Sumber: Undang Berpikir Rakjat Berdjuang, Ibnu Parna. Djakarta: Widjaja, 1950. Scan PDF Booklet
1. Pengantar kalam cetakan pertama tahun 1950 (Menghadapi kemenangan Amerika di Indonesia)
2. Pendahuluan(Materialisme – dialektika – logika)
3. Komunisme kuno (Oer-communisme)
4. Dari komunisme kuno ke feodalisme
6. Dari feodalisme ke kapitalisme
8. Dari kapitalisme ke sosialisme
10. Dari sosialisme ke komunisme modern
11. Alasan-alasan penjajah dan tangkisan proletar berjuang
12. Keadaan Nasionalisme Islamisme dan Komunisme sebelum dan sesudah KMB
-----------------------------------------------
Tidak hanya golongan kontra perundingan dengan (Hindia)-Belanda saja yang melaporkan, bahwa Amerika sudah langsung mencampuri soal Indonesia. Golongan pembela dan penganjur perundingan tsb. pun sudah lama mengetahui dan mengakui, bahwa dari mulai perundingan Renville sampai Bangka hingga KMB Den Haag baru-baru ini, Amerika sudah mencampuri gerak-gerik dalam negeri di TANAH AIR kita yang INDAH DAN MAKMUR ini.
Betapa kemajuan Amerika dalam memaksakan kehendaknya di daerah kepulauan kita dapatlah kita lihat dalam hasil-hasil KMB.
Ekonomis: Amerika telah berhasil mengembalikan dasar-dasar monopoli modal asing di Indonesia. (Sesudah perang dunia II, bacalah modal asing tersebut sebagai (bagian dari pada) modal raksasa Amerika).
Militer: Amerika berhasil menempatkan Indonesia dalam lingkaran pertahanan Amerika anti-komunis.
Perhatikanlah garis pertahanan Amerika anti-komunis:
a. Jepang-Filipina-Surabaya.
b. Hawai-Irian-Australia.
Politis: Amerika telah berhasil memaksa pemerintah nasional di Indonesia untuk membela kepentingan dan kebutuhan modal asing, (hingga praktis memisahkan pemerintah nasional di Indonesia dari pada kepentingan dan kebutuhan rakyat Indonesia yang melarat ini) melalui birokrasi mahkota Belanda.
Perhatikan:
a. Permufakatan pemerintah RIS dan Nederland mengenai sikap terhadap pemerintah Mao Tse Tung.
b. Permufakatan pemerintah RIS dan Nederland terhadap kaum komunis dan nasionalis-revolusioner.
Keadaan kita sekarang sebenarnya tiada jauh berbeda dengan keadaan kita sebelum perang dunia II. Bila dicari perbedaannya antara keadaan kita sebelum dan sesudah perang dunia II maka didapatlah:
a. Kita sekarang berhadapan dengan pembesar-pembesar bangsa Indonesia sendiri. Kita sekarang berenang di bawah bendera kebangsaan Indonesia. Bahasa Indonesia sekarang menjadi bahasa resmi.
b. Pemimpin-pemimpin kita yang di jaman penjajahan berjuang di bawah panji-panji rakyat, sekarang sebagian besar sudah membuka kartu mereka yang sebetulnya. Sebagian besar dari pada pemimpin-pemimpin itu berterus-terang sudah meninggalkan ajarannya dan berterus-terang pula berdiri “on the other side of the barricade”, menyeberang untuk selanjutnya memusuhi murid-muridnya sendiri.
Kalam ini aslinya berkepala “Undang Berpikir Proletar Berjuang”. Atas permintaan penerbit, risalah dicetak dengan kepala “Undang Berpikir Rakyat Berjuang”. Risalah ditulis kurang-lebih tiga tahun yang lalu. Guna cetakan pertama tahun 1950, dibubuhi tambahan dua bab yang kami pasang sebagai dua bab yang terakhir. Sebagaimana halnya dengan kalam saya yang lain-lain, risalah ini selama itu dironeo dan ditipe oleh organisasi kami Angkatan Communis Muda (ACOMA) untuk disampaikan kepada masyarakat yang berkepentingan secara terbatas.
Suara dan bahan tertera dalam risalah ini bukanlah suara dan bahan baru. Lama sebelumnya sudah banyak kawan yang mencoba ke jurusan ini. Kurang-lebih tiga tahun yang lalu saya merasa beroleh giliran menghimpun bahan lama dalam bentuk sekarang ini. Sudahlah menjadi kewajiban saya untuk “mengeraskan” dan “menjelaskan” seruan lama itu. Suara dan bahan lama, tetapi masih dibutuhkan, sebagai daya penggerak, laju menuju pantai yang dituju.
Tabuh mesjid berkumandang, tanda kaum Muslimin untuk segera menjalankan ibadahnya. Berduyun-duyun kaum muttaqien bergerak menuju ke tempat suci. Tabuh mesjid berkumandang... suara lama, tetapi tetap nyaring dan berpengaruh, berlaku sebagai penggerak sukma... amin...
Tiada obahnya dengan seruan dalam kitab ini. Lama... tetapi tetap baru, karena masih dibutuhkan... masih perlu diperiksa kembali... perlu dikoreksi... perlu dicapai. Memang justru dalam tingkatan sekarang ini dimana kaum rakyat terbanyak tidak mungkin dipuaskan dengan demagogi selalu, maka sudahlah tiba saatnya bagi rakyat terbanyak untuk memeriksa kembali dan menukar semboyannya “rakyat minta bukti” dengan “rakyat bikin bukti”.
Rakyat Indonesia, kamulah sekarang langsung berhadapan dengan modal raksasa Amerika. Adalah hakmu, wahai rakyat untuk membela diri! Kalam ini ialah kalam bagimu, kalam untukmu, ditulis oleh putramu!
Menjelang kemenangan kita, marilah kita lagukan gubahan kawan:
“Sengsara hidup di dunia,
Berikhlaslah kita bersama,
Menderita duka lahir dan batin,
Terkenang tujuan yang satu!
Membela segenap rakyat yang miskin,
Selalu bangga, selalu maju,
Terdengar lagu bagai genderang,
Majulah... kita pasti menang”.
Di tempat, 21 Januari 1950
IBNU PARNA
---------------------------------------------------
Sudah menjadi kelebihan manusia dari pada binatang, bahwa manusia dapat berpikir. Berpikir itu tidak mudah. Untuk berpikir, kita membutuhkan latihan berpikir. Kurang latihan berpikir kerap kali hanya menghasilkan pandangan yang kabur, kekacauan semata-mata. Menghadapi macam-macam soal, kita terutama harus belajar mengetahui mana yang penting mana yang harus ditinggalkan. Kita tidak boleh main rabu (aduk), kita harus belajar memisah-misahkan satu soal dengan yang lain. Kita pun harus mencari hubungannya satu soal dengan yang lain. Begitu dapat disimpulkan mana sebab mana akibat. Alhasil berpikir itu pada dasarnya adalah belajar antara dua titik, sebab dan akibat. Demikianlah undang berpikir itu. Undang berpikir yang berlayar antara sebab dan akibat itu lazim disebut logica. Perkataan logika berasal dari pada logos yang berarti pikiran.
Pada jaman purbakala pengetahuan manusia kalau dibandingkan dengan sekarang amat terbatas sekali. Hampir semua rahasia alam belum diketahuinya. Begitulah manusia berdiri, merasa berdiri, di tengah alam “tidak tahu”, alam gaib, alam mystica. Di tengah alam mystica itu, manusia mencoba mencari tempat berpegang. Manusia membutuhkan tongkat berjuang penolak (penawar) kebimbangan antara “titik-titik tidak tahu” itu. “Titik-titik tidak tahu” itu diberi nama untuk memisah-misahkan titik tersebut satu dengan yang lain. Begitu didapat titik-titik yang pasti tempat berpegang. Titik-titik tersebut mulai disusun berdasarkan kepercayaan semata-mata. Maka logika pada tingkatan yang pertama masih merupakan logica mystica yang berdasarkan kepercayaan gaib itu.
Buah hasil berpikir ialah pengetahuan hasil yang didapat berturut-turut itu perlu disusun. Begitulah didapat pengetahuan yang tersusun. Logica mystica menghasilkan ilmu pengetahuan yang berdasarkan kepercayaan gaib semata-mata. Ilmu pengetahuan yang berdasarkan kepercayaan gaib semata-mata lazim disebut keagamaan (religie). Pisau pengupas dalam keagamaan ialah logica mystica semata-mata.
Contoh: Diajarkan bahwa alam semesta dan seisinya ini diciptakan oleh yang Maha Kuasa dalam seminggu. Pada hari Senin diciptakan ini, pada hari Selasa diciptakan bagian itu, pada hari Rabu bagian lain, begitulah seterusnya dan pada hari ketujuh, hari Minggu, Tuhan Yang Maha Kuasa mengaso. Oleh karena itu, kaum buruh pun harus mengaso sehari dalam seminggu. Terkutuklah oleh Tuhan, barang siapa yang melalaikan tauladan Tuhan itu.
Yang Maha Kuasa ialah sebab, sekalian ialah akibat. Untuk mendapatkan waktu beristirahat sehari dalam seminggu, kaum buruh menyusun dalil oposisinya yang diringkaskan dan disesuaikan dengan kisah Yang Maha Kuasa pencipta alam. Kisah tsb. ialah bayangan dari pada pengalaman kaum buruh bahwa orang bekerja terus-menerus itu juga membutuhkan mengaso.
Semoga dengan kisah Tuhan Yang Maha Kuasa itu tuntutan kaum buruh dapat diterima.
Kebutuhan manusia berangsur-angsur meningkat. Pengalaman manusia bertambah juga. Dalam perjuangan memenuhi kebutuhan perlahan terbukti bahwa kepercayaan melulu tidaklah boleh dibuat pegangan selalu. Di samping kepercayaan gaib kemudian manusia membutuhkan bukti berdasarkan kenyataan. Bila tadinya logika hanya mulai berlayar di atas alam bukti berdasarkan kenyataan. Dengan ramuan bukti berdasarkan kenyataan di samping ilmu berdasarkan kepercayaan gaib pun tumbuh ilmu bukti berdasarkan kenyataan.
Contoh: Penggalian tambang dengan maksud mencari logam yang berkilometer jauh ke dalam tanah, didapatlah bekas-bekas hewan, tumbuh-tumbuhan, dll. Dari jaman berabad-abad yang lalu. Dalam penggalian itu dapatlah diketahui susunan tanah dari jaman yang lalu.
Sekalian yang didapat itu disimpanlah dalam museum sebagai bukti. Dengan memperbandingkan pengalaman dan pendapatan dari penggalian di berbagai tempat, kemudian diperbandingkan dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, susunan tanah sekarang, maka didapatlah kesimpulan dari ramuan bukti-bukti itu bahwa bumi dan seisinya ini bukanlah diciptakan dalam beberapa hari belaka, melainkan bumi dan seisinya didorong oleh kodratnya dalam proses ribuan abad lamanya. Evolusi dunia yang ribuan abad itu dapatlah dipelajari, diuji dengan bukti-bukti yang tertentu.
Logika berlantai kepercayaan gaib mengajarkan ciptaan sekali jadi, logika berlantai bukti kenyataan memperlihatkan proses evolusi yang berangsur-angsur. Logika berdasarkan kepercayaan gaib berpegangan kepada sebab di luar alam dan sekalian soal disesuaikan dan diringkaskan ke sebab di luar alam itu. Maka keadilan pun dipandanglah sebagai sinar sebab di luar alam yang tiba di bumi sebagai kemurahan.
Logika berdasarkan bukti kenyataan berpegangan pada bukti (yang hanya didapat dalam alam) dan membawa sekalian soal ke-bukti-bukti (yang terlebih dulu diketemukan) di dalam alam itu. Demikianlah berangsur-angsur didapat sebab dan akibat di dalam alam. Demikian pun keadilan disesuaikan dengan sebab dan akibat di dalam alam, di kodrat alam, pelahan diajukan keadilan sebagai hasil perjuangan. (Lawan keadilan yang tiba sebagai kemurahan).
Maka bila hendak disusun dalil untuk membenarkan tuntutan kaum buruh tidaklah dicari kisah sebab di luar alam, maka dikemukakan sebab langsung di dalam alam. Demikianlah, logika bukti berdasarkan kenyataan. Maka tenaga buruh ialah sebab. Pemeliharaan tenaga ialah akibat. Maka dengan sendirinya di dalam alam beristirahat sementara adalah menjadi keharusan. Menolak kenyataan itu berarti menolak kodrat alam yang pelahan membawa kehancuran.
Ilmu bukti berdasarkan kenyataan (selanjutnya kita sebut ilmu bukti) tidak royal dengan rahasia. Ilmu bukti tidak royal dengan main gaib. Ilmu bukti menjadi cambuk penyelidikan. Penyelidikan mendekatkan kita kepada kenyataan. Ilmu bukti lebih praktis dari pada ilmu berdasarkan kepercayaan gaib (selanjutnya kita sebut ilmu kepercayaan). Sekali pun ilmu bukti masih terbatas daerah kekuasaannya, tetapi ilmu bukti lebih banyak memberikan kemungkinan dari pada ilmu kepercayaan untuk menyelidiki barang sesuatu. Penyelidikan ialah pintu gerbang kemajuan.
Yang tadinya rahasia kemudian bukan rahasia lagi, yang tadinya gaib terbukti bukan gaib lagi, yang tadinya benar kemudian tidak menjadi benar lagi. Demikianlah logica mystica (gaib) dijatuhkan oleh logika bukti (kenyataan) dan selanjutnya bukti-bukti berdasarkan kenyataan bertarung dan saling membatalkan adanya.
Kebenaran yang satu dirobohkan dengan yang lain, disusullah dengan kebenaran yang baru yang akhirnya pun dirombak oleh kebenaran yang terbaru. Manusia mulai dengan kebenaran, berjalan dengan kebenaran, menuju kebenaran, Masyarakat maju, maju selalu. Sudah menjadi pengalaman sejarah, bahwa kemajuan berlantai pertentangan: Undang kemajuan yang berlantai pertentangan lazim disebut dialektika. Dialektika berasal dari dialego yang berarti soal jawab.
Di catur dialektika lazim dipakai istilah-istilah tesis (kebenaran), anti-tesis (kebenaran lawan), dan sintesis (kebenaran baru). Demikianlah sintesis ialah isi kemajuan. Ada pun pangkal kemajuan ialah benda (matter = materi) dan pikiran (idea). Timbal baliknya benda dan pikiran dalam proses kemajuan melahirkan filsafat materialisme dan idealisme. Begitu pula didapat dialektika idealisme (dengan pujangganya Hegel) dan dialektika materialisme (dengan pujangganya Marx).
Filsafat yang menaruh titik beratnya kemajuan kepada pikiran (idea) ialah filsafat idealisme. Idealisme mengajarkan, bahwa kehendak yang Maha Kuasa membayang kepada pikiran. Dan pikiran sebagai bayangan kehendak Yang Maha Kuasa itulah yang menjalankan takdir yang Maha Kuasa dengan mencipta keadaan. Pikiran mencipta keadaan, tetapi kepada tingkatan terakhir keadaan pun mempengaruhi pikiran. Filsafat materialisme mengajarkan sebaliknya. Materialisme menaruh titik-berat kemajuan kepada keadaan. Keadaan membayang kepada pikiran, keadaan mencipta, pikiran dan pada tingkatan terakhir pikiran pun mempengaruhi keadaan.
Menurut filsafat idealisme kejahatan dunia ini terutama karena kejahatan pikiran. Kehendak Tuhan harus membayang kepada pikiran itu... barulah kejahatan dunia dapat dihapuskan. Pikiran itu haruslah disucikan. Di jaman purbakala, filsafat idealisme ini melahirkan perjuangan para Nabi pencinta rakyat tertindas dengan bentuk sosial-etika ialah pembangunan rohani untuk perbaikan masyarakat. Pada si kaya dianjurkan untuk mencintai si miskin dengan ancaman neraka di Akhirat. Begitulah para Nabi pencinta rakyat tertindas hendak menolong dunia. Pada pokoknya, para Nabi bukan membasmi kemelaratan melainkan hanya mencoba meringankan nasib rakyat tertindas dengan pengasih kaum kaya. Di jaman kapitalisme, idealisme melahirkan perjuangan reformisme yang mengejar perubahan-perubahan kecil sedikit demi sedikit dari tangan kapitalis dengan jalan perundingan (merubah pikiran kapitalis).
Menurut filsafat materialisme; kejahatan dunia ini terutama dibangkitkan karena keadaan. Keadaan yang susah payah dari rakyat tertindas yang kurang makan, kurang pakaian, sungguh amat menyulitkan rakyat tertindas untuk menerima pelajaran yang suci muluk. Keadaan rakyat tertindas itulah harus dirubah dengan sesungguhnya, barulah boleh diharap kemungkinan dari rakyat tertindas untuk dengan mudah mengunyah ajaran yang suci muluk itu.
Sebaliknya, menurut filsafat materialisme, si kaya yang hidup serba mulia, senang, dan mewah itu amatlah sukar untuk diajak ikut serta merasakan nasib rakyat tertindas. Kekuasaan dan keuntungan, baik moril, maupun material yang diperoleh kaum kaya di masyarakat itu tidaklah akan menjadi penghalang, malahan menjadi pemupuk si kaya untuk mempertahankan dan menambah kekayaannya.
