Sumber: Dekon Dalam Ujian. Yayasan "Pembaruan", Jakarta, 1963. Scan PDF Brosur "Dekon Dalam Ujian"
Pertama-tama, perkenankanlah saya mengucapkan penghargaan atas inisiatif yang diambil oleh Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) dalam mengadakan rangkaian ceramah ini guna mendengarkan ulasan-ulasan dari partai-partai NASAKOM tentang Deklarasi Ekonomi (Dekon).
Inisiatif ini membutktikan bahwa Saudara-saudara, sebagai sarjana-sarjana yang ingin menyumbangkan keahliannya masing-masing dalam pekerjaan besar untuk melaksanakan Deklarasi Ekonomi itu, memang mengerti betapa erat hubungannya soal pelaksanaan itu dengan kekuatan-kekuatan Rakyat yang terorganisasi, yaitu dengan persatuan nasional atau kegotongroyongan nasional yang berporoskan NASAKOM.
Sebagai wakil dari pada salah satu partai NASAKOM, yaitu wakil PKI, saya menyadari sepenuhnya betapa berat tanggung jawab yang terletak di atas pundak Partai yang saya wakili untuk bersama-sama dengan partai-partai lain dan bersama-sama dengan semua golongan, mengadakan usaha-usaha yang sungguh-sungguh untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini. Dalam pekerjaan besar ini, para sarjana kita juga mempunyai rasa tanggung jawab yang dalam, dan saya yakin bahwa rangkaian ceramah-ceramah ini akan merupakan satu langkah maju lagi dalam mengerahkan seluruh potensi Rakyat sesuai dengan apa yang diserukan di dalam Deklarasi Ekonomi.
Saya juga merasa gembira mendengar, bahwa HSI akan menyelenggarakan suatu Seminar Ekonomi dengan maksud menghimpun sumbangan-sumbangan pikiran masyarakat guna membantu pelaksanaan Deklarasi Ekonomi. Mudah-mudahan Seminar itu mencapai sukses.
Ceramah ini akan saya bagi dalam dua bagian. Yang pertama, mengenai pengertian-pengertian secara umum tentang prinsip-prinsip Dekon, dan yang kedua berupa sumbangan pikiran tentang pelaksanaan langkah-langkah yang ditetapkan di dalam Dekon sebagai kebijaksanaan jangka pendek.
Pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Sukarno telah mengumumkan Deklarasi Ekonomi yang menentukan strategi dasar ekonomi Indonesia serta menetapkan kebijaksanaan jangka pendek dalam mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini. Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa yang terpenting dalam perkembangan-perkembangan politik di Indonesia sejak diumumkannya Manifesto Politik Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1959.
Dekon telah disambut dengan hangat sekali oleh seluruh Rakyat Indonesia. Sambutan-sambutan dari seluruh laporan Rakyat sudah mulai mengalir sejak beberapa jam saja setelah Dekon diumumkan. Sampai sekarang, sambutan-sambutan masih mengalir, malahan berbagai organisasi sudah mengadakan konferensi-konferensi dan seminar tentang Dekon. Ini adalah wajar, karena Dekon menyangkut dua segi dari Revolusi Indonesia yang sangat penting, yaitu di satu pihak ikut melempengkan pengertian tentang Revolusi dengan menegaskan sekali lagi adanya dua tahapan Revolusi kita, dan menjelaskan tentang watak dari pada susunan ekonomi yang harus kita bangun pada tahap pertama dari pada Revolusi, sedangkan di pihak lain Dekon menyangkut perutnya seluruh Rakyat karena menetapkan cara-cara yang harus dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi yang sudah sedemikian jauhnya dan menyebabkan penderitaan-penderitaan yang sedemikian beratnya.
