanan rencana lima tahun pertama, dampak-dampak buruk ini mencapai proporsi yang mengerikan. Di bulan Juli 1931, Stalin mengeluarkan “enam syarat”-nya yang terkenal, yang tujuan utamanya adalah untuk menurunkan ongkos produksi barang-barang industrial. “Syarat-syarat” ini (pembayaran sesuai dengan produktivitas kerja tiap-tiap individu, akuntansi ongkos produksi, dll.) tidak mengandung satu halpun yang baru. “Norma-norma hak borjuis” telah diajukan di awal NEP, dan dikembangkan pada Kongres Partai ke-12 di awal tahun 1923. Stalin baru memahami semua ini di tahun 1931, di bawah tekanan menurunnya efisiensi investasi kapital. Selama dua tahun berikutnya, nyaris tidak ada satu artikelpun yang muncul di koran tanpa rujukan pada daya penyelamatan dari “syarat-syarat” ini. Sementara itu, dengan terus meningkatnya inflasi, penyakit yang disebabkan olehnya tidak juga tersembuhkan. Kebijakan-kebijakan represi berat terhadap perusak dan penyabot tidak banyak membantu perbaikan situasi.
Sungguh nyaris tak dapat dipercaya bahwa kaum birokrasi membuka sebuah perjuangan melawan “impersonalitas” dan “penyamarataan” – yang berarti kerja “rata-rata” dari semua orang dan upah “rata-rata” yang sama untuk semua orang – dan pada saat yang sama mereka juga tengah mengirim NEP – yang berarti evaluasi terhadap semua barang dan tenaga kerja dengan uang – “ke dasar neraka”. Sementara menghidupkan lagi “norma-norma borjuis” dengan satu tangan, dengan tangan lainnya mereka sekaligus menghancurkan satu-satunya alat yang dapat digunakan di bawah norma-norma itu. Dengan menggantikan perdagangan dengan “distributor tertutup”, dan dengan kekacauan harga yang luar biasa, semua hubungan antara kerja perorangan dan upah perorangan niscaya hilang dan, dengan demikian, hilang pulalah minat kerja dari kaum buruh.
Instruksi ketat dalam hal pembukuan ekonomi, kualitas, ongkos produksi dan produktivitas, dibiarkan menggantung di udara. Ini tidak mencegah para pemimpin dari menyatakan bahwa penyebab semua kesulitan ekonomi adalah tidak terpenuhinya keenam resep Stalin. Rujukan paling hati-hati tentang inflasi dianggap sebagai makar. Dengan kecongkakan serupa, pihak otoritas kadang kala menuduh para guru melanggar aturan tentang kebersihan sekolah dan, pada saat bersamaan, melarang mereka mengungkapkan tiadanya persediaan sabun di sekolah.
Masalah nasib chervonetz telah menjadi perdebatan terpenting di dalam pertarungan faksi-faksi partai Komunis. Platform Kelompok Oposisi (1927) menuntut “satu jaminan stabilitas tanpa batas atas unit mata uang.” Tuntutan ini menjadi satu leitmotif [tema utama – Editor] dalam tahun-tahun berikutnya. “Hentikan proses inflasi dengan tangan besi,” tulis terbitan Oposisi di pengasingan tahun 1932, “dan hidupkan kembali unit mata uang yang stabil,” bahkan jika harus dibayar dengan “pemangkasan atas investasi-investasi kapital.” Para pembela “tempo kura-kura” dan para pendukung super-industrialisasi telah, nampaknya, untuk sementara bertukar tempat. Sebagai jawaban atas bualan bahwa mereka akan mengirim pasar “ke dasar neraka”, Oposisi menganjurkan Komisi Perencanaan Negara untuk menggantungkan moto: “Inflasi adalah sipilis bagi sebuah perekonomian terencana.”
* * *
Dalam bidang pertanian, inflasi menimbulkan konsekuensi yang tidak kalah beratnya.