Keadaan yang pahit itu melahirkan perjuangan sosial-politika yang mempergunakan pertentangan-pertentangan politik, sosial, dan ekonomi (pertentangan mana yang disingkiri sebagai kejahatan oleh penganjur-penganjur sosial-etika) untuk merebut kekuasaan negara dan mempergunakan kekuasaan tersebut untuk menguasai dan mengendalikan produksi dan distribusi begitu rupa sehingga tumbuh keadaan yang menguntungkan rakyat tertindas sampai mudahlah rakyat tertindas itu untuk menerima ajaran yang suci muluk. Materialisme ialah obor pemberontakan rakyat tertindas umumnya, proletar berjuang khususnya.
Maka dialektika-idealisme terutama menunjukkan pertentangan pikiran. Dialektika-materialisme terutama memperlihatkan pertentangan keadaan. Borjuis kapitalis yang berkuasa dalam masyarakat sekarang mencoba menutupi keadaan dengan pikiran. Begitulah pembela borjuis tulen dimana borjuis sudah berkuasa selalulah menganut filsafat dialektika idealisme dan menyebarkan filsafat tersebut untuk menutupi pertentangan kasta. Sebaliknya rakyat tertindas umumnya, proletar berjuang khususnya menganut filsafat dialektika-materialisme untuk menyusun kekuatan guna merombak kekuasaan kaum modal dan para pembantunya.
Dialektika-materialisme memperlihatkan pertumbukan antara dua kodrat yang mati-matian berlawanan. Dengan sendirinya dalam pertumbukan itu masing-masing kodrat membawa sebab dan akibatnya, artinya sebab yang satu bukanlah sebab yang lain, akibat yang satu bukanlah akibat yang lain, sebab dan akibat yang satu berlawanan dengan sebab dan akibat yang lain. Di sini, logika tidak berdaya karena logika hanya berlayar di antara sebab dan akibat di atas satu dataran, di dalam satu ruang, dalam alam dengan satu kodrat. Di mana dua kodrat bertumbuk, dua ruang bertarung, dua dataran berpalang, dua alam bergelut di sanalah logika kehilangan tempat berenang, di sanalah dialektika berlaku.
Contoh: si miskin mencuri ayam si kaya. Benarkah perbuatan si miskin itu? Bagi si kaya, hak milik ialah sebab dan perlindungan hak milik ialah akibat. Logika yang berlayar di antara sebab dan akibat di atas satu alam dengan satu kodrat, maka perbuatan si miskin melanggar sebab dan akibat, dus perbuatan si miskin tidak benar.
Bagi si miskin hidup dengan anak-istri ialah sebab. Makan (memperpanjang hidup) ialah akibat. Menurut logika yang berlayar di antara sebab dan akibat di atas satu alam dengan satu kodrat, maka perbuatan si miskin sesuai dengan sebab dan akibat, dus perbuatan si miskin itu benar.
Maka nyatalah di sini; logika tidak mampu mengambil keputusan. Logika selalu menghendaki jawaban satu “ya” atau “tidak”, sedangkan di sini didapat jawaban “ya benar” dan “tidak benar” alias “ya” dan “tidak”. Di sini, dipaksa orang memihak. Di sini, berlaku dialektika yang berlantai pertentangan kepentingan dan kebutuhan yang berlawanan mati-matian. Pembela (rakyat proletar) secara dialektik tidak mempermasalahkan perbuatan si miskin.
Dialektika-materialisme yang dilaksanakan dalam tumbuh-runtuh dan bergeraknya masyarakat, dialektika materialisme sebagai pisau pengupas sejarah (histori) lazim disebut historis-materialisme. Di sini keadaan berarti ekonomi. Dan ekonomi ialah produksi (penghasilan) dan distribusi (pembagian). Akhirul kalam undang berpikir rakyat tertindas umumnya, proletar berjuang khususnya ialah materialisme, dialektika dan logika berdasarkan ilmu bukti.
Untuk melatih diri dalam cara berpikir tersebut diminta kawan bersama mengupas masyarakat dari komunisme kuno ke komunisme modern. Sudah banyak kejadian-kejadian dalam sejarah itu yang diketahui kawan. Yang menjadi soal dalam risalah ini bukannya kejadian-kejadian yang sudah banyak diketahui itu, melainkan cara berpikir meneropong segala kejadian itu dari lantai pokok ekonomi. Cara berpikir itu yang patut dimiliki oleh seorang kader proletar. Berguna kita melatih diri dalam cara berpikir tersebut.
Di tempat, 1 Mei 1947.
IBNU PARNA.
------------------------------------------------------------------
Di tengah alam yang kaya raya, lagi murah, manusia sederhana yang belum banyak kebutuhan kecuali makan-minum dan tidur, maka bahagialah ia beserta kawan-kawannya hidup damai dalam beberapa gerombolan. Demikianlah hidup manusia dalam masyarakatnya dalam tingkatan pertama. Masyarakat manusia sederhana itu merupakan masyarakat bahagia dan persaudaraan yang sederhana pula. Masyarakat tersebut adalah masyarakat Bapak Adam dan Ibu Hawa yang hidup senang dalam surganya sebagai terlukis dalam cerita warisan kuno dari kakek moyang. Dikatakan surga, karena manusia tahu beres, alamlah yang menghasilkan, manusia tinggal memetik dan memungutnya buah alam yang dimiliki bersama. Masyarakat dalam tingkatan pertama itu lazim disebut masyarakat oer-communisme atau komunisme kuno.
Masyarakat manusia kian hari kian tambah besarnya, dari gerombolan menjadi suku dan dalam antara itu tambah pula rangkaian kebutuhan manusia. Persediaan alam di sekelilingnya pelahan tidak mencukupi lagi. Keadaan itu memaksa manusia sederhana meninggalkan lingkungannya yang terbatas untuk mengembara mencari surga yang lain. Manusia yang bergerak dari satu surga ke lain surga bertambah pengalamannya. Menghadapi bahaya dibutuhkan kawan yang kuat dan berani. Dalam perjalanan dibutuhkan pandu, penunjuk jalan yang cakap. Demikianlah masyarakat manusia perlahan maju meningkat ke organisasi, satu ikatan yang teratur. Kawan yang tercakap, terkuat, dan terberani dipilihlah sebagai pemimpin.
Pengalaman membuktikan bahwa surga itu terbatas lagi bertingkat-tingkat. Ada yang makmur, ada lebih, ada pula yang kurang makmur. Kepahitan dan kesedihan sepanjang pengembaraan dan pengalaman yang sering pula menghancurkan harapan, kenyataan bahwa daerah makmur tidaklah selalu dijumpainya dan kenyataan bahwa satu daerah makmur kerap kali menjadi sasaran beberapa suku, perlahan mempengaruhi pikiran beberapa suku untuk merubah sikap hidupnya, menghentikan pengembaraan untuk bertinggal tetap dalam satu daerah yang dianggapnya sudah cukup makmur. Sampai di sini, berhentilah hak milik bersama dalam arti seluas-luasnya seperti di tingkatan pertama dari masyarakat komunisme kuno.
Keadaan kian hari kian sempit karena tambahnya manusia sehingga kemurahan alam kurang lagi dapat dijagakan. Akibatnya, suku merubah sikap hidupnya dari pengembara jadi pendiam yang akhirnya menumbuhkan hak milik suku dan pemeliharaan kemakmuran di atas milik suku. Demikianlah, lahir ilmu perang, pertanian, dan peternakan dan mulai saat itu, Bapak Adam dan Ibu Hawa selanjutnya menempuh penghidupan susah payah dengan bekerja ikut serta dalam penghasilan (produksi) untuk mempertahankan dan memelihara kemakmuran di atas satu daerah milik suku. Kemurahan alam tinggal kenang-kenangan belaka, kebesaran alam yang harus diatasi tinggal menjadi bukti.
Pertanian, peternakan, dan pertahanan pada tingkatan pertama dijadikan usaha bersama. Hak milik perseorangan belum dikenal. Yang dikenal hanya satu ialah hak milik suku. Bila daerah suku kurang lagi tidak cukup menjamin kemakmuran suku, maka daerah itu bukan lagi ditinggalkan untuk mencari daerah tempat tinggal baru, melainkan daerah tersebut diperluas, ditambah dengan daerah baru. Begitu kerap kali terjadi pertikaian antara suku dan suku karena pelanggaran atas hak milik suku oleh yang lain. Suku-suku yang menang menjadi suku yang dipertuan dan suku yang kalah menjadi suku yang diperbudak. Pemenang menuntut hak-hak istimewa atas pundaknya yang kalah, sedangkan yang kalah diwajibkan melakukan kewajiban istimewa untuk yang menang. Kasarnya si kalah menjadi taklukan yang tidak berhak seratus persen lagi atas hasil pekerjaannya. Demikianlah terjadi accumulatie (penggundukan) dan konsentrasi (pemusatan) alat-alat produksi di tangan satu suku yang terkuat.
Dalam perhubungan antara suku yang kuat dan suku yang lemah di dalam perebutan kemakmuran lahirlah perbudakan dalam bentuk yang pertama. Sebaliknya, antara suku yang kuat dengan lain suku yang kuat pula dalam perebutan kemakmuran terjadilah saling mengerti dan di sanalah lahir pertukaran hasil pekerjaan sebagai bentuk pertama dari pada perdagangan. Dalam tingkatan pertama, baik perbudakan maupun perdagangan terjadi tidak di antara orang dan orang dalam suku, melainkan antara suku dan suku.
Suku yang terkuat yang berhasil penggundukan kemakmuran berbagai suku di sekelilingnya di tangan sukunya, menjadi pusat satu lingkaran ekonomi. Lingkaran ekonomi semacam ini berhadapan dengan lingkaran ekonomi yang lain yang berpusat kepada suku lain yang terkuat pula. Dalam perebutan atau pertukaran kemakmuran antara satu lingkaran ekonomi dengan yang lain, maka perlahan tumbuh kesadaran persamaan kepentingan dan kebutuhan. Demikianlah keadaan itu melahirkan koordinator satu lingkaran ekonomi. Begitulah dapat dimengerti pula yang kedudukan koordinator itu jatuh kepada suku yang terkuat dengan pusatnya pemimpin suku.
Pemimpin suku yang terkuat yang menjadi koordinator satu lingkaran ekonomi itu berdiri atas pembagian rezeki yang tidak sama. Bukanlah dalam lingkaran ekonomi itu terdapat suku yang dipertuan dan suku yang diperbudak? Keadaan yang pincang itu membayang kepada pikiran saudara koordinator itu dan perlahan saudara koordinator itu pun mendapatkan pikiran yang pincang pula untuk mengumpulkan kemakmuran tidak pada sukunya melainkan pada dirinya. Bukankah kedaulatan (kekuasaan) dipercayakan kepada dia? Bukankah dia yang mengatur dan memimpin pertanian, peternakan, dan pertahanan? Dia bukan orang biasa.
Buktinya tidak semua orang dapat menjalankan pekerjaannya. Dia pemimpin, dia maha pemimpin, dia luar biasa, dia lain dari pada yang lain, dia kuasa, dia turunan yang Maha Kuasa, dia ditakdirkan untuk menguasai dunia, dia adalah wakilnya Dia, atas nama Dia, dia harus bertakhta di atas dunia.
Pertama milik taklukan dan hasil perbudakan disitanya, bukan lagi menjadi milik suku, melainkan menjadi milik dia sebagai orang, dia sebagai wakil yang Maha Kuasa. Demikianlah pemimpin menjadi tuan tanah. Dengan modal penyitaan milik suku-suku taklukan. Perlahan, disitanya pula milik sukunya sendiri; begitulah pemimpin menjadi raja yang berkuasa atas semua hambanya. Tanah dan seisinya dan hasilnya semuanya menjadi milik raja. Pertanian pun dilakukan atas nama raja. Rakyat sebagai hambanya berhak menumpang di atas milik Raja yang Maha Kuasa itu. Batur yang tadinya berarti kawan, sekarang merosot menjadi budak.
Pertentangan suku yang dipertuan dan diperbudak kini telah berganti corak menjadi pertentangan kasta tuan tanah dengan kasta pekerja tanah (sebagian besar tani melarat dan buruh (proletar) tanah). Dengan ini, dimulailah periode (masa) baru yang lazim disebut feodalisme. Perkataan feodalisme berasal dari feodum yang berarti peminjaman tanah.
Dengan kekuasaan material (Monopoli hak milik tanah) dan moril (penghargaan karena kecakapan di mata rakyat bodoh dan lemah) maka amatlah mudah bagi si pemimpin yang sudah menjadi raja untuk memaksakan kepada rakyat agar kedudukan yang mulia dan nikmat dapat tetap berada di tangan dia dan turunannya. Demikian kedudukan raja menjadi turunan.
Untuk menjamin monopoli hak milik tanah yang menjadi sumber pokok kekuasaan raja maka disebarkanlah keluarga raja dan orang-orang yang berjasa kepada raja di seluruh negeri serta diberi kekuasaan atas daerah-daerah yang tertentu dengan gelar Pangeran atau gelar apa lagi yang indah muluk.
Untuk memelihara ketaatan hamba rakyat maka perlulah raja dan pangeran-pangeran itu dimandikan dengan seribu satu kehormatan, keistimewaan, kesaktian, dan keramat. Rakyat (biar buta akan kemunafikan si raja) diperbodoh, ditipu dengan cerita-cerita yang aneh isapan jempol, karangan pujangga penjilat. Segala dongeng, takhyul-takhyul yang aneh isapan jempol, dan cerita diborong, disusun begitu rupa dengan pusatnya kemegahan, kemuliaan, ketinggian, dan kejayaan raja. Ketuhanan dipalsu, dipulas, diputarbalikkan sehingga rajalah sebenarnya yang menjadi makelar Tuhan Yang Maha Esa. Malahan tak segan-segan si raja serakah dan bajingan kurang ajar itu untuk mempermaklumkan dirinya sebagai Tuhan. Demikian raja dipertuan dan dipertuhan. Inilah yang lazim disebut theocratish feodalisme. (Theo = Tuhan) (Seperti Pharao di Mesir – Tenno di Jepang).
Feodalisme pada dasarnya ialah stelsel masyarakat tuan-tuan tanah yang bergelar aneka warna (karang saja titel yang hebat). Kemakmuran menggunduk kepada tuan-tuan tanah, tukang mindring tanah, singkek-singkek tanah. Tuan tanah alias tukang mindring tanah, alias singkek-singkek tanah itu lazim disebut kaum ningrat.
Rakyat hanya diperkenankan menumpang kepada tuan tanah itu, meminjam tanah dengan selalu berkewajiban menyetor bakti sebagian besar dari pada hasil pekerjaannya. Di satu pihak kita jumpai kasta tuan-tuan tanah yang hidup megah kaya raya dan di lain pihak kita saksikan pekerja tanah yang terhisap dan tertindas yang tiada berhak atas hasil tanahnya, kecuali sebagian hasil sekadar guna menyambung umurnya agar dapat terus mengabdi kepada tuan tanah.
Ada lagi terdapat golongan manusia yang mentah-mentah diperdagangkan sebagai lazim orang memperdagangkan kuda; golongan ini nasibnya lebih celaka lagi dari pada pekerja melarat tersebut. Mereka ialah budak yang menjadi perlengkapan isi rumah sebagai orang memelihara anjing. Senista-nistanya pekerja melarat ialah masih menjadi tuan atas dirinya. Budak dapat dipukul, dapat dipotong, dapat berpindah tangan, dan tiada undang yang dapat melindunginya. Anjing lazim dipukul, kuda lazim dianiaya, begitulah halnya dengan budak itu. (budak-budak tadinya berasal dari suku-suku taklukan).
Di antara kepincangan masyarakat itu berdirilah penghulu-penghulu agama yang berkewajiban selalu mencari imbangan dalam masyarakat dengan pusat raja dan keluarganya (bacalah singkek-singkek tanah). Dari raja-raja serta keluarganya, penghulu-penghulu agama tersebut diberi hak-hak istimewa dan kian hari kian menjadi kuat kedudukan penghulu-penghulu agama itu, merekalah menjadi singkek-singkek tanah nomor dua. Dengan suapan hak-hak istimewa penghulu agama tersebut bersama raja secara tahu sama tahu menipu dan memeras pekerja tanah.
Penindasan tuan-tuan tanah atas pekerja tanah itu menyebabkan perlahan-lahan penggerutuan di kalangan pekerja tanah yang tidak puas itu. Pertentangan antara kasta tuan tanah dan kasta pekerja tanah karena kepentingan dan kebutuhan yang berlawanan itu perlahan membayang kepada pikiran orang yang sudi dan dapat berpikir. Pertentangan keadaan perlahan mempengaruhi logica mystica dalam agama.