Di samping sambutan-sambutan hangat dari Rakyat, ternyata bahwa di kalangan-kalangan tertentu, Dekon disambut dengan suara-suara sinis. Kalangan-kalangan itu berusaha menimbulkan perasaan kecewa terhadap Dekon karena, katanya, “tidak ada sesuatu yang baru di dalamnya ...”, “semunya itu telah berulang-ulang dikatakan dan toh keadaan tidak menjadi lebih baik malahan sebaliknya”. Kalangan –kalangan itu memang berusaha keras untuk menggagalkan setiap usaha yang mau dijalankan oleh Bung Karno bersama-sama Rakyat untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi pada saat ini. Mereka berusaha membikin Rakyat kecewa terhadap Bung Karno dan mau membikin Bung Karno tidak percaya pada kekuatan Rakyat. Mereka mengetahui benar bahwa Rakyat bersama-sama dengan Bung Karno memang akan dapat mendobrak keadaan yang suram yang sedang mencengkeram negeri kita, dan bahwa Rakyat bersama-sama dengan Bung Karno akan dapat mengikis habis sisa-sisa imperialisme dan sisa-sisa feodalisme yang merupakan conditio sine qua non atau syarat mutlak untuk perbaikan ekonomi.
Kaum sinis terhadap Dekon sebenarnya dapat dibagi dalam dua golongan. Satu golongan, mereka yang dengan sadar memang berusaha menggagalkan perjuangan Rakyat pada saat ini untuk menciptakan suatu kekuasaan politik gotong royong berporoskan NASAKOM yang benar-benar sesuai dengan susunan ekonomi yang mau dibangun. Kaum sinis ini mewakili kepentingan-kepentingan kaum imperialis dan feodal yang telah ditetapkan sebagai sasaran utama dalam tahap Revolusi Indonesia sekarang ini; mereka terdiri dari kaum kapitalis birokrat, komprador, dan tuan tanah yang kepentingan-kepentingannya memang harus dikorbankan dalam proses pelaksanaan Dekon demi kepentingan massa Rakyat yang luas. Kaum sinis ini ternyata pula mendapat angin dan inspirasi dari bahan-bahan racun berbentuk buletin-buletin atau stensilan-stensilan periodik yang pada saat ini diedarkan oleh pengkhianat Sumitro dan agen-agennya di kalangan-kalangan pegawai perusahaan-perusahaan negara, kantor-kantor Pemerintah dan lain-lain bagian dari pada aparatur pemerintahan dan ekonomi negeri kita. Kaum Manipolis munafik juga termasuk dalam golongan sinis ini. Mereka hanya dalam kata-kata menyatakan menerima dan menyokong Dekon tetapi dalam praktek menyelewengkan pelaksanaan Dekon atau “atas nama Dekon” mengadakan tindakan-tindakan yang anti-Dekon, yang merugikan Rakyat banyak.
Golongan kedua, adalah orang-orang sinis yang memang ternyata tidak mengerti Dekon itu dan karena melihat di dalamnya rumusan-rumusan yang pernah diucapkan sebelumnya, maka menganggap bahwa tidak mengandung hal-hal yang baru dan karena itu menganggapnya tidak berguna. Mereka tidak mengerti bahwa Dekon merupakan dan memang dimaksudkan pula sebagai suatu dokumen yang mencerminkan keinginan-keinginan Rakyat banyak yang telah lama dinyatakan dalam berbagai bentuk. Sejak tahun yang lalu, sejak keadaan ekonomi mulai merosot dengan sangat cepat, dan khususnya sejak pidato Tahun Kemenangan (Takem) di mana Bung Karno menyatakan kesanggupannya untuk memberi perhatian yang khusus terhadap tugas menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi, khususnya sandang pangan, yaitu Program pertama dari Tripogram Pemerintah. Rakyat kita telah secara giat membicarakan soal-soal ekonomi dan merumuskan usul-usul mereka dalam bentuk pernyataan-pernyataan, resolusi-resolusi, hasil-hasil berbagai seminar, konferensi-konferensi produksi yang diadakan akhir-akhir ini dan juga di dalam dokumen-dokumen resmi yang disusun oleh DPRGR. Jika ternyata bahwa Dekon memang dalam banyak hal memuat usul-usul yang diajukan oleh Rakyat dalam berbagai bentuk itu, malahan pada pokoknya didasarkan pada usul-usul tersebut, ini sama sekali tidak merupakan alasan untuk mencemoohkan Dekon itu dengan mengatakan “tidak mengandung sesuatu yang baru”. Sebaliknya, ini menggambarkan suatu kemenangan penting bagi Rakyat Indonesia karena dengan ini berarti bahwa untuk pertama kalinya Rakyat kita secara langsung dan aktif ikut menyusun politik Pemerintah di bidang ekonomi, yaitu suatu bidang yang selama ini dianggap sebagai bidang terlarang untuk Rakyat, suatu bidang yang katanya hanya dapat dipikirkan dan diperbincangkan oleh tenaga-tenaga ahli tertentu yang sudah terbukti sama sekali tidak berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dan keuangan selama ini.
