Resolusi Central Komite Partai Komunis Indonesia, (Penerbit Yayasan "Pembaruan" Jakarta)
Sesudah beberapa kali ada diusulkan kepada Yayasan "PEMBARUAN" untuk menerbitkan Resolusi CC PKI: "Kewajiban Front Persatuan Buruh", sebagai brosur. Pada mulanya kami merasa bimbang untuk menerbitkannya, karena menduga, bahwa Resolusi CC PKI ini tentunya sudah diperbanyak oleh organisasi-organisasi Partai di daerah. Tetapi sekarang ternyata desakan yang keras kepada kami untuk menerbitkannya tidak saja datang dari organisasi-organisasi Partai di daerah, tetapi juga dari kalangan umum di luar PKI.
Disamping itu, pengalaman menunjukkan bahwa kaum buruh biasa yang sudah memahami isi "Kewajiban Front Persatuan Buruh" ini menjadi lebih yakin akan kebenaran tuntutan-tuntutan dan aksi-aksinya selama ini, dan bisa menyangkal keterangan-keterangan yang menyesatkan yang bertujuan memfitnah gerakan klas buruh pada umumnya.
Atas dorongan permintaan dan kesadaran akan pentingnya "Kewajiban Front Persatuan Buruh" ini bagi kaum buruh umumnya, maka kami terbitkan ia sebagai brosur, dengan pengharapan akan betul-betul menjadi senjata bagi setiap buruh di dalam perjuangannya sehari-hari.
Penerbit.
Jakarta, Juli 1952.
Untuk menetapkan apakah kewajiban front buruh Indonesia di tengah-tengah perjuangan seluruh Rakyat Indonesia untuk mencapai perbaikan nasib, mencapai kemerdekaan nasional dan untuk menjamin perdamaian dunia yang abadi, tidak bisa dipisahkan daripada meninjau hubungannya dengan keadaan ekonomi dan politik Indonesia dewasa ini.
Di zaman penjajahan Belanda ekonomi Indonesia adalah ekonomi kolonial. Ini berarti bahwa kedudukan ekonomi Indonesia ketika itu ialah: 1) sebagai sumber bahan mentah; 2) sebagai sumber tenaga buruh yang murah; 3) sebagai pasar buat menjual hasil-hasil produksi negeri-negeri kapitalis; 4) sebagai tempat investasi (penanaman) modal asing. Ini berarti bahwa Indonesia tergantung dari export bahan-bahan mentah (timah, bauksit, karet, dll. hasil perkebunan, dsb.) dan import barang keperluan hidup (textil, sepatu, sepeda, dsb.).
Susunan ekonomi kolonial mengakibatkan Indonesia tidak mempunyai industri sendiri yang bisa mengerjakan bahan mentahnya guna memenuhi kebutuhan Indonesia. Ini berarti bahwa di lapangan ekonomi Indonesia tergantung dari luar negeri, dan dengan demikian tidak mungkin ada perkembangan modal nasional dan industri nasional.
Ekonomi kolonial ini dipertahankan oleh imperialis Belanda dengan bantuan penanam modal asing lainnya di Indonesia dengan suatu politik kolonial yang dalam prakteknya bersifat setengah-fasis. Politik kolonial ini ditujukan untuk menindas gerakan Rakyat yang menuntut kemerdekaan sebagai jaminan guna penyusunan ekonomi nasional. Terutama gerakan buruh dan Partai Komunis Indonesia, sebagai partainya klas buruh, mendapat rintangan yang paling besar dari pemerintah kolonial. Bagi pemimpin-pemimpin gerakan melawan imperialis Belanda disediakan rumah penjara dan konsentrasi kamp Digul.
Menurut perhitungan tahun 1930 (statistik Hindia Belanda), penduduk Indonesia yang hidup dari upah berjumlah lebih kurang 6.000.000 (enam juta). Dalam jumlah ini sudah dimasukkan buruh musiman (seizoen arbeiders) yang sangat besar jumlahnya dan bekerja di perkebunan-perkebunan atau di pabrik-pabrik gula. Buruh musiman ini umumnya terdiri dari buruh tani dan tani miskin, yaitu penduduk desa yang sama sekali tidak mempunyai tanah garapan atau mempunyai tanah tetapi sangat sedikit. Di antara 6 juta kaum buruh itu, antara lain terdapat setengah juta buruh modern terdiri dari: 316.200 buruh transport, 153.100 buruh pabrik dan bengkel, 36.400 buruh tambang timah kepunyaan pemerintah dan partikulir, 17.100 buruh tambang batubara kepunyaan pemerintah dan partikulir, 29.000 buruh tambang minyak, 6.000 buruh tambang emas dan perak kepunyaan pemerintah dan partikulir. Selainnya adalah buruh pabrik gula, buruh perkebunan, berbagai golongan pegawai negeri (termasuk polisi dan tentara), buruh industri kecil, buruh lepas dsb. Perlu diterangkan bahwa yang terbesar ialah jumlah buruh industri kecil (2.208.900) dan buruh lepas (2.003.200). Dari angka-angka ini jelaslah bagi kita, bahwa baru bagian yang sangat kecil dari buruh Indonesia (setengah juta) yang sudah berhubungan dengan alat-alat produksi modern, sedangkan bagian terbesar belum berhubungan dengan alat-alat produksi modern dan masih erat hubungannya dengan pertanian.
Pemerintah Hindia Belanda telah sangat menekan perkembangan gerakan buruh. Ini kelihatan antara lain dari kenyataan sbb.: statistik tahun 1940 menunjukkan, bahwa dari berjuta-juta kaum buruh Indonesia hanya 110.370 yang terorganisasi (dalam 77 serikat buruh). Politik memecah dari kaum reaksi ketika itu kelihatan dari kenyataan, bahwa 77 serikat buruh yang ada itu tergabung dalam 11 gabungan serikat buruh. Umumnya serikat buruh dan gabungan serikat buruh ini adalah di bawah pimpinan kaum reformis dan reaksioner. Oleh karena itu tidak mengherankan, bahwa menurut kantor urusan perburuhan Hindia Belanda dalam tahun 1940 hanya terjadi pemogokan di 42 perusahaan (di antaranya 30 perusahaan tekstil di Jawa Barat) dan hanya diikuti oleh 2.115 kaum buruh. Sedangkan jumlah buruh dari 42 perusahaan itu ada 7.949. Pemogokan-pemogokan ini tidak besar akibatnya bagi majikan, ia hanya berakibat hilangnya 32 hari kerja. Tetapi, tidak adanya aksi-aksi kaum buruh secara besar-besaran sama sekali tidak berarti bahwa tindasan terhadap Rakyat dan kaum buruh Indonesia ketika itu kurang kejam. Kekejaman terhadap kaum buruh antara lain kelihatan dari upah buruh yang sangat rendah dan perlakuan sewenang-wenang dari majikan. Menurut statistik tahun 1940 tercatat, bahwa rata-rata upah buruh pabrik gula Rp. 0.28 sehari buat laki-laki dan Rp. 0.23 sehari buat perempuan. Dalam tahun 1940 tercatat 407 pengaduan kaum buruh yang dapat pukulan dari administratur, asisten-asisten dan mandor-mandor perkebunan. Kejengkelan yang sudah tidak tertahan lagi dari buruh perkebunan dinyatakan dengan adanya serangan-serangan buruh perkebunan pada pengawas-pengawas perkebunan. Demikianlah dalam tahun 1940 telah tercatat 51 serangan buruh perkebunan atas pengawas-pengawas perkebunan, dimana 2 pengawas tewas karena serangan tersebut.
