Dimuat dalam Bintang Merah, Majalah Teori dan Politik Marxisme Leninisme, tahun 1957, hal. 393-412
40 tahun kekuasaan proletar!
Alangkah singkat masa ini dalam ukuran sejarah, tetapi alangkah besar dan megah perubahan-perubahan yang telah diciptakan olehnya!
Ahli-ahli sejarah, yang revolusioner ataupun yang reaksioner, harus mengakui bahwa arti dan pengaruh Revolusi Oktober adalah universil. Boleh dibilang tidak ada satu negeri pun di dunia ini yang tidak terkena oleh pengaruhnya, juga tidak ada peristiwa sejarah sesudah Oktober 1917 yang tidak terkena oleh pengaruhnya. Jalan sejarah mengambil jurusan yang lain sama sekali: bukan lagi kapitalisme, tetapi Sosialisme.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah beribu-ribu tahun, kekuasaan, yang selalu berada di tangan minoritet, beralih ke tangan mayoritet; hak milik, yang selalu adalah hak milik perseorangan, berubah menjadi hak milik bersama; dan penghisapan, yang selalu membebani membongkokkan punggung umat manusia, terhapus. Klas buruh dan kaum tani Rusia mengusir kaum kapitalis dan kaum tuan tanah mereka, dan dengan demikian mereka kehilangan satu-satunya yang ada di tangan mereka: belenggu.
Kebenaran-kebenaran Marxisme, yang sudah 70 tahun lamanya menjiwai gerakan buruh dan gerakan progresif sedunia, untuk pertama kalinya di dalam sejarah menemukan perwujudannya dalam diri Revolusi Oktober, revolusi yang dengan cara yang orisinil dan kreatif dipimpin dengan sukses yang luarbiasa oleh Vladimir Illich Lenin, Marxis yang besar itu.
Dengan penuh antusiasme dan optimisme Rakyat pekerja, bukan saja di Rusia tetapi di seluruh dunia, menyambut Revolusi Sosialis yang pertama itu. Dan dengan pesimis dan pata hati kaum burjuis dan kaum tuan tanah, kaum profitor dan kaum parasit pada umumnya, menyaksikan Revolusi yang menggelegar itu. Untuk menghibur dirinya, mereka ini membuat ramalan bahwa seperti halnya Komune Paris kekuasaan Sovyet itu “salah waktu” dan maka itu “takkan berumur panjang”. Untuk membuktikan ramalannya inilah maka tak kurang dari 14 negeri imperialis mengirimkan balatentaranya dan menyerbu Republik Sovyet yang muda. Ternyata, bukan kekuasaan Sovyet tetapi intervensi imperialis itulah yang salah waktu!
Juga ketika Lenin memulai dengan elektrifikasi, karena menurut keyakinannya Komunisme itu adalah sistem Sovyet plus elektrifikasi seluruh negeri, ada orang orang yang mengejek Lenin dengan menuduhnya “orang gila”. Apa yang perlu bagi Rakyat pekerja memang “gila” di mata burjuasi dan kaum tuan tanah, dan sebagaimana setiap tamu Sovyet kini bisa menyaksikan: elektrifikasi seluruh negeri itu sudah terlaksana. Ramalan-ramalan yang sama dan kenyataan-kenyataan yang sama juga meliputi lapangan-lapangan lainnya –industri maupun pertanian, ilmu maupun kesenian.
Sudah 40 tahun sejak hari-hari yang menggoncangkan itu. Dibandingkan dengan 40 tahun yang lalu, dunia sekarang tak terkenali lagi. Sosialisme tidak lagi hanya di satu negeri, tetapi di bawah panji-panjinya sudah kurang lebih separo dari seluruh umat manusia. Dalam perjalanan sejarah dewasa ini, kubu Sosialis ini bersama-sama dengan kekuatan proletariat sedunia bukan hanya faktor yang sangat penting, tetapi bahkan menentukan.
Tidak mungkin kita membayangkan progres di dunia kita sekarang, jika tidak ada kubu Sosialis. Dan tidak mungkin kita membayangkan kubu Sosialis, jika tidak ada Revolusi Sosialis Oktober Besar.
Hari 7 November tahun ini diperingati oleh umat progresif sedunia bukan saja sebagai hari kemenangan Rakyat Sovyet tetapi juga dan lebih-lebih sebagai hari kemenangan mereka sendiri. Kemenangan 1917 memberi ilham kepada Rakyat Pekerja semua negeri dan dalam kemenangan 1917 itu Rakyat pekerja negeri manapun membayangkan kemenangannya sendiri di hari depan.
Dua setengah tahun sesudah Revolusi Oktober klas buruh Indonesia mempunyai Partai Komunisnya, 9 tahun sesudah Oktober Rakyat Indonesia mengangkat senjata melawan kaum kolonialis Belanda, dan 28 tahun sesudah 1917 pecahlah Revolusi Nasional Rakyat Indonesia – Revolusi Agustus 1945 yang berhasil mendirikan Republik yang merdeka.
Meskipun berlainan dalam watak dan sifat, tetapi Agustus bagi Rakyat Indonesia sama dengan Oktober bagi Rakyat Sovyet: kedua-duanya sama dalam jiwa dan semangat.
Kini, 40 tahun sesudah Revolusi Oktober rusia dan 12 tahun sesudah Revolusi Agustus Indonesia, Sovyet Uni dan Republik Indonesia berdiri bahu-membagu sebagai dua negara yang sama berjuang untuk perdamaian dunia, dan tujuan Indonesia pun –sebagaimana berkali-kali dinyatakan oleh Presiden Soekarno – adalah Sosialisme.
Pengaruh Revolusi Oktober atas Indonesia ini adalah sebagian dari pengaruh Revolusi Oktober atas seluruh Asia, dan di samping Asia juga Afrika.
Bukankah kawan Lenin pernah mengatakan bahwa Rakyat revolusioner di Asia “akan melaksanakan 1789 dan 1793 nya” [1].
Presiden Soekarno menyatakan kebenaran ketika beliau menulis bahwa “dijiwai oleh kemenangan-kemenangan Revolusi Oktober 1917 di Rusia, Rakyat-rakyat Asia makin teguh lagi bersatu dalam perjuangan melawan kekuasaan kolonial” [2].
Bagaimana khususnya pengaruh Revolusi Oktober bagi gerakan kemerdekaan Rakyat Indonesia?
Ketika Revolusi Oktober pecah, gerakan anti-kolonialisme, gerakan kemerdekaan Rakyat Indonesia sedang mengalami gelombang pasang.