Selama periode di mana kebijakan pertanian masih beroritentasi pada petani kaya, diasumsikan bahwa peralihan ke sosialisme dalam bidang pertanian, yang dibangun berbasis NEP, akan dicapai dalam waktu puluhan tahun melalui pendirian koperasi-koperasi. Dengan asumsi bahwa setelah satu persatu mengambil alih fungsi-fungsi pembelian, penjualan dan kredit, koperasi seharuskan dalam jangka panjang juga akan mensosialisikan proses produksi. Semua ini, dalam kesatuannya, disebut “rencana koperasi Lenin.” Perkembangan aktualnya, sebagaimana kita ketahui, mengikuti arah yang jauh berbeda bahkan nyaris bertentangan dengannya – likuidasi kulak dengan kekerasan dan kolektivisasi penuh. Mengenai sosialisasi bertahap atas berbagai fungsi ekonomi, sejalan dengan persiapan kondisi material dan budaya yang diperlukannya, tidak pernah lagi disinggung-singgung. Kolektivisasi diperkenalkan seakan-akan ini adalah perwujudan instan rejim Komunis di pedesaan.
Akibat langsungnya bukan hanya pembantaian lebih dari setengah jumlah ternak tetapi, yang lebih penting, sebuah ketidakacuhan penuh dari anggota-anggota pertanian kolektif terhadap properti-properti sosialis dan hasil dari tenaga kerja mereka. Pemerintah terpaksa mundur terbirit-birit. Mereka kemudian memasok kembali kaum tani dengan ayam, babi, sapi dan sapi sebagai kepemilikan pribadi. Mereka memberi kaum tani tanah-tanah pribadi bersebelahan dengan tanah kolektif. Film tentang kolektivisasi terpaksa diputar balik.
Dengan mengembalikan usaha pertanian kecil perorangan, negara mengadopsi sebuah kompromi, mencoba menyogok, terus-terang saja, kecenderungan individualistik kaum tani. Pertanian kolektif dipertahankan dan, dengan demikian sepintas kilas, kemunduran ini terasa tidak begitu penting. Kenyataannya, arti penting kemunduran ini tidak bisa dipandang remeh. Bila kita mengabaikan artistokrasi pertanian kolektif, kebutuhan sehari-hari para petani kebanyakan sebagian besar masih dipenuhi dari kerjanya “sendiri”, daripada melalui partisipasinya di kolektif. Penghasilan seorang petani dari usaha taninya sendiri, khususnya ketika mereka menggunakan budidaya pertanian, perkebunan atau peternakan berteknologi, seringkali mencapai tiga kali lipat daripada petani yang bekerja dalam perekonomian kolektif. Fakta ini, yang diberitakan di dalam pers Soviet sendiri, dengan jelas mengungkapkan di satu pihak sebuah penyia-nyiaan besar-besaran atas puluhan juta tenaga produktif manusia, khususnya perempuan, dalam usaha tani gurem dan, di pihak lain, produktivitas tenaga kerja yang sungguh rendah dalam pertanian kolektif.
Guna meningkatkan standar pertanian kolektif skala besar, kita harus berbicara sekali lagi dengan kaum tani dalam bahasa yang dipahaminya – yakni, dengan membangkitkan kembali pasar dan kembali dari pajak ke perdagangan – dengan kata lain, meminta Iblis mengembalikan NEP yang telah dikirimkan kepadanya secara prematur. Peralihan pada sebuah akuntansi uang yang kurang-lebih stabil, dengan demikian, menjadi sebuah syarat yang diperlukan untuk perkembangan lebih lanjut di bidang pertanian.