Tindasan Belanda terhadap seluruh Rakyat Indonesia, yang kemudian dilakukan dengan lebih kejam lagi oleh fasisme Jepang, telah membangunkan seluruh Rakyat untuk berjuang bersama-sama guna menggulingkan kekuasaan kolonial dan fasis. Salah satu puncak dari perlawanan Rakyat ialah Revolusi Rakyat tahun 1945. Revolusi ini meletus dengan tujuan yang positif dari Rakyat Indonesia, yaitu dengan tujuan agar Indonesia menjadi negara yang benar-benar merdeka, dimana ekonominya tidak tergantung dari luar negeri, dimana industri nasional bisa berkembang sebagai syarat terpenting bagi kemakmuran seluruh Rakyat, dimana nasib Rakyat banyak yang celaka bisa menjadi baik dan dimana kemerdekaan politik dijamin sepenuhnya bagi seluruh Rakyat.
Tujuan positif dari Revolusi Rakyat tahun 1945 menemui jalan buntu setelah oleh pemerintah Indonesia (kabinet Hatta) diadakan persetujuan dengan pemerintah Belanda, yaitu persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB), pada permulaan tahun 1950. Revolusi Rakyat (1945-1948) telah melemparkan beban kolonial dari pundak Rakyat, sebaliknya persetujuan KMB telah merestorasi (menghidupkan kembali) susunan ekonomi kolonial di Indonesia. Memang dengan persetujuan KMB di seluruh Indonesia, kecuali di Irian Barat, sekarang sudah dibentuk suatu pemerintah dan alat-alat negara yang pimpinannya dipegang oleh orang-orang Indonesia, tetapi ini sama sekali tidak berarti bahwa beban kolonial yang lama sudah lepas dari pundak Rakyat Indonesia. Oleh karena itu, persetujuan KMB (atau persetujuan-persetujuan lain yang isinya sama dengan persetujuan KMB) tidak lain daripada kolonialisme dengan baju baru.
Persetujuan KMB telah mewajibkan Rakyat Indonesia membayar hutang yang sangat berat Bulan Januari 1950 hutang tersebut berjumlah lebih dari 4 milyar, dan dalam bulan Januari 1951 jumlah hutang seluruhnya menjadi lebih dari 6 milyar. Jadi dalam satu tahun hutang sudah bertambah dengan 2 milyar.
Persetujuan KMB telah mengembalikan semua pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, tambang-tambang dan cabang-cabang industri vital lainnya kepada pemiliknya yang lama, yaitu modal besar asing. Ini berarti bahwa sumber-sumber pokok dari kekayaan Indonesia tidak masuk kas negara, tetapi ditumpuk oleh modal besar asing dan diangkut keluar negeri. Sebagai contoh, menurut laporan Mr. Teuku Hassan, Ketua seksi perekonomian parlemen Sementara RI (1951), bukti-bukti menunjukkan bahwa dari pertambangan minyak saja kekayaan Indonesia dikuras, berupa keuntungan yang terang, oleh BPM dan kongsi-kongsi minyak lainnya sejumlah Rp. 4.000.000.000. (empat milyar) saban tahun, yang berarti Indonesia kehilangan kira-kira hampir sama dengan 50 % dari anggaran belanja negara untuk satu tahun. Atau jika kehilangan kekayaan ini kita bagi rata di antara Rakyat Indonesia (75 juta), maka berartilah bahwa oleh pertambangan minyak saja dari semua orang, mulai dari bayi sampai orang-orang tua, telah dicuri kekayan sebesar kira-kira Rp. 53,-. Jika kehilangan kekayaan ini kita bagi rata di antara kaum buruh Indonesia (6 juta), maka berartilah bahwa oleh pertambangan minyak saja dari setiap buruh telah dicuri kekayaan sebesar Rp. 4.000.000.000,- : 6.000.000, atau Rp. 667.-. Menurut peraturan pertambangan kolonial yang hingga sekarang masih berlaku, Indonesia mendapat penghasilan dari hak tetap, bea ekspor, accijns, dan pajak NV atas kongsi-kongsi minyak hanya sebanyak Rp. 315 juta, jadi tidak sampai ... 10% dari keuntungan yang terang. Pengembalian kepada modal besar asing ini berlaku juga untuk tanah-tanah yang sudah diduduki oleh kaum tani selama revolusi.
Politik yang dijalankan oleh pemerintah sekarang ialah politik yang mengembalikan kedudukan ekonomi Indonesia sebagai kedudukan di zaman jajahan, yaitu kedudukan sebagai sumber bahan mentah, sebagai sumber tenaga buruh yang murah, sebagai pasar dan sebagai tempat penanaman modal. Dalam keadaan politik sekarang kedudukan ekonomi Indonesia, dibanding dengan zaman penjajahan Belanda, lebih tergantung dari luar negeri. Kedudukan ekonomi Indonesia sekarang begitu tergantungnya sehingga praktis pemerintah Indonesia sekarang diinstruksi oleh kekuasaan asing (Amerika) dari mana Indonesia mesti membeli sesuatu barang dan kemana Indonesia boleh menjual barangnya (misalnya dengan adanya pinjaman Eximbank, adanya Embargo, Frisco, MSA, dsb.). Berangsur-angsur dan makin lama makin nyata, dalam persiapan perang dunia oleh Amerika sekarang, Indonesia dijadikan salah satu sumber ekonomi perang yang terpenting. Keadaan-keadaan ini pula yang membikin Indonesia makin lama makin dalam masuk perangkap politik perang Amerika, yang membikin Indonesia tidak hanya tergantung dalam soal ekonomi, tetapi juga mendapat instruksi-instruksi politik dan militer dari Belanda dan Amerika (Univerband, Irian, Nederlands Militaire Missie, pangkalan-pangkalan perang, Eximbank, Embargo, Frisco, MSA, dsb.).
Akibat dari politik pemerintah yang menggantungkan diri pada luar negeri ini, teranglah bahwa stabilisasi ekonomi tidak mungkin tercapai. Industrialisasi tidak mungkin dijalankan dan modal nasional tidak mungkin dibangun karena ini bertentangan dengan kepentingan modal besar asing. Industrialisasi dan pembangunan modal nasional di Indonesia adalah merupakan saingan bagi industri dan modal dari negeri-negeri penanam modal. Industrialisasi dan pembangunan modal nasional adalah bertentangan dengan kepentingan ekonomi perang dari negeri-negeri imperialis. Kaum buruh dan kaum tani yang merupakan lebih dari 80% Rakyat Indonesia, dan yang merupakan tenaga produktif dan konsumen yang terbesar, praktis tak mengalami perbaikan di dalam hidupnya, artinya tenaga produktifnya maupun kekuatan membelinya tidak bertambah.
Walaupun bagaimana, selama pemerintah Indonesia masih menjalankan politik yang menggantungkan diri pada negeri-negeri penanam modal besar asing seperti Belanda, Amerika dan Inggris, pemerintah Indonesia tetap akan menjalankan ekonomi export dan import yang dulu dilakukan oleh Hindia Belanda, yaitu ekonomi yang terus-menerus diombang-ambingkan oleh konjungtur (turun-naiknya keadaan) dan pasar dunia yang dikuasai oleh dollar dan sterling. Pemerintah yang demikian sudah tentu tidak akan mungkin membangunkan dan menyelamatkan ekonomi nasional yang merdeka, sebagai jaminan pokok untuk kemerdekaan nasional yang sejati.
Untuk memperbaiki nasibnya yang buruk Rakyat Indonesia, terutama kaum buruh dan kaum tani Inlonesia, telah mengadakan tuntutan-tuntutan dan aksi-aksi terhadap majikan modal besar asing dan terhadap pemerintah "nasional". Aksi-aksi kaum buruh seperti pemogokan-pemogokan buruh perkebunan, buruh kendaraan bermotor, buruh percetakan, buruh minyak, buruh daerah otonomi, dll. telah memberi dorongan dan keberanian pada golongan-golongan lain dari Rakyat untuk juga bangun dan berjuang membela nasibnya. Di berbagai tempat aksi-aksi kaum tani mendapat sukses-sukses yang menimbulkan kegembiraan berjuang pada massa kaum tani. Dimana-mana, tumbuh kekuatan Rakyat dalam melawan ofensif reaksi yang ganas. Kaum buruh senantiasa menjadi pelopor dan pemberi inspirasi dalam tiap-tiap perlawanan. Disinilah pentingnya kedudukan front buruh sebagai bagian yang paling maju dan paling konsekwen daripada seluruh front persatuan nasional Rakyat Indonesia.