Sebagaimana dengan tepat digambarkan oleh Friedrich Engels, rakyat di pulau Jawa “ditahan dalam keadaan kebodohan primitif dan 70 juta Mark (sekarang tentunya lebih) setiap tahunnya didapat oleh kas nasional Belanda”.[3]
Kawan Lenin menyatakan bahwa Revolusi 1905 “menggugah bangsa-bangsa Timur” [4]. Adalah sangat menarik, dan tentu ini bukan suatu kebetulan,bahwa organisasi modern yang pertama di Indonesia lahir pada tahun 1905, yaitu serikat buruh pekerja-pekerja kereta api. Tiga tahun kemudian lahirlah organisasi politik yang pertama yaitu Budi Utomo, yang tanggal lahirnya, 20 Mei, hingga kini setiap tahun diperingati oleh Rakyat Indonesia sebagai Hari Kebangunan Nasional. Di tahun 1912 lahir Partai Indonesia (Indische Party) yang pimpinannya terdiri dari orang-orang demokrat progresif Belanda dan Indonesia dan yang segera saja dilaran oleh pemerintah kolonial, dan segera sesudah itu lahir Sarekat Islam, organisasi yang besar dan berpengaruh. Perkumpulan Sosial Demokratis Indonesia, yaitu perkumpulan Marxis yang pertama di Indonesia, lahir dekat sesudah Sarekat Islam. Perkumpulan Sosial Demokratis Indonesia inilah, diperkuat oleh elemen-elemen revolusioner dari sayap kiri Sarekat Islam (Sarekat Islam Merah), yang menjadi pelopor dan pendorong lahirnya Partai Komunis Indonesia pada 23 Mei 1920.
Tidak mudah jalan yang ditempuh Rakyat Indonesia sehingga sampai pada pembentukan PKI, dan peristiwa revolusioner yang besar ini terjadi dengan diilhami oleh kemenangan Oktober. “Revolusi Oktober Besar Rusia tahun 1917”, tulis kawan Aidit, “sangat berpengaruh pada proletariat Indonesia terutama pada Perkumpulan Sosial Demokratis Indonesia” [5].
Sementara itu, akibat politik kolonial Belanda dan akibat Perang Dunia I, keadaan ekonomi di Indonesia kian hari kian memburuk. Pajak-pajak dinaikkan dan pajak-pajak baru diadakan, daya beli kaum tani sangat merosot karena harga padi ditekan, sedangkan harga garam, minyak, dan lain-lain membubung, sedang kebebasan bergerak sangat sempitnya. Kemelaratan yang menjadi-jadi menyebabkan perlawanan Rakyat terhadap penguasaan kolonialis semakin meluas, meskipun perlawanan-perlawanan itu umumnya belum teratur dan belum terorganisasi baik. Salah satu puncak perlawanan itu ialah pemberontakan di tahun 1916 di Jambi, Sumatera Tengah, yang membikin kaum kolonialis kalang kabut dan hanya dapat memadamkannya karena mengerahkan kekuatan polisi dan marsose secara besar-besaran.
Sampai akhir Perang Dunia I, keadaan terus semakin memburuk. Seorang penulis burjuis Belanda, D.M.G. Koch, menulis: “Tahun 1917 dan 1918 dan tahun-tahun pertama sesudah Perang Dunia, bagi Rakyat (Indonesia) merupakan tahun-tahun kelaparan. Terjadilah pemelaratan yang mutlak, penderitaan adalah besar dan ketidakpuasan merajalela” [6].
Dalam keadaan yang demikianlah rakyat indonesia mendengar berita, terlambat dan samar-samar: serbuan ke Istana Musim Dingin dan kemenangan proletariat Rusia. Di hari-hari pertama itu sedikit sekali kabar yang sampai kepada Rakyat Indonesia, tetapi bagi mereka artinya sudah cukup jelas: Negara Sosialis yang pertama lahir di dunia! Peristiwa ini mendoron Rakyat Indonesia untuk memperhebat perjuangannya, di lapangan ekonomi menuntut pengurangan-pengurangan pajak, kenaikan-kenaikan upah dan tuntutan-tuntutan perbaikan nasib lainnya, di lapangan politik menuntut hak-hak demokrasi sebagai bagian dari perjuangan menuntut kemerdekaan negeri dan di lapangan organisasi berjuang untuk terbentuknya suatu Partai Marxis yang menghimpun semua tenaga revolusioner.
Menghadapi gelombang naik ini, pemerintah kolonial Belanda membentuk di tahun 1917 “Dewan Rakyat”, sudah tentu di luar ikut sertanya Rakyat. Anggota-anggota Dewan tersebut diangkat dan hak-haknya sangat terbatas. “Dewan Rakjat” dilantik di tahun 1918, tetapi di tahun ini juga, di antara Sarekat Islam, Budi Utomo, Insulinde, Pasundan dan Perkumpulan Sosial Demokratis Indonesia dibentuk front bernama Konsentrasi Radikal, dan konsentrasi ini mengecam “Dewan Rakyat” yang tidak mewakili Rakyat itu serta menuntut dibentuknya Parlemen yang idpilih dan Pemerintah yang bertanggungjawab kepada Parlemen pilihan itu.
Tuntutan politik ini tentu saja tidak dipenuhi oleh kaum kolonialis Belanda, tetapi sekalipun begitu, mereka terpaksa memberikan konsesi sedikit. Sebaliknya di lapangan ekonomi mereka tidak mau memberikan konsesi apapun. Untuk tahun 1919 “Handelsvereniging Amsterdam” membayarkan devidend kepada pesero-peseronya sebesar 50% dan untuk tahun 1920 bahkan 60%! [7]
Sikap keras kepala dari kaum kolonialis ini hanya memancing perlawanan-perlawanan yang lebih hebat dari Rakyat. Dalam tahun 1920 terjadilah pemogokan-pemogokan kaum buruh di pulau Jawa dan Sumatera, yang umumnya berkesudahan dengan kemenangan di pihak kaum buruh. “Kemenangan-kemenangan ini”, kata kawan Aidit, “memberikan semangat dan kegembiraan berjuang pada kaum buruh, mendidik kaum buruh akan pentingnya organisasi dan disiplin, dan membukakan pada kaum buruh dan Rakyat umumnya kebobrokan daripada peraturan perburuhan kolonial dan pemerintah kolonial” [8].
Dalam keadaan yang khusus inilah lahirnya PKI, di tahun 1920. Jadi, PKI lahir langsung dari perjuangan klas yang sedang runcing-runcingnya di Indonesia dan sebagai kelanjutan yang logis daripadanya, dan PKI lahir di bawah pengaruh yang langsung pula dari Revolusi 1917!