3. Rehabilitasi Rubel
Burung hantu yang bijak terbang, sebagaimana kita ketahui, setelah matahari terbenam. Demikian pula teori tentang sistem uang dan harga “sosialis” dikembangkan hanya setelah sinar senja ilusi inflasi. Dalam mengembangkan ucapan Stalin yang penuh misteri itu, para profesor yang penurut berhasil menciptakan sebuah teori yang benar-benar baru yang menyatakan bahwa harga Soviet, berkebalikan dengan harga pasar, memiliki kemampuan untuk merencanakan atau memimpin ekonomi secara eksklusif. Yakni, ia bukanlah sebuah kategori ekonomi, melainkan administratif, dan dengan demikian akan lebih baik dalam melayani redistribusi pendapatan rakyat untuk kepentingan sosialisme. Para profesor itu lupa menjelaskan bagaimana kita dapat memperkirakan ongkos riil jika semua harga merupakan ekspresi dari kehendak birokrasi dan bukannya jumlah kerja sosial yang diperlukan. Nyatanya, untuk redistribusi pendapatan rakyat, pemerintah memiliki tuas yang dahsyat, seperti pajak, anggaran belanja negara dan sistem kredit. Menurut anggaran belanja negara untuk tahun 1936, lebih dari 37,6 milyar rubel dialokasikan langsung, dan banyak lagi yang tidak langsung, untuk membiayai berbagai cabang perekonomian. Mekanisme anggaran dan kredit sudah cukup untuk sebuah distribusi terencana dari pendapatan nasional. Dan menyangkut harga-harga, mereka akan melayani sosialisme dengan lebih baik jika mereka menggambarkan dengan lebih jujur relasi-relasi ekonomi riil saat ini.
Pengalaman telah memberikan kesimpulan yang tegas mengenai subyek ini. Harga-harga “direktif” tidaklah terlalu mengesankan dalam realitas dibandingkan di atas kertas-kertas para akademisi. Untuk komoditi yang sama, ditetapkan harga-harga untuk berbagai kategori yang berbeda. Di dalam perbedaan yang besar antar kategori-kategori ini, segala jenis spekulasi, favoritisme, parasitisme dan kenistaan lain mendapatkan ruangnya, dan ini menjadi sesuatu yang umum dan bukan sebuah pengecualian. Pada saat yang bersamaan, chervonetz, yang seharusnya merupakan bayang-bayang yang kokoh dari harga yang stabil, pada kenyataannya tidak menjadi apa-apa selain sekedar bayang-bayang.
Lagi-lagi pembelokan tajam diperlukan – kali ini akibat kesulitan-kesulitan yang muncul dari keberhasilan ekonomi. Tahun 1935 dibuka dengan penghapusan kupon roti. Di bulan Oktober, kartu-kartu untuk produk pangan lainnya juga dihapus. Di bulan Januari 1936, kartu-kartu untuk produk industrial bagi konsumsi umum dihapus. Hubungan ekonomi antara kota dan desa dengan negara, dan pada satu sama lain, diterjemahkan dengan bahasa uang. Rubel adalah sebuah alat untuk mempengaruhi masyarakat untuk mengikuti rencana lima tahun, yang dimulai dengan kuantitas dan kualitas barang-barang konsumsi. Tidak ada cara lain yang terbuka untuk merasionalisasi perekonomian Soviet.
Presiden Komisi Perencanaan Negara mengeluarkan pernyataan di bulan Desember 1935: “Sistem kesalinghubungan yang sekarang ini antara bank dan industri harus direvisi dan bank harus dengan serius mewujudkan kendali melalui rubel.” Dengan demikian, tahyul-tahyul yang dianut rencana administratif dan ilusi harga-harga administratif tenggelam seperti kapal karam. Jika pendekatan terhadap sosialisme dalam bidang fiskal berarti penggusuran rubel untuk digantikan dengan kupon distribusi, maka reformasi di tahun 1935 ini harus dianggap sebagai penyimpangan dari jalan sosialisme. Pada kenyataannya, penilaian semacam ini adalah sebuah kekeliruan yang besar. Penggantian kupon distribusi dengan rubel adalah sebuah penolakan terhadap fiksi, dan sebuah pengakuan terbuka bahwa kita perlu menciptakan sebuah premis untuk sosialisme dengan mengembalikan metode distribusi borjuis.