Untuk mengambil satu contoh saja, Dekon dengan tegas menetapkan bahwa Pemerintah tidak akan menjalankan devaluasi atau tindakan-tindakan moneter yang drastis. Penetapan ini benar-benar mencerminkan perasaan dan tuntutan Rakyat yang kepentingan-kepentingannya telah berulang kali dirugikan oleh adanya devaluasi-devaluasi serta tindakan-tindakan moneter yang lalu. Jika sebelumnya, “ahli-ahli ekonomi” di bidang keuangan dapat mengambil langkah-langkah yang demikian penting itu atas kerugian Rakyat, maka untuk pertama kalinya penolakan Rakyat terhadap devaluasi dan tindakan-tindakan moneter yang merugikan telah dapat menentukan politik Pemerintah. Bukankah ini merupakan kemenangan konsepsional yang penting? Bukankah ini merupakan sesuatu yang baru, suatu pukulan bagi pihak-pihak yang sebenarnya sudah lama menganjurkan supaya sekali lagi dijalankan suatu devaluasi terbuka sesuai dengan desakan Dana Moneter Internasional (IMF) dengan maksud lebih memperkuat dominasi dolar atas ekonomi dan keuangan Indonesia dan mengontrol serta membikin perdagangan luar negeri kita lebih tergantung lagi pada dolar Amerika Serikat? Tetapi ini tidak berarti bahwa kita sudah terlalu puas dan tidak perlu waspada terhadap muslihat-muslihat lain di bidang moneter, dan bahwa kemenangan tersebut tidak perlu diperkuat dan dikonsolidasi lebih lanjut. Jangan-jangan misalnya, devaluasi sudah resmi ditolak, tahu-tahu masih terus saja diadakan perubahan-perubahan dalam peraturan-peraturan ekspor dan impor dengan berbagai macam transaksi kurs yang pada hakekatnya tidak lain dari pada devaluasi yang diselimuti.
a) STRATEGI DASAR EKONOMI DAN KEBIJAKSANAAN JANGKA PENDEK MERUPAKAN SATU-KESATUAN
Seperti diketahui, Dekon terdiri dari dua bagian; yang pertama menentukan strategi dasar ekonomi Indonesia dan yang kedua menetapkan kebijaksanaan jangka pendek di bidang ekonomi untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini. Dalam menilai Dekon sangat perlu ditekankan tentang tak terpisah-pisahkannya kedua bagian ini. Jika hal ini dilupakan, dan jika ada tendensi untuk hanya memberi perhatian kepada kebijaksanaan jangka pendek karena ini dianggap sebagai satu-satunya bagian yang langsung dapat mempengaruhi keadaan ekonomi, sedangkan strategi dasar dianggap hakekat dan arti pokok dari pada Dekon itu. Demikian pula adalah keliru untuk meremehkan kebijaksanaan jangka pendek dan hanya menganggap penting strategi dasar ekonomi. Strategi dasar ekonomi hanya dapat dilaksanakan melalui sesuatu atau beberapa kebijaksanaan jangka pendek.
Menurut strategi dasar ekonomi Indonesia, susunan ekonomi yang harus dibangun pada tahap pertama dari pada Revolusi Indonesia ialah “susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap pertama adalah persiapan untuk tahap kedua, yaitu tahap ekonomi Sosialis Indonesia, ekonomi tanpa penghisapan manusia oleh manusia, tanpa ‘exploitation de l’home par l’homme” (lihat Deklarasi Ekonomi, pasal 3).
Penegasan strategi dasar ini bukan hanya berarti bahwa tahap pertama harus diselesaikan sebelum kita bisa mulai dengan tahap kedua; ia juga berarti bahwa karena Sosialisme merupakan perspektif dari pada Revolusi Indonesia, maka langkah-langkah yang diambil untuk menyelesaikan tahap pertama tidak boleh berlawanan atau merintangi tugas membangun ekonomi Sosialis yang menjadi tugas tahap kedua.