Betapa takutnya kaum kolonialis Belanda terhadap lahirnya PKI dan terhadap pengaruh Oktober atasnya, ternyata dari tulisan seorang ahli politik kolonial Belanda, Dr. J.J. Schrieke, yang menyatakan bahwa dari Revolusi Rusia PKI “dapat menarik pelajaran dari pengalaman-pengalaman yang didapat di sana dalam mempersiapkan dan mengorganisasi revolusi dan dengan demikian dia dapat menjalankan propagandanya dengan jauh lebih berani dan lebih sadar” [9]
Sesungguhnya, Propaganda PKI memang menjadi lebih berani dan lebih sedar. Jika di zaman Partai Sosial demokratis Indonesia soal-soal teori Marxisme dipelajari dan didiskusikan di dalam lingkungan-lingkungan yang kecil saja, sejak lahirnya PKI Marxisme dipopulerkan ke kalangan-kalangan luar anggota Partai melalui kursus-kursus dan diskusi-diskusi. Partai juga mempunyai suratkabar-suratkabarnya –Njala, suratkabar CC Partai, Proletar, suratkabar Partai di Jawa Timur, Mowo di Jawa Tengah, Surapati di Jawa Barat, dan lain-lain. Meskipun banyak kekurangannya terutama jika dilihat dari sudut teori, tetapi suratkabar Partai ini sangat militan, menanamkan kesadaran klas kepada Rakyat pekerja Indonesia, dan menanamkan pula bersama dengan itu internasionalisme proletar. Dengan menembus sensor yang keras, suratkabar-suratkabar Partai itu menyiarkan setiap berita yang sekecil-kecilnya, dari negeri Sovyet.
Pidato-pidato kawan Lenin, juga kawan Swerdlovsk, Kalinin, Stalin dan lain-lain mendapat tempat yang terhormat. Begitu pula Resolusi-resolusi Komintern. Tentang keadaan dalam negeri, suratkabar-suratkabar tersebut mengagitasi massa untuk melawan kenaikan-kenaikan pajak dan melawan pajak-pajak baru, melawan tindakan-tindakan represi kaum kolonialis, dan menyokong setiap aksi massa, mulai rapat-rapat kecil sampai pada pemogokan-pemogokan besar.
Memburuknya penghidupan Rakyat dapat dilihat dari angka-angka pemasukan pajak-pajak langsung dan tak langsung yang diterima oleh kas kolonial Belanda ini [10]:
1919: 23.500.000 rupiah
1921: 24.000.000 rupiah
1922: 28.100.000 rupiah
1923: 32.800.000 rupiah
1924: 34.000.000 rupiah
Pajak-pajak ini didapat dengan memungut rata-rata 10% dari penghasilan Rakyat Indonesia yang besarnya 225 rupisah setahun dan yang rata-rata terdiri dari 4,9 anggota keluarga, sedangkan orang-orang Belanda baru dikenakan pajak 10% jika penghasilannya 9.000 sampai 10.000 rupiah setahun.[11]
Keadaan-keadaan inilah yang menjadi latarbelakang dari pemberontakan bersenjata di tahun 1926 di pulau Jawa dan di tahun 1927 di Sumatera,pemberontakan yang meskipun dapat dipatahkan oleh kaum kolonialis, tetapi telah menyebabkan goyangnya sendi-sendi kekuasaan kolonial itu di Indonesia.
Pemberontakan 26-27 itu memang tidak cukup persiapannya, bukan hanya persiapan organisasinya, tetapi juga persiapan taktiknya. Semboyan-semboyan yang tepat tercampur dengan semboyan-semboyan “kiri”, sehingga di sana-sini tidak bisa dicegah bahwa aksi Rakyat terprovokasi oleh kaum kolonialis. Sungguh pun demikian, pemberontakan itu mempunyai arti yang besar dalam membangkitkan kesadaran massa dan menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri serta keyakinan akan kemenangan di hari depan.
Pemerintah imperialis Belanda membentuk Komisi Penyelidik yang khusus mempelajari sebab-sebab terjadinya dan akibatnya pemberontakan Rakyat itu, dan laporan Komisi ini dalam waktu yang singkat diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis, Inggris dan bahasa-bahasa eropa lainnya, karena pemerintah-pemerintah kolonial Perancis, Inggris, dan lain-lain pun harus menarik pelajaran dari kegoncangan yang dialami Belanda di Indoensia itu. Tetapi bagaimana pun, laporan yang diumukan di tahun 1928 itu tidak dapat menyangkal dua hal: bahwa kaum Komunis Indonesia berdiri di barisan terdepan dalam membela kepentingan-kepentingan orang kecil, dan bahwa pengaruh Revolusi Rusia besar atas meningkatnya aktivitet anti-kolonialisme di Indonesia. [12]
Di lapangan ekonomi, pemberontakan 26-27 menimbulkan kerugian-kerugian yangnyata bagi kaum imperialis. Untuk menyebut satu segi saja dari kenyataan ini, angka-angka ekspor dari Indonesia di bawah ini bisa memberikan gambaran [13]:
1925: 1455 juta gulden
1926: 1217 juta gulden
1927: 1216 juta gulden
Tetapi akibat dari pemberontakan tersebut sudah dapat dibayangkan: beberapa pimpinan Komunis dibunuh oleh Belanda, beberapa ribu lainnya dibuang ke sebuah tempat di Irian Barat bernama Boven Digul, “Siberia” Indonesia, dan PKI dinyatakan terlarang.
Sudah tentu gerakan Komunis itu sendiri tidak berhenti dan bersama dengan gerakan Komunis yang terpaksa ilegal, lahirlah partai-partai baru yang legal, terutama partai-partai nasionalis dan yang terpenting adalah Partai Nasional Indonesia yang dibentuk oleh Insinyur Soekarno, Presiden Republik Indonesia sekarang. Tentang peristiwa ini Presiden Soekarno sendiri menulis:
“Imperialisme Belanda pada waktu itu baru saja mengamuk tabula rasa di kalangan kaum Komunis. Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat dipukulnya dengan hebatnya, ribuan pemimpinnya dilemparkannya dalam penjara dan dalam pembuangan di Boven Digul. Untuk meneruskan perjuangan revolusioner, maka saya mendirikan Partai Nasional Indonesia”[14].
Penilaian Ir. Soekarno tentang perjuangan revolusioner PKI adalah sebagai berikut: “Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat mengamalkan cinta tanah air untuk menentang penghisapan golongan buruh dan tani oleh imperialisme” [15].
Ir. Soekarno kemudian dipenjarakan dan dibuang oleh pemerintah kolonial.