Monopoli kemakmuran di tangan tuan-tuan tanah (raja dan penghulu agama) melahirkan agama negara (agama resmi) sebagai satu-satunya gama yang harus dipeluk oleh sekalian hamba rakyat. Sudah barang tentu agama resmi tersebut dimaksudkan sebagai alat pendidik pekerja tanah dan sekalian hamba rakyat untuk tetap setia dan patuh kepada raja. Seribu satu dalil diajarkan, pokoknya “jangan melanggar hak milik raja keningratan dan pengikutnya” (bacalah jangan melanggar hak milik tuan tanah). Perlahan-lahan pertentangan kepentingan dan kebutuhan antara tuan tanah dan pekerja tanah membayang kepada agama, meletus keluar sebagai pertentangan agama. Perlahan-lahan tidak semua penghulu agama menjadi pembela tuan-tuan tanah. Ada pul di antara mereka yang mulai memihak kepada pekerja tanah. Mereka menuntut keadilan. Mereka mulai menawarkan kebenaran baru, mereka memberi tafsiran-tafsiran lain kepada dalil resmi. Bersenjatakan logica mystica mereka mengadakan oposisi dalam agama negara yang bersenjatakan logica mystica pula. Seribu satu tafsiran dikemukakan, pokoknya kepentingan dan kebutuhan pekerja tanah harus diperhatikan. Demikianlah pertentangan agama berlaku sebagai bayangan pertentangan benda (matter – materie – keadaan – economie). Penghulu agama yang tampil ke muka sebagai juru bahasa pekerja tanah dituduh sebagai pengacau keamanan dan ketertiban, penghulu agama yang menjadi oposan itu kemudian menjadi buruan. Mereka lalu mengundurkan diri dari masyarakat ramai dan dari tempat persembunyiannya mereka melanjutkan usahanya berseru dan memanggil sekalian umat untuk membela dan mencintai keadilan. Bersenjatakan logica mystica penghulu agama menyusun ajarannya. Bila ia menghendaki keadilan, maka diajarkan bahwa Tuhan itu ialah keadilan. Menyembah Dia berkelanjutan memihak keadilan; sesungguhnya raja yang patut dipertuan dan dipertuhan sebagai pusat keadilan pasti memperkenankan keadilan yang dimaksudkan.
Begitulah di sana-sini penghulu agama mendapat pengakuan dan dialah diangkat oleh rakyat menjadi raja. Penghulu agama yang budiman itu dicintai oleh rakyatnya, tetapi sebagai raja dia tidak mampu mengadakan perubahan dasar masyarakat. Tuan tanah yang keji kejam diganti dengan tuan tanah ramah-tamah lagi budiman, tetapi rakyat tetap menjadi penumpang dan satu tempo rakyat digembirakan dengan pengasih sekadar keluar dari hati suci dari bekas penghulu agama yang amat dicintai itu. Pokoknya, rakyat tetap terhisap, nasib rakyat tidak berubah karena dasar masyarakat tidak berubah. Semua itu akibat keadilan yang belum terkupas dengan jelas.
Ada pula penghulu agama yang mengajarkan sebaliknya. Yang dijadikan bahan berpikir ialah penghidupan si kaya yang hanya bersuka ria, bermadu, minum, dll. Perbuatan-perbuatan sekaliannya itu ialah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan oleh Tuhan. Sebaliknya, si miskin hidup melarat, sederhana, tidak berpesta, tidak bermadu, tidak minum, dll. Itulah yang diinginkan oleh Tuhan. Bersenjatakan logica mystica ia mendapat kesimpulan bahwa hidup miskin adalah lebih dekat kepada Tuhan dari pada kemewahan yang dihukum sebagai intip neraka. Begitulah ia menganjurkan untuk menjauhi kekayaan itu, mendekati kesempurnaan dengan jalan hidup melarat.
Di sana-sini penghulu agama pemuji kemelaratan itu mendapat pengaruh. Beberapa orang kaya menjual kekayaannya dan hasil penjualannya dibikin habis dibagikan kepada rakyat untuk dimakan bersama-sama. Begitulah si kaya jatuh melarat hidup bersama si melarat mempertahankan kemelaratan. Langkah demikian itu sudah barang tentu usaha yang tersia-sia belaka karena hal itu hanya berarti memperkuat tuan tanah yang lain, karena bukanlah kekayaan yang dijual itu jatuh kepada tuan tanah yang lain? Dengan begitu stelsel masyarakat tidak berubah, kasta tuan tanah tetap berkuasa, kemiskinan tetap merajalela. Demikianlah hasil berpikir yang menghukum akibat tidak menyinggung sebab.
Pertentangan kepentingan dan kebutuhan antara tuan tanah dan pekerja tanah yang kemudian melahirkan pertentangan agama perlahan pula membayang kepada keluarga raja. Di antara keluarga raja pun terdapat perselisihan. Di antara mereka, ada yang memberanikan diri ikut bersama rakyat menghukum raja yang zalim. Raja zalim dirobohkan, pangeran pemberontak menjadi raja. Raja baru bekas pemberontak dapat berkuasa karena ia mempermaklumkan dirinya sebagai pencinta rakyat, pembela rakyat, pembela keadilan, matanya si buta, kakinya si pincang. Kemudian, raja baru terbukti setali tiga uang belaka dengan raja lama. Ia memihak kepada rakyat bukan karena ia cinta kepada rakyat, melainkan ia merasa dendam hatinya dengan raja tua sebab gadis kenang-kenangannya dirampas oleh raja tua tersebut. Luka hati pangeran dan luka hati rakyat bersetubuh dalam satu titik pemberontakan. Selanjutnya, si pangeran tetap si pangeran, si rakyat tetap si rakyat. Di sini rakyat masih membutuhkan latihan untuk memilih pemimpin perjuangannya.
Seorang anak rakyat bangun. Ia membenci kepada raja. Ia mengajak kawannya berontak. Pemberontakan menjalar, pemberontakan menang, anak rakyat menjadi raja. Ia cinta kepada rakyat karena ia memang berasal dari rakyat, tetapi ia berontak bukan karena mempunyai program yang tertentu, program yang lain dari pada program si raja, ia berontak karena kebencian semata-mata, atau sebaliknya karena kecintaan buta belaka, lebih dari pada itu ia tidak tahu. Anak rakyat menjadi raja, zonder program. Demikianlah anak yang jujur itu perlahan mengerti betapa nikmatnya menjadi raja dan anak raja yang jujur itu akhirnya pun tidak dapat menolong nasib rakyat karena ia pun tidak membawa perubahan dasar masyarakat. Inilah akibatnya berjuang tidak berdasarkan teori berjuang.
Ada lagi anak rakyat yang bangun. Ia jauh lebih maju dari pada pemberontak-pemberontak yang sudah. Ia membawa semboyan “hancurkan bukti-bukti hutan dan bagilah tanah”. Semboyan pemberontak muda ini sungguh amat menakutkan tuan-tuan tanah dan para pengikutnya. Pemberontakan langsung mengenai sasarannya. Di sana-sini rakyat berhasil merebut kekuasaan untuk menghancurkan semua bukti-bukti hutan dan segera membagi tanah. Tetapi organisasi rakyat belum cukup tersusun untuk dapat mempertahankan kekuasaannya. Menghancurkan bukti-bukti hutang dan membagi tanah saja ternyata belum cukup untuk menjamin kemakmuran rakyat. Organisasi dari tuan-tuan tanah dan para pengikutnya beserta pengaruhnya harus pula disapu, dihancurkan, dibinasakan. Lagi pula tidak cukup rakyat bergembira berkuasa dalam satu daerah karena selamanya tuan tanah masih berkuasa di lain-lain daerah maka kekuasaan mereka tetap akan merupakan ancaman dan bahaya bagi daerah itu. Bekas tuan tanah dan pengikutnya beserta pengaruhnya tidak akan segan-segan untuk minta pertolongan, tuan-tuan tanah dari lain daerah dengan perjanjian seribu satu untuk berkhianat, mengacaukan dan merobohkan kekuasaan rakyat pekerja tanah. Rakyat tidak cukup belajar merebut kekuasaan, tetapi ia pun harus belajar membertahankan kekuasaan. Rakyat tidak cukup berkuasa di satu daerah, melainkan rakyat harus berkuasa di atas satu daerah yang cukup luas dan cukup kuat (ekonomis, politis, dan sosial).
Demikian antaranya pengalaman pemberontakan-pemberontakan pekerja tanah yang berturut-turut dalam perjuangannya melawan tuan-tuan tanah dan kekuasaannya. Belum lagi pekerja tanah berhasil merobohkan kekuasaan tuan-tuan tanah itu maka sudahlah keburu lahirnya kasta baru yang ada kepentingan pula untuk merobohkan kekuasaan tuan-tuan tanah itu.
Di atas sudahlah dikemukakan bahwa perdagangan dalam tingkatan pertama merupakan perdagangan antara suku dan suku. Timbulnya hak milik perseorangan dalam masyarakat feodal yang merubah pertentangan dan perhubungan hak milik perseorangan itu pun perlahan menjadi dasar perdagangan dan mulai itulah lahir kasta baru ialah kasta pedagang (borjuis pertama). Bila dulu perdagangan hanya merupakan pertukaran kebutuhan semata-mata, maka sekarang perdagangan menjadi sumber keuntungan sebagai jasa perantaraan.
Juara-juara perantaraan inilah yang berkepentingan sekali adanya alat penukar dan pengukur harga yang meringankan pekerjaan perantara, alat yang praktis, mempunyai ketetapan harga, penghargaan dan kepercayaan cukup. Pertama, didapat alat penukar dan pengukur harga seperti kuli, dll. Kemudian, dipakailah uang logam, seperti emas, perak, dll. Ketika uang sudah menjadi kebutuhan yang mutlak maka lahirlah perdagangan uang karena tiap-tiap daerah mempunyai uangnya sendiri sehingga masing-masing uang itu perlu ditukarkan. Dengan inilah, lahir “bank” dalam bentuk pertama.
Pedagang-pedagang ini mengembara dari sudut tempat ke lain tempat mengadakan sambungan dengan pedagang-pedagang dari lain daerah. Mereka mempunyai tempat-tempat yang tertentu dimana mereka dapat saling bertemu untuk berjual-beli. Dengan ini, lahirlah pasar-pasar pertama. Mondar-mandir membawa uang amatlah berbahaya maka di tempat yang tertentu dihampiri di sanalah pedagang-pedagang itu menyimpan uangnya. Demikian “bank-bank” yang tadinya hanya badan penukar uang mendapat jalan untuk menjadi badan penyimpan uang. Dari penukaran dan penyimpanan itu “bank” tadi mendapat upah. Dari bayi “bank-bank” sederhana ini kelak berdiri bank-bank besar yang menyebar modal dan menguasai pertanian, industri, dan perdagangan.
Untuk membelanjai pesta dan kemuliaannya di istana, kecuali pemerasan dari pekerja (tani melarat, buruh tanah, dan budak) menilik tumbuhnya kasta pedagang yang makmur maka raja pun mulai bikin peraturan aneka warna, sumber cukai, pokoknya pedagang-pedagang pun harus menyerahkan sebagian untungnya kepada dia. Tak segan-segan pula raja mengacaukan jalan-jalan perhubungan dan mengadakan perampasan atas milik juara-juara perantaraan. Demikianlah pedagang-pedagang itu amat membutuhkan perlindungan raja sehingga pedagang-pedagang pun merasa betapa perlunya menyuap raja. Peraturan-peraturan raja yang hanya berarti bayar cukai ditaati. Selamanya pembayaran cukai masih dapat dilemparkan kepada bahu pembeli tidaklah terjadi perselisihan antara pedagang dengan raja, tetapi perlahan cukai-cukai tadi amat memberatkan perdagangan. Demikianlah kerap kali terjadi pergeseran-pergeseran antara raja keningratan dan para pedagang itu.
Pertentangan kepentingan dan kebutuhan raja (tuan tanah) dan pedagang perlahan pun membayang kepada agama. Pertentangan tani melarat dan tuan tanah telah menjelma menjadi pertentangan agama. Demikianlah pula pertentangan pedagang dan raja menjelma menjadi pertentangan agama. Demikianlah didapat agama pembela tuan tanah, agama pembela pekerja melarat dan agama pembela pedagang.
Di Palestina, agama Kristen lahir sebagai pembela proletar tanah. Tetapi, Kristen di Eropa pada jaman tengah menjadi pembela tuan tanah dan selanjutnya Kristen berpecah-belah dalam beberapa aliran anti-katolik yang pada umumnya menjadi pembela borjuis. Kristen di U.S.S.R. sekarang menjadi pembela proletar.
Di Hindustan, agama Brahma ialah pembela tuan tanah; kemudian lahir agama Budha sebagai pembela tani melarat. Brahmanisme dan Budhisme datang di Indonesia sebagai agama penjajah, pembela kepentingan Hindu yang merajalela di Indonesia sebagai pedagang akhirnya untuk bertinggal sebagai tuan tanah. Itulah sebabnya Brahmanisme dan Budhisme yang di India bertentangan di Indonesia rukun bersatu menjajah Indonesia yang masih dalam tingkatan oer-communisme. Mereka tidak mendapat perlawanan dari Indonesia karena suku-suku bangsa Indonesia hidup aman tenteram dan makmur di atas milik sukunya masing-masing dan tanah dan alam Indonesia masih cukup lebar dan makmur untuk menerima datangnya suku-suku lain dari rantau. Akhirnya, perantau-perantau itulah dengan pengalaman dari tanah-airnya berhasil menjadi koordinator ekonomi kemudian untuk mempermaklumkan dirinya sebagai raja dari satu negara baru yang makmur.
Islam di negeri Arab lahir sebagai pembasmi pertentangan suku dan suku, pembentuk pertentangan kasta dalam koordinasi suku-suku Arab dalam satu lingkaran ekonomi persatuan Spanyol Islam menjadi pembela tuan tanah asing (Moor) sedangkan Spanyol sendiri telah mengenal tuan-tuan tanah sendiri (berbeda dengan Indonesia pada waktu datangnya Brahmanisme dan Budhisme). Itulah sebabnya Islam akhirnya diusir dari Spanyol (Tuan tanah asing diusir oleh tuan tanah nasional). Di Indonesia, Islam datang pada waktu pedagang-pedagang pesisir memberatkan pedagang-pedagang itu dengan cukai aneka warna. Pertentangan antara raja (tuan tanah) dan pedagang-pedagang pesisir menjelma menjadi pertentangan agama. Demikianlah agama Islam dipinjam oleh pedagang-pedagang pesisir sebagai bahan oposisi terhadap raja di pedalaman. Dengan dalil Hinduisme, raja pedalaman ingin mempertahankan kedudukannya. Dengan dalil Islam, pedagang-pedagang di pesisir ingin memboikot raja di pedalaman. Begitulah dengan bendera Islam, seorang peranakan Cina pedagang besar yang menamakan diri sebagai Raden Fatah mempermaklumkan kerajaan Islam baru, lepas dari Majapahit. Begitulah selanjutnya dalam Islam sendiri tumbuh macam-macam aliran sebagai bayangan pertentangan kasta yang bergulat di dalam masyarakat. Di U.S.S.R. misalnya, didapat Islam pembela proletar.
Dengan undang berpikir dialectica-idealisme yang berlantai logica mystica maka dibawalah orang ke pokok pertentangan agama maka dengan uraian di atas diperlihatkan bahwa pokok pertentangan kasta yang membayang pada agama, tumbuh menjadi pertentangan agama. Perbedaan Kristen di Palestina pada permulaan dengan Kristen di Eropa zaman tengah dan zaman kemajuan dan di U.S.S.R. sekarang, antara Brahmanisme dan Budhisme di Hindhustan dan di Indonesia, antara Islam di Arab pada permulaannya, di Spanyol, di Indonesia pada waktu pendaratannya dan Islam di U.S.S.R. sekarang cukuplah menjadi bukti.
Pertentangan keadaan dan pikiran perlahan pun mempengaruhi budah-budak yang senista dan sebodoh-bodohnya. Di antara mereka pun mulai tumbuh tuntutan kemerdekaan dirinya. Di sana-sini budak tersebut mendapatkan juru bicaranya di kalangan guru-guru agama yang penyayang dan pengasih umat yang tertindas. Dan, tiap kesempatan dipergunakan oleh kasta budak untuk kemerdekaan dirinya. Kesetiaan buta para budak kepada tuannya menjadi kurang. Rasa AKU sebagai getaran hak milik perseorangan pun mulai membayang dalam pikiran kasta budak.
Pertentangan antara tuan tanah dengan tani melarat dan pertentangan antara tuan tanah dan pedagang yang berwujud pertentangan agama yang berturut-turut meletus sebagai perang agama memberi kesempatan kepada kasta budak untuk berturut-turut memerdekakan dirinya. Dengan jaminan kemerdekaan atas dirinya, si budak tak segan-segan memihak kepada kasta mana pun juga. Si budak berjuang atas pengakuan kemerdekaan dirinya, misalnya dengan menunjukkan jasanya dalam perang agama terhadap tuannya, baik ia berdagang maupun tuan tanah. Dengan bersambung dengan tani melarat, beserta tani melarat si budak pun tak segan-segan berontak melawan tuannya. Demikianlah berangsur-angsur kasta budak menjadi merdeka dengan mempergunakan pertentangan yang ada (politik, sosial, dan ekonomi).
Sebagai orang merdeka yang tiada bertanah dan beruang, tetapi mendapat modal rampasan sekadar dari pertempuran, maka bekas budak tersebut mulai bekerja dengan kecakapannya masing-masing yang sudah dipusakai dari zaman perbudakan. Begitu bekas-bekas budak mulai penghidupan baru sebagai tukang merdeka. Sebagai tukang merdeka, mereka berhak atas hasil-hasil pekerjaannya. Pada permulaan, mereka hanya bekerja menurut pesanan. Mereka bekerja bila ada pesanan.
Menghadapi tuan-tuan tanah dan pengikutnya yang selalu hendak membeli semurah-murahnya, lebih-lebih pandangan tuan-tuan tanah dan pengikutnya itu tidak sekaligus berubah dan masih menganggap tukang-tukang merdeka itu sebagai budak seperti sediakala dan di lain pihak budak-budak baru merdeka itu perlu memperkuat diri terhadap pedagang-pedagang penjual bahan-bahan karena pedagang-pedagang penjual itu pun belum bebas dari purba-sangka bahwa sebenarnya mereka masih menganggap dirinya sebagai tuan yang berhak memeras si budak sekehendak hatinya. Boikot halu yang mengelilingi budak baru merdeka itu mempercepat persatuan di antara mereka. Begitulah lahir persatuan-persatuan pertukangan yang mengumpulkan tukang-tukang sepekerja dalam satu ikatan (gilden).