Penegasan strategi dasar ekonomi Indonesia ini mempunyai arti yang sangat penting. Sudah terlalu lama ada orang-orang bicara panjang lebar tentang membangun Sosialisme Indonesia, tentang membangun ekonomi Sosialis, tetapi tidak bicara tentang mutlak perlunya ekonomi Indonesia lebih dulu dibersihkan dari sisa-sia imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Mereka bicara secara gagah-gagahan tentang “menghancurkan kapitalisme”, tapi diam dalam seribu bahasa tentang menghancurkan sisa-sia imperialisme dan feodalisme. Ini adalah sama dengan omong kosong, karena membangun Sosialisme di dalam satu masyarakat di mana masih terdapat sisa-sisa imperialisme dan sisa-sisa feodalisme adalah tidak mungkin sama sekali, atau akan merupakan “Sosialisme imperialis” dan “Sosialisme feodal”. Malahan jika ada orang-orang berbicara mengenai membangun Sosialisme tanpa berbicara tentang mutlak-perlunya membersihkan ekonomi Indonesia dari imperialisme dan feodalisme, ini pada hakekatnya berarti melindungi imperialisme dan feodalisme atas nama “Sosialisme”.
Tentu saja, yang diperlukan bukan hanya berbicara mengenai mutlak-perlunya membersihkan masyarakat Indonesia dari sisa-sisa imperialisme dan feodalisme, melainkan lebih-lebih mengambil tindakan kongkret guna membersihkan sisa-sisa itu. Bukankah salah satu ciri orang revolusioner ialah satunya kata-kata dengan perbuatan?
Mengapa strategi dasar ekonomi Indonesia dan kebijaksanaan jangka pendek seperti yang dikemukakan di dalam Dekon merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan? Kebijaksanaan jangka pendek di bidang ekonomi adalah langkah-langkah praktis dan segera yang harus diambil oleh Pemerintah dan Rakyat Indonesia dalam rangka menyusun ekonomi anti-imperialisme dan anti-feodalisme, sedangkan kebijaksanaan jangka pendek hanya akan dapat direalisasi jika dilakukan sesuai dengan strategi dasar, yaitu dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip membersihkan ekonomi dari sisa-sisa imperialisme dan feodalisme. Prinsip-prinsip anti-imperialisme dan anti-feodalisme harus menjadi dasar dalam menentukan setiap langkah di bidang kebijaksanaan jangka pendek.
Dekon selanjutnya menegaskan bahwa, “Agar tercapai kegotongroyongan nasional berporoskan Nasakom untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi, maka perlu diadakan pengintegrasian antara Pemerintah dan Rakyat yang terorganisasi” dan pula bahwa pengintegrasian itu selanjutnya dapat dicapai “dengan mengintensifkan rituling di segala bidang dan dari Pusat sampai ke Daerah-daerah, ..., di bahwa pinpinan saya sendiri” (Presiden Sukarno) (Lihat Dekon, pasal 34). Penegasan-penegasan ini merupakan salah satu bagian yang amat penting dari pada seluruh Deklarasi Ekonomi. Kalau bagian pertama tentang strategi dasar ekonomi menetapkan rintangan-rintangan strategis yang harus disingkirkan dalam tahap Revolusi Indonesia sekarang ini, yaitu imperialisme dan feodalisme, sedangkan kebijaksanaan jangka pendek menetapkan tugas-tugas yang sangat urgen yang harus segera diselenggarakan di bidang ekonomi, maka penegasan-penegasan tentang kegotongroyongan nasional berporoskan NASAKOM, pengintegrasian antara Pemerintah dan Rakyat yang terorganisasi serta pelaksanaan ritul di bawah pimpinan Presiden Sukarno adalah merupakan syarat-syarat mutlak guna melaksanakan Dekon.