Dengan adanya persetujuan KMB modal besar asing mendapat bantuan yang sangat besar dari suatu pemerintah "nasional" yang bisa digunakan untuk menutupi eksploitasi atas kekayaan alam dan Rakyat Indonesia dengan semboyan-semboyan "nasional".
Pemerintah dan majikan modal besar asing berusaha mengabui mata Rakyat dengan omongan-omongan tentang "pembangunan nasional". Dengan semboyan "pembangunan nasional" mereka mengadakan ofensif ekonomi terhadap klas buruh. Mereka katakan, bahwa kekurangan barang yang diderita Rakyat sekarang, bahwa harga mahal yang mesti dibayar oleh Rakyat dan bahwa bahaya inflasi, adalah karena aksi-aksi kaum buruh. Mereka tuduh kaum buruh a-nasional (tidak bersifat nasional), mereka tuduh massa kaum buruh sebagai "komunis" dan sebagai tukang "main politik", mereka tuduh kaum buruh sebagai alat "kekuasaan asing", sebagai alat "Moskow", alat "RRT", dan sebagainya. Pemerintah dan majikan modal besar asing mempermainkan sentimen dan belum-mengertinya klas-tengah (kaum pengusaha nasional) dengan, menerangkan, bahwa tindakan-tindakan yang diambil oleh pemerintah terhadap kaum buruh dan Rakyat umumnya, akan mempertinggi prestasi kerja, akan meningkatkan produksi dan mendatangkan kemakmuran. Oleh karena itu pemerintah berseru kepada Rakyat supaya membantu rencana-rencana dan tindakan-tindakan pemerintah.
Kita harus kupas propaganda yang menyesatkan ini. Propaganda ini bertujuan untuk melemparkan beban krisis kepada kaum buruh dan Rakyat Indonesia, supaya untuk kepentingan majikan-majikan imperialis (modal besar asing) kaum buruh suka memperpanjang waktu kerja, kaum buruh suka menerima upah rendah atau lebih rendah, kaum buruh suka bekerja setengah mati guna mempertinggi prestasi kerja, supaya kaum buruh (termasuk pegawai-pegawai negeri) menerima saja kalau dijatuhkan "rasionalisasi" dan massa-ontslag atas dirinya, karena toh semuanya ini untuk "pembangunan nasional". Kita harus telanjangi tipuan-tipuan dari kaum imperialis dan kaki tangannya ini dengan menerangkan, bahwa produksi merosot sama sekali bukan karena tuntutan-tuntutan dan aksi-aksi kaum buruh, tetapi produksi merosot adalah bersumber pada hak-milik secara kapitalis atas alat-alat produksi vital (perkebunan, pertambangan, transport, dsb.) dan disebabkan oleh adanya krisis kapitalisme yang juga menimpa Indonesia karena Indonesia tidak memisahkan diri dari sistim kapitalisme dunia yang sudah berada dalam krisis umum yang makin mendalam dan yang sedang sekarat. Kita harus terangkan, bahwa satu-satunya jalan untuk mempertinggi produksi hanyalah dengan jalan menasionalisasi alat-alat produksi vital dan dengan membuang tujuan-cari-untung secara kapitalis dari alat-alat produksi tersebut. Kita wajib mengingatkan kepada Rakyat supaya tidak terjebak oleh rencana-rencana pembangunan imperialis, yang pada hakekatnya tidak lain daripada rencana bikin-laba yang tidak terbatas dan sebagai persiapan untuk perang dunia yang baru. Kita tidak mungkin ikut di dalam pembikinan dan pelaksanaan rencana produksi, dimana sistim imperialis masih berkuasa dan sistim bikin-laba yang tidak terbatas masih tidak diganggu-gugat. Kita harus tunjukkan, bahwa justru cara-cara modal besar asing dan pemborosan oleh pemerintah itulah yang sebenarnya membikin prestasi kerja menjadi rendah, membikin produksi menjadi merosot, membikin mahal harga barang dan yang menimbulkan inflasi. Rencana-rencana imperialis tidak bisa lain daripada menuju krisis yang lebih dalam dan menuju kemerosotan produksi yang sangat cepat. Untuk mengatasi krisis yang makin mendalam ini sudah ada tanda-tanda bahwa sistim kerja paksa mau dijalankan lagi di Indonesia. Massa-ontslag di kalangan kaum buruh dan "rasionalisasi" di kalangan tentara telah menimbulkan barisan penganggur yang hebat, dan ini telah membikin lebih merosot harga tenaga buruh, dan ini merupakan syarat untuk adanya kerja paksa. Kaum penganggur yang makin banyak jumlahnya ini bukannya diberi pekerjaan dengan membuka lapangan industri yang luas, dan bukan diberi sokongan untuk sekedar mempertahankan hidupnya selama menunggu mendapat pekerjaan, tetapi sebagian demi sebagian mereka dikirim sebagai kuli biasa atau dalam ikatan tentara ke tempat-tempat di luar Jawa, dimana tidak ada tanda-tanda bahwa nasib mereka akan menjadi baik. Yang terang ialah bahwa di tempat-tempat yang baru itu sama sekali tidak ada pembangunan yang sesungguhnya, disana tidak ada pembukaan industri-industri besar atau pertanian-pertanian negara yang luas. Yang mereka hadapi pada umumnya tidak beda dengan apa yang di zaman penjajahan Belanda dulu dihadapi oleh kuli "kontrak Deli" atau oleh kaum "kolonisasi Lampung". Pengembalian zaman "kontrak Deli" dan "Kolonisasi Lampung" di zaman "merdeka" sekarang ini dibalut dengan semboyan "untuk pembangunan nasional" atau "untuk pembangunan negara".
Kita harus jelaskan, bahwa tidak mungkin ada pembangunan nasional dan tidak mungkin ada reorganisasi produksi jika tidak dilakukan nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan vital dan jika tidak dilaksanakan industrialisasi, jika tidak dilikwidasi peraturan-peraturan kolonial, jika tidak dijalankan program Demokrasi Rakyat dan jika tidak diberikan upah serta jaminan yang layak kepada kaum buruh. Orang-orang pemerintah dan majikan-majikan imperialis sering dan terus-menerus mengatakan, bahwa nasionalisasi perusahaan vital adalah rencana yang terlalu umum, yang abstrak, yang tidak praktis dan tidak menguntungkan kepentingan umum, pendeknya, adalah sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan. Ini adalah juga tipuan kaum imperialis dan kaki tangannya yang tidak masuk akal dan harus kita tentang keras, ini adalah propaganda imperialis dan kaki tangannya yang hendak membodohkan kaum buruh dan Rakyat.
Oleh karena itu, menganjurkan kepada kaum buruh untuk bekerja lebih keras dan lebih lama, untuk memproduksi lebih banyak guna rencana-rencana modal besar asing, dimana kaum buruh dan massa pekerja lainnya sedang dalam perjuangan yang pahit untuk mengatasi tingkat hidup yang bertambah buruk, adalah anjuran yang mengorbankan kaum buruh untuk kepentingan-kepentingan imperialis. Mereka yang menganjurkan ini tidak lain daripada imperialis sendiri, kaki tangan imperialis atau orang-orang yang mungkin jujur akan tetapi sudah menjadi korban propaganda imperialis. Kita harus menelanjangi dan membuka kedok rencana-rencana imperialis, kita harus mengadakan perlawanan terhadap semua pukulan-pukulan imperialis dan agen-agennya, dan dengan gagah berjuang terus supaya dijalankan nasionalisasi atas perusahaan-perusahan vital, supaya dijalankan kontrol atas keuntungan-keuntungan, supaya dilaksanakan upah dan jaminan sosial yang layak, supaya dijalankan Undang-undang 40 jam-kerja seminggu, dsb. sebagai ganjaran pada kaum buruh yang ambil bagian penting dalam mengorganisasi produksi. Kita harus tentang dengan keras tiap-tiap pikiran yang mengatakan bahwa nasionalisasi dan lain-lainnya itu adalah tidak kongkrit, tidak praktis dan tidak menguntungkan umum. Nasionalisasi, kontrol atas keuntungan, upah dan jaminan sosial yang layak, 40 jam-kerja seminggu, dsb. itu adalah kongkrit, praktis dan menguntungkan umum. Yang dirugikan oleh semuanya ini hanyalah imperialis dan kaki tangannya yang sudah menjalin kepentingannya menjadi satu dengan kepentingan imperialis (kaum komprador atau kaum agen imperialis).