Tentang relasi antara gerakan Komunis dan gerakan nasionalis ini dapat pula dilihat dari keputusan pimpinan Partai Indonesia yang dipimpin oleh Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantoro, yang ketika partai ini pun dilarang oleh pemerintah kolonial, menetapkan antara lain: “menganjurkan sekalian anggotanya memasuki suatu partai kepunyaan rakyat”, misalnya “PKI” atau “pada umumnya melakukan usaha atau berjuang yang bersifat nasional”. [16]
Penggalangan persatuan nasional selalu menjadi program dari gerakan kemerdekaan di Indonesia Demikianlah di tahun 1928 berdiri Perikatan Perkumpulan Politik Kebangsaan Indonesia, tetapi persatuan ini tak dapat membebaskan diri dari perpecahan dan akhirnya terpaksa bubar. Di tahun 1937, salah seorang pemimpin Komunis, Mr. Amir Sjarifuddin, seorang intelektuil yang berpengaruh, dapat mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia dengan program anti-fasis seperti yang digariskan oleh Komintern. Di tahun 1939 front anti-fasis berhasil didirikan dengan nama Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
Tetapi, kesediaan Rakyat Indonesia ketika itu untuk bersama-sama Belanda melawan kaum militeris Jepang, disia-siakan oleh pemerintah kolonial Belanda yang kolot itu dan yang sebagian pemimpinnya sudah mulai bermain mata dengan Hitler di Eropa, dan dalam keadaan tidak bisa mempertahankan diri, oleh kaum kolonialis Belanda Indonesia diserahkan mentah-mentah kepada militerisme Jepang hanya dalam waktu 8 hari.
Dihadapkan pada situasi baru ini, Partai Komunis Indonesia dengan sebisa-bisanya mengorganisasi dan memobilisasi Rakyat untuk melawan Jepang, meskipun syarat-syarat kerja ketika itu luarbiasa sulitnya. Pemimpin-pemimpin Partai sebagian tertangkap Jepang, termasuk kawan Amir Sjarifuddin, yang karena pimpinannya yang nyata melakukan sabotase-sabotase besar-besaran dijatuhi hukuman mati oleh Jepang. Hanya berkat bantuan Ir. Soekarno yang ketika itu bekerja legallah maka hukuman ini dirobah menjadi hukuman seumur hidup. Perlawanan anti fasis sementara itu berjalan terus, antara lain memuncak pada pemberontakan kaum tani di Singaparna, dan pemberontakan bersenjata di Blitar.
Juga perlawanan anti-fasis ini diilhami oleh kepahlawanan Sovyet Uni, anak Oktober yang gagah berani itu. Setiap kemenangan Tentara Sovyet, yang terdengarnya di Indonesia harus melalui dinding-dinding sensor yang tebal-tebal, diumumkan di dalam majalah ilegal Partai, Menara Merah. Begitu menginspirasi kemenangan-kemenangan Tentara Sovyet itu, sehingga Mohammad Hatta sekalipun mengakui: “… Sovyet Rusia membela kemerdekaan negeri-negeri yang terjajah … perjuangan Rakyat Rusia menentang agresi Jerman menunjukkan ketebalan perasaan patriotisme…” [17]
Sejak terdengar kekalahan Mussolini dan Hitler di Eropa, pemuda-pemuda revolusioner Indonesia mengadakan persiapan-persiapan untuk pendirian Republik yang merdeka. Di antara teras mereka itu terdapat kawan-kawan D.N. Aidit, Wikana dan Sidik Kertapati. Pemuda-pemuda revolusioner inilah yang sesudah mendengar kapitulasi Jepang pada tanggal 14 Agustus 1945, mendesak Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan dan berdirinya Republik Indonesia yang berdaulat.
“Aurora” Revolusi Indonesia adalah suara Ir. Soekarno yang pada jam 10.00 pagi hari 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan berdirinya Republik yang merdeka – Republik Indonesia. Komando ini segera disusul dengan aksi-aksi massa merebut senjata yang ketika itu masih di tangan Jepang. Di dalam pergulatan ini banyak pemuda Indonesia yang gugur, tetapi keguguran mereka adalah laksana rabuk yang menumbuh-nyuburkan kemerdekaan bangsa. Tidak sedikit di antara mereka itu yang gugur dengan “Hidup Republik! Hidup Komunisme!” di bibir mereka.
Berdirinya Republik Indonesia sebagai negara merdeka pertama di Asia Tenggara sesudah Perang Dunia II, mempunyai arti yang luarbiasa, di dalam negeri Indonesia mapun di dunia internasional. Di dalam negeri kaum kontra-revolusioner, agen-agen kaum militeris Jepang dan agen-agen kaum imperialis Belanda, pada ketakutan dan tidak berani menampakkan hidungnya, sedangkan massa Rakyat yang baru keluar dari kungkungan dan buat pertama kalinya menghirup udara segar, bangkit dan mengembangkan inisiatif serta daya kreatifnya, membuktikan daya juangnya yang besar. Di dunia internasional, kaum imperialis cemas melihat patahnya satu lagi mata rantai mereka di negeri yang bernama Indonesia, sedangkan Rakyat pekerja dari negeri mana pun menyambut lahirnya Republik muda itu sebagai saudara mereka sendiri.
Dalam imbangan kekuatan internasional yang bagaimana Revolusi Agustus Indonesia itu pecah? Penilaian PKI tentang ini termaktub di dalam Resolusi Politbironya, 26-27 Agustus 1948 sebagai berikut: “… sovyet Uni berhasil dengan sangat cepatnya menduduki seluruh Mancuria. Pada waktu itu sudah ternyata kedudukan Sovyet Uni yang sangat kuat di benua Asia, yang mengikat banyak tenaga militer daripada imperialisme USA, Inggris, dan Australia dan dengan demikian memberi kesempatan baik bagi Rakyat Indonesia untuk memulai revolusinya”. [18]
Kondisi internasional ini berlaku melalui perjuangan klas yang aktuil di Indonesia, di mana seluruh kekuatan nasional dipusatkan untuk, pertama, merebut kekuasaan dari tangan Jepang, dan kedua, membela diri terhadap kemungkinan serangan dari imperialisme Belanda.
Ketika itu, “Jika ditinjau peralatan yang jatuh di tangan kita… persenjataan infanteri cukup buat hampir 100 batalyon di Jawa”, sedang “tenaga personil yang terlatih dari Peta di Jawa saja sudah cukup untuk 60 batalyon”. [19]
Tuga merebut kekuasaan dari tangan kaum militeris Jepang diselesaikan oleh Revolusi Agustus dalam waktu yang singkat dan dengan hasil yang sangat baik. Segera sesudah itu, tugas kedua memang harus ditunaikan, karena pasukan-pasukan Belanda, dengan membonceng kepada pasukan-pasukan Inggris, memang cepat datang dan dengan alasan “menjalankan perintah komando Sekutu untuk melucuti Jepang” berusaha mendarat di bumi Indonesia. Karena yang harus mereka lucuti sudah dilucuti oleh Rakyat dan pasukan-pasukan Indonesia sendiri, maka mereka pun mengadakan provokasi-provokasi, hanya supaya bis mendaratkan kaki di bumi Republik. Provokasi mereka memuncak pada serangan atas kota Surabaya dengan menggunakan kapal-kapal perang, pesawat-pesawat pembom, meriam-meriam, dan lain-lain, terhadap mana Rakyat Indonesia dimulai dengan 10 November 1945 itu memberikan perlawanan yang jantan. Setiap tahun 10 November diperingati oleh Rakyat Indonesia sebagai hari Pahlawan.