Mereka hidup di dalam gerombolan dan merupakan masyarakat baru yang tersendiri. Dengan persatuan itu, mereka jauh menjadi lebih kuat dan kian hari kian majulah usaha mereka. Tahu-tahu, kumpulan rumah-rumah tukang yang mujur itu telah merupakan kota-kota yang teratur. Untuk menjaga harga, kuantitas dan kualitas hasil pekerja diadakan peraturan-peraturan khusus. Perlahan dengan perbaikan dan perlengkapan alat-alat penghasilan, lagi adanya tambahan tenaga manusia kerap kali lebih banyak dihasilkan dari pada pesanan. Kelebihan itu jatuh kepada tengkulak-tengkulak yang mencari barang-barang penghasilan untuk pasar. Perlahan dengan ramainya pasar menjadilah kebiasaan orang bekerja untuk pasar (dengan tiada menantikan pesanan).
Penghasilan untuk itu menyebabkan perlombaan-perlombaan di antara persatuan-persatuan tukang Perlombaan itu menyebabkan jatuhnya harga. Koordinasi pertama antara persatuan-persatuan pertukangan dalam satu kota mulai menjadi soal. Demikianlah, satu kota keluar merupakan satu kesatuan ekonomi, dan dengan menyuap raja, kota memperoleh hak-hak istimewa dan monopoli atas pembikinan beberapa barang dan sumber bahan mentah. Demikianlah lahir beberapa industri dengan perlindungan raja. Dengan membagi hak-hak istimewa dan monopoli dengan menerima suap kanan-kiri raja yang tadinya sudah lemah kedudukannya menjadi kuat kembali.
Industri karena hak-hak istimewa dan monopoli tersebut menjadi industri khusus, pasar menjadi lebar; produksi harus diperbanyak. Industri yang lemah modalnya terpaksa menyesuaikan diri dengan yang lebih kuat. Kekurangan modal mulai menjadi soal. Demikianlah berangsur-angsur industri dan perdagangan bertali dalam beberapa tangan kaum yang punya (borjuis). Akibat infiltrasi modal borjuis maka hilanglah rasa persaudaraan dalam persatuan pertukangan tersebut.
Dengan kemajuan teknik alat-alat produksi kian hari kian dipusatkan, dan bila tadinya tukang merdeka mempunyai alat produksi sederhana masing-masing untuk membikin barang seutuhnya dengan kepastian bahwa ia menjadi tuan atas hasil pekerjaannya, maka perlahan pekerjaan si tukang merdeka hanya menjadi sebuah ranting dari pekerjaan seluruhnya yang dipusatkan itu dan dengan menghasilkan sebagian dari barang seutuhnya, akhirnya si tukang merdeka terpaksa melemparkan alat-alatnya yang serba sederhana itu untuk bekerja sebagai pelayan mesin besar yang bukan lagi menjadi miliknya.
Dengan berbenteng birokrasi di dalam persatuan pertukangan dengan infiltrasi modal borjuis maka pemimpin-pemimpin persatuan pertukangan berhasil memperkuat diri sebagai majikan.
Sebagian besar tukang merdeka jatuh menjadi budak kembali dalam bentuk baru yang lazim disebut buruh (proletar). Demikianlah lahir kasta baru, kasta proletar, kasta yang tidak mempunyai alat-alat produksi. Proletar tidak mempunyai barang sesuatu untuk menghasilkan kecuali tubuh dirinya. Oleh karena proletar tidak menjadi tuan atas alat-alat produksi, maka proletar pun hanya bekerja dengan menjual tenaganya dan ia tidak berhak atas hasil pekerjaannya. Sebenarnya, kasta proletar bukan kasta baru karena kita sudah mengenal proletar tanah. Maka kasta proletar yang baru tumbuh tersebut ialah kasta proletar kota (industri).
Titik berat ekonomi dengan majunya industri di kota perlahan pindah ke kota. Desa dengan alamnya kepastian tanaman yang sudah dikerjakan lazim melihat ke belakang, yang sudah. Kota yang bergantung kepada usahanya besok pagi, biasa melihat ke depan. Begitulah kota jauh lebih dinamis dari pada desa. Demikian dapat dimengerti pesatnya kemajuan kota. Dengan pindahnya pusat ekonomi dari desa ke kota yang dibawa oleh alamnya yang dinamis, tumbuhlah di samping ilmu kepercayaan ilmu bukti. Ilmu bukti amat dibutuhkan untuk menyempurnakan perlengkapan industri untuk mencari pendapatan baru. Kedudukan raja dan keluarga sekarang terombang-ambing antara kota dan desa. Malahan organisasi raja sudahlah tenggelam dalam hutang pada borjuis. Bukankah raja hanya memikirkan pesta-pesta belaka? Perlahan diketahui bahwa raja beserta pengikutnya amat tergantung kepada borjuis. Modal borjuis yang sudah cukup kuat tersusun hendak meluaskan sayapnya. Borjuis yang kuat tidak membutuhkan lagi hak-hak istimewa dan monopoli dari raja. Kekuatannya sudah cukup menjadi jaminan monopoli. Kelemahan raja dipergunakan oleh borjuis untuk menghapuskan segala peraturan, perintang, dan pembatasan industri dan perdagangan. Borjuis dari golongan yang terkuat menuntut kemerdekaan usaha dan perdagangan. Sudah barang tentu tuntutan kemerdekaan usaha dan berdagang itu kurang mendapat sambutan dari borjuis yang masih tipis modalnya. Golongan yang masih lemah ini masih membutuhkan perlindungan dan hak-hak istimewa. Kemerdekaan usaha dan perdagangan berarti menyerah kepada kekuasaan modal yang terkuat.
Penghulu-penghulu agama yang hidup “alim” dalam asrama-asramanya di atas tanah milik gereja yang makmur dan luas pun merasa terancam kedudukannya; milik-milik gereja yang makmur itu pun akan menjadi sasaran kemerdekaan usaha dan perdagangan. Penghulu-penghulu agama itu ingin mempertahankan kedudukannya dengan mempertahankan hak-hak istimewa dan monopoli yang sudah didapat dari raja. Melepaskan hak-hak tersebut berarti pula melepaskan kemakmuran kepada borjuis yang sedang berkembang.
Penghulu-penghulu agama dari gereja Katolik organisatoris terikat dalam satu disiplin di bawah satu pucuk pimpinan yang bermarkas di Roma. KETUA organisasi disebut PAUS. Paus dipandang sebagai pemegang kunci pintu-gerbang surga, perantaraan Tuhan yang dapat memuji, memberi ampun, dan menghukum atas nama Tuhan. Terkutuk oleh Paus adalah hukuman yang amat beratnya bagi orang yang sudi percaya. Untuk mempertahankan keramatnya yang dapat menguasai dunia itu, maka musuh yang terbesar dari pada Paus ialah ilmu bukti (berdasarkan kenyataan). Agama Katolik oleh Paus dianggap sudah meliputi segala. Semua kebenaran sudah dianggap ada di dalam kitab sucinya. Maka semua ajaran yang dianggap menyimpang dari pada kitab yang suci, yang sudah memuat segala itu dituduhlah sebagai pengkhianat, pengacau, membikin gereja dalam gereja. Begitu hebat sampai GALILEI perlu disiksa dan dianiaya habis-habisan karena GALILEI berani mengatakan bahwa dunia itu bulat, padahal gereja yang berkitab suci itu sudah mengajarkan bahwa dunia itu rata.
Untuk mempertahankan kedudukannya, hak-hak istimewa dan monopoli, maka penghulu agama bertindak menghalang-halangi kehendak raja yang hendak memperkenankan tuntutan kemerdekaan usaha dan perdagangan. Maka raja yang sudah menjadi boneka borjuis menjawab: “Urusan dunia adalah menjadi tanggungan raja. Baiklah tuan-tuan penghulu agama tinggal dalam lapangannya sendiri ialah gereja dan akhirat”. Pemisahan antara gereja dan negara mula menjadi soal.
Bureaucratie Paus dan pengikutnya menghalang-halangi kemerdekaan usaha dan berdagang dan bertindak atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa. Begitulah timbul perjuangan anti buraucratie Paus dan pengikutnya dalam bentuk agama. Tuntutan kemerdekaan usaha dan perdagangan melahirkan tuntutan kemerdekaan agama. Dogma bahwa Paus adalah perantaraan Tuhan kepada manusia dan sebaliknya dibantah dengan dogma baru yang sesuai dengan keadaan (kemerdekaan usaha dan perdagangan) ialah “tiap-tiap orang mampu dan berhak berhubungan dengan Tuhan. Tidaklah dibutuhkan makelar Paus dengan bureaucratie-nya”. (Dogma ialah ajaran yang tidak boleh didebat).
Hak-hak istimewa dan monopoli itu berasal dari pemerintah, dari tangan raja. Maka dengan sendirinya pertentangan untuk mempertahankan dan menghapuskan hak istimewa dan monopoli itu langsung menyinggung pemerintahan negara. Demikian pertentangan tersebut menjadi pertentangan politik antara raja, penghulu agama, dan borjuis. Raja sekarang berdiri antara dua kekuatan:
1. Penghulu agama Katolik sebagai anasir pembela ekonomi yang bertitik berat pada pertanian (desa) dengan pusat hak milik tuan tanah beserta hak-hak istimewa dan monopoli agama dan sekalian ilmu yang memberi kekuasaan dan keuntungan material dan moril atas pundaknya tani melarat (yang diperbodoh dan diperbudak) ditambah dengan cukai dan suap sana-sini dari industri dan perdagangan yang baru tumbuh di bawah perlindungan raja dan gereja.
2. Kasta borjuis dari golongan yang terkuat sebagai anasir pembela ekonomi yang bertitik berat pada industri dan perdagangan (kota) dengan tuntutan kemerdekaan usaha dan perdagangan, anti segala peraturan feodal yang menjadi perintang kemajuan industri dan perdagangan yang sedang berkembang dan yang amat membutuhkan daerah luas tempat berkembang.
Beberapa raja sebagai boneka borjuis (yang sudah tahu betapa royal dan sedapnya suapan borjuis) melawan reaksi penghulu agama berhasil memutuskan oposisi penghulu agama dengan membatasi kekuasaan penghulu-penghulu agama hanya kepada gereja dan akhirat yang tidak berhak sedikit pun ikut campur dalam urusan negara (dunia) (Jerman).
Beberapa raja yang kurang bijaksana bersatu dengan gereja melawan borjuis, akhirnya hancurlah kekuasaan raja dan gereja itu (Revolusi Prancis).
Di Inggris, tuan tanah dan gereja pandai menyesuaikan diri dengan haluan baru ikut serta mengambil bagian dalam industri dan perdagangan maka di sanalah terjadi kompromi (akur-akuran) antara raja, gereja, dan borjuis.
Maka selesailah sudah masa (periode) feodalisme yang lazim pula disebut “Jaman Tengah” untuk kemudian meningkat ke jaman kemajuan, jaman kapitalisme.
Kembangnya modal borjuis yang terkuat melahirkan tuntutan kemerdekaan usaha dan perdagangan, kemerdekaan agama, dan kemerdekaan ilmu bukti. Bahwa ada sangkut-pautnya antara semua tuntutan itu sudahlah kita kupas secara materialistis, dialektis, dan logis. Tuntutan-tuntutan tersebut di atas sudahlah dikemukakan melahirkan perjuangan politik. Borjuis mencari sambungan dengan tani melarat menggerutu yang tertindas oleh tuan-tuan tanah (penghulu agama dan raja sekeluarga). Begitulah lahir satu front rakyat borjuis dan tani melarat lawan kaum bangsawan ningrat serta penghulu agama. Dalam perhubungan borjuis dan tani melarat itu lahir asas kerakyatan (democratie) dengan semboyannya yang terkenal: “kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan”. Demikianlah Revolusi Prancis.
Rakyat berhasil merebut kekuasaan. Kekuasaan gereja dan raja dirobohkan, republik rakyat didirikan. Pemerintah rakyat diumumkan. Terbukti yang dimaksud dengan rakyat ialah borjuis belaka. Begitulah lahir pemerintah rakyat borjuis. Di mana raja masih berdiri karena bersedia untuk berkompromi dengan borjuis atau bersedia menjadi boneka borjuis, di sanalah bukan lagi ujung lidah raja yang berkuasa, melainkan undang-undang (dasar). Sudah barang tentu yang berlaku ialah undang-undang (dasar) borjuis yang melindungi kepentingan dan kebutuhan borjuis.
Kekuasaan politik yang diperoleh segera dipergunakan borjuis untuk melaksanakan tuntutannya ialah kemerdekaan usaha dan perdagangan. Dengan ini, proses modal berkembang menjadi lebih pesat kemajuannya. Proses yang didapat dari pertentangan suku dan suku yang melahirkan satu lingkaran ekonomi dengan pusat suku yang terkuat, didapatlah pula dalam pergeseran industri dan perdagangan yang satu dengan yang lain. Begitu terbentuk satu lingkaran ekonomi nasional berpusat pada modal yang terkuat. Kemajuan teknik sebagai kekuatan uap menjadi cambuk industri. (Watt mendapatkan mesin stoom). Hanya modal yang terkuat sanggup melayani dan mempergunakan hasil-hasil pendapatan baru.
Koordinasi industri-industri rumah dan perusahaan kecil di tangan modal yang terkuat dengan sekali pukul menjadi pabrik-pabrik yang besar dan modern. Perdagangan pun beroleh alat pengakut yang cepat dan praktis. Kian hari kian dibutuhkan perkumpulan modal. Dari modal seorang dibutuhkan modal-modal beberapa orang sampai akhirnya didirikan sebuah badan N.V. yang berhak berlaku dan bertindak sebagai orang. Oleh karena borjuis bekuasa, maka dengan mudah kedudukan N.V. diputuskan dan disahkan dalam sebuah undang yang harus dihargakan dan dipercayai sekalian umat. N.V. mengeluarkan surat andil (saham), maka surat tersebut diperjualbelikan di pasar (beurs). Begitulah persatuan yang tak bernama (N.V.) mendapatkan modal dari hartawan-hartawan yang tidak bernama pula. Demikianlah disusun dasar-dasar baru bagi pembentukan badan-badan besar industri dan perdagangan. Kemajuan industri dan perdagangan membawa kemajuan pula dalam organisasi keuangan. Tukang-tukang uang berkumpul; demikianlah bank-bank sederhana yang hanya menjadi pembantu penukaran dan keamanan uang berganti rupa menjadi bank-bank besar yang membelanjai pertanian, industri, dan perdagangan. Pelatihan jual-beli hanya berlaku antara ujung telepon dan telegram, dengan tidak mempergunakan uang. Cukup segala perhitungan dicatat dalam satu buku. Bank-bank besar di berbagai tempat itu dijadikan tempat perhitungan (rekening-courant).
Dengan lahirnya badan-badan yang serba besar, maka dalam perlombaan perebutan pasar dan pertarungan harga terpaksalah perusahaan-perusahaan kecil gulung tikar. Lingkaran ekonomi borjuis kian hari kian melebar, dari satu kota ke daerah, dari daerah ke satu negeri. Lebih dari itu, kekuatan produksi sudah meningkat; bahan dalam negeri tidak cukup, pasar dalam negeri sudahlah sempit, modal terus berkembang dan mencari lapangan daerah berkembang, modal melompati batas negeri menyeberangi lautan.
Modal disediakan untuk merampok bahan-bahan penting di luar negeri untuk pulang ke tanah air dengan membawa hasil rampasan. Modal disebar untuk membeli bahan-bahan penting di luar negeri dan menjual barang-barang tanah air di luar. Modal dipinjamkan kepada negeri yang membutuhkan dengan ganti konsesi-konsesi yang menguntungkan. Modal ditanam di tanah jajahan untuk membentuk pasar dan sumber-sumber bahan yang tetap lagi menguntungkan. Dengan keluarnya modal melintasi pagar tanah air, merebut pasar dan sumber-sumber bahan, lahirlah imperialisme. Dan, perlombaan perebutan pasar dan sumber-sumber bahan, serta dalam pertandingan harga dan kekuatan, maka modal dunia yang mengalir di bank-bank pertanian, industri, dan perdagangan dikuasai oleh modal yang terkuat di tangan beberapa gelintir orang. Begitulah perlahan dunia terbagi di dalam beberapa blok ekonomi. Tiap-tiap blok berpusat kepada modal yang terkuat dalam blok tersebut, berkiblat kepada negeri dimana modal yang terkuat itu menggunduk. Ka’bah dalam blok ekonomi tersebut bukan lagi batu hitam nun di Mekkah, melainkan beberapa kapitalis yang memiliki semua alat produksi, beberapa kapitalis yang dapat berbuat sesuka hatinya sekeliling produksi dan distribusi.