Pada salah satu sesi sidang Komite Eksekutif Sentral di bulan Januari 1936, Komisar Keuangan Rakyat mengumumkan: “Rubel Soviet stabil, tidak seperti valuta lain di seluruh dunia.” Kelirulah jika membaca pernyataan ini semata sebagai kecongkakan. Anggaran negara Uni Soviet diseimbangkan dengan sebuah peningkatan pendapatan tahunan yang lebih besar daripada pengeluarannya. Perdagangan luar negeri, pastinya, sekalipun jumlahnya tidak terlalu signifikan, memberikan sebuah neraca positif. Cadangan emas di Bank Negara, yang pada tahun 1926 berjumlah 164 juta rubel, kini lebih dari satu milyar. Produksi emas negeri ini naik dengan cepat. Di tahun 1936, cabang industri ini diperhitungkan akan mencapai peringkat pertama di dunia. Pertumbuhan sirkulasi komoditi, di bawah pasar yang telah dihidupkan kembali, menjadi begitu cepat. Inflasi uang-kertas dihentikan secara nyata di tahun 1934. Unsur-unsur stabilisasi rubel memang ada. Walau demikian, pernyataan Komisar Keuangan Rakyat ini harus diterangkan dengan memperhitungkan juga inflasi optimisme. Sekalipun rubel Soviet memiliki sebuah dukungan yang sangat kuat dari pertumbuhan industri secara umum, kelemahan utamanya masih tetap sama: tingginya ongkos produksi yang tidak dapat ditoleransi lagi. Rubel akan menjadi valuta yang paling stabil hanya jika produktivitas tenaga kerja Soviet melampaui seluruh negeri lain di dunia dan ketika, dengan demikian, rubel itu sendiri tengah menuju masa di mana dirinya tidak dibutuhkan lagi.
Dari sudut pandang teknis fiskal, rubel masih jauh dari klaim superioritas. Dengan cadangan emas di atas satu milyar, uang kertas yang beredar di seluruh negeri bernilai sekitar 8 milyar. Dukungan emas, dengan demikian, hanyalah mencakup 12,5 persennya. Emas di Bank Negara sebagian besar masih dalam bentuk cadangan tak tersentuh untuk keperluan perang, dan bukan sebagai basis untuk mata uang. Secara teori, pastinya, tidaklah mustahil bahwa pada perkembangan yang lebih tinggi Soviet akan mengandalkan mata uang emas, untuk membuat rencana ekonomi domestik lebih tepat dan menyederhanakan relasi ekonomi dengan negeri-negeri asing. Dengan demikian, sebelum melepas pergi hantu-hantu lama, mata uang mungkin sekali lagi akan menyala dengan kilaunya emas murni. Tetapi, biar begitu, ini bukan masalah untuk masa depan yang segera.
Dalam masa yang menjelang, tidak boleh ada perbincangan untuk kembali ke standar emas. Selama pemerintah, dengan meningkatkan cadangan emas, berusaha meningkatkan persentase dukungan emas sekalipun secara teoritik; selama batasan pencetakan uang kertas ditetapkan secara objektif dan tidak tergantung pada kehendak birokrasi semata-mata, maka setidaknya rubel Soviet dapat mencapai sebuah stabilitas relatif. Ini saja akan memberikan manfaat yang sungguh besar. Dengan penolakan teguh atas inflasi di masa depan, mata uang, sekalipun dilucuti dari keunggulan standar emas, tidak diragukan lagi akan dapat membantu menyembuhkan banyak luka dalam yang diderita perekonomian ini gara-gara subjektivisme birokratik yang telah berlangsung bertahun-tahun.