Gelombang sambutan sejak segera sesudah Dekon diumumkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 28 Maret 1963 ditandai bukan hanya oleh pernyataan-pernyataan dukungan terhadap Dekon itu melainkan lebih-lebih ditekankan di dalam hampir setiap pernyataan sambutan bahwa syarat-syarat pelaksanaan untuk program yang baik ini harus ada, yaitu supaya segera dibentuk Kabinet Gotong Royong yang berporoskan NASAKOM. Tuntutan ini mencerminkan kesadaran dan keyakinan tekad Rakyat yang sudah lama timbul berdasarkan pengalaman kegagalan berbagai program di bidang ekonomi. Tentu sebab-sebab dari kegagalan-kegagalan itu macam-macam. Ada yang disebabkan karena program-program itu sendiri mengejar tujuan-tujuan yang tidak tepat sehingga tidak didukung malahan dilawan oleh Rakyat dan dengan sendirinya tidak dapat dicapai. Ada yang menetapkan tujuan-tujuan yang tepat tetapi cara-cara yang ditentukan untuk mencapai tujuan-tujuan itu tidak tepat, tidak berdasarkan kenyataan-kenyataan yang kongkret, tidak berdasarkan kekuatan-kekuatan Rakyat atau merugikan kepentingan-kepentingan Rakyat.
Dengan diumumkannya Dekon, maka Rakyat Indonesia sekarang mempunyai program ekonomi dengan tujuan-tujuan dan cara-cara pelaksanaannya yang tepat, yang pada pokoknya berdasarkan kepentingan dan kekuatan Rakyat. Tetapi jika syarat-syarat mutlak bagi pelaksanaannya, terutama di bidang politik, tidak terwujud, maka program itu pun tidak akan berhasil dan akan mengalami nasib yang sama dengan bermacam-macam program ekonomi sebelumnya.
Jika saya berbicara di muka saudara-saudara, di muka para sarjana, tentang pentingnya syarat-syarat pelaksanaannya, maka ini berarti bahwa kita tidak mengakui adanya garis pemisah antara dalil-dalil ilmiah dengan syarat-syarat pelaksanaan, antara masalah ekonomi dan masalah politik. Dan bahwasanya saudara-saudara mengundang saya untuk berbicara tentang Dekon berarti bahwa saudara-saudara sendiri juga sama sekali tidak berpegang pada gagasan yang palsu, yang memisahkan soal-soal ekonomi dari soal-soal politik. Memang ada sarjana-sarjana yang berpendapat bahwa tugas mereka terbatas kepada merumuskan dalil-dalil, sedangkan mengenai pelaksanaan adalah urusan kaum politisi, atau berpendapat bahwa soal-soal ekonomi harus dipecahkan secara ekonomi dan oleh sarjana-sarjana ekonomi, tak perlu dihubungkan dengan soal-soal politik, tak mungkin dipecahkan oleh kaum politisi. Sarjana-sarjana yang demikian, menurut pendapat saya berbuat bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmiah. Apa gunanya sesuatu dalil, betapa pun sempurna, lengkap, indah, dan mengagumkan, jika konsepsi itu tidak sekaligus menetapkan syarat-syarat pelaksanaannya, jika dalil-dalil itu tidak sesuai dengan syarat-syarat yang mungkin diciptakan, atau dengan perkataan lain jika dalil-dalil atau teori-teori itu terpisah dari politik. Sebagaimana kita ketahui, politik adalah pusat pencerminan dari ekonomi, atau sebagaimana dikemukakan oleh Bung Karno bahwa kemerdekaan politik bukanlah tujuan revolusi tetapi hanya suatu ‘jembatan emas’ atau alat untuk membangun sistem ekonomi yang membebaskan Rakyat kita dari penghisapan dan kemiskinan. Sarjana-sarjana memang perlu secara aktif memperhatikan dan berurusan dengan hal-hal pelaksanaan dan dengan syarat-syarat yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaan sesuatu dalil. Ini berarti benar-benar memenangkan prinsip “ilmu untuk Rakyat” dan mengalahkan prinsip “ilmu untuk ilmu”.