Untuk menjamin monopoli kapitalis atas kemakmuran dalam blok ekonomi, maka kapitalis menentukan corak pemerintahan dalam tiap-tiap negeri dalam lingkungan blok tersebut. Ialah yang menetapkan siapa yang menjadi kepala Negara, ialah yang menentukan partai mana yang harus disokong dan partai mana yang harus diboikot dan diburu. Dalam semua negeri dalam blok itu, ia membentuk pemerintahan serta alat-alatnya yang melindungi kepentingan dan kebutuhannya. Semua pertentangan politik, ekonomi, dan sosial dari satu negeri dengan lain negeri dipergunakan untuk membentuk blok ekonomi itu. Demikianlah pembentukan satu blok ekonomi melalui beberapa peperangan. Kemudian daerah satu blok ekonomi tidaklah cukup luasnya lagi untuk melayani kekuatan produksi. Produksi terus meningkat, terus membutuhkan bahan, terus membutuhkan pasar, kian hari kian banyak, kian hari kian luas. Begitulah lahir konkurensi antara satu blok ekonomi dengan lain blok ekonomi yang berkelanjutan peperangan antara dua blok yang dipergunakan oleh lain blok lagi untuk memperkuat diri, yang berakibat kekeruhan perimbangan kekuatan dalam tubuh blok ekonomi yang lemah.
Perebutan pasar dan sumber-sumber bahan ialah hakikat tiap-tiap peperangan dalam masyarakat kapitalis. Setelah organisasi modal menjadi internasional, maka peperangan antara modal dan modal itu menyeret seluruh dunia dalam peperangan dan seluruh dunialah menanggung akibat peperangan itu. Dengan ini, dapat dimengerti apa artinya perang dunia I antara Jerman – Austria Hongaria di satu pihak dengan Amerika-Inggris-Prancis-Italia di lain pihak.
Alat-alat produksi tanah, pabrik, mesin tambang, dll. ialah modal (kapital). Monopoli produksi ialah di tangan borjuis besar alias kaum modal atau kapitalis. Kaum kapitalis yang memiliki alat-alat produksi itu tak dapat bekerja sendiri. Kapitalis membutuhkan tenaga. Maka proletar sebagai makhluk yang selain dari pada tenaganya tidak mempunyai alat-alat produksi untuk mengerjakan barang sesuatu datang menjual tenaga itu. Tenaga dibeli oleh kapitalis. Proletar bekerja dan ia tidak berhak atas hasil pekerjaannya. Tenaga manusia dalam masyarakat kapitalis diperjual-belikan sebagai orang memperjual-belikan barang. Kapitalis membutuhkan barang yang berupa tenaga itu buat waktu yang lama. Untuk membentuk barang yang berupa tenaga itu diperlukan makan-minum minimum. Kapitalis berusaha membeli barang yang berupa tenaga itu sesuai dengan harga makan-minum minimum. Begitulah proletar penjual tenaga itu tidak dibayar atas hasil pekerjaannya, melainkan proletar tadi dibayar sesuai dengan harga tenaganya (harga makan-minum minimum). Oleh karena hasil pekerjaan proletar menjadi milik kapitalis, maka hasil pekerjaan dipotong upah yang diterima itu jatuh di tangan kapitalis dengan tidak terbayar. Kapitalis mencuri tenaga proletar. Hasil pekerjaan yang tidak terbayar, jadi dicuri oleh kapitalis itu lazim disebut nilai-lebih. Nilai-lebih ini ialah buah perbudakan kapitalis atas proletar. Nilai-lebih ini dikemukakan oleh: KARL MARX.
Kapitalis berusaha untuk memperbanyak nilai-lebih dengan memperpanjang waktu bekerja. Siasat memperpanjang waktu bekerja mendapat perlawanan dari proletar (buruh). Pada permulaan perlawanan kaum buruh tidak tumbuh karena ia tidak mengerti nilai-lebih, melainkan semata-mata karena tenaga manusia itu terbatas. Perlahan-lahan diketahui oleh kapitalis bahwa tenaga yang dipelihara itu lebih banyak dapat menghasilkan dari pada tenaga yang diperas sekali pukul. Siasat memperpanjang waktu bekerja adalah terbatas, pertama karena mendapat perlawanan dari buru, kedua karena memang tenaga manusia adalah terbatas.
Kapitalis kemudian berusaha memperbanyak nilai-lebih dengan perbaikan alat-alat produksi. Dua tiga jam yang hilang yang terpaksa dilepaskan kepada buruh sebagai hasil pemogokan, buruh hendak dikejar oleh kapitalis dengan perbaikan alat-alat produksi yang jauh lebih besar kekuatannya dari alat-alat yang sudah. Begitulah didapat mesin-mesin baru.
Dengan adanya mesin-mesin itu, barang yang tadinya perlu dikerjakan oleh banyak orang kemudian dapat dikerjakan oleh tenaga manusia yang jauh lebih kurang. Dengan ini, banyak kaum buruh terusir dari pabrik, dilepas dari pekerjaannya. Begitulah lahir pengangguran. Di kalangan kaum buruh perlahan tumbuh pendapat anti mesin yang akhirnya sampai melahirkan gerakan anti mesin. Berduyun-duyun buruh berarak masuk pabrik menghancurkan mesin-mesin besar yang dianggap sebagai lawannya. Polisi dan tentara dikerahkan untuk menahan marah buruh. Mesin baru didatangkan. Mesin yang sebenarnya menjadi pembantu tenaga manusia di jaman kapitalis membikin manusia menjadi pembantu mesin.
Produksi masyarakat kapitalis tidak menurut rencana. Produksi masyarakat kapitalis bekerja tidak untuk kebutuhan, melainkan untuk pasar. Maka bila sebuah barang amat laku di pasar, maka kapitalis berlomba-lomba menghasilkan barang tersebut, akhirnya barang yang laku bertumpuk-tumpuk melebihi kebutuhan pasar. Untuk mempertahankan harga, barang yang berkelebihan itu dihancurkan.
Kelebihan produksi ialah akibat produksi yang tidak teratur, produksi yang anarkistis. Begitulah kerap kali jagung, kopi, susu dibuang di lautan hanya untuk mempertahankan harga barang, padahal berjuta rakyat lapar membutuhkan barang-barang tersebut. Sekali pun menurut kebutuhan rakyat barang itu dibutuhkan, namun simpanan melebihi kebutuhan pasar, maka kapitalis berkata bahwa itulah produksi lebih yang tidak berguna, malahan membahayakan (harga).
Muslihat main hancur dan main buang itu pun terbatas. Harga barang yang dihancurkan/dibuang itu dilemparkan kepada pembeli dengan menaikkan harga barang yang dijual. Akhirnya, kekuatan pembeli pun sampai pada batasnya, hingga “permainan hancur dan buang” itu tak dapat dilanjutkan.
Bila barang produksi lebih tidak dihancurkan, melainkan disimpan, maka untuk menyesuaikan dengan pasar, pabrik lalu ditutup, buruh diusir keluar dari pabrik, buruh diberhentikan dari pekerjaannya, pengangguran merajalela. Kapitalis terus makan tidur dan berpesta di atas barang-barang yang bertumpuk itu, tetapi buruh bergelandangan lapar di sepanjang jalan.
Banyaknya pengangguran menyebabkan tenaga buruh menjadi murah. Gaji buruh dikurangkan; tenaga pembeli menjadi kurang. Industri-industri lain pun menjadi terpukul. Pengangguran bertambah; tenaga pembeli berkurang. Mesin-mesin baru didapat yang dapat menghasilkan barang lebih bagus dan lebih murah. Tenaga pembeli sudah terlanjur merosot. Barang melimpah, pembeli tidak terdapat. Pemogokan buruh meluas. Kerusuhan merata. Roda kapitalis terganggu (krisis). Bila dalam kekeruhan ini organisasi proletar belum cukup kuat untuk merebut kekuasaan, maka kapitalis dapat menolong diri dengan membuka lapangan pencarian baru bagi pengangguran dalam satu industri darurat, kalau tidak dibelokkan perhatian proletar pengangguran itu dalam polisi tentara dan industri perang, guna persiapan perang yang sedang dipersiapkan.
Urat produksi kapitalis ialah perlombaan memburu untung sebesar-besarnya oleh beberapa orang kapitalis, dengan memperpanjang waktu bekerja, mempertinggi teknik alat-alat produksi, mengurangkan banyaknya buruh, mengurangkan gaji buruh, yang berakibat pengangguran dan pemogokan. Demikianlah krisis (masa antara roboh dan bangun) selalulah mengintil (mengikuti) masyarakat kapitalis yang berdasarkan sistem yang anarkistis, sistem produksi yang tidak mampu mencari imbangannya antara produksi dan distribusi.
Pertentangan antara kapitalis dan buruh perlahan pun membayang kepada pikiran orang yang berpikir. Maka di sana-sini bangkit pencinta umat tertindas, seperti Saint Simon, Fourier, dan Robert Owen. Mereka sekalian ini datang bukan untuk membela kepentingan satu kasat, melainkan mereka datang untuk menolong seluruh umat manusia. Ada pun pada dasarnya mereka melamunkan masyarakat keadilan dalam masyarakat kapitalis. Mereka mencela dan menolak masyarakat kapitalis, tetapi mereka belum meneropong masyarakat kapitalis pada dasarnya. Mereka melamunkan keadilan diambil dari atas langit, dimasak dalam otak kepalanya, ditawarkan kepada khalayak, hasilnya mereka menawarkan keadilan dalam lingkungan masyarakat kapitalis. Dan, bila keadilan yang digambarkan itu satu isme, maka mereka itu mengajarkan adil-isme. Adil-isme dari pada budiman pencinta umat tertindas ini lazim disebut sosialisme-utopi (socius = kawan, uotpi = impian) (masyarakat persaudaraan dalam lamunan) (adilisme).
Karl Marx datang dengan mengajak orang meneropong kejadian-kejadian dalam masyarakat ke lantai pokok ekonomi. Ia tidak mulai dengan melamunkan keadilan diambil dari atas langit, dimasak dalam otak kepalanya untuk ditawarkan kepada khalayak, melainkan ia mulai menerima kejadian-kejadian itu sebagai kenyataan dalam sejarah yang tidak jatuh dari atas langit, melainkan sebagai benda yang bergerak menurut hukum-hukum yang tertentu. Ia tidak menyesalkan keadaan, sebaliknya menyambut keadaan itu dengan gembira sebagai lantai sejarah. Demikianlah, dari lantai keadaan itu dicari hukum-hukum yang tertentu dalam pergerakan tumbuh runtuhnya masyarakat dalam kemajuannya. Maka dengan bukti-bukti ramuan sejarah berhasillah Karl Marx menyusun ajarannya ialah: Historich Materialisme.
Dengan filsafat Historisch Materialisme itu, ia menemukan tumbuhnya Kasta Baru, Kasta Buruh, Kasta Proletar Kota (Industri). Karl Marx meneropong umat manusia tidak sebagai umat seutuhnya, melainkan membagi umat manusia dalam beberapa kasta. Tiap-tiap kasta mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang berlainan mati-matian dengan lain Kasta. Pertentangan kasta berlantai kepentingan dan kebutuhan yang mati-matian berlawanan itu ialah undang kemajuan sejarah.
Begitulah Karl Marx menerima pertentangan kasta kapitalis dan buruh sebagai pertentangan historisch, dan dari pertentangan ini diperhitungkan datangnya masyarakat baru, masyarakat sosialis. “Kaum Adilis” menawarkan keadilan dengan tidak melihat pertentangan kasta, melainkan hanya melihat kejahatan seutuhnya, kemudian untuk menawarkan keadilan seutuhnya, berpegangan kepada purba sangka umat manusia yang satu, yang utuh, akhirnya menghukum pertentangan sebagai kejahatan yang harus disingkiri, yang harus diperdamaikan atas nama manusia sesama makhluk Tuhan Yang Maha Esa, atas nama keadilan. Karl Marx berlaku sebaliknya menyambut yang ada, mulai dengan yang ada begitulah secara ilmu ia menyambut pertentangan benda sebagai lantai undang kemajuan. Dengan filsafat yang menghukum pertentangan “Kaum Adilis” melamunkan keadilan dalam masyarakat kapitalis. Dengan filsafat yang menerima pertentangan sebagai kenyataan sejarah, Marx meramalkan secara ilmu robohnya masyarakat Kapitalis, berdirinya masyarakat Sosialis di atas runtuhan masyarakat kapitalis. Sistem produksi kapitalis yang tidak mampu yang mencari imbangannya antara produksi dan distribusi yang mengakibatkan pengangguran, pemogokan, kerusuhan, dll itu akan membawa runtuhnya masyarakat kapitalis. Dari kandungan masyarakat kapitalis itu lahir kasta buruh, dan dalam pengangguran, pemogokan, perusuhan, dll itu kaum buruh kian meningkat kesadaran katanya. Begitulah buruh sesuai dengan pengalamannya akan menemukan jalan yang jitu dan tepat untuk merobohkan masyarakat kapitalis dan mendirikan masyarakat baru di atas runtuhan masyarakat kapitalis.
Sebelum Marx, sosialisme ialah soal keadilan, soal kemanusiaan, soal kemurahan. Sesudah Marx, sosialisme ialah panggilan sejarah yang lahir dari kandungan masyarakat kapitalis sebagai hasil kemenangan perjuangan buruh atas kapitalis. Selanjutnya Marx mengajarkan pokok penyakit masyarakat ialah dalam hak milik perseorangan atas alat-alat produksi yang berkelanjutan sistem produksi dan distribusi menurut kepentingan dan kebutuhan beberapa biji kapitalis (yang menjadi pemilik alat-alat produksi tersebut) dalam perlombaannya memburu untung di pasar dunia. Produksi harus dikembalikan menurut rencana yang tertentu menurut kepentingan dan kebutuhan masyarakat, barulah didapat imbangan antara produksi dan distribusi. Hal itu hanya mungkin dikerjakan bila alat-alat produksi itu dijadikan milik masyarakat. Maka perjuangan buruh harus ditujukan ke arah penghapusan hak milik perseorangan atas alat-alat produksi. Di atas rontokan masyarakat kapitalis buruh harus menyusun masyarakat, dimana alat-alat produksi dijadikan milik masyarakat. Sebagaimana borjuis merebut kekuasaan dan menghancurkan kekuasaan borjuis kapitalis. Dalam beberapa revolusi kaum borjuis berhasil merebut kekuasaan dunia, dalam beberapa revolusi pun kaum buruh akan menghancurkan kekuasaan borjuis kapitalis di seluruh dunia.
Marx mengajarkan bahwa negara ialah alat di tangan kasta yang berkuasa untuk menindas kasta yang tidak berkuasa. Negara feodal ialah alat kasta tuan tanah untuk menindas kasta tani melarat dan budak. Negara kapitalis ialah alat kasta borjuis kapitalis untuk menindas kasta buruh. Negara ialah alat pelindung kepentingan dan kebutuhan kasta. Dimana masyarakat persaudaraan sejati sudah tercipta, di sana masyarakat sudah tidak mengenal kasta, di sanalah sudah tidak dibutuhkan lagi negara, di sanalah akan lahir masyarakat yang tidak bernegara.
Marx mengajarkan negara kapitalis tidak dapat dioper begitu saja menjadi negara buruh. Negara kapitalis harus dihancurkan, sisa-sisa pengaruh kapitalis harus dibinasakan, barulah dapat disusun negara yang dapat melindungi kepentingan dan kebutuhan kasta buruh. Negara buruh ialah negara proletar yang menindas kasta kapitalis, pengaruh, dan komplotannya Negara proletar melindungi kepentingan dan kebutuhan proletar sampai tercipta benar-benar masyarakat pekerja dimana sekalian menjadi pekerja, bekerja menurut kecakapannya, dan mendapat menurut kebutuhannya. Sebelum sisa-sisa masyarakat kapitalis yang berupa kepentingan dan kebutuhan perseorangan lenyap sama sekali maka masihlah selalu dibutuhkan negara buruh, negara proletar. Yang dimaksud dengan negara ialah: Polisi, tentara, dan birokrasi.
Kaum Anarkis menganggap negara sebagai sumber segala kejahatan. (archie = peraturan, anarchie – tidak mengakui peraturan, tidak beraturan). Mereka ingin merobohkan masyarakat kapitalis dengan menghancurkan negara. Mereka meramalkan segera datangnya masyarakat persaudaraan dengan hilangnya segala peraturan negara. Mereka tidak membutuhkan masa peralihan (menurut Marx, masa peralihan itu masih membutuhkan Negara). Penganjur Anarchis yang terkemuka ialah: Bakunin.
Marx mengajarkan bahwa sosialisme akan lahir terlebih dulu di negeri-negeri kapitalis yang sudah maju. Di negeri-negeri kapitalis yang sudah maju di sanalah sudah tersedia proletariat yang sudah maju pula. Mahir dalam administrasi dan organisasi modern yang dengan mudah menjadi tulang punggung masyarakat sosialis. Juga di sanalah sudah tersedia proletariat yang sudah cukup terlatih dalam pengangguran, pemogokan, demonstrasi, kerusuhan, dll. Proletariat dari negeri kapitalis yang sudah maju jauh lebih banyak mempunyai syarat-syarat kecerdasan dan kecakapan dari pada proletariat dari negeri-negeri yang masih terbelakang. Ajaran Marx dikemukakan dengan mempergunakan bahan-bahan pada jamannya di waktu hidupnya, dimana organisasi kapitalis belum berurat internasional. Maka Lenin yang hidup di jaman imperialisme, di jaman ekspor modal, dimana modal dan modal itu bertumbuk di luar pagar tanah-air memperbaiki dalil Marx dengan mengemukakan dalil baru ialah “bahwa sosialisme dapat dilaksanakan di negeri mana pun juga di antara rakyat paling tertindas dan dimana mata rantai organisasi kapitalis itu paling lemah. Kader administrasi dan organisasi modern dapatlah dilatih dengan modal kekuatan dan kekuasaan negara proletar”. Revolusi proletar yang bergelora dengan kodratnya dan dengan kecakapannya partai proletar dapatlah mempergunakan keadaan baru untuk mendidik, menimpuk kader-kader administrasi dan organisasi modern guna menutup kekurangannya.