4. Gerakan Stakhanov[1]
“Semua perekonomian,” tulis Marx – dan itu berarti semua pertarungan manusia dengan alam pada semua tahapan peradaban – “pada analisa terakhir adalah sebuah perekonomian waktu.” Jika dipangkas sampai basis primernya, sejarah hanyalah sebuah pertarungan untuk mencapai waktu kerja yang lebih ekonomis. Sosialisme tidak dapat dibenarkan semata dengan penghapusan penindasan; ia juga harus menjamin terbangunnya sebuah masyarakat dengan penggunaan waktu yang lebih ekonomis daripada kapitalisme. Tanpa perwujudan kondisi ini, penghapusan penghisapan itu sendiri hanya akan menjadi sebuah episode yang dramatis namun tanpa sebuah masa depan cerah. Percobaan sejarah pertama dalam penerapan metode-metode sosialis telah menyingkapkan kemungkinan-kemungkinan besar yang terkandung di dalamnya. Tetapi perekonomian Soviet masih jauh dari memahami bagaimana menggunakan waktu, bahan baku yang paling berharga dalam peradaban. Teknik-teknik yang diimpor, alat pengejawantah penggunaan waktu yang ekonomis, di tanah Soviet belum lagi menunjukkan hasil-hasil seperti di negeri kapitalis dari mana mereka berasal. Dalam makna itu, satu hal yang sangat vital bagi tiap peradaban, sosialisme belum lagi menang. Sosialisme telah menunjukkan bahwa dirinya sanggup dan akan menang. Tetapi ia belum menang. Semua penilaian yang sebaliknya adalah buah dari kebodohan dan kecongkakan belaka.
Molotov, yang kadangkala – agar kita bertindak adil terhadapnya – menunjukkan sedikit kebebasan dari garis-garis ritual dibandingkan para pemimpin Soviet lainnya, menyatakan di bulan Januari 1936 pada salah satu sidang Komite Eksekutif Sentral: “Tingkat produktivitas tenaga kerja rata-rata kita … masih jauh di bawah Amerika dan Eropa.” Sebaiknya kita mengubah kata-kata ini supaya lebih persis: tiga, empat dan kadang sepuluh kali di bawah produktivitas Eropa dan Amerika, dan tingkat ongkos produksi kita jauh lebih tinggi. Dalam pidato yang sama, Molotov membuat sebuah pengakuan yang lebih umum: “Tingkat budaya buruh kita masih berada di bawah tingkat yang telah dicapai kaum buruh di sejumlah negeri kapitalis.” Pada kalimat ini seharusnya ditambahkan: juga standar hidup rata-rata. Tidak perlu lagi menjelaskan betapa tajamnya kata-kata yang sadar ini, yang diucapkan sambil lalu, membantah pengumuman-pengumuman bualan yang dikemukakan tanpa henti oleh para pejabat resmi dan pujian-pujian dari “kawan-kawan” kita di luar negeri!
Perjuangan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja, bersama dengan keprihatian mengenai pertahanan, adalah aktivitas fundamental dari pemerintahan Soviet. Pada berbagai tahapan perkembangan Uni Soviet, perjuangan ini telah mengambil banyak bentuk. Metode yang diterapkan selama tahun-tahun rencana lima tahun pertama dan di awal rencana lima tahun kedua, metode “shock brigade-isme”[2] [brigade pelopor – Ed.] didasarkan pada teladan personal dan agrikultur, tekanan administratif dan segala macam insentif dan pengistimewaan. Upaya untuk memperkenalkan semacam upah-per-unit-hasil, berdasarkan “enam syarat” di tahun 1931, harus dihentikan karena valuta yang tidak mempunyai basis kokoh dan begitu beragamnya tingkat harga. Sistem distribusi produk oleh negara telah menggantikan penilaian kerja diferensial yang fleksibel dengan apa yang disebut “sistem premium” yang, pada hakikatnya, berarti kekacauan yang birokratik. Dalam persaingan untuk mendapatkan keistimewaan, dalam jajaran brigade pelopor itu telah muncul para penipu yang memiliki koneksi-koneksi. Dalam jangka panjang, seluruh sistem ini menjadi kebalikan dari tujuannya.