Sementara itu, dalam hal penyusunan pemerintah terdapat kenyataan bahwa di satu pihak, tenaga-tenaga yang berpengalaman dalam soal-soal administrasi sebagian besarnya adalah tenaga-tenaga pegawai kolonial, sedang di pihak lain, tenaga-tenaga yang revolusioner, yang kebanyakannya tenaga-tenaga muda, belum atau sama sekali tidak berpengalaman dalam soal-soal administrasi. Keadaan ini digunakan oleh kaum kanan untuk memulai aksi mereka merebut kedudukan-kedudukan di dalam pimpinan revolusi Tujuan mereka pada tingkat pertama ialah mengubah Republik yang disusun secara revolusioner itu menjadi Republik yang menganut parlementarisme Barat.
Dengan menggunakan alasan-alasan parlementarisme yang sangat menarik bagi pemimpin-pemimpin burjuis, pemimpin sosialis-kanan Syahrir berhasil menjatuhkan kabinet yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno dan membentuk “kabinet parlementer” yang dia kepalai sendiri. Sejalan dengan ini Mohammad Hatta, selaku Wakil Presiden Republik, menganjurkan didirikannya partai-partai politik, juga untuk memenuhi kebiasaan parlementerisme. Kesempatan ini digunakan sepenuhnya oleh kaum reaksioner untuk mendirikan partai-partai mereka, dan dengan berselimut partai-partai ini mereka meneruskan aktivitet reaksioner mereka. Dengan demikian, bukan hanya aliran-aliran politik terpecah-pecah tetapi juga tenga revolusi terpecah-pecah dan kaum reaksioner leluasa dalam segala tindakannya.
Di lapangan ekonomi, semua milik imperialis, perkebunan-perkebunan, tambang-tambang, pabrik-pabrik, bank-bank dan alat-alat pengangkutan disita oleh Republik. Karena di masa pendudukan Jepang tenaga tenaga ahli Belanda semua ditawan, maka selama 3,5 tahun itu perkebunan-perkebunan, tambang-tambang, pabrik-pabrik, bank-bank dan alat-alat pengangkutan itu memang sudah dijalankan oleh tenaga-tenaga Indonesia. Oleh sebab itu, revolusi tidak hanya mampu menyita semuanya itu, tetapi juga mampu menjalankan dengan baik.
Tetapi dalam pada itu pasukan-pasukan Belanda-Inggris berhasil menduduki beberapa kota penting, terutama sekali di pulau-pulau di luar Jawa, tetapi juga satu-dua kota di pulau Jawa. Ini membikin kaum kanan kecil hati, menilai keadaan secara tidak tepat, dan mengira bahwa nasib revolusi akan menerima kekalahan. Di bulan November 1945 itu juga Mohammad Hatta selaku Wakil Presiden buru-buru mengeluarkan sebuah “Manifes Politik”, yang menjanjikan kepada Belanda akan mengembalikan semua milik Belanda di Indonesia. Syahrir, selaku Perdana Menteri segera pula memulai perundingan-perundingan dengan pihak Belanda.
Politik kompromi yang tidak berprinsip, yang bertentangan dengan program revolusi, mulailah. Di awal tahun 1946 Pemerintah menandatangani perjanjian formil dengan Belanda, Perjanjian Linggarjati, di mana di satu pihak Belanda mengakui kekuasaan de facto Republik atas Jawa dan Sumatera, dan di pihak lain Republik mengembalikan perkebunan-perkebunan, dan lain-lain kepada Belanda.
Jika ada pimpinan revolusi yangkuat, mungkin hal ini tidak akan membawa akibat-akibat yang terlalu buruk. Tetapi karena pimpinan yang kuat itu tidak ada, maka Linggarjati hanya menimbulkan kebingungan di barisan revolusi dan merusak persatuan yang begitu pentingnya bagi revolusi.
Dalam suratnya kepada Presiden Amerika Serikat Truman, Presiden Soekarno memprotes kenyataan bahwa “banyak serdadu-serdadu Belanda yang telah mempergunakan pakaian seragam tentara Amerika untuk mengembalikan penjajahannya di Indonesia”[20], di Dewan Keamanan PBB wakil Republik Sovyet Ukraina, dmitri Manuilski memprotes bahwa “pasukan-pasukan tetap Inggris” turut di dalam “aksi-aksi militer yang ditujukan terhadap Rakyat di daerah-daerah” [21], di Indonesia, sedangkan Panglima Besar TNI, Jendral Soedirman, berseru baik kepada mereka yang pro maupun yang kontra Linggarjadi “Berjuanglah terus, jangan goncang dan bimbang menghadapi kekuatan Belanda”[22]. Desakan-desakan dari kekuatan patriotik di Indonesia akhirnya memaksa kabinet Syahrir meletakkan jabatan. Kabinet yang menggantikannya adalah kabinet yang dipimpin oleh Komunis Amir Sjarifuddin.
Tetapi imperialis Belanda bukan imperialis Belanda, jika dia tidak menciderai perjanjian-perjanjian yang dibikinnya sendiri. Begitulah, pada 21 Juli 1947, dengan mengkhianati Linggarjati, pasukan-pasukan kolonial Belanda menyerang Republik. Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan, Amir Sjarifuddin, menyerukan kepada segenap Rakyat untuk memberi perlawanan, dan Tentara dan Rakyat Indonesia pun memberikan perlawanan itu dengan segigih-gigihnya.
Kali ini Dewan Keamanan PBB campur tangan dengan mengirimkan “Komisi Tiga Negara”. Sungguhpun tentara kolonial Belanda mengalami kekalahan-kekalahan yang berat, tetapi karena tidak tepat menilai imbangan-kekuatan dan karena intrik-intrik dari kaum imperialis Amerika, Pemerintah Amir Sjarifuddin menjalani kesalahan kompromis yang hampir sama dengan Pemerintah Syahrir dalam menghadapi perundingan-perundingan Indonesia-Belanda di bawah pengawasan “Komisi Tiga Negara” di kapal “Renville”. Kaum kontra revolusioner mengunakan keadaan ini, pura-pura tidak setuju persetujuan “Renville” dan berhasil menjatuhkan Pemerintah Amir Sjarifuddin. Sesudah kabinet Amir Sjarifuddin jatuh, kaum kontra-revolusioner sudah menyiapkan kompromi baru dengan pihak negara-negara imperialis yang jauh lebih merugikan Rakyat Indonesia lagi.