Ketetapan hati yang timbul di kalangan Rakyat untuk memperjuangkan syarat-syarat, terutama syarat-syarat politik bagi pelaksanaan Dekon karena tidak mau melihat program ekonomi yang baik ini mengalami kegagalan, adalah berlainan sama sekali dengan semangat apatisme dan defaitisme yang sengaja disebar-sebarkan oleh kaum reaksioner yang sinis. Mereka sengaja memobilisasi contoh-contoh kegagalan dari pada program ekonomi dan keuangan selama ini untuk mencoba-coba meyakinkan bahwa Rakyat Indonesia tidak mampu mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi yang sedang menimpa negerinya. Tujuan lebih jauh ialah untuk menyebarkan konsepsi mereka supaya kita mendasarkan usaha-usaha kita untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi pada penanaman modal monopoli asing, pada “bantuan” ekonomi AS secara langsung atau tak langsung dengan syarat-syarat politik anti-NASAKOM serta anti-ekonomi terpimpin berdasarkan Manipol. Pada hakekatnya, sinisme mereka bersumber pada penolakan mereka terhadap prinsip-prinsip anti-imperialisme dan anti-feodalisme yang justru menjiwai Dekon. Dekon mengharuskan adanya semangat patriotisme dalam mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dan Dekon menetapkan bahwa kesulitan-kesulitan itu hanya dapat diatasi dengan mendasarkan diri pada kekayaan alam negeri kita sendiri, pada kekuatan-kekuatan dan potensi Rakyat, pada kegotongroyongan nasional berporoskan NASAKOM. Sedangkan bagi Rakyat justru prinsip dan semangat ini, justru ketentuan ini membuka kemungkinan bagi berhasilnya Dekon itu.
Yang penting bagi Rakyat sekarang ialah menjamin supaya syarat-syarat pelaksanaannya berwujud, yaitu Kabinet Gotong Royong yang berporoskan NASAKOM. Gagasan NASAKOM telah terwujud di dalam banyak Lembaga Negara, yaitu di dalam DPRGR, MPRS, MPN, MPPR, Depernas, DPA, di banyak DPRD dan BPH. Demikian pula, NASAKOM merupakan poros di dalam Fron Nasional yang bertugas untuk menghimpun kekuatan-kekuatan Rakyat dan yang harus memegang peranan penting dalam pelaksanaan Deklarasi Ekonomi. Malahan pimpinan Bank Pembangunan Indonesia sekarang sudah berkomposisi NASAKOM. Kenyataan-kenyataan ini merupakan kemajuan yang penting sekali dalam perjuangan Rakyat Indonesia untuk mencapai perubahan di lapangan sistem politik. Tetapi kemajuan-kemajuan ini hanya akan berubah menjadi suatu kemenangan yang pasti jika telah tercapai tuntutan Rakyat supaya poros NASAKOM diwujudkan pula di dalam badan eksekutif negara, yaitu di dalam Kabinet yang merupakan badan negara yang menentukan dan yang secara langsung bertanggung jawab atas semua tindakan pemerintahan di semua bidang.
Negeri kita telah mencapai kemerdekaan politik yang sekarang dilengkapi lagi dengan berakhirnya riwayat kolonialisme Belanda di Irian Barat. Tetapi kemerdekaan politik tidak bisa penuh, ia hanya setengah-setengah, selama kemerdekaan ekonomi belum tercapai. Tugas terpenting di dalam tahap pertama dari pada Revolusi Indonesia, seperti ditetapkan di dalam Dekon, ialah untuk menyusun suatu ekonomi yang nasional dan demokratis, atau yang bersih dari imperialisme dan feodalisme. Tugas ini adalah sama dengan mencapai kemerdekaan ekonomi yang berarti untuk membikin penuhnya kemerdekaan politik. Atau dengan kata-kata lain, jika tahap pertama telah diselesaikan, maka negeri kita akan menjadi negeri yang merdeka penuh, dan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 dapat diselesaikan sampai ke akar-akarnya.
Oleh karena itu, kunci dari pada suksesnya tahap pertama itu ialah perjuangan untuk mencapai ekonomi nasional dan demokratis. Tetapi kunci dari pada suksesnya perjuangan ini ialah terbentuknya kekuasaan politik yang sesuai dengan susunan ekonomi yang harus dibangun. Jika dikatakan bahwa Kabinet berporoskan adalah merupakan kekuasaan politik yang sesuai dengan susunan ekonomi yang mau dibangun, ini adalah karena poros NASAKOM merupakan jaminan bagi suatu kekuasaan politik yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme. Adalah tidak mungkin sama sekali untuk menyusun suatu ekonomi yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme tanpa suatu kekuasaan politik yang konsekuen anti-imperialisme dan anti-feodalisme pula.