Hanya penghapusan sistem kartu, dimulainya stabilisasi dan penyeragaman harga, yang dapat menciptakan kondisi bagi penerapan upah-per-unit-hasil. Berdasarkan ini, “shock brigade-isme” digantikan dengan apa yang disebut gerakan Stakhanov. Dalam mengejar rubel, yang kini telah memiliki makna yang sungguh nyata, kaum buruh mulai menaruh perhatian pada mesin-mesin mereka, dan menggunakan waktu kerja mereka dengan hati-hati. Gerakan Stakhanov, sampai tahap tertentu, berarti intensifikasi tenaga kerja, bahkan juga perpanjangan hari kerja. Selama yang disebut waktu “tidak-bekerja”, kaum Stakhanovis merapikan meja kerja dan alat-alat mereka dan menata bahan-bahan baku mereka, para brigadir memberi instruksi pada anak buahnya, dll. Tujuh jam kerja sehari kini tinggal nama.
Bukan para administratur Soviet yang menemukan rahasia upah-per-unit-hasil. Sistem ini, yang menegangkan urat syaraf tanpa nampak ada paksaan dari luar, dipandang Marx sebagai “yang paling sesuai dengan metode produksi kapitalis.” Kaum buruh menyambut inovasi ini bukan saja tanpa simpati, tetapi juga dengan rasa permusuhan. Harapan bahwa kaum buruh akan bersikap lain adalah satu hal yang tidak alami. Adanya partisipasi dari para pendukung sosialisme di dalam gerakan Stakhanov tidak dapat diragukan lagi. Tetapi sulit bagi kita untuk menilai apakah jumlah mereka melebihi para pengejar karir dan penipu, khususnya dalam lingkup administrasi. Tetapi sebagian besar massa pekerja mendekati cara pembayaran baru ini dari sudut pandang rubel dan seringkali terpaksa memandang bahwa rubel makin sulit diperoleh.
Walaupun sepintas kilas kembalinya pemerintahan Soviet, pasca “kemenangan sosialisme yang mutlak dan tak tergoyahkan”, pada upah-per-unit-hasil tampak seperti sebuah langkah mundur ke arah hubungan kapitalistik, nyatanya di sini perlu diulangi apa yang telah dikatakan tentang rehabilitasi rubel: Ini bukan masalah menyangkal sosialisme, tetapi sekedar meninggalkan ilusi-ilusi kasar. Bentuk pembayaran upah hanya dibawa ke dalam hubungan yang lebih baik dengan sumberdaya riil negeri ini. “Hukum tidak bisa berdiri lebih tinggi daripada struktur ekonomi.”
Walau demikian, elit penguasa Uni Soviet masih belum bisa berjalan tanpa sebuah kedok sosial. Dalam satu laporan pada Komite Eksekutif Sentral di bulan Januari 1936, presiden Komisi Perencanaan Negara, Mezhlauk, mengatakan: “Rubel telah menjadi satu-satunya alat nyata untuk perwujudan prinsip-prinsip sosialis (!) dari pembayaran kerja.” Sekalipun dalam masa kekaisaran Tsar segala hal, bahkan juga tempat buang air kecil, dilekati gelar kerajaan, ini tidak berarti bahwa dalam sebuah negara kelas pekerja segala hal secara otomatis menjadi sosialis. Rubel adalah “satu-satunya alat nyata” untuk perwujudan prinsip-prinsip kapitalis dari pembayaran kerja, sekalipun berdasarkan bentuk kepemilikan yang sosialis. Kita sudah cukup mengenal kontradiksi seperti ini. Untuk menegakkan mitos baru tentang upah-per-unit-hasil yang “sosialis”, Mezhlauk menambahkan: “Prinsip fundamental dari sosialisme adalah bahwa tiap orang bekerja menurut kemampuannya dan mendapatkan upah kerja menurut kerja yang dilakukannyanya.” Tuan-tuan ini sama sekali tidak berpikir dua kali dalam memanipulasi teori! Ketika ritme kerja ditentukan oleh pengejaran akan rubel, orang tidak akan “bekerja menurut kemampuannya” – yakni, sesuai dengan kondisi syaraf dan ototnya – tetapi justru dengan memaksakan kemampuannya. Metode ini hanya dapat dibenarkan secara kondisional dan karena kegentingan yang mendesak. Pernyataan bahwa ini “adalah prinsip fundamental dari sosialisme” berarti secara sinis menginjak-injak ide tentang peradaban baru yang lebih tinggi di dalam kubangan kapitalis.