Orang-orang pemerintah sering menerangkan, bahwa negara tidak mempunyai uang untuk melaksanakan nasionalisasi. Ini adalah keterangan yang sangat lucu dan mentertawakan. Bukankah justru untuk mendapat uang guna mengisi kas negara perlu dilaksanakan nasionalisasi atas perusahaan-perusahan vital, jadi jangan dibalik, seolah-olah nasionalisasi yang membikin kosong kas negara. Dan keterangan ini merupakan selimut untuk menutupi pendirian anti-nasionalisasi serta menunjukkan pengertian nasionalisasi secara kapitalis yang tidak merugikan kapitalis monopoli-monopoli. Keterangan yang menyesatkan ini juga harus ditelanjangi.
Adanya pendapat yang menganggap bahwa mempopulerkan soal nasionalisasi perusahaan vital sebagai sesuatu yang abstrak, yang tidak kongkrit, tidak praktis dan tidak menguntungkan umum, adalah pendapat reformis dan reaksioner. Pendapat demikian itu mesti ditentang. Perjuangan kita untuk mencapai tuntutan bagian-bagian (partial demands, deeleisen) haruslah dipimpin oleh pengertian Marxis yang tepat, yaitu bahwa tidak mungkin hasil tuntutan bagian bisa stabil dalam zaman krisis seperti sekarang ini. Stabilitas hanya mungkin jika kita bisa mengalahkan sama sekali semua ofensif kapitalis. Oleh karena ltu, disamping menerima hasil-hasil tuntutan bagian yang bisa sekedar mengentengkan beban kaum buruh, kita minta kepada kaum buruh supaya senantiasa waspada dan siap untuk menghadapi ofensif-ofensif kapitalis, dan supaya siap untuk terus berjuang guna tuntutan-tuntutan pokok mereka, yaitu tuntutan nasionalisasi perusahaan-perusahaan vital, kontrol atas keuntungan, upah dan jaminan yang layak.
Dan bersamaan dengan tuntutan untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan vital, harus kita jelaskan pada kaum buruh dan seluruh Rakyat, bahwa nasionalisasi akan tidak ada artinya jika ia dilaksanakan oleh suatu negara yang sudah seutuhnya mengabdikan diri pada monopoli-monopoli Belanda dan Amerika, karena dalam keadaan demikian nasionalisasi tidak lain daripada sesuatu yang hanya mengabdi kepentingan kapitalis semata-mata. Jadi, tuntutan nasionalisasi tidak bisa dipisahkan dari perjuangan politik untuk memisahkan negara dari modal monopoli asing. Tetapi selama keadaan politik memungkinkan, tindakan-tindakan nasionalisasi sebagai pelaksanaan tuntutan bagian daripada seluruh bangsa, mempunyai arti yang besar untuk menghidupkan kembali ekonomi yang sudah dirusak oleh restriksi-restriksi (pembatasan-pembatasan) kapitalis monopoli-monopoli dan yang sudah dibinasakan oleh pendudukan fasis Jepang dalam perang dunia kedua.
Ada propaganda imperialis dan orang-orang pemerintah yang mengatakan, bahwa aksi-aksi kaum buruh yang menuntut kenaikan upah adalah merugikan kepentingan nasional dan kepentingan umum, karena kenaikan upahlah yang menyebabkan naiknya harga barang dan yang menyebabkan inflasi. Dengan alasan ini pula orang-orang pemerintah dan majikan-majikan imperialis menuduh gerakan kaum buruh untuk kenaikan upah sebagai gerakan a-nasional, a-sosial, dan menuduh bahwa aksi-aksi kaum buruh untuk kenaikan upah sebagai aksi-aksi untuk mencapai tujuan politik "yang tertentu". Ya, mereka juga menuduh bahwa aksi-aksi kaum buruh menuntut kenaikan upah serupiah atau dua rupiah sehari, atau kenaikan upah sepuluh atau duapuluh rupiah sebulan, sebagai "aksi politik", sebagai aksi "untuk merobohkan negara", sebagai aksi untuk mengadakan "coup d'etat". Tetapi mereka tidak banyak bicara, jika bermilyar-milyar dollar diangkut keluar negeri oleh majikan-majikan imperialis sebagai keuntungan luar biasa dari mengeksploitasi kekayaan alam dan tenaga Rakyat Indonesia. Mereka tidak berteriak-teriak bahwa keuntungan-keuntungan yang bermilyar-milyar inilah yang menyebabkan kenaikan harga barang dan yang menyebabkan inflasi. Tidak, malahan mereka bergiat untuk membikin berbagai Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan guna memberi kedudukan lebih kuat pada modal besar asing di Indonesia.
Propaganda yang menyesatkan ini juga harus kita telanjangi dan kuliti. Kita harus terangkan, bahwa justru untuk kepentingan nasional dan kepentingan umum, justru untuk menciptakan syarat-syarat kemakmuran bagi umum, justru untuk itulah kaum buruh menuntut kenaikan upah. Hanya kaum buruh yang upahnya banyak bisa mengeluarkan uang banyak untuk membeli kebutuhan-kebutuhannya, dan ini berarti menghidupkan sektor-sektor lain dari masyarakat (pemilik warung, pemilik toko), pemilik restoran, tukang pakaian, toko buku, sekolah-sekolah, pemilik bioskop, dokter, advokat, dsb.). Jika upah buruh sangat merosot, maka sektor-sektor lain dari masyarakat juga akan mengalami keambrukan. Maka itu, soal pentingnya kenaikan upah buruh tidak hanya penting untuk kaum buruh, tetapi juga penting untuk seluruh masyarakat.
Apakah kenaikan upah buruh mesti berakibat kenaikan harga barang dan inflasi? Sama sekali tidak. Kita harus terangkan, bahwa kenaikan upah sama sekali tidak mesti berakibat naiknya harga barang dan inflasi. Pokoknya asal pemerintah suka menekan modal besar asing, agar sebagian keuntungan yang bermilyar-milyar itu bisa digunakan untuk menaikkan upah kaum buruh. Seandainya 50% saja dari keuntungan yang bermilyar-milyar itu digunakan untuk kenaikan upah buruh, maka ia pasti akan memperbesar kekuatan-membeli dari kaum buruh dan ini akan membawa kegembiraan bekerja pada kaum buruh. Kegembiraan bekerja ini akan mempertinggi prestasi kerja, yang berarti mempertinggi produksi, dan seluruh masyarakat akan untung olehnya. Masyarakat tidak akan mengalami kenaikan harga dan tidak akan hidup dalam cengkeraman inflasi seperti sekarang. Dengan mengambil 50% dari keuntungan modal besar asing sama sekali tidak menambah jumlah uang yang beredar. Kantor cetak uang kertas tidak perlu kerja ekstra untuk mencetak lebih banyak uang. Dengan demikian uang yang ada tidak perlu mengalami nasib uang Jepang, dimana untuk membeli sedikit barang harus membawa uang ber-kantong-kantong. Singkatnya apa yang dinamakan inflasi, yaitu keadaan dimana uang terlalu banyak beredar, jika dibanding dengan barang yang tersedia, tidak perlu dialami oleh Rakyat Indonesia. Secara sewajarnya, karena ada kegembiraan bekerja kaum buruh akan memperbesar produksi, harga barang akan menjadi turun untuk keuntungan seluruh masyarakat. Negarapun akan mendapat keuntungan, karena 50% dari keuntungan modal besar asing pasti tidak diangkut keluar negeri, tetapi digunakan di dalam negeri sendiri. Ini hanya satu contoh saja yang menunjukkan, bahwa suatu pemerintah yang bukan pemerintah Demokrasi Rakyat, tetapi yang sedikit progresif, bisa meringankan sekedar beban Rakyat yang dengan mengurangi keuntungan modal besar asing. Tetapi ini belum berarti pemecahan yang sempurna untuk perbaikan yang stabil atas nasib rakyat dan untuk melikwidasi sama sekali kekuasaan imperialis di Indonesia.