Marx pun mengajarkan kepada kaum buruh (Inggris) untuk mempergunakan parlemen sebagai senjata perjuangannya. Ajaran Marx pada waktu itu dapat diterima karena birokrasi kapitalis belum lagi sempurna. Dalam masyarakat dimana birokrasi kapitalis sudah berurat, maka jalan satu-satunya bagi proletar untuk merebut kekuasaan ialah aksi massa (rakyat terbanyak) yang teratur. Aksi parlemen dewasa ini hanya dapat dilakukan sebagai bagian dari pada massa aksi.
Patut dicatat sekali lagi bahwa segala ajaran Marx itu bukanlah karangan otak kepalanya di waktu ngelamun, melainkan MARX mengajukan pelajarannya satu demi satu melalui penyelidikannya bertahun-tahun selama hidupnya. Sejarah dijadikan bahan, sekalian itu terjadi di masyarakat. Marx hanya berlaku sebagai penghimpunan segala getaran masyarakat itu. Tidak boleh dilupakan Marx pun mempergunakan buku-buku pujangga-pujangga kuno dan pujangga-pujangga jamannya, baik mereka itu kawan atau lawan. Nyatalah bukan kitab yang membikin masyarakat, melainkan masyarakat itulah yang melahirkan kitab sekali pun kitab pada tingkatannya terakhir pun mempengaruhi masyarakat.
Marx dapat menyusun pelajarannya dalam kitab-kitabnya karena Marx mempergunakan autoriteit otak kepalanya, tidak berjiwa budak hanya pandai memuja dan memuji. Patutlah Marx dijadikan teladan. Proletar banyak mengenal pujangganya maka Marx bukanlah pujangga proletar yang terakhir. Marx ialah pujangga proletar yang pertama yang menolak masyarakat kapitalis dengan kupasan secara ilmu bukti (berdasarkan kenyataan), dan Marx ialah pujangga proletar yang pertama yang memajukan sosialisme secara ilmu bukti (wetenschappelijk).
Syahdan dengan pandu pelajaran Marx maka pergerakan buruh berkobar merata di seluruh dunia. Perang dunia pertama yang pada dasarnya merupakan pertentangan dua blok ekonomi kapitalis yang berkiblat kepada Jerman di satu pihak dan Inggris-Prancis di lain pihak yang dipergunakan pula oleh lain-lain blok ekonomi untuk mencari keuntungan, memberi kesempatan kepada proletar Rusia untuk merebut kekuasaan. Borjuis dan ningrat beserta penghulu agama Rusia bersatu dengan modal Inggris-Prancis untuk memukul Jerman karena di Rusia memang kebanyakan modal Inggris-Prancis tertanam, disiplin London-Paris memaksa Rusia terus bersatu dengan Inggris-Prancis memukul Jerman. Rakyat Rusia pada umumnya sudah jemu berperang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Lenin dan partainya untuk mencari perdamaian dengan Jerman yang terkepung dari Barat dan Timur untuk selanjutnya menyita modal Inggris-Prancis, gereja, dan raja dan tuan-tuan tanah lainnya sebagai modal pertama lantai ekonomi tempat kaki diktator proletariat berdiri. Lenin dan partainya mendapatkan sokongan dari rakyat menggerutu karena pertama ia datang dengan membawa perdamaian, kedua ia datang dengan dasar baru, begitulah Lenin dengan sekali pukul dapat merebut kekuasaan dari kaum ningrat dan borjuis yang berada dalam satu front. Dengan kodrat revolusi proletar yang bergelora dengan kecerdasan, kecakapan, dan keberanian Lenin dan partainya mempergunakan pertentangan politik ekonomi dan sosial, nasional dan internasional, dengan persatuan buruh, tani melarat dan... borjuis kecil (N.E.P.) berhasillah Lenin merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan di atas daerah sebesar seperenam dunia.
Dalam antara itu pertentangan antara penjajah dan terjajah, ditambah dengan proletarisasi akibat kapitalisme kolonial di masyarakat feodal, di tanah jajahan perlahan melahirkan gerakan kebangsaan yang meributkan dunia kemodalan. Di Tiongkok modal setengah terjajah berhasil merobohkan raja untuk mendirikan pemerintah Republik setengah terjajah. Bersenjatakan teori revolusioner yang mampu mengupas dunia pada dasarnya, kesempatan yang baik ini dipergunakan oleh Lenin dan partainya untuk menyokok pergerakan kebangsaan di tanah-tanah jajahan sebagai bagian dari pada revolusi dunia proletar. Pertentangan antara penjajah dan terjajah melemahkan masyarakat kapitalis.
Dengan kemenangan proletar Rusia ditambah pesatnya gerakan proletar di tanah-tanah jajahan, tidaklah berhenti pertikaian antara blok ekonomi kapitalis yang satu dengan blok ekonomi kapitalis yang lain. Jerman, Italia, dan Jepang berteriak menuntut tanah jajahan. Jerman, Italia, dan Jepang membutuhkan pasar dan sumber-sumber bahan. Ketiga negeri tsb. mendapat perlawanan dari Amerika-Inggris-Prancis-Belgia dan Belanda. Pertentangan antara negeri-negeri yang punya dan yang tidak punya jajahan pun ikut serta melemahkan masyarakat kapitalis.
Untuk dapat bersikap tegas keluar, kapitalis di Jerman, Italia, dan Jepang yang mempersiapkan diri untuk berperang merebut pasar dan sumber bahan bagi industrinya perlu memperkuat diri ke dalam. Partai-partai proletar yang terang pasti menjadi penghalang avontuur kapitalis yang menjerumuskan rakyat ke dalam api peperangan untuk kepentingan dan kebutuhan kapitalis itu, perlu disapu, dibinasakan. Begitulah dalam negeri-negeri tsb. dibentuk pemerintah diktator kapitalis. Semua partai dibubarkan, komunis-komunis didrel, pemogok dibui, demonstrasi dimitraliur. Pemerintah semacam itu lazim disebut pemerintah fasis. Fasisme berasal dari partai Mussolini di Italia “Fasci Dei Combattanti” (ikatan kaum pahlawan).
Begitulah lahir perang dunia II. Kegagahan Soviet Rusia dalam peperangan anti fasis mengagumkan dunia Sosialisme menjadi lebih populer. Negeri-negeri fasis kalah. Menyerahnya Jepang, terlambatnya pendaratan Sekutu di Indonesia dipergunakan oleh rakyat pencinta kemerdekaan untuk mendirikan Republik baru yang merdeka sebagai pembukaan revolusi tanah jajahan. U S S R sebagai tanah proletar-proletar, U S S R dengan kekuatannya serta pengaruhnya sudah menjadi kenyataan dunia. Pergerakan tanah jajahan yang tadinya disokong sebagai revolusi dunia proletar, sekarang telah menjelma kenyataan revolusi tanah jajahan berupa perang kemerdekaan. Modal pemenang dalam perang dunia II, mempertahankan kedudukannya dengan menentang revolusi tanah jajahan. Revolusi tanah jajahan sebagai pasar dan sumber bahan industri mengacaukan produksi kemodalan, lebih-lebih banyak negeri-negeri pemenang masih di dalam keadaan rusak. Roda ekonomi kapitalis terhalang, boikot, demonstrasi, pemogokan, dan kerusuhan merajalela. Bila revolusi tanah jajahan beroleh pimpinan yang cerdas, berani, dan cakap maka pastilah revolusi tanah jajahan ini melahirkan revolusi sosial di negeri-negeri kapitalis. Konsolidasi revolusi tanah jajahan dan stabilisasi kemodalan sekarang berburu, beracu cepat, berebut waktu. Bila konsolidasi revolusi dapat mendahului stabilisasi kemodalan, maka dapat diramalkan berdirinya tanah-air proletar yang kedua dalam pagar blok ekonomi kemodalan yang terlemah. Sebenarnya, revolusi tanah jajahan memberi warna dan arah yang tertentu kepada kekacauan dan kegaduhan akhir perang dunia kedua. Kemungkinan terbayang, jalan terbuka, dibutuhkan sekarang para pelopor yang cerdas, cakap, ulet, dan berani mempergunakan pertentangan ekonomi, politik, dan sosial, nasional dan internasional.
Kedudukan proletar kian hari kian kuat. Dengan pengalaman-pengalaman kekuatan organisasi proletar dibantu oleh kodrat dalam tubuh masyarakat kemodalan sendiri melalui beberapa revolusi dunia bergerak ke arah sosialisme sebagai tingkatan pertama dari pada masyarakat komunisme.
Sosialisme lahir dari kandungan masyarakat kapitalis ibaratkan ayam dalam telur yang memutuskan kulit yang menjadi dinding ruang yang sudah terlampau sempit baginya. Anak ayam lahir dengan merusak, tetapi kerusakan tersebut ternyata membawa kemajuan, dari telur yang tak dapat bergerak lahir ayam yang dapat berlari. Begitulah sosialisme lahir dengan jalan revolusi proletar, dengan kerusakan-kerusakan yang membangun.
Revolusi ialah akumulasi (penggundukan) evolusi yang berturut-turut sehingga pun tidak terhindar dari hukum evolusi. Juga revolusi mempunyai evolusinya.
Masyarakat sosialisme lahir dari masyarakat yang lalu, dengan sendirinya kecuali menjadi waris dari kebudayaan hasil kemajuan dari masyarakat yang lalu masyarakat sosialis pun dalam tingkatan pertama masih banyak mengandung penyakit dari masyarakat yang lalu. Rasa perseorangan, penindasan, pemerasan, penipuan, suap, korupsi, pelacuran, kebodohan, takhayul, dll. sekalian itu penyakit masyarakat kapitalis akibat kepincangan produksi dan distribusi. Sekalian harus diatasi, diberantas dengan mencari keseimbangan antara produksi dan distribusi. Untuk melaksanakan kewajiban yang seberat itu, dibutuhkan negara proletar, alat di tangan kasta proletar untuk melindungi kepentingan dan kebutuhan proletar, alat di tangan kasta proletar untuk menindas bangsawan ningrat dan borjuis kapitalis.
Organisasi borjuis kapitalis dan sisa-sisa tuan-tuan tanah, bangsawan, dengan jatuhnya kekuasaan negara di tangan proletar belum serentak dapat disapu, dibinasakan. Untuk merebut kekuasaan kembali, mereka itu akan mempergunakan pengaruhnya serta sekalian pengikutnya dengan beranggar kebodohan rakyat untuk melakukan sabotase, provokasi, membikin kekeruhan dan kekacauan. Segala kelemahan masyarakat sosialis dalam tingkatan pertama akibat kerusakan-kerusakan dalam revolusi, seperti: kekurangan alat-alat produksi, tenaga ahli, kekalutan keuangan, serta kesulitan merubah adat istiadat rakyat dengan sekaligus, sekalian itu dengan cerdik pandai pasti dipergunakan oleh kontra-revolusi sebagai bahan anti-propaganda untuk mengejek, memaki, dan menertawakan dasar baru, pokoknya untuk merusak kepercayaan (credit) masyarakat sosialis. Kontra-revolusi pun tidak akan segan-segan menyebarkan orang-orangnya dalam partai proletar. Dan, dalam partai anasir-anasir kontra-revolusi mencoba merebut kedudukan yang penting akhirnya hanya untuk menyebar suap melakukan korupsi, pelacuran, akal-jalang (intriges) dll. dengan merk proletar. Dan, semua kecurangan dan kepincangan oleh kontra-revolusi dengan merk proletar itu digambarkan sebagai kegaduhan, kepalsuan, dan tidak kesanggupan revolusi untuk mengatur masyarakat. Demikianlah dengan hancurnya kekuasaan birokrasi kapitalis masihlah amat dibutuhkan birokrasi baru, birokrasi proletar untuk melindungi kepentingan dan kebutuhan proletar. Tuntutan menghancurkan segala macam birokrasi dengan sekali pukul dengan tidak mengingat keadaan pastilah akan diterima oleh pimpinan revolusi proletar sebagai tuntutan kontra-revolusi.
Keseimbangan produksi dan distribusi diusahakan dengan menghasilkan untuk kebutuhan masyarakat (bukan pasar) dengan tafsiran menurut rencana negara. Demikianlah berangsur diikhtiarkan untuk mempertinggi dan meratakan kemakmuran. Kemajuan teknik yang dapat membikin barang lebih cepat, lebih bagus, dan lebih murah tidaklah lagi mengakibatkan pengangguran, pengurangan, dan lain-lain. Kemakmuran teknik selalulah disambut dengan gembira karena mesin dalam masyarakat sosialis menjadi pembantu setia dari kaum pekerja, bukanlah sebaliknya. Pendapatan baru pun tidaklah perlu dirusak, karena menambah pengangguran, melainkan sekalian pendapatan baru dikumpulkan dan dipergunakan secepat mungkin untuk meringankan tenaga pekerja. Demikianlah, dalam masyarakat sosialis pengetahuan bukan lagi budak dan alat modal untuk mengacaukan dunia. Pengetahuan dalam masyarakat sosialis menjadi pembuka jalan kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan dalam arti yang sebenarnya.
Masyarakat sosialis menurut susunannya yang berlantai hak milik masyarakat atas alat-alat produksi tidak mengenal pemogokan dan pengangguran. Bekerja dalam masyarakat sosialis ialah suatu keharusan dan soal kehormatan, sekalian menjadi pekerja, bekerja menurut kecakapannya dan menerima kebutuhan hidup menurut jasanya. Perbedaan tsb. belum dapat dihapuskan seketika karena perimbangan antara produksi dan distribusi belum lagi tercapai. Kekayaan masyarakat harus diperbanyak, kemakmuran kaum pekerja harus dipertinggi. Dan, bila kemakmuran (kebutuhan hidup sudah dapat diratakan maka di sanalah masyarakat sudah matang untuk asas komunis, semua bekerja menurut kecakapannya dan semua menerima menurut kebutuhannya. Di sinilah baru tumbuh masyarakat sama-rata sama-rasa. Juga revolusi mempunyai evolusinya.
Dengan hilangnya pemogokan dan pengangguran, produksi dalam masyarakat sosialis dapat lancar berkembang. Roda ekonomi dapat berjalan dengan tidak terganggu. Pendapatan baru segera dipergunakan, kekayaan masyarakat tidak perlu dibuang-buang (untuk mempertahankan harga pasar). Kemakmuran dan kebudayaan lebih lancar diratakan dan dipertinggi. Titik berat “AKU” sudah bertukar menjadi titik berak “MASYARAKAT”. Prestige (kehormatan) dalam perebutan untung bertukar menjadi prestige dalam perlombaan merebut jasa terhadap masyarakat. Sekalian ini ialah bayangan dan hasil dari pada keadaan (ekonomi) yang bertukar.
Masyarakat sosialis dapat didirikan dimana rantai kapitalis-imperialis patah. Begitulah dalam perebutan kekuasaan itu kesempatan tidak terbagi rata di dunia ini. Maka negeri proletar yang baru berdiri harus berusaha untuk menjadi negeri yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, barulah negeri tsb. dapat mempertahankan kedudukannya. Negara tsb. harus cukup luas dan kaya bahan-bahan guna membangun negerinya untuk dapat menguasai dan mempergunakan pertentangan politik, ekonomi, dan sosial, nasional dan internasional sehingga menguntungkan tanah-air proletar. Daerah yang belum cukup luas perlu mencari perhubungan dalam satu gabungan dengan lain daerah sehingga dapat memenuhi syarat-syarat aksi.
Dalam masyarakat kapitalis perbedaan bahasa, kebangsaan, adat-istiadat, agama, dan lain-lain selalulah dipergunakan untuk membangkitkan pertentangan dan kekacauan, maka konsolidasi proletar dalam perebutan kekuasaan untuk menghancurkan kapitalis dan komplotannya patutlah membatalkan usaha kapitalis, dengan mencari dan mengumpulkan persamaan dengan memajukan dan memberi kemerdekaan bahasa, kebangsaan, adat-istiadat, agama, dll dalam satu kesatuan yang bersamaan, dalam satu gabungan merdeka yang bebas dan sederajat.
Kemajuan teknik dalam masyarakat sosialis yang tidak pernah disia-siakan melainkan selalu segera dipergunakan untuk meringankan beban kaum pekerja mempertinggi tenaga produksi. Masyarakat tidak akan ragu-ragu mempergunakan tenaga atom dalam pabrik-pabrik. Masyarakat sosialis tidak khawatir akan hantu pengangguran dan pemogokan. Dengan hebatnya, tenaga produksi itu melimpah hasil produksi. Ibaratkan orang mengisap hawa, begitulah manusia di jaman baru mengambil kebutuhan hidupnya. Bagi setiap anggota masyarakat terbuka banyak waktu dan kesempatan yang sama untuk mempertinggi kebudayaannya. Pendidikan tidak diperjual-belikan lagi. Pendidikan bukanlah barang monopoli suatu golongan lagi. Keadaan tersebut ekonomis dan sosial memungkinkan terlaksananya dasar semua orang bekerja menurut kecakapannya dan semua mengambil menurut kebutuhannya. Keadaan demikian itu dengan sendirinya menghilangkan arti politik dari negara, menghilangkan arti negara sebagai alat penindas. Perlahan negara luluh, hilang lenyap dengan sendirinya. Dalam masyarakat yang tiada berkasta tidak dibutuhkan negara lagi. Perkataan-perkataan dari masyarakat yang lalu seperti miskin, kaya, negara, dll itu mungkin tetap berlaku, tetapi arti dari semua perkataan itu sudahlah tentu berubah sesuai dengan keadaan yang berubah itu.