Dengan demikian jelaslah bahwa pembentukan Kabinet Gotong Royong berporoskan NASAKOM merupakan syarat mutlak, baik untuk tercapainya strategi dasar ekonomi Indonesia maupun untuk berhasilnya kebijaksanaan jangka pendek. Sudah tentu kekuasaan politik berporoskan NASAKOM ditentang keras oleh kaum imperialis dan kaki tangan-kaki tangannya, karena kekuasaan demikian bisa konsekuen anti-imperialis. Soalnya sekarang ialah, mendengarkan ocehan dan gertakan imperialis atau memenuhi tuntutan Rakyat.
b) ARTI TUGAS MEMBERSIHKAN EKONOMI INDONESIA DARI SISA-SISA IMPERIALISME DAN FEODALISME
Saya ingin mengemukakan beberapa hal yang lebih kongkret mengenai tugas untuk membersihkan ekonomi Indonesia dari sisa-sisa imperialisme dan feodalisme. Dengan adanya Dekon, maka telah ditetapkan dengan sangat tegas bahwa setiap usaha yang diambil dalam bidang ekonomi harus dijiwai oleh prinsip-prinsip anti-imperialisme dan anti-feodalisme. Dekon dengan sangat tegas mengatakan bahwa sisa-sisa imperialisme dan feodalisme harus dibersihkan, harus dikikis habis. Dibersihkan berarti benar-benar bersih, tidak ada bekas-bekasnya. Dikikis habis menekankan, harus habis; bukan hanya dikikis, tetapi dikikis habis.
Ini adalah merupakan tugas yang tidak ringan yang meminta perhatian dan perjuangan yang terus-menerus. Dan perjuangan itu tidak akan bisa dilakukan apalagi mencapai sukses jika kita tidak mengetahui dengan jelas lebih dahulu imperialis-imperialis yang mana yang harus dibersihkan, dikikis habis, jika tidak diketahui secara kongkret cara-cara yang dipergunakan oleh imperialisme untuk mempertahankan dirinya di dalam ekonomi kita dan untuk memperluas sayapnya atau pun untuk memulihkan posisinya.
Setelah riwayat imperialisme Belanda di Irian Barat habis, sedangkan posisi-posisi pokok modal Belanda telah dapat dirombak dengan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda (kecuali modal Belanda dalam Shell dan Unilever), maka imperialisme yang paling berbahaya bagi Rakyat Indonesia dan oleh karena itu menjadi musuhnya yang nomor satu, adalah imperialisme Amerika Serikat. Imperialisme AS mempunyai kedudukan-kedudukan penting di dalam ekonomi kita, terutama di bidang minyak (Stanvax, Caltex). Mereka tidak hanya memegang monopoli bersama-sama dengan modal Inggris-Belanda (Shell) melainkan juga memperoleh hak-hak istimewa mengenai penggunaan devisa. Minyak kita yang dikuasai oleh mereka merupakan sumber keuntungan yang sangat besar bagi kaum kapitalis monopoli AS. Ekspor minyak mentah setahun rata-rata 30% dari seluruh ekspor Indonesia. Di samping itu, imperialisme AS sudah lama mengadakan hubungan-hubungan ekonomi dengan Indonesia dengan memberikan apa yang dinamakan “bantuan” ekonomi kepada Indonesia (sebanyak $ 639 juta sejak 1950, menurut Duta Besar AS di Jakarta, H. Jones). Hingga sekarang, AS masih merupakan trading partner Indonesia yang terpenting. Kita mengetahui pula bahwa imperialisme AS sedang berusaha keras untuk memperdalam dan memperkuat posisinya melalui “bantuan” ekonomi yang lebih banyak dan melalui macam-macam cara penetrasi, seperti misalnya: pengiriman “peace corps” terutama di perguruan tinggi, keolahragaan, dan sebagainya.
Yang sangat perlu diperhatikan pada saat ini ialah usaha-usaha imperialisme AS untuk mencampuri hal-hal ekonomi kita melalui “bantuan ekonomi” yang mau diberikan kepada kita. Sudah menjadi rahasia umum bahwa “bantuan ekonomi” tersebut disertai dengan berbagai syarat di bidang politik luar negeri dan politik dalam negeri, dan diselubungi dengan apa yang dinamakan “program stabilisasi ekonomi”. Apakah yang menjadi tujuan-tujuan pokok dari pada “program stabilisasi ekonomi” kaum imperialis Amerika itu? Hal ini bisa kita lihat dari berbagai bahan yang disusun oleh kalangan-kalangan pemerintah AS, termasuk rombongan ahli-ahli ekonomi yang pernah berkunjung ke Indonesia dalam tahun 1961. Hal ini bisa kita pelajari dari bahan yang terkenal dengan nama “Humphrey Report” yang telah beredar luas sehingga sudah menjadi rahasia umum.