Peristiwa reaksioner ini disusul dengan berdirinya kabinet Hatta, disusul pula dengan intrik-intrik dan provokasi-provokasi yang menjadi-jadi terhadap Partai Komunis dan terhadap elemen-elemen patriotik di dalam angkatan Perang, mula-mula dalam provokasi Solo, kemudian dalam provokasi Madiun. Dalam provokasi Solo periwara-perwira TNI yang patriotik dibunuhi, dalam provokasi Madiun pemimpin-pemimpin Komunis, stermasuk sekjen Partai, Kawan Musso, dan anggota-anggota Politbiro seperti kawan-kawan Amir Syarifuddin, Sardjono, Suripno, dan lain-lain dibunuhi. Karena Pemerintah Hatta melancarkan serangan umum terhadap kaum Komunis dan menyatakan mereka ini boleh dibasmi begitu saja, maka kaum Komunis, sebagaimana dinyatakan oleh kawan Aidit bersikap”: “Kami tidak menyerah, dan kami tidak minta ampun karena kami tidak bersalah”[23]. Di samping itu PKI berpendirian: “kita tidak mau dipecahbelah… kita harus menjaga persatuan nasional kita seperti kita menjaga biji mata kita. Kalau kita bersatu tidak ada yang akan rugi, kecuali musuh kita, semua kaum penjajah” [24]. Dan memang kaum kolonialis Belanda menyambut gembira provokasi-provokasi itu, kemudian menjanjikan bantuan kepada Pemerintah Hatta [25].
Segi yang sering dilupakan dalam kita membicarakan tragedi nasional ini ialah, bahwa sebagian kekuatan PKI dipusatkan ke daerah-daerah pendudukan Belanda untuk melawan Belanda, dan untuk sebagian lainnya “perlawanan kaum tani terhadap milik tanah besar dan kekuasaan kepala-kepala memainkan peranan yang besar, seperti ternyata selama … Madiun 1948 [26] itu”.
Sesudah kekuatan-kekuatan revolusi terpecah-pecah dan sebagian malahan hancur, maka dimulai dengan Statement Roem-Van Royen terjadilah kompromi yang jauh dengan kaum agresor kolonialis Belanda: perjanjian KMB ditandatangani oleh Drees, Hatta, dan pengkhianat besar Sultan Hamid. Sekarang di satu pihak Belanda memberikan pengakuan de jure terhadap Republik, tetapi di pihak lain bukan hanya kapital Belanda sebelum perang dikembalikan seluruhnya, juga Irian Barat, pulau Indonesia yang sangat kaya itu, tetap dijajah Belanda dan TNI diharuskan menerima pasukan-pasukan kolonial KNIL di dalam barisannya. Ketika itu, PKI adalah satu-satunya partai yang menentang perjanjian KMB, dan yang menuntut pembatalannya segera.
Dengan adanya perjanjian KMB dapatlah dipastikan bahwa Revolusi 1945 untuk sementara gagal. Tetapi justru karena KMB berarti restorasi kekuasaan-kekuasaan kaum kolonialis, yang terang sekali di lapangan ekonomi, maka sebab-sebab yang di tahun 1945 menimbulkan revolusi, sebab-sebab itu tetap ada dan karena tetap ada, maka suatu waktu tentulah membawa konsekuensi-konsekuensinya.
Pengaruh yang bagaimana yang dipancarkan oleh Revolusi Oktober Rusia atas jalannya Revolusi Agustus Indonesia itu?
Di hari-hari sebelum Revolusi Atustus meletus, yaitu di jaman pendudukan Jepang, yang selalu mengilhami pekerjaan pejuang-pejuang Revolusioner ilegal ialah Revolusi Sosialis Oktober dan kemenangan-kemenangan tentara Sovyet di dalam pertempuran-pertempuran selama Perang Dunia II itu. Juga ketika melaksanakan Revolusi Agustus itu sendiri, pejuang-pejuang revolusioner Indonesia dijiwai oleh semangat Revolusi 1917 yang bergabung dengan semangat Pemberontakan 1926.
Kalau kita kenangkan kembali hari-hari pertama Revolusi, hampir tidak ada pidato, tulisan ataupun poster, yang tidak diliputi oleh cita-cita Sosialisme. Bahkan, hampir semua penerbitan, baik brosur maupun buku ketika itu, yang bersifat politik, selalu mempropagandakan Sosialisme dan mengambil Sovyet Uni sebagai contoh yang utama.
Tiga bulan kemudian, yaitu di bulan November ketika partai-partai politik mulai berdeiri, partai-partai politik itu pun, mulai yang Komunis dan Sosialis sampai yang Nasionalis, Kristen dan Islam, semuanya menyatakan Sosialisme sebagai tujuannya.
Nyatalah, bahwa secara umum pengaruh Revolusi Sosialis dan pengaruh Sosialisme sebagai cita-cita luarbiasa besarnya di Indonesia di tahun 1945.
Kekurangan yang ada adalah di sini: di dalam tulisan-tulisan dan penerbitan-penerbitan ketika itu, penulis-penulisnya banyak membicarakan hukum ekonomi kapitalisme, tetang beberapa pokok materialisme histori, tentang prinsip-prinsip Sosialisme, tetapi hampir tidak ada dibicarakan masaalah watak revolusi dan taktik revolusi Indonesia.
Dalam hal ini justru letak kelemahan gerakan revolusioner di Indonesia ketika itu. Akibat pukulan-pukulan yang terlalu besar yang diderita Partai di masa pendudukan Jepang, maka Partai sudah memasuki pertempuran-pertempuran revolusi dengan tidak sempat untuk terlebih dahulu menyusun program yang tepat, merumuskan taktik dan merumuskan slogan yang tepat.
Akibatnya, bagi anggota-anggota barisannya sendiri tidaklah jelas bagaimana watak revolusi itu, siapa sasarannya, mana-mana kekuatan pendukungnya dan ke mana arah tujuannya.
Tentang ini kawan Aidit menulis: “PKI berada dalam Revolusi Agustus dalam keadaan di mana belum menyimpulkan pengalaman-pengalamannya mengenai front persatuan, di mana masih tetap tidak berpengalaman dalam pembangunan Partai, dan tidak berpengalaman dalam perjuangan bersenjata” [27].
Juga kenyataan bahwa dalam saat-saat itu kaum sosialis kanan yang benar-benar berpolitik kanan memainkan rol yang penting sekali, diterangkan oleh kawan Aidit dari kenyataan bahwa “massa Rakyat Indonesia, berhubung dengan penindasan kolonial yang lama, tak dapat mempunyai barisan yang cukup menguasai ajaran-ajaran revolusioner dari Marx, Engels, Lenin dan Stalin” [28].