Jadi jelaslah, bahwa tidak adil sekali, dan jahat sekali, jika soal kenaikan harga barang dan inflasi mau ditimpakan tanggung jawabnya pada kaum buruh yang menuntut kenaikan upah serupiah atau dua rupiah. Kenapa beberapa rupiah di tangan si Amat dan si Ali bisa menyebabkan kenaikan harga barang dan inflasi, sedangkan bermilyar-milyar dividend yang dibagikan oleh modal besar asing tidak dibikin ribut sebagai sumber kenaikan harga barang dan inflasi?
Ada lagi taktik pemerintah dan majikan imperialis untuk tidak membenarkan kaum buruh menuntut kenaikan upah. Mereka seolah-olah dokter yang pintar dan memberikan obat pada kaum buruh berupa: janji penurunan harga. Secara prinsipil kaum buruh menyetujui penurunan harga. Bagi kaum buruh tidak ada bedanya, apakah upah mereka naik 100% atau harga barang turun 50%. Dalam dua hal ini bukankah kaum buruh bisa membeli barang dua kali lebih banyak? Kalau kaum buruh bisa membeli barang lebih banyak dengan upah Rp. 100,- jika dibanding dengan upah Rp. 150,- kaum buruh akan memilih yang Rp. 100,-. Tetapi siapakah yang prinsipil menentang penurunan harga barang? Ialah kaum majikan sendiri, sehingga tiap-tiap janji pemerintah untuk menurunkan harga barang menjadi omong kosong belaka. Oleh karena itu, usaha pemerintah untuk mengadakan rikhtprijs (harga ancer-ancer) terhadap beberapa macam barang tidak akan ada hasilnya, karena harga ancer-ancer itu sendiri berada di luar kemampuan membeli dari Rakyat. Dengan demikian, pada hakekatnya pemerintah membiarkan harga terus membubung, tetapi disamping itu, dan ini tidak adilnya, pemerintah terus-menerus menekan kenaikan upah buruh.
Bagi kaum buruh adalah sama saja, apakah ia mendapat kenaikan upah atau penurunan harga barang, asal saja kedua-duanya ini tidak dibebankan kepada kaum buruh dan Rakyat, tetapi diambilkan dari keuntungan modal besar asing.
Apakah dengan politik mengontrol keuntungan dan menggunakan sebagian keuntungan modal besar asing untuk kenaikan upah buruh akan berakibat "larinya modal besar asing dari Indonesia?" Tidak mesti. Dunia sudah terlalu sempit untuk modal besar bercokol. Sebagian dari dunia dan sebagian dari umat manusia sudah membebaskan diri dari sistim kapitalisme. Tetapi seandainya modal besar asing "lari", sama sekali tidak ada alasan untuk berkecil hati. Hanya orang-orang yang berpikiran picik dan tidak mempunyai kepercayaan pada kekuatan nasional sendiri, hanya mereka yang sudah menjalin kepentingannya menjadi satu dengan kepentingan imperialis, hanya mereka yang akan merasa kehilangan jika imperialis (modal besar asing) angkat kaki dari Indonesia. Suatu pemerintah yang progresif segera akan mengambil over perusahaan-perusahaan kepunyaan modal besar asing itu, segera akan menasionalisasi perusahaan-perusahaan vital itu guna kemakmuran Rakyat.
Jadi teranglah, bahwa hanya pikiran kapitalis yang membenarkan "teori" bahwa kenaikan upah mesti berakibat kenaikan harga barang dan mesti berakibat inflasi. Memang, kenaikan harga barang yang tidak ada hingganya dan inflasi tidak bisa dipisahkan dengan sistim kapitalis. Biarpun tidak ada aksi-aksi kaum buruh yang menuntut kenaikan upah, selama perusahaan-perusahaan vital belum dinasionalisasi dan tujuan-cari-untung secara kapitalis dari perusahaan-perusahaan vital itu belum dilenyapkan, kenaikan harga barang dan inflasi akan terus menjadi penyakit umum dari masyarakat.
Kepada klas tengah (pengusaha-pengusaha nasional) harus kita jelaskan terus terang, bahwa sebagai majikan yang hidupnya tergantung pada mengeksploitasi kaum buruh, memang ada kalanya kaum buruh akan menuntut sekedar perbaikan nasib pada mereka. Tetapi program Demokrasi Rakyat sama sekali tidak bermaksud melikwidasi mereka dengan jalan menasionalisasi perusahaan-perusahaan mereka, malah program Demokrasi Rakyat mau memberi kedudukan yang stabil pada mereka untuk memperbesar tenaga produktif masyarakat, sebagai syarat menuju ke masyarakat sosialis. Justru program Demokrasi Rakyat bertujuan mempertahankan hak-milik perseorangan dari pengusaha-pengusaha nasional. Adalah juga menjadi kewajiban kaum buruh untuk membantu perjuangan pengusaha-pengusaha nasional guna mendapatkan hak-hak mereka yang sewajarnya, guna membantu mereka dalam perlawanannya terhadap monopoli imperialisme dan terhadap penghancuran atas dirinya oleh ekonomi perang. Kaum buruh Indonesia yang yakin, bahwa tujuan sosial, ekonomi dan politiknya hanya bisa dilaksanakan dalam masyarakat yang damai, dengan sekuat tenaga berkewajiban membantu pengusaha-pengusaha nasional dalam mewujudkan ekonomi damai di Indonesia, yaitu ekonomi dimana produksi dan distribusi ditujukan pada barang-barang kebutuhan Rakyat (beras, textile, sepatu, sepeda, dsb.) dan tidak seperti sekarang, dimana produksi dititik-beratkan pada bahan-bahan keperluan perang (timah, karet, bauxiet, dsb.). Hanya dengan adanya perubahan ekonomi perang menjadi ekonomi damai, dapat diadakan perubahan atas tingkat hidup Rakyat yang sekarang makin lama makin merosot. Kaum buruh Indonesia berkewajiban menyokong tiap usaha pengusaha-pengusaha nasional untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan imperialis Belanda dan Amerika, dan membantu perjuangan mereka untuk mencapai adanya perdagangan bebas, terutama perdagangan bebas dengan negeri-negeri Demokrasi Rakyat dan Uni Soviet untuk mendapatkan barang-barang yang lebih murah harganya dan untuk mendapatkan barang-barang-modal (kapitaalgoederen), sebagai syarat permulaan bagi Indonesia untuk bisa memenuhi kebutuhannya akan barang-barang yang diperlukan oleh Rakyat.
Kenyataan-kenyataan diatas adalah bertentangan dengan propaganda majikan-majikan imperialis dan kaki tangannya, dan propaganda ini pada hakekatnya tidak lain daripada usaha kaum majikan imperialis untuk menutupi tujuan mereka yang sesungguhnya. Karena justru imperialismelah yang terus-menerus melikwidasi klas tengah, agar dengan demikian mereka bisa memusatkan atau memonopoli seluruh kehidupan ekonomi di dalam tangan kliknya sendiri. Dan milik imperialis inilah yang telah dan, sedang melikwidasi klas tengah Indonesia. Oleh karena itu pula program revolusi Demokrasi Rakyat menghendaki adanya kerjasama antara seluruh golongan Rakyat, termasuk pengusaha-pengusaha nasional, untuk menghancurkan musuh bersama, yaitu modal besar asing dan sisa-sisa feodalisme, untuk menggagalkan ekonomi perang imperialis dan untuk membangunkan suatu masyarakat Indonesia yang demokratis.