Stalin telah mengambil satu langkah lagi di jalur ini, dengan menyajikan gerakan Stakhanov sebagai sebuah “persiapan kondisi untuk transisi dari sosialisme menuju komunisme.” Para pembaca akan memahami sekarang betapa pentingnya untuk memberikan definisi ilmiah atas pandangan-pandangan yang kini dikemukakan di Uni Soviet untuk melayani kepentingan kaum birokrasi. Sosialisme, atau tahapan terendah dari komunisme, menuntut, pastinya, sebuah kendali ketat atas jumlah kerja dan jumlah konsumsi, tetapi dalam kondisi apapun bentuk kendali yang diterapkan akan jauh lebih manusiawi daripada yang kini diterapkan oleh para jenius kapitalis yang penindas itu. Walau begitu, di Uni Soviet yang kini terjadi adalah dipasangkannya dengan kesulitan satu kondisi keterbelakangan material dengan teknik yang dipinjam dari kapitalisme. Dalam perjuangannya untuk mencapai standar Eropa dan Amerika, metode eksploitasi yang klasik, seperti upah-per-unit-hasil, diterapkan dengan bentuk yang begitu kasar dan telanjang yang tidak akan pernah diijinkan bahkan oleh serikat buruh reformis di negeri-negeri borjuis. Pertimbangan bahwa di Uni Soviet kaum buruh bekerja “untuk diri mereka sendiri” hanya benar dalam perspektif historis, dan hanya dengan kondisi bahwa kaum buruh tidak tunduk di bawah telapak kaki kaum birokrat otokratik. Biar bagaimanapun, kepemilikan negara atas alat produksi tidaklah otomatis mengubah kotoran hewan menjadi emas, dan tidak memberi kesucian pada sistem sweatshop, yang menggerus habis kekuatan produktif yang paling besar: manusia. Mengenai persiapan “peralihan dari sosialisme ke komunisme”, ini akan dimulai persis di ujung yang berbeda – bukan dengan diperkenalkannya upah-per-unit-hasil melainkan dengan dihapuskannya hal tersebut sebagai sebuah sisa barbarisme.
* * *
Masih terlalu dini untuk membuat neraca perhitungan atas gerakan Stakhanov, tetapi telah dimungkinkan kiranya untuk menegaskan beberapa karakter, bukan hanya dari gerakan itu sendiri, tetapi dari rejim Soviet secara keseluruhan. Pencapaian tertentu dari tiap-tiap pekerja jelas-jelas sangat menarik sebagai bukti adanya kemungkinan yang hanya terbuka di bawah sosialisme. Walau demikian, jarak dari kemungkinan-kemungkinan ini ke perwujudannya pada skala perekonomian secara keseluruhan masih sangat jauh. Dengan saling ketergantungan antara satu proses produksi dengan proses lainnya, tingkat output produksi yang tinggi tidak bisa dicapai hanya dari upaya perseorangan. Peningkatan produktivitas rata-rata tidak dapat dicapai tanpa sebuah penataan ulang atas produksi, baik dalam tiap-tiap pabrik atau dalam hubungan antar berbagai cabang usaha. Di samping itu, meningkatkan sedikit kemampuan teknik bagi jutaan orang merupakan hal yang jauh lebih sulit daripada sekedar melecut munculnya beberapa ribu orang jawara.
Para pemimpin itu sendiri, sebagaimana telah kita dengar, seringkali mengeluh bahwa kelas pekerja Soviet kurang trampil. Akan tetapi, itu baru setengah dari kebenaran yang ada, malah kurang dari setengah. Kaum buruh Rusia mempunyai inisiatif, cerdik dan berbakat. Jika kita kirim seratus buruh Soviet ke dalam kondisi, katakanlah, seperti dalam industri Amerika, dalam beberapa bulan, bahkan minggu, mereka tidak akan tertinggal dari buruh Amerika dalam bidang yang sama. Kesulitannya terletak dalam pengorganisasian umum ketenagakerjaan. Personil administratif Soviet, secara umum, jauh kurang sigap menangani tugas-tugas produktif daripada kaum buruhnya.