Sementara itu pembelaan yang dilakukan olehDmitri Manuilski dan Andrei Wsjinski atas kemerdekaan Indonesia di arena PBB, membikin nama Republik sovyet Sosialis Ukrainia dan Uni Republik-republik Sovyet Sosialis umumnya harum sekali di Indonesia. Rakyat Indonesia, apakah dia Nasionalis atau Islam, Komunis atau Hindu-Bali, melihat dalam diri URSS pembela yang setia atas kemerdekaan nasionalnya.
Di tahun 1948 URSS mengadakan hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia. Saat itu adalah saat diletakkannya fondamen hubungan persahabatan RI-URSS di lapangan kenegaraan.
Situasi di Indonesia sendiri menunjukkanbahwa tahun 1948 itu memang tahun yang penting, Perebutan hegemoni di dalam revolusi, antara kaum kiri dan kaum kanan, sedang setajam-tajamnya. Belanda memblokade Republik serapat-rapatnya di lapangan ekonomi, dan mereka tak henti-hentinya memprovokasi TNI dengan pelanggaran-pelanggaran perbatasan. Situasi sungguh pelik dan tugas-tugas kaum revolusioner Indonesia sungguh sangat berat.
Di bulan Desember 1948, segera menyusuli Provokasi Madiun, kaum kolonialis Belanda menyerang Republik untuk kedua kalinya. Serangan ini sama khianatnya, sama biadabnya, tetapi juga sama dikutuk dan dilawannya oleh Rakyat Indonesia.
Sejak agresi kolonial kedua itu dan sejak persetujuan KMB, perjuangan kemerdekaan nasional Rakyat Indonesia memasuki babak baru dan mengambil bentuk-bentuk yang baru. Sifat perjuangan menjadi “damai”, tetapi tidak jarang bahwa lebih berat dan lebih menyayat.
Di satu pihak situasi sesudah KMB, dibandingkan dengan situasi di hari-hari revolusi, menunjukkan kemunduran di hampir segala lapangan. Di pihak lain situasi itu membawa Rakyat Indonesia sampai pada taraf menyadari betul –siapa-siapa lawannya, siapa-siapa kawannya. Pembatalan KMB menjadi tuntutan selama Provokasi Madiun dan agresi kolonial ke II, tenaga-tenaga revolusioner sama sekali belum kuat, sedangkan tenaga-tenaga reaksioner yang baru saja berkompromi dengan kaum imperialis, mempunyai kedudukan yang kuat.
Untuk memberi pimpinan pada tugas-tugas revolusioner yang berat inilah perjuangan intern PKI menghasilkan digantikannya pimpinan yang oportunis dengan pimpinan yang Leninis. Ini terjadi tahun 1951. Dengan suara bulat kawanaidit dipilih menjadi sekretaris pertama Partai. Partai menyusun rancangan Konstitusi baru dengan Program Umum dan Program Tuntutannya, yang mengkombinasikan kebenaran-kebenaran umum Marxisme Leninisme dengan masaalah-masaaalah kongkret Indonesia.
Partai melipatgandakan jumlah anggotanya, Partai meluaskan diri ke seluruh negeri, Partai menggalang kesatuan ideologi, politik dan organisasi di dalam barisannya, dan Partai memperbaiki gaya kerjanya.
Perkembangan selanjutnya membuktikan,bahwa meskipun proletariat Indonesia terlambat belajar, tetapi dia tidak lambat belajar. Dia bahkan cepat belajar.
Demikianlah, sesudah berturut-turut berdiri kabinet-kabinet reaksioner Hatta, Natsir dansukiman, maka pada tengah tahun pertama tahun 1952 bisa diakhiri rezim-rezim reaksioner dan atas desakan Rakyat terbentuklah, untuk pertama kalinya sejak KMB, kabinet yang pimpinannya bukan di tangan burjuasi komprador melainkan di tangan borjuasi nasional, kabinet yang disokong oleh PKI, yaitu kabinet Wilopo. Amok pemerintah reaksioner yang terakhir, yaitu razzia oleh kabinet Sukiman terhadap kaum progresif, digantikan oleh pembebasan semua tahanan progresif oleh kabinet Wilopo. Kemudian berturut-turut pula terbentuk kabinet-kabinet yang disokong oleh PKI: kabinet Ali Sastroamidjojo I, kabinet Ali Sastroamidjojo II, dan kabinet Djuanda yang sekarang ini, dengan interupsi singkat satu kabinet reaksioner yaitu kabinet Masjumi-PSI Burhanuddin Harahap.
Dengan cepatnya perkembangan politik di Indonesia berlangsung. Ini di satu pihak menandakan ketidakstabilan, tetapi di pihak lain menandakan dinamika. Di lapangan politik luar negeri, azas “politik luarnegeri yang bebas dan aktif menuju perdamaian dunia” telah menghasilkan poltik antik pakt-pakt militer, politik persahabatan dengan semua negara, dan buahnya yang gilang-gemilang ialah Konferensi 29 Negara Asia-Afrika, Konferensi Bandung. Semangat Bandung bukanlah hanya semangat anti peperangan, tetapi juga anti kolonialisme.
Di lapangan politik dalam negeri, perjanjian KMB yang terkutuk itu yang semula hanya ditentang oleh PKI menjadi ditentang oleh semua golongan dan semua partai, sehingga akhirnya dibatalkanlah ia oleh Republik Indonesia secara sepihak. Di tahun 1955 dilangsungkanlah pemilihan umum yang pertama dalam sejarah Indonesia. PKI keluar sebagai partai besar, sebagai partai ke 4 sesudah PNI, Masyumi dan NU. Dan di dalam pemilihanumum yang baru-baru saja dilangsungkan, yaitu pemilihan untuk DPRD-DPRD, di pulau Jawa di mana terdapat hampir ¾ jumlah pemilih se- Indonesia, PKI maju dengan langkah besar menjadi partai pertama. Dalam tempo 1½ tahun suaranya naik dari 5 juta menjadi 7 ½ juta.
Tetapi mudah diduga, kaum kolonialis tidak mau menyerah begitu saja. Mereka melakukan segala-sesuatu untuk merintangi konsolidasi daripada kemerdekaan nasional bangsa Indonesia. Hal ini, di samping dengan tetap mengangkangi Irian Barat –pulau terbesar kedua di seluruh dunia–, mereka lakukan dengan segala macam jalan: aksi-aksi subversif, penyebaran mata-mata kemana-mana termasuk ke dalam jawatan-jawatan pemerintah, usaha-usaha sabotase dalam segala lapangan, usaha pecah-belah, mengadu domba sukubangsa yang satu dengan yang lain, partaiyang satu dengan yang lain, agama yang satu dengan yang lain, usaha-usaha separatisme, pendeknya, menyuap semua orang yang bisa disuap, memecahbelah segala sesuatu yang bisa dipecahbelah, dan dengan demikian mencoba merusak Republik, agar abadilah kekuasaan kolonial mereka, sekurang-kurangnya di lapangan ekonomi.