Pengalaman kaum pengusaha nasional Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini menunjukkan, bahwa pemerintah Indonesia yang menjadi komprador modal besar asing tidak mungkin sungguh-sungguh berdiri di pihak pengusaha nasional. Untuk menutupi sifat kompradornya, ada kalanya pemerintah Indonesia terpaksa "membantu" sebagian yang sangat kecil dari pengusaha nasional, tetapi disamping itu modal besar asing diberi keleluasaan sepenuhnya untuk menghancurkan dan menelan perusahaan-perusahaan nasional (seperti industri tenun, rokok, batik, percetakan, perdagangan import-export, perusahaan pelajaran, perkebunan karet Rakyat, perusahaan penangkapan ikan laut, dsb.). Semuanya ini menunjukkan, bahwa kaum pengusaha nasional tidak boleh lagi mempunyai ilusi akan mendapat perlindungan yang sungguh-sungguh dari pemerintah komprador, tetapi mereka harus menentukan sikapnya yang benar, yaitu sikap menentang politik komprador dan memihak perjuangan Rakyat Indonesia yang bertujuan menghancurkan imperialisme dan menegakkan sistim Demokrasi Rakyat, yaitu sistim yang menjamin stabilitas kedudukan pengusaha-pengusaha nasional.
Takut akan kekuatan klas buruh yang makin berkembang, takut akan pemogokan-pemogokan dan yakin bahwa dengan tindakan-tindakan kekerasan serta dengan undang-undang yang berbau fasis tidak akan dapat menghancurkan klas buruh, mereka mendirikan serikat buruh - serikat buruh kuning sebagai persiapan menuju front buruh secara Hitler. Dengan melemparkan tuduhan-tuduhan pada SOBSI yang menjemukan dan sama sekali tidak masuk akal -- seperti tuduhan SOBSI a-nasional, SOBSI dikendalikan oleh kekuasaan asing, SOBSI organisasi "komunis" dsb. -- mereka memainkan rol anti-mogok, rol memecah-belah, rol anti-komunis, rol anti-sosialisme, rol anti-Demokrasi Rakyat, yang pada hakekatnya tidak lain menunjukkan bahwa mereka menjalankan rol anti-klas-buruh dan anti-Rakyat. Pada hakekatnya, merekalah yang didikte oleh kekuasaan asing, oleh imperialis Belanda, Amerika dan Inggeris. Mereka adalah tengkulak pengacau pemogokan dan gangster-gangster untuk menteror klas buruh. Pemimpin-pemimpin serikat buruh reaksioner (kuning) memegang rol penting dalam tindakan-tindakan kejam seperti dalam Razia Agustus, dan, mereka mengadakan kerjasama yang erat dengan kepolisian dan "tuan-tuan besar" dan mereka bertindak sebagai spion-spionnya.
Kedok serikat buruh kuning harus dibuka di dalam tiap-tiap rapat kaum buruh dan harus dibangkitkan kemarahan kaum buruh terhadap pengacau-pengacau ini. Tiap-tiap aksi mereka menentang pemogokan, tiap-tiap usaha mereka untuk menakut-nakuti kaum buruh, tiap-tiap usaha mereka untuk memecah-belah dan tiap-tiap pengkhianatan mereka harus dibuka kedoknya tepat pada waktunya, agar dengan demikian mereka yang tidak jujur itu tidak mempunyai akar di massa.
Dimana ada serikat buruh kuning yang sedikit-banyak mempunyai pengaruh pada massa, hendaklah pada pusat atau cabang serikat buruh demikian itu ditawarkan untuk mengadakan front bersama menghadapi majikan khusus tentang tuntutan di sekitar upah, syarat-syarat hidup dan nyatakan kesediaan kita untuk membantu mereka dalam perjuangan melawan majikan. Adanya front bersama melawan majikan adalah didikan bagi kaum buruh yang akan menyadarkan mereka akan perlunya hanya ada satu Vaksentral untuk seluruh massa kaum buruh di Indonesia.
Tetapi disamping menawarkan front bersama dengan serikat buruh kuning, jangan dilupakan pentingnya membuka kedok pemimpin-pemimpin serikat buruh-serikat buruh kuning yang tidak jujur. Untuk mendapat pengaruh, ada kalanya pemimpin-pemimpin serikat buruh kuning terpaksa memimpin suatu pemogokan. Tetapi karena tidak didasarkan cinta dan pengabdian yang sepenuh jiwa pada kepentingan klas buruh, pemimpin-pemimpin palsu demikian, akan segera terbuka kedoknya. Dengan adanya pimpinan yang baik dari pemimpin buruh yang jujur, maka kaum buruh akan segera dapat mengetahui, bahwa pemimpin-pemimpin serikat buruh kuning itu memimpin sesuatu pemogokan hanya karena desakan yang makin lama makin keras dari anggota-anggota serikat buruh. Oleh karena itu, kewaspadaan massa kaum buruh terhadap pemimpin-pemimpin yang tidak jujur harus dibangkitkan, dan dimana terbukti pemimpin serikat buruh yang demikian itu sudah menjual diri pada majikan atau pemerintah, hendaklah tepat pada waktunya diterangkan pada massa kaum buruh.
Diatas segala-galanya, sekali-kali jangan ditanamkan pada massa kaum buruh suatu illusi (pikiran yang bukan-bukan) bahwa "Panitia Penyelesaian" (badan arbitrase) yang dibentuk oleh pemerintah burjuis akan berbuat adil kepada kaum buruh. Kita sekali-kali tidak boleh mempunyai illusi, bahwa di zaman krisis ekonomi seperti sekarang ini perjuangan yang sengit antara kapital dan buruh bisa diselesaikan secara adil oleh "Panitia-panitia Penyelesaian" semacam itu. Akan tetapi hendaklah diingat, apa yang bagi kaum Komunis sudah terang tidak beres dan hanya tipuan belaka, seperti "Panitia Penyelesaian" ini, massa kaum buruh masih memerlukan pengalaman untuk mengerti hal-hal ini. Perjuangan sehari-hari dari kaum buruh akan membuktikan, bahwa "Panitia Penyelesaian" bukan untuk kepentingan kaum buruh tetapi untuk kepentingan majikan dan pemerintah.
Dalam "Jalan Baru" (Resolusi CC PKI bulan Agustus 1948) diterangkan: tiap-tiap Komunis harus yakin benar-bnear, bahwa dengan tidak adanya Front Nasional kemenangan tidak akan datang. Oleh karena itu adalah kewajiban Partai Komunis Indonesia dan serikat buruh - serikat buruh untuk ambil bagian yang paling penting, paling besar dan paling sungguh-sungguh dalam perjuangan membela kepentingan-kepentingan kaum buruh. Perjuangan ini harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak hanya kaum buruh saja yang mendapat kemenangan yang gilang-gemilang; tetapi juga supaya bisa memberikan inspirasi kepada klas-klas dan golongan-golongan lain, kepada kaum tani, pengusaha-pengusaha kecil dan sedang, golongan intelektual serta golongan Rakyat lainnya, supaya lebih menaruh kepercayaan akan kemenangan pasti dan kemenangan bersama atas imperialisme, feodalisme dan borjuasi komprador (borjuasi agen imperialis). Perjuangan membela kepentingan kaum buruh harus mempersatukan seluruh kaum buruh di bawah pimpinan organisasi-organisasi buruh, dimana kaum Komunis harus membuktikan pembelaannya yang sungguh-sungguh terhadap kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik dari kaum buruh.
Front buruh harus merupakan front yang terkuat, yang paling bersatu, paling maju dan paling sadar dalam front persatuan masional yang luas. Front buruh dan Front tani harus ambil bagian yang terpenting di dalam perjuangan untuk menggalang front persatuan nasional (front demokrasi atau front pembela tanah air), yaitu persekutuan daripada seluruh Rakyat Indonesia untuk melaksanakan cita-cita politiknya, dimana sumber kekuasaan ada pada Rakyat dengan terbentuknya Republik Demokrasi Rakyat. Dalam front persatuan nasional ini kaum buruh dan kaum tani harus menjadi basisnya.