Sekianlah proses masyarakat dari Oer-Communisme ke Communisme modern. Dengan pemandangan sejarah bangun runtuhnya tiap-tiap tingkatan masyarakat itu semoga diperoleh latihan berpikir sekadar.
----------------------------------------------------
1. Mr. Abdul Madjid memajukan teori “janganlah main sita, kita hanya bermusuhan dengan negara Belanda, tidak dengan pengusaha-pengusaha penanam modal di Indonesia”
Mr. Abdul Madjid datang dari negeri Belanda sesudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus ’45. Di negeri Belanda, ia menjadi anggota C.P.N. Dengan mempergunakan reputasinya di jaman penggrebegan “Perhimpunan Indonesia” (P.I.) di negeri Belanda dimana ia ikut serta ditahan oleh pemerintah negeri Belanda dan dengan modal keanggotaan dari satu partai di negeri Belanda yang memakai nama komunis, Mr. Abdul Madjid pada permulaan revolusi beroleh pengaruh, juga di kalangan pemuda-pemuda yang pada umumnya masih kurang latihan politik.
Bagi orang yang cukup kritis sudahlah tentu dapat memahamkan kepincangan dari pada ajaran Mr. Abdul Madjid itu. Negara ialah alat di tangan kelas yang berkuasa untuk menindas kelas yang tidak berkuasa. Begitulah negara tidaklah dapat dipisahkan dari pada kelas modal yang sedang berkuasa.
2. Ketika rakyat mulai mengerti apa yang terjadi di belakang layar ajaran Mr. Abdul Madjid itu maka untuk dapat mempertahankan pengaruhnya, Mr. Abdul Madjid itu lalu memajukan teori baru: “Biarlah modal asing masuk, kita toh dapat membatasi pemasukan modal itu dengan organisasi Sarekat Buruh kita. Oleh karena itu, perkuatlah Sarekat Buruh”.
Pemasukan modal asing dan pengembalian kapitalisme kolonial di Indonesia pun berkelanjutan pemasukan dan pengembalian organisasi kapitalisme kolonial. Penyusunan Sarekat-sarekat Buruh dalam lingkaran rencana pemasukan modal asing dan pengembalian kapitalisme-kolonial sudah tentu beserta pengusiran anasir-anasir revolusioner dari kalangan Sarekat Sekerja yang berarti memperkuat infiltrasi kapitalis-kolonial dalam Sarekat-sarekat Buruh. Begitulah Sarekat-sarekat Sekerja bentukan Abdul Madjid dibanjiri oleh anasir-anasir reaksioner dan birokrat-birokrat (administratur-administratur pabrik yang korup).
Betapa mengecewakan Sarekat-sarekat Buruh bentukan Abdul Madjid itu ialah terbukti bahwa Sarekat-sarekat Buruh tersebut hanya dapat dipakai sebagai “backing” guna mengesyahkan Linggarjati pasal 14. Sarekat-sarekat Buruh bentukan Abdul Madjid amat menyedihkan dalam aksi-aksi yang berdasarkan kesadaran kelas. Hal ini sekali lagi terbukti dengan SOBSI-HARJONO dalam peristiwa Madiun.
3. Ketika sudah sulit bagi Abdul Madjid untuk beroleh kepercayaan dari pada rakyat terbanyak maka datanglah PAK ALIMIN dengan teori: “Lebih baik merdeka 50% dengan mesin dari pada merdeka 100% sonder mesin”
PAK ALIMIN (sebelum koreksi Musso) mengesyahkan penanaman modal asing dengan alasan industrialisasi Indonesia. Pendirian Alimin ini prakteknya mengorbankan dan memusuhi massa-aksi, yang sedang meluap, yang berarti menghancurkan tenaga subyektif yang amat dibutuhkan karena pendirian tersebut menyokong kapitalis-kolonial dan kaki tangannya yang sibuk membatalkan arus massa yang sedang meluap.
Pak Alimin terlalu tinggi menghargakan mesin dan terlalu meremehkan tenaga massa. Memang industrialisasi dapat dan harus dilakukan di atas lantai kemenangan perjuangan massa, bukan dan tidak boleh dilakukan di atas lantai massa yang sudah dilumpuhkan gerak-langkahnya. Hanya industrialisasi yang berdiri di atas lantai kemenangan massa yang dapat menguntungkan massa karena massa yang berdiri di atas lantai kemenangan perjuangannya pasti cukup mempunyai syarat-syarat (yang digembleng dan tergembleng dalam perjuangan) guna memiliki, menguasai, memelihara, memungut, dan mempergunakan industri dan hasil-hasilnya. Industrialisasi di atas lantai massa yang sudah dilumpuhkan gerak langkahnya, tidak akan dapat menguntungkan massa karena kekuatan untuk memiliki, menguasai, memelihara, memungut, dan mempergunakan industri dan hasil-hasilnya tidak ada pada massa yang sudah lumpuh itu sehingga industri semacam itu hanya menguntungkan kapitalis imperialis dan kaki-tangannya semata-mata.
4. Menjelang penyerahan kedaulatan Amsterdam Drs. Moh. Hatta menyatakan pendiriannya: “Titik berat perjuangan kita ialah mencapai kemakmuran rakyat sebab kemerdekaan itu tidak akan ada artinya dengan tidak adanya kemakmuran rakyat... janganlah menghukum pemerintah sebagai bersifat kapitalis atau condong kepada aliran-aliran kapitalisme bila pemerintah melakukan pinjaman luar negeri”.
Drs. Moh. Hatta hendak mencapai kemakmuran rakyat melalui KMB dan selanjutnya hendak dicapai kemakmuran itu dengan pinjaman luar negeri KMB dan hasilnya ialah kembalinya kapitalisme kolonial di bawah kekuasaan modal raksasa Amerika. Sudah tentu yang dimaksud dengan luar negeri itu ialah praktis Amerika.
Dalam KMB sebagian besar ruang hidup nasional sudahlah praktis diserahkan kepada modal Amerika. Ruang hidup nasional yang sudah disempitkan dalam KMB itu lalu hendak diperluas dan mencari pinjaman dari Amerika. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa Drs. Moh. Hatta hendak membatasi (jangan dikatakan mengusir) modal Amerika yang ditanam di Indonesia yang memakai alamat terang asing dengan modal Amerika yang ditanam di Indonesia dengan alamat merah-putih. Sudah tentu muslihat ini akan menimbulkan salah ukur semata-mata karena:
a. Indonesia tidak mempunyai modal partikelir nasional yang berarti.
b. Dengan pengembalian kapitalisme kolonial di Indonesia modal negara Indonesia sudah kehilangan pangkal.
c. Dalam menghadapi oposisi revolusioner dari rakyat Indonesia, modal Amerika baik yang beralamat terang asing, maupun yang beralamat merah-putih itu tentulah bersatu.
5. Ir. Sukarno dan Drs. Hatta mengajarkan: “Mahkota hanyalah simbol belaka yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Mahkota hanya seremoni. Janganlah terlalu didaya sentimen”.
Dalam perundingan dengan delegasi Indonesia yang dikepalai oleh Sjahrir, Schermerhorn sebagai ketua delegasi Belanda amat berkeras kepala dan mengancam mengenai Mahkota: “Saya lebih baik pulang, tidak perlu berunding-runding, bila memang Mahkota Belanda tidak dapat diterima oleh pihak Indonesia”.
Mahkota bukanlah soal sentimen. Mahkota ialah soal prinsipil bagi Belanda. Bagi Belanda, Mahkota ialah soal birokrasi dan organisasi. Dengan birokrasi Mahkota, Belanda hendak mendisiplin pemerintah Republik Indonesia (Serikat), janganlah pemerintah Republik berkesempatan memihak kepada rakyatnya yang hidup melarat di tanah-airnya yang kaya raya ini, yang sudah tentu seratus delapan puluh derajat berlawanan kepentingan dan kebutuhannya dengan modal Belanda (bacalah agen Amerika).
6. Sepulangnya dari pengasingan Bangka Bung-Hatta berpendirian: “Kedaulatan Republik kian hari kian kuat. Arti Republik tidak tergantung dari pada luas sempitnya daerah. Pemerintah belum pernah melepaskan cita-cita kemerdekaan. Pemerintah selalu memimpin rakyat ke arah kemerdekaan”.
Pendirian perdana menteri Moh. Hatta ini dibarengi lagu Indonesia Raya dan berkibarnya Sang Merah-Putih di pelosok-pelosok seluruh kepulauan Indonesia sungguh mudah menimbulkan salah ukur. Perdana Menteri Moh. Hatta dengan pendiriannya tsb. hendak mendidik rakyat untuk mempersiapkan diri menyambut hari tgl. 28 Desember 2949, hari penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda. Kemerdekaan nasional yang dipermaklumkan pada tgl. 17 Agustus ’45 yang sebenarnya hanya menuntut pengakuan, akhirnya dilancung dengan anugerah kedaulatan dari tangan Mahkota Belanda dalam lingkaran Mahkota Belanda. Demikianlah didapat kedaulatan yang bukan kedaulatan.
7. Mr. Moh. Yamin oposan individualis yang sudah menyeberang mengajarkan: “KMB tidaklah bertentangan dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus ‘45”.
Mengikuti ajaran Mr. Moh. Yamin ini amatlah berbahaya karena dengan ajaran tersebut orang lalu berpendapat bahwa pokoknya kita beroleh kedaulatan, entah kedaulatan itu dianugerahkan atau kita rebut. Tentang isi kedaulatan itu lalu kurang diperhatikan, kurang dipusingkan. Sikap demikian ini amat berbahaya, lebih-lebih kedaulatan KMB semata-mata kedaulatan dari pada monopoli modal asing di daerah kepulauan Indonesia. Memang amatlah jauh berbeda, kedaulatan yang kita rebut ialah kedaulatan yang penuh lagi tidak bersyarat, sedangkan kedaulatan yang dianugerahkan ialah kedaulatan yang tidak penuh lagi bersyarat.
8. Sebelum KMB, Bung Karno-Hatta menjanjikan: “Indonesia Merdeka yang berdaulat penuh, tidak bersyarat akan diperoleh dalam KMB”
Sesudah KMB, Bung Karno-Hatta terutama memperingatkan bahwa perjuangan kita belum selesai, kedaulatan kita masih perlu diisi dan disempurnakan.
Mr. Moh. Yamin: “Irian lebih mudah kita rebut dengan RIS dari pada sonder RIS” Teori Yamin ini lalu diolor orang menjadi: “Kemerdekaan lebih mudah diisi dengan RIS dari sonder RIS”.
Kalau disimpulkan, maka pendirian Bung Karno-Hatta dan Yamin tak kurang dan tak lebih dari pada harapan untuk mempergunakan RIS sebagai batu loncatan. Timbullah pertanyaan dalam tiap-tiap dada patriot Indonesia sekarang “siapakah yang mempergunakan dan menguasai batu loncatan itu?” Hasil-hasil KMB sudah memberi jawaban atas pertanyaan itu. RIS dikendalikan langsung atau tidak langsung oleh birokrasi Mahkota Belanda (sekali pun mempergunakan istilah berunding sebagai Unie-partners) dan dikuasai penuh oleh modal raksasa Amerika. Demikianlah RIS menjadi batu loncatan dari pada modal raksasa Amerika guna menghadapi perjuangan revolusioner anti-kapitalis-imperialis.
9. Menghadapi pendaratan Sekutu Bung Karno-Hatta berpendirian: “Kita tidak berperang dengan Sekutu, Inggris datang sebagai wakil Sekutu semata-mata hanya untuk melucuti senjata Jepang dan mengurus tawanan Eropa. Begitulah mereka harus diberi daerah istimewa... dan lagi sebenarnya kita tidak atau belum mempunyai kekuatan cukup untuk melucuti senjata Jepang dan menghadapi angkatan perang Sekutu. Jangan mengikuti nafsu, pakailah perhitungan”.
Republik Indonesia yang dipermaklumkan itu berdasarkan kekuatan massa. Dengan memberi hak tentara penjajah melakukan kewajiban di kepulauan kita yang sebenarnya menjadi tanggungan dan hak Republik sendiri, Bung Karno-Hatta formil dan riil telah meninggalkan dasar kekuatan massa untuk selanjutnya bersandar kepada kekuatan tentara penjajah semata-mata. Berdiri pada kekuatan penjajah perlahan dengan teratur Republik dibawa ke arah kepentingan dan kebutuhan penjajah, kian hari kian jauh dan dijauhkan dari pada kepentingan dan kebutuhan massa Indonesia, kian dalam terlibat dalam pertahanan penjajah anti kemerdekaan.
10. Menghadapi tentara penjajah yang kian hari kian dalam dan mendalam masuk di daerah kepulauan kita maka Sjahrir, kini ketua Partai Sosialis Indonesia (sosialis kanan) memajukan teori: “Biarlah tentara penjajah merajalela di tanah-air kita, asalkan kekuasaan tetap di tangan kita”.
Cara berpikir yang nista ini akhirnya menjadi sumber sebab alasan yang memberi kebebasan kepada tentara penjajah untuk bergerak di daerah kepulauan Indonesia yang sudah mempermaklumkan kemerdekaan itu. Begitulah penjajah berkesempatan mengatur persiapan untuk membikin Indonesia sebagai benteng penjajah. Anggapan bahwa kekuasaan dan alat kekuasaan dapat dipisahkan itu adalah anggapan yang salah.
11. Menghadapi putarnya roda pembentukan benteng penjajah yang amat lancarnya, Sjahrir mencari tutup luka dengan teori: “Betapa pun hebatnya kekuatan subyektif yang ada pada kita, tetapi masih tergantung kepada kekuatan-kekuatan obyektif di luar kita. Perimbangan antara subjectiviteit dan objectiviteit harus ada”.
Bagi orang yang cukup kritis tentulah tidak akan memandang teori perimbangan antara subjectiviteit dan objectiviteit itu sebagai teori, melainkan akan melihat teori tersebut dalam hubungannya dengan pembentukan benteng anti-kemerdekaan seperti sudah tersebut di atas. Teori tersebut tidak diajukan oleh Sjahrir berdasarkan kekuatan massa tempat kaki Republik berdiri, melainkan diajukan dengan bersandar kepada kekuatan tentara penjajah hingga menjadi ilham perlucutan rakyat berjuang. Kekuatan akhirnya bukanlah untuk menambah yang ada dengan melemahkan kekuatan penjajah, melainkan kekuatan dipersatukan dengan kekuatan penjajah untuk mengurangi kalau tidak menghancurkan tenaga yang ada pada kita.
12. Pada tanggal 28 Desember ’49 Indonesia menerima “kedaulatan” dari tangan mahkota Belanda dalam lingkaran mahkota Belanda. Bendera Belanda diturunkan, Sang Dwi-warna dinaikkan. Berangsur-angsur Belanda meninggalkan daerah-daerah untuk menyerahkan keamanan daerah-daerah tersebut kepada TNI... dll. Mr. Moh. Yamin menamakan hasil-hasil KMB ini sebagai kemenangan diplomasi.
Bagi orang yang kurang beroleh latihan politik, menilik hasil-hasil KMB itu, lalu mudah memuji politik penyerahan sekarang dan yang lalui itu sebagai satu kebijaksanaan yang patut dipuji. Subyektif kita dilemahkan dan melemahkan diri dan selanjutnya politik pemerintah bergantung dan menggantungkan diri kepada dunia internasional semata-mata. Sikap yang bergantung dan menggantungkan diri kepada dunia internasional ini akhirnya merosotkan Republik Indonesia dari pemain yang dikagumi oleh dunia menjadi mata permainan yang tak berdaya, yang 100% tergantung kepada kebutuhan pemain. Ada pun pemain Amerika menilik kemajuan pergerakan Komunis di Tiongkok dan Asia Tenggara membutuhkan Indonesia sebagai benteng anti-komunis. Sebenarnya, bukan barang kebetulan adanya putusan KMB yang memperbolehkan angrem-nya tentara penjajah di Surabaya dan melepaskan Irian sekali pun dengan istilah sementara.
13. Insyaf akan kegelisahan rakyat mengenai kedaulatan yang bersyarat yang dipermaklumkan sebagai kedaulatan yang tidak bersyarat itu, maka Drs. Moh. Hatta, sekarang perdana menteri RIS, memajukan amanat: “Peganglah dulu apa yang dapat dipegang”.
Mengingat mundurnya (tentara) Belanda yang berangsur-angsur maka justru tampak arti dari pada angkatan perang penjajah di Surabaya dan Irian. Angkatan perang penjajah tersebut paling sedikit menjadi pengawas dan jaminan bagi penjajah sampai dimana Republik dapat dilibatkan dalam pertahanan anti kemerdekaan. Surabaya dan Irian menjadi markas tentara penjajah untuk mendisiplin TNI dalam lingkaran pertahanan Kapitalis-Imperialis yang dipelopori oleh Amerika.
14. Sutardjo Kartohadikusumo, Ketua Dewan Pertimbangan Agung, telah mendesak kepada Republik Indonesia untuk membubarkan diri. Pembubaran tersebut dipandang sebagai jalan mutlak untuk melaksanakan paham kesatuan (unitarisme) di seluruh daerah kepulauan Indonesia. Agar lebih banyak menarik perhatian, maka desakan Sutardjo disambut dengan penuh semangat oleh oposan-individualis yang sudah menyeberang, Mr. Moh. Yamin.