Dengan adanya teknik baru, pengupahan per unit hasil niscaya akan membawa kita pada peningkatan sistematik atas produktivitas tenaga kerja yang saat ini sangat rendah. Namun pembentukan kondisi-kondisi dasar yang diperlukan untuk ini menuntut peningkatan kapasitas administrasi itu sendiri, dari mandor pabrik sampai para pemimpin di Kremlin. Gerakan Stakhanov hanya sedikit saja memenuhi tuntutan ini. Birokrasi mencoba, dengan hasil fatal, untuk melompati kesulitan-kesulitan yang tak dapat diatasinya. Karena pengupahan per unit hasil itu tidak menimbulkan mukjizat segera yang diharapkan, tekanan administrasi besar-besaran dikerahkan untuk mendukungnya, dengan semua insentif premium dan baliho-baliho besar di satu sisi, dan hukuman-hukuman di sisi lainnya.
Langkah pertama gerakan ini ditandai dengan represi massal terhadap personil-personil teknik mesin dan kaum buruh yang dituduh membangkang, menyabot dan, dalam beberapa kasus, bahkan juga dituduh membunuh kaum Stakhanovis. Besarnya represi ini merupakan saksi dari kerasnya penentangan. Para bos menjelaskan apa yang disebut “sabotase” ini sebagai sebuah oposisi politik. Dalam kenyataannya, hal ini lebih sering berakar pada kesulitan-kesulitan teknis, ekonomis dan budaya, yang sebagian besar di antaranya bersumber dari birokrasi itu sendiri. “Sabotase” ini dengan segera nampak dipatahkan. Mereka yang tidak puas kini ketakutan; mereka yang pandai bicara kini terbungkam. Telegram-telegram dikirim ke sana ke mari mengabarkan pencapaian yang sebelumnya tak pernah terdengar. Dan dalam kenyataannya, selama menyangkut beberapa pelopor perorangan, para administratur lokal yang patuh pada perintah mengatur kerja mereka dengan kehati-hatian yang luar biasa, sekalipun dengan mengorbankan kaum pekerja di tambang-tambang atau pabrik-pabrik. Namun ketika ratusan dan ribuan pekerja kini mendadak muncul sebagai “Stakhanovis”, para administratur menjadi kebingungan. Tanpa mengetahui bagaimana, dan secara objektif tidak mampu, untuk mengatur rejim produksi dalam waktu singkat, mereka berusaha memperkosa tenaga kerja dan teknologi. Ketika ritme kerja melambat, mereka menusuk roda-roda mesin dengan sebuah paku. Sebagai hasil sistem harian dan sepuluh-harian “Stakhanovis”, kekacauan besar merasuk ke dalam banyak cabang usaha. Ini menjelaskan fakta, yang sekilas nampak mengejutkan, bahwa sebuah pertumbuhan dalam jumlah kaum Stakhanovis seringkali diiringi bukannya oleh peningkatan, namun oleh penurunan produktivitas umum dari cabang usaha yang bersangkutan.
Sekarang masa-masa “heroik” gerakan ini nampaknya telah berlalu. Gerusan kerja harian kembali berulang. Penting bagi kita untuk belajar. Mereka yang mengajar oranglah yang harus paling banyak belajar. Tetapi justru merekalah yang paling tidak ingin belajar. Itulah nama gilda sosial yang mengekang dan melumpuhkan semua gilda-gilda lain dalam perekonomian Soviet – birokrasi.
[1] Gerakan Stakhanov adalah kampanye yang diluncurkan oleh birokrasi Soviet untuk mengedepankan para buruh yang paling rajin dan menghasilkan produksi yang lebih tinggi sebagai model dan teladan.
[2] Shock Brigade atau Brigade Pelopor adalah kelompok-kelompok pekerja super-produktif yang dibentuk oleh Soviet untuk menggenjot industri negeri.