Front persatuan nasional adalah syarat mutlak untuk mencapai kemerdekaan nasional. Kemerdekaan nasional adalah syarat guna perkembangan sesuatu bangsa. Perdamaian, perbaikan dan kemajuan hanya bisa dicapai oleh bangsa Indonesia dengan melalui kemerdekaan nasional. Perjuangan nasional untuk melepaskan diri dari imperialisme Belanda dan Amerika tidak bisa dipisahkan dengan perjuangan melawan reaksi, perjuangan untuk perdamaian, untuk demokrasi dan untuk sepiring nasi. Jelaslah, bahwa hak-hak dan kebebasan bagi kaum buruh, yaitu: hak mendapat pekerjaan, bebas dari ancaman pengangguran, hak mendapat bayaran penuh, bebas dari perbedaan ras dan jenis, bebas dari penghisapan kapitalis dan hak atas kebudayaan, hanya bisa dicapai apabila didahului oleh adanya kemerdekaan nasional yang sejati. Jadi kaum buruh tidak mungkin merdeka dan mendapat semua hak-haknya jika tidak ada kemerdekaan nasional.
Sekarang ini massa kaum buruh Indonesia belum berada di bawah satu pimpinan. Sebagian besar berada di bawah pimpinan SOBSI, sedangkan bagian-bagian lainnya berada di bawah pimpinan kaum nasionalis (seperti GSBI) dan kaum sosialis (seperti POB). Sebagian yang sangat kecil berada di bawah pimpinan orang-orag trotskis (SOBRI) atau klik-klik lain yang sengaja dibayar oleh imperialis untuk memecah-belah dan mengadu-domba massa kaum buruh serta untuk mengadakan rintangan-rintangan dalam perkembangan gerakan kaum buruh dengan menjalankan kegiatan-kegiatan polisionil dan spionase. Juga ada golongan yang tidak jujur yang menggunakan agama untuk memecah-belah gerakan buruh dengan mendirikan serikat buruh - serikat buruh yang "berdasarkan agama" (seperti SBII, Serikat Buruh Katolik). Keadaan ini tentu menimbulkan kemarahan di kalangan kaum agama yang jujur.
Mengingat kenyataan bahwa kaum buruh Indonesia belum bersatu dengan bulat di bawah satu pimpinan yang jujur dan militant, sedangkan usaha-usaha reaksi semakin keras untuk menghancurkan gerakan buruh, maka lebih-lebih dari waktu yang sudah-sudah, sekarang dibutuhkan adanya kesatuan-kesatuan aksi di dalam tiap-tiap perjuangan kaum buruh. Untuk ini kaum buruh dari berbagai serikat buruh (SOBSI dan non-SOBSI) bisa mengadakan Kongres Upah yang khusus untuk memperbincangkan soal-soal upah, bisa mengadakan Komite Makanan Rakyat, bisa mengadakan Komite Kaum Penganggur, bisa mengadakan Pernyataan Bersama tentang sesuatu atau beberapa soal, bisa mengadakan front buruh di dalam Dewan Perwakilan Rakyat atau perwakilan-perwakilan lainnya, bisa mengadakan Sekretariat Bersama untuk melaksanakan suatu fusi, dsb.
Kesatuan aksi bisa diadakan ketika baru menghadapi perjuangan atau ketika perjuangan itu sedang berjalan. Kesatuan perjuangan seluruh kaum buruh ini pasti bisa dicapai, karena secara objektif perjuangan buruh selanjutnya, dalam melawan akibat-akibat krisis ekonomi yang semakin memuncak, menghendaki adanya persatuan ini. Krisis tidak hanya menimpa segolongan buruh saja, tetapi ia menimpa semua golongan buruh, tidak perduli apakah ia dipimpin oleh kaum Komunis, oleh Nasionalis, oleh Sosialis atau oleh lainnya, tidak perduli apakah ia beragama Islam, Katolik, Protestan atau lain-lainnya. Perjuangan buruh yang makin sengit dalam membela kepentingannya pasti akan membukakan kedok badut-badut dan tengkulak-tengkulak dalam gerakan buruh. pemimpin-pemimpin buruh yang jujur, terutama kaum Komunis, diwajibkan supaya pandai menjalankan taktik yang tepat (correct) dalam menarik tiap golongan ke dalam perjuangan bersama dari kaum buruh untuk menghadapi majikan. Kesatuan perjuangan semacam ini akan memberikan pelajaran yang sangat baik kepada klas buruh tentang rol khianat daripada pemimpin-pemimpin serikat buruh kuning dan tentang kebutuhannya akan serikat buruh - serikat buruh dan akan satu Vaksentral yang revolusioner.
Sebagaimana dikatakan di atas, front buruh diwajibkan ambil bagian yang terpenting, didalam usaha menggalang front persatuan nasional. Dalam hal ini sungguh-sungguh harus diperhatikan agar front buruh tidak terisolasi dari golongan-golongan Rakyat lainnya. Terisolasi berarti bahaya besar bagi seluruh perjuangan buruh. Jika gerakan buruh terisolasi, pemerintah reaksioner dan imperialis akan mudah bertindak untuk menghancurkan gerakan kaum buruh dengan terang-terangan dan dengan kejam, dan ini adalah permulaan dan persiapan untuk menghancurkan seluruh gerakan Rakyat. Dan jika ini terjadi, fasisme merajalela kembali di Indonesia. Jadi, dapat atau tidaknya bahaya fasisme dicegah, adalah tergantung dari perlawanan dan kekuatan front buruh dan tergantung dari hubungan front buruh dengan klas-klas lain (terutama kaum tani) dan dengan front-front lain (front pemuda, front pelajar, front wanita, front kebudayaan, front perdamaian, dsb.). Untuk berhasilnya aksi-aksi kaum buruh dan untuk memperkuat front persatuan nasional, dalam aksi-aksi kaum buruh harus senantiasa diingat tiga syarat-syarat sebagai berikut:
1) supaya tiap-tiap aksi kaum buruh dibenarkan dan masuk akal sebagian besar dari Rakyat sehingga mendapat simpati dan sokongannya;
2) supaya tiap-tiap aksi kaum buruh dimulai dimana keadaan sedang baik untuk massa dan kemungkinan mendapat sukses adalah besar;
3) supaya tiap-tiap aksi kaum buruh dimulai dan diakhiri pada titik yang paling tepat dan saat yang paling baik, ia tidak boleh merupakan perjuangan melawan musuh yang tidak ada ketentuan kapan selesainya.
Dalam usaha memenuhi syarat-syarat ini kaum buruh Indonesia sudah mempunyai berbagai pengalaman dan pelajaran yang baik. Kaum buruh Indonesia sudah mengalami pemogokan dari lebih-kurang 700.000 buruh perkebunan di bawah pimpinan SARBUPRI pada pertengahan tahun 1950. Pemogokan raksasa ini telah berakhir dengan kemenangan disebabkan tepatnya tuntutan, tepatnya memilih waktu pemogokan, mendapat bantuan kaum tani dan tindakan SOBSI yang tepat pada waktunya. Kaum buruh Indonesia sudah mengalami pemogokan buruh kendaraan bermotor dalam aksinya melawan GAPO (Gabungan Perusahaan Otobis) bulan Juli 1951, di bawah pimpinan SBKB. Aksi ini mendapat kemenangan karena tepat tuntutannya, tepat waktu mulainya dan tepat pada waktu mengakhirinya. Pemogokan ini tidak hanya dapat simpati dan sokongan dari golongan buruh lain, tetapi juga dapat simpati dan sokongan pengusaha-pengusaha otobis nasional. Tetapi disamping itu kaum buruh Indonesia juga mempunyai pengalaman-pengalaman yang pahit, seperti pemogokan buruh Cordesius di Jakarta pada permulaan tahun 1950, pemogokan buruh kapal dan pelabuhan di Belawan dalam tahun 1951, dll. Pemogokan-pemogokan ini tidak memenuhi syarat-syarat diatas, oleh karena itu ia gagal dan menyebabkan terisolasinya perjuangan-perjuangan buruh itu dari massa buruh lainnya dan dari Rakyat banyak. Apa yang disebutkan disini hanya beberapa di antara pengalaman buruh Indonesia yang banyak itu. Disamping ini masih ada lagi pengalaman-pengalaman buruh percetakan di bawah pimpinan SBPI, pengalaman-pengalaman buruh minyak kelapa di bawah pimpinan SARBUMIKSI, pengalaman buruh gula di bawah pimpinan SBG, pengalaman buruh angkutan udara di bawah pimpinan SERBAUD, pengalaman buruh minyak di bawah pimpinan PERBUM, dan banyak lagi pengalaman-pengalaman yang baik maupun yang tidak baik, tetapi yang kedua-duanya adalah pelajaran yang berharga bagi kaum buruh Indonesia. Dan tidak boleh dilupakan, bahwa kaum buruh Indonesia mempunyai pengalaman yang baik juga dalam menuntut hadiah lebaran dan gratifikasi.