Mudah pulalah dimengerti bahwa menghadapi rongrongan kaum imperialis yang sudah gila itu, satu-satunya jawaban dan sikap yang patriotik adalah: mempersatukan semua kekuatan yang bisa dipersatukan, untuk melawan subversi, melawan separatisme, juga melawan korupsi dan birokrasi. Semua ini adalah untuk memperkokoh kedaulatan Republik Indonesia, untuk memperkokoh kemerdekaan nasional Indonesia.
Konsepsi Presiden soekarno, yang mengusahakan demokrasi terpimpin dan bukan demokrasi parlementarisme yang liberal a la Eropa Barat, Konsepsi yang mengandung dipersatukannya 2 partai Islam, 1 partai Nasionalis, dan Partai Komunis di dalam satu Pemerintah gotong-royong, semata-mata adalah ditujukan untuk memperkokoh kemerdekaan nasional tersebut. Hanya kaum imperialis asing dan kaum kepala batu dalam negeri sajalah yang menentang Konsepsi Presiden.
Situasi aktuil di Indonesia sekarang menunjukkan bersatunya kekuatan-kekuatan demokratis, dengan Presiden Soekarno sebagai kepalanya. Di dalam persatuan ini terhimpun bukan saja massa PNI, massa NU dan massa PKI –di samping sebagian massa Masyumi dan massa partai-partai kecil– tetapi juga bagian terbesar dari Angkatan Perang Republik Indonesia, termasuk kepala-kepalanya: KSAD, KSAL, dan KSAU.
Semua ini membuktikan,bahwa di Indonesia dewasa ini terdapat pertarungan kekuatanyang sengit antara kaum Imperialis dan Rakyat, tetapi juga bahwa kekuatan Rakyat dapat bertahan, dan maka itu dapat menang.
Untuk menghadapi situasi yang berat tetapi yang terang hari depannya ini, Central Comite PKI telah menunjukkan jalan: “Ubah imbangankekuatan untuk melaksanakan Konsepsi Presiden Soekarno 100%”.
Ini adalah proses perpaduan Marxisme-Leninisme dengan gerakan klas buruh Indonesia. Ini adalah proses perpaduan kebenaran-kebenaran umum Marxisme-Leninisme dengan tuntutan kongkret Revolusi Indonesia. Ini pulalah sebabnya mengapa perjuangan Rakyat Indonesia sekarang ini berlangsung juga di bawah semboyan “menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya”.
Kaum revolusioner Indonesia sekarang bekerja secara klasik: berjuang sambil belajar, belajar sambil berjuang. Badan-badan penerbit Komunis dalam 5-6 tahun ini menerbitkan tidak sedikit material tentang Sejarah PKSU, tentang persiapan dan kemenangan Revolusi Oktober maupun tentang pembangunan masyarakat Sosialis, di samping material tentang Revolusi Tiongkok dan pengalaman-pengalaman gerakan revolusioner klas buruh dari negeri manapun. Referat-referat, diskusi-diskusi, dan resolusi-resolusi Sidang-sidang Pleno CC PKI, juga tulisan-tulisan, diskusi-diskusi di dalam majalah-majalah dan suratkabar-suratkabar revolusioner semuanya merupakan sebagian dari perjuangan besar melaksanakan cita-cita Marxisme secara nasional Indonesia. Ini pasti akan berhasil, karena ia sesuai sepenuhnya dengan hukum obyektif yang menguasai gerak masyarakat Indonesia. Berdirinya Sosialisme di Indonesia akan berarti kelahiran kembali Indonesia.
Revolusi Sosialis Oktober telah memberikan harapan. Danbukan hanya harapan, tetapi juga kemungkinan. Kemungkinan, bagi Rakyat Indoensia untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, untuk mengenyahkan kegelapan dan mendatangkan kecermelangan,yaitu mendirikan susunan-susunan hidup yang merdeka penuh, yang benar-benar demokratis –Demokrasi Rakyat Indonesia, sebagai langkah pertama ke arah susunan masyarakat Sosialis.
Tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang bisa menghalang-halangi jalan Rakyat Indonesia, karena jalan Rakyat Indonesia ini telah dirintis oleh putera-putera Indonesia yang terbaik, sejak berabad-abad yang lalu.
Tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang bisa menghalang-halangi jalan Rakyat Indonesia, karena jalan Rakyat Indonesia ini dijiwai oleh jiwa Lenin, oleh kemenangan Oktober 1917.
Catatam:
[1] Lenin: Pilihan Karangan Jilid IV
[2] Tulisan dalam majalah Sovyet berbahasa Inggris, “News”, 1956
[3] F. Engels: Surat kepada Kautsky, 16 Februari 1884
[4] Lenin: Ceramah tentang Revolusi 1905
[5] D.N. Aidit: “Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia”
[6] D.M.G. Koch: “Om de Vrijheid”
[7] Jaarverlag HVA 1919-1920
[8] D.N. Aidit: “Sejarah Gerakan Buruh Indonesia”, Jilid I
[9] Dr. J.J. Schrieke: “De Indische Politiek”.
[10] Rapport van de Commissie Meyer Ranneft-Huender, 1922
[11] Ibid
[12] Rapport van de Commissie van Onderzoek, Landsdrukkerij, Weltevreden, 1928.
[13] Mededeeling no: 61 van het Centraal kantoor voor de Statistiek.
[14] Ir. Dr. Soekarno: “Sarinah”
[15] Ibid.
[16] Ki Hajar Dewantoro: “Ichtisar Sedjarah Singkat Gerakan Rakjat Menudju Kemerdekaan Indonesia”.
[17] Dr. Mohammad Hatta: “Mendajung antara dua karang”.
[18] Resolusi Politbiro CC PKI, “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”, 26-27 Agustus 1948
[19] Djendral Major A.H. Nasution: “T.N.I.”
[20] Surat Presiden Soekarno kepada Presiden Truman, 9 November 1945
[21] Surat Delegasi Ukraina kepada Dewan Keaman PBB, 21 Januari 1946
[22] Amanat Panglima Besar Jendral Soedirman, 26 Desember 1946
[23] Pembelaan D.N. Aidit di depan sidang Pengadilan, Jakarta, 24 Februari 1955
[24] Ibid
[25] “Buku Putih tentang Peristiwa Madiun”
[26] Prof. Dr. W. F. Wertheim: “Herrijzend Azie”
[27] D.N. Aidit: “Lahirnya PKI dan Perkembangannya”.
[28] Ibid.