Rupa-rupanya sudahlah tiba pada waktunya bagi kaum likuidator baik yang bersembunyi di pemerintahan maupun yang pura-pura beroposisi untuk berterus-terang maju sebagai jagal banteng Republik Indonesia
a. Kalau memang hanya unitarisme yang diributkan maka bukankah Republik Indonesia yang dipermaklumkan tanggal 17 Agustus ’45 itu sudah berbentuk kesatuan?
b. Negara-negara RIS seperti Pasundan, Sumatera, Timur, dll negara-negara boneka bentukan penjajah untuk memusuhi Republik Indonesia yang dibentuk oleh rakyat. Sudah barang tentu bila memang hanya unitarisme yang diributkan maka sudah pada tempatnya untuk membubarkan negara-negara boneka itu. Pembubaran negara-negara boneka tersebut akan disambut oleh rakyat sebagai kemenangan moril yang tiada sedikit manfaatnya guna menambah kegiatan berjuang.
c. Bagi orang-orang yang mengaku memasuki badan-badan bentukan penjajah itu hanya sebagai taktik untuk menutupi aktivitas 17 Agustus maka pembubaran negara-negara boneka tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi dengan sendirinya menjadi keharusan karena hal tersebut berarti efisiensi. Juga dari sudut ini bukan Republik Indonesia yang perlu dijadikan sasaran pembubaran.
d. Pembubaran Republik Indonesia yang dibentuk oleh rakyat dengan korban-korban yang tidak sedikit yang tergurat dalam-dalam di dalam tradisi perjuangan rakyat, pasti akan dirasakan oleh rakyat terbanyak yang sudah berkorban itu sebagai kekalahan moril yang berkelanjutan kelesuan semangat, jiwa lara yang tiada mudah diatasi begitu saja.
e. Memang untuk melaksanakan paham unitarisme di daerah kepulauan kita sekarang terbuka dua jalan.
I. Melaksanakan unitarisme (paham kesatuan) berlantai kemenangan rakyat.
II. Melaksanakan unitarisme (paham kesatuan) berlantai kekalahan rakyat.
Kalau memang hanya unitarisme yang diributkan oleh Sutarjo dan Yamin maka sebenarnya bagi seorang patriot hanya ada satu jalan, yaitu jalan pertama, jalan yang hendak melaksanakan unitarisme berlantai kemenangan rakyat.
f. Dikemukakan oleh golongan yang berkepentingan keras untuk membubarkan Republik Indonesia, bahwa jalan pertama sudahlah terlambat, karena Republik Indonesia formil sudah menyerahkan kedaulatan kepada RIS:
I. Formil memang demikianlah keadaannya, tetapi riil Republik Indonesia hingga kini masih terpandang sebagai pelopor. Dengan tiada membuang waktu, panitia-panitia gerakan kesatuan (attantie: yang menempuh jalan pertama) masih dapat diusahakan sebagai inisiatif rakyat yang tiada dapat dan tidak boleh dilarang oleh undang manapun juga.
II. Perlu pula diperhatikan bahwa penyerahan kedaulatan Republik kepada RIS dilakukan secara paksa dengan tidak memberi kesempatan kepada rakyat untuk berunding dan memahamkan soal tersebut dengan seksama dalam kalang yang seluas-luasnya. (Ingat, bahwa pembatasan bersidang dan berkumpul, dan hak-hak demokrasi lain hingga kini belum pernah dicabut). Sekalian ini justru mengecilkan arti formalitas yang berlaku dan membesarkan realitas yang sedang menjadi junjungan rakyat itu.
III. Bila hanya formalitas belaka yang dijadikan alasan untuk membatalkan jalan pertama maka berapa lamanya melakukan formalitas pengembalian kedaulatan Republik Indonesia? Hanya formalitas yang menjadi bayangan realitas patut dihargakan. Formalitas yang tidak menjadi bayangan realitas tidak perlu dipusingkan.
g. Ada lagi yang mengeluh, jalan pertama terlalu lambat dan amat sukar ditempuh. Justru keluh tersebut ialah saringan yang kaprah (natuurlijk) untuk mengetahui siapa kawan, siapa lawan rakyat. Barang siapa semata-mata mempertahankan kedudukan sekali pun dengan menambah beban rakyat dan memberi pukulan moril kepada rakyat sudah terang tidak dapat terhitung kawan rakyat.
----------------------------------------------
Tiga aliran adalah berpengaruh dalam masyarakat Indonesia. Aliran-aliran tadi ialah Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme. Demikianlah untuk mendapatkan kekuatan di Indonesia, baik golongan penjajah maupun anti-penjajah tidak dapat mengabaikan adanya tiga aliran tersebut. Penjajah tak segan-segan pula mempergunakan tiga aliran itu guna mencari pengikut di kalangan rakyat terbanyak sebagai backing maksud jahat penjajah di kepulauan ini. Sebaliknya, kaum anti-penjajah merasa perlu mengkoordinir tiga aliran itu sebagai sumber kekuatan melawan penjajah. Pertentangan antara penjajah dan terjajah terbayang dan membayang dalam nasionalisme dan komunisme di Indonesia ini.
1. Kita masih ingat waktu Linggarjati menjadi persoalan. PNI-Mangoensarkoro menolak Linggarjati; PNI-Gani menerima Linggarjati; Masyumi-Soekiman/Abikoesno menentang Linggarjati; Masyumi-Roem/Agus Salim membela Linggarjati. ACOMA melawan Linggarjati, sedangkan PKI membela Linggarjati.
2. PNI-Mangoensarkoro menolak Renville; PNI-Gani menerima Renville. Masyumi-Soekiman/Abikoesno menentang Renville; Masyumi-Roem/Agoes Salim tidak menentangnya. Malahan dengan pertimbangan bahwa Roem dan Agoes Salim sudah kalah pengaruh dari Soekiman dalam Masyumi maka sampai perlulah Amir Sjarifudin (Perdana Menteri Pencipta Renville) mencari backing di kalangan Islam dengan ikhtiar menyokong hidupnya kembali Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dengan Pimpinan Wondoamiseno dan Aroedji yang menyokong Politik Renville. Selanjutnya, ACOMA melawan Renville; PKI membela Renville.
Setelah persetujuan RR dan KMB, keadaan dengan partai-partai di atas agak berbeda. PNI dengan penuh kebulatan berdiri di belakang persetujuan Roem-Royen dan KMB. Mangoensarkoro/Sartono-Gani dan Hadinoto sekaliannya sudah sama acc. Begitu pula halnya dengan Soekiman/Abikoesno, Roem dan Agoes Salim. Empat orang pemimpin Islam ini pun dapat bersatu. Mengenai pemimpin-pemimpin Islam ini perlu sedikit penjelasan:
Setelah Soekiman menjadi Menteri, maka Soekiman yang anti Linggarjati-Renville bersemboyan: “Nasi sudah menjadi bubur, bagaimanakah sekarang supaya bubur dapat menjadi ketupat”. Dengan semboyan ini, Soekiman bersatu kembali dengan Roem dan Agoes Salim dalam Masyumi. Kerja bersama dengan PNI, lalu diadakan PNI-Masyumi melaksanakan Linggarjati-Renville.
Waktu masih dalam penjara, Abikoesno memprotes keras mengapa namanya tercantum dalam pimpinan PSII yang pro-Renville itu. Ia menerangkan bahwa ia tidak ada sangkut-pautnya dengan PSII baru itu.
Keluar dari tahanan Abikoesno menghampiri PSII, masuk dalam PSII dengan mengoreksi haluan PSII. Setelah koreksi Abikoesno, PSII berhaluan revolusioner dan menuntut pembatalan Linggarjati-Renville.
1. Setelah mengalami tahanan Belanda pada waktu aksi polisioneel II, maka Abikoesno kemudian memimpin PSII untuk membela persetujuan RR dan KMB.
2. Bekas anggota PSII lama; Kartosoewirjo berhaluan lain. Bila kawan-kawannya Wondoamiseno dan Aroedji membangun kembali PSII dengan haluan Renville maka Kartosoewirjo menolak Renville dan malahan mempermaklumkan Negara Islam Indonesia (Daroel Islam). Setelah persetujuan RR dan KMB sampai sekarang, Kartosoewirjo masih meneruskan kegiatannya berdasarkan DI melanjutkan gerilya.
Setelah koreksi Moeso, PKI berubah haluan. Politik Linggarjati-Renville diakui kesalahannya. Begitulah PKI berdasarkan koreksi tersebut lalu menolak persetujuan RR dan KMB. Setelah mengalami pembersihan dalam rumah tangganya, sudah tentu PKI dapat bertemu dengan ACOMA yang sesuai dengan politiknya yang anti Linggarjati-Renville itu juga menolak persetujuan RR dan KMB.
Kebulatan kaum nasionalis yang berpusat kepada PNI untuk bekerja berdasarkan pedoman dan hasil KMB sedikit banyak dapat dijadikan ukuran berapa jauh Amerika telah berhasil menarik nasionalisme Indonesia dalam pertahanan anti-Komunis. Hal itu bukan berarti bahwa semua nasionalis sudahlah condong kepada Amerika karena tidak semua nasionalis tergabung dalam PNI.
1. Sebagai contoh, dapatlah pula disebut misalnya BPRI; BPRI ialah himpunan Nasionalis. Sekali pun di masa yang lalu BPRI berhaluan amat oportunis, tetapi bagaimanapun halnya BPRI sekarang sebagai himpunan nasionalis berpendirian lain dari pada PNI, BPRI sebagai himpunan nasionalis menolak KMB.
2. Bila Manai Sophiaan anggota Dewan Partai PNI lebih suka menaruh PNI dalam golongan sosialis dari pada golongan nasionalis maka dapatlah golongan nasionalis, hanya saja bila PNI dimasukkan dalam golongan sosialis maka PNI ialah sosialis yang paling kanan, tetapi bila Partai Murba dimasukkan golongan nasionalis maka partai Murba masuk golongan nasionalis revolusioner yang menolak KMB.
3. Alhasil juga sampai sekarang masih ada kaum nasionalis yang tidak setuju dengan gerak-gerik PNI alias Amerika belum berhasil menarik semua nasionalis Indonesia dalam lingkungan siasatnya. Sepanjang proses sejarah lambat-laun PNI bagian bawahan, terutama dari buruh rendahan dan tani melaratnya pasti akan mengadakan oposisi terhadap kaum priayi yang menjadi kemudi PNI itu.
Masyumi dan PSII sudah sepaham dalam menghadapi modal raksasa Amerika. Kedua partai Islam itu sudah sehaluan dan berdiri di belakang modal raksasa Amerika. Sebaliknya, hingga kini Darul Islam masih menunggu penyelesaian. Masyumi dalam kongresnya yang akhir-akhir ini mendesak penyelesaian secara damai mengenai Darul Islam. Dengan “backing” kongres Masyumi tersebut, pemerintah RIS pun sudah membentuk panitia ke arah penyelesaian ini. Eratnya hubungan antara Abikoesno serta Wondoamiseno dengan Kartosuwirjo dalam tradisi pimpinan perjuangan PSII dimana yang lalu menjadi bahan pemerintah RIS yang menimbulkan harapan.
Andaikan DI dapat di “RIS-kan” dan andaikan PSII Kartosuwirjo dapat dibela oleh PSII Abikoesno mengikuti konsepsi KMB, bolehkah dengan ini ditarik kesimpulan bahwa Amerika telah berhasil menarik Islamisme untuk kepentingan dan kebutuhannya? Dijawab: “tidak!” masih banyak orang Islam yang bergabung dalam Masyumi, PSII, dan DI. Terutama buruh rendahan dan tani melarat Indonesia yang beragama Islam pasti sepanjang penindasan modal raksasa Amerika akan melakukan oposisi terhadap saudagar-saudagar dan tani kaya yang beragama Islam yang telah dapat dijadikan pembantu-pembantu modal raksasa Amerika itu. Perpecahan antara juragan-juragan batik dan kaum pertengahan di satu pihak dan buruh rendahan dan tani melarat di lain pihak di jaman Sarekat Islam patutlah dijadikan contoh.
Proses di kalangan kaum komunis berlaku sebaliknya. Kaum komunis Indonesia kini sudahlah sepaham menentang modal raksasa Amerika. Andaikan kaum komunis tidak mau bersatu, mereka toh terpaksa bersatu karena keadaan mereka sudah payah terdesak dalam satu penjuru yang amat sempitnya dengan kemenangan modal raksasa Amerika di kepulauan Indonesia ini. Kemenangan modal raksasa di Indonesia berangsur-angsur “Mendidik” kaum komunis untuk mengatasi kesulitan-kesulitan akibat perselisihan dimana yang lalu dan berangsur-angsur pastilah tercapai tidak hanya kebulatan strategi, tetapi pula kebulatan organisasi dalam satu partai persatuan komunis.
Pertentangan antara penjajah dan terjajah terbayang dan membayang dalam nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme di Indonesia. Kaum anti penjajah merasa perlu mengkoordinir tiga aliran itu sebagai sumber kekuatan melawan penjajah. Dalam tingkatan sekarang, dimana modal raksasa Amerika (anti-komunis) sudah langsung mencampuri urusan dalam negeri Indonesia maka koordinasi tiga aliran tersebut hanya mungkin terjadi antara komunis, Islamis pro-komunis, dan nasionalis pro-komunis. Islamis anti-komunis dan nasionalis anti-komunis dengan terbuka dan tertutup langsung tidak langsung sudah menjadi pembantu-pembantu modal Amerika, membela front kapitalis-imperialis untuk memusuhi front kemerdekaan-rakyat.
Penjajah tak segan-segan pula mempergunakan tiga aliran tersebut guna mencari pengikut di kalangan rakyat terbanyak sebagai “backing” maksud jahat penjajah di kepulauan ini. Agen-agen penjajah yang berbaju komunis dalam 4 tahun revolusi sudah cukup disinyalir. Dalam tingkatan sekarang sudah tak mungkin bagi penjajah untuk melakukan siasat yang berbaju komunis. Bila hal itu sekarang masih mungkin, maka siasat tersebut hanya membawa manfaat yang amat terbatas sekali. Begitulah dengan terang-terang penjajah melakukan anti-propaganda terhadap komunis dan giatlah penjajah meracuni nasionalisme dan Islamisme agar kedua aliran tersebut membenci dan mengutuki komunisme sebagai paham yang mengacau dan munafik yang perlu dibasmi.
Dengan berdirinya RIS sebagai hasil siasat modal raksasa Amerika maka giatlah dilakukan anti-propaganda terhadap komunisme ini. Sepanjang proses sejarah akhirnya sudahlah pasti pengikut-pengikut Amerika itu akan terbatas kepada nasionalis dan Islamis yang bertingkat saudagar dan tani kaya. Nasionalis dan Islamis dari tani melarat dan buruh rendahan perlahan dan dengan tidak terasa didorong oleh nasibnya tahu-tahu sudah menjadi pro-komunis. Dan, memang kandidat (pro)-komunis didapat dari tani melarat dan buruh rendahan itu.
Mengetahui bahaya meluasnya komunisme di antara tani melarat dan buruh rendahan maka dari sudut modal perlulah susunan komunis dikacaukan, tidak cukup dengan anti propaganda semata-mata, melainkan pula dengan provokasi yang hebat hingga buruh dan tani melarat Indonesia menjadi organisasichuw, takut untuk berorganisasi. Provokasi semacam itu bukanlah barang baru di Indonesia. Kita masih ingat provokasi “Peristiwa 3 Juli”, “pemogokan Delanggu dan peristiwa Madiun”. Sekarang, misalnya, terdapat organisasi Ratu Adil Persatuan Indonesia (RAPI) dengan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh algojo Westerling. Penggerutuan rakyat dijadikan bahan kekeruhan begitu rupa hingga semata-mata menambah keruwetan angan-angan buruh rendahan dan tani melarat yang sudah lama menuntut perbaikan nasib itu. Dengan cara begitu, diharapkan supaya organisasi, agitasi, dan cara bekerja komunis diterima oleh buruh dan tani melarat dengan penuh keraguan. Dengan angan-angan yang sudah terlalu dikeruhkan dan dengan banyaknya korban-korban provokasi buruh rendahan dan tani melarat yang banyak buta huruf itu, lalu kurang dapat memperbedakan mana emas, mana loyang. Tetapi semua itu adalah terbatas, juga penipuan dan pemalsuan yang dilakukan oleh kapitalis imperialis dan agen-agennya itu adalah terbatas... lagi pula, bukanlah justru penipuan dan pemalsuan yang banyak dilakukan itu membuktikan berharganya komunisme? Kenyataan tersebut pasti menjadi sumber sebab bertambahnya pengaruh komunisme.
Alhasil, dengan kemenangan modal Amerika di Indonesia, perjuangan kita menjadi lebih prinsipil, membutuhkan warna yang lebih terang. Sekarang, tinggal orang pilih satu antara dua, pro ataukah anti-komunisme. Putar-putar lagi makin hari makin sulit. Dilaporkan bahwa bila di jaman pembuangan Hindia-Belanda di Bengkulu, Bung Karno dapat berkata: “Saya nasionalis, saya Islamis, saya Marxis”, maka Bung Karno sekarang selaku Presiden RIS dalam ikatan modal raksasa Amerika hanya dapat berkata dan bertindak sebagai anti-komunis. Dan sebagai penutup, saya bertanya; bagaimana dan dimanakah saudara sekarang? Saya komunis!!
TAMAT