Dalam mengemukakan dan membela kepentingan-kepentingan kaum buruh dalam perjuangan sehari-hari, kita harus memimpin aksi-aksi sedemikian rupa sehingga klas buruh menjadi bersatu sebagai satu klas, sadar akan tanggung-jawab politiknya dalam perjuangan melawan susunan masyarakat yang kacau sekarang ini dan berjuang untuk negara Demokrasi Rakyat, sadar bahwa ia mesti memimpin perjuangan dalam front persatuan nasional menuju kemenangan yang gemilang sebagai syarat untuk menjamin perdamaian dunia yang abadi.
Untuk memenuhi rencana perangnya kaum imperialis makin lama makin hebat menguras kekayaan alam dan tenaga Rakyat lndonesia. Upah riil dari kaum buruh makin lama makin merosot. Guna menindas perlawanan kaum buruh yang menuntut kenaikan upah, pemerintah RI-KMB melakukan tindakan-tindakan fasis terhadap gerakan klas buruh. Dengan demikian jelaslah bahwa perjuangan untuk perdamaian dunia, untuk sepiring nasi dan untuk kemerdekaan nasional adalah Perjuangan yang saling berbubungan, yang satu dengan lainnya tidak mungkin dipisahkan. Oleh karena itu adalah juga kewajiban klas buruh yang terpenting untuk ambil bagian yang sungguh-sungguh di dalam perjuangan untuk perdamaian dunia yang abadi, dan terutama untuk berjuang guna terlaksananya Pact Perdamaian Lima Besar (Inggris, Perancis, Soviet Uni, Amerika Serikat dan RRT).
Dalam keadaan sekarang, dimana lmperialis Amerika makin lama makin dalam mencampuri soal-soal dalam negeri Indonesia, pertumbuhan demokrasi makin lama makin sangat tertekan. Sampai-sampai kepada demokrasi parlementer tidak terjamin di Indonesia. Tanda-tanda yang terpenting daripada demokrasi parlementer, yaitu mempersoalkan soal-soal umum secara terbuka, makin lama makin tidak nampak. Soal-soal umum banyak dibicarakan hanya diantara dan oleh beberapa gelintir orang-orang pemerintah dengan wakil-wakil Amerika di Jakarta (misalnya "bantuan" senjata Amerika untuk polisi Indonesia, MSA, dll.). Keadaan ini semuanya, dan dibuktikan pula oleh Razia Agustus (1951), menunjukkan bahwa ada usaha yang keras dari pihak reaksi untuk memfasiskan sistim pemerintahan Indonesia. Oleh karena itu, klas buruh, sebagai klas yang paling maju, yang paling teguh organisasinya, yang menempati kedudukan penting dalam produksi, berkewajiban untuk mempelopori perjuangan seluruh Rakyat dalam melawan bahaya fasisme yang mengancam seluruh kehidupan Rakyat Indonesia.
Oleh karena itu adalah kewajiban yang sangat penting untuk mempertahankan dengan sungguh-sungguh dan dengan sengit tiap-tiap hak dan tuntutan kaum buruh dari serangan-serangan reaksi yang makin kurang ajar. Dan senantiasa harus dijaga agar tiap-tiap perjuangan kaum buruh tidak terisolasi dari seksi-seksi lain dari kaum buruh dan dari seluruh Rakyat. Dimana keadaan mengizinkan harus diadakan propaganda besar-besaran tentang hak-hak dan tuntutan-tuntutan kaum buruh, dan tepat pada waktunya mengadakan serangan-serangan kembali pada propaganda-propaganda yang merusak dari pemerintah dan dari kaum imperialis yang bermaksud menarik simpati Rakyat guna memisahkan kaum buruh dari golongan Rakyat lainnya. Jika propaganda-propaganda yang merusak ini tidak segera dibantah dan sebagian Rakyat untuk sementara mempercayainya, maka ini berarti menyerahkan inisiatif pada lawan.
Untuk bisa menunaikan kewajibannya, seksi-seksi yang sudah militant dari klas buruh harus membersihkan diri dari penyakit-penyakit sektarisme dan dari semboyan "kiri" yang kosong. Sektarisme dan slogan-slogan "kiri" yang kosong yang tidak disokong oleh massa luas dari kaum buruh tidak hanya membantu lawan dan pemecah-pemecah klas buruh, tetapi ia juga merupakan rintangan dalam usaha mempersatukan klas buruh. Orang-orang yang sektaris dalam teorinya menerima keperluan untuk bersatu, keperluan guna bekerja untuk itu, sebab mereka mesti menerima kenyataan; tetapi apabila sudah dalam pekerjaan sehari-hari, penerimaan mereka secara teori itu, tidak nampak dalam prakteknya. Oleh karena itulah, sektarisme adalah penyakit yang terus-menerus dan dengan sengit mesti dibasmi. Hanya dengan lenyapnya sektarisme, seksi-seksi yang sudah militant dari klas buruh bisa menarik massa kaum buruh yang masih terbelakang, dan bisa menarik seluruh Rakyat dalam perjuangan untuk perdamaian dan kemerdekaan nasional.
Jelaslah, bahwa sejalan dengan perjuangan membela kepentingan-kepentingan sehari-hari, klas buruh adalah kampiun dalam membela kepentingan seluruh Rakyat, kampiun dalam perjuangan kemerdekaan dan pembela perdarmaian dunia. Kaum buruh mengorganisasi aksi-aksi politik secara besar-besaran untuk melawan tiap-tiap tindakan yang tidak adil terhadap kaum buruh sendiri, terhadap kaum tani, terhadap pemuda, terhadap pelajar, intelektual dan terhadap golongan-golongan lain dari Rakyat. Kaum buruh adalah pemuka dan organisator dalam perjuangan untuk membatalkan persetujuan KMB yang jahat itu, untuk memasukkan Irian barat ke dalam wilayah Republik Indonesia, untuk menentang dijalankannya Embargo terhadap negeri-negeri demokrasi, untuk menentang persetujuan San Francisco dan MSA yang didikte oleh Amerika itu, dsb.
Dengan melalui aksi-aksi solidaritas, melalui pemogokan-pemogokan simpati dan lain-lain bentuk aksi politik yang bisa dipahamkan, yang dapat simpati dan disokong oleh massa yang luas, kaum buruh Indonesia akan membajakan kesatuan berjuang dari massa, dan lambat laun akan tampil ke muka sebagai pembela hak-hak dan kebebasan demokrasi, akan tampil sebagai kampiun perdamaian, sebagai pemimpin, sebagai juru mempersatukan seluruh golongan Rakyat dan sebagai pembangunan front persatuan nasional.
Demikianlah kewajiban front persatuan buruh kita.
Jakarta, 1 Maret 1952.
Central Comite
Partai Komunis Indonesia