“Program stabilisasi ekonomi” buatan AS itu berarti antara lain: meniadakan arti penting serta menghentikan pelaksanaan Ketetapan MPRS No. II mengenai Pola Pembangunan yang bersifat anti-imperialis dan anti-feodal itu karena dianggap “tidak mutlak”, “tidak realistis”, “terlalu ambisius” dan macam-macam lagi; tidak meneruskan usaha-usaha untuk mencapai self-sufficiency dalam bahan-bahan sandang pangan yang pokok, terutama beras dan tekstil karena menurut kaum imperialis AS, Indonesia “lebih beruntung” jika tetap membeli bahan-bahan itu dari luar negeri; tidak membangun industri dasar; tidak mewujudkan politik supaya negara memegang peranan memimpin dalam ekonomi, baik mengenai sektor negara, yaitu perusahaan negara di bidang produksi dan distribusi yang vital, maupun mengenai peranan negara dalam memimpin perkembangan-perkembangan ekonomi pada umumnya; menghentikan segala usaha untuk mengendalikan harga-harga dan membiarkan harga-harga sepenuhnya ditetapkan oleh faktor-faktor di dalam pasaran; menaikkan pajak-pajak yang memberatkan beban Rakyat; memperbesar penanaman modal AS di dalam ekonomi Indonesia dengan jaminan-jaminan tentang transfer-transfer keuntungan-keuntungan dan sebagainya; menghentikan politik luar negeri yang anti-imperialis. Demikianlah secara ringkas pokok-pokok “program stabilisasi ekonomi” yang mau dipaksakan kepada Indonesia.
Deklarasi Ekonomi jika dilaksanakan sungguh-sungguh merupakan suatu penolakan yang tegas terhadap “program stabilisasi ekonomi” yang sedang giat dianjurkan oleh kaum imperialis AS dan kaki tangan-kaki tangannya dalam negeri.
Beberapa minggu yang lalu kita semua dikejutkan oleh kekurangajaran penasehat Presiden Kennedy, Jenderal Louis C. Clay yang menganjurkan supaya Indonesia jangan diberikan “bantuan ekonomi” sebelum Indonesia mau “menghentikan petualangan-petualangan internasional” (maksudnya perlawanan kita terhadap gagasan Federasi Malaysia dan terhadap imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme pada umumnya) dan sebelum Indonesia mau “membereskan ekonomi dalam negeri”. “Nasehat” itu seluruhnya satu nada dengan saran-saran yang dimuat dalam “Humphrey Report”. Bedanya hanya bahwa “Humphrey Report” berusaha menyelimuti saran-saran yang kurang ajar itu dengan segala macam pernyataan “setuju” dengan ekonomi terpimpin, ekonomi gotong royong dan sebagainya, sedangkan Jenderal Clay tidak ambil pusing dengan kemunafikan itu dan menyatakan pendapat kaum imperialis AS tanpa tedeng aling-aling.
Seperti sudah dikatakan di atas, tidak bisa diharapkan bahwa kaum imperialis akan membantu kita untuk membangun suatu ekonomi yang bersih dari sisa-sisa imperialis, akan membantu kita untuk mengikis habis sisa-sisa imperialisme itu. Dengan ini terasa betapa tepatnya Dekon yang menekankan bahwa dalam mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, kita harus berlandaskan dan berorientasi secara mutlak pada potensi dan kekuatan Rakyat, kepada usaha-usaha untuk menggali kekayaan alam negeri kita sendiri.
Kemerdekaan ekonomi hanya akan bisa dicapai jika prinsip ini dipegang teguh. Betapa prinsip ini digerogoti dan diputarbalikkan oleh kaum imperialis dapat kita lihat dari “Humphrey Report” yang dengan tidak tahu malu, berbicara mengenai keyakinannya tentang “kemampuan Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya melalui bantuan asing” (“Humphrey Report”). “Kemerdekaan” di mata kaum imperialis AS berarti ketergantungan kepada kaum imperialis AS seperti halnya dunia merdeka” adalah dunia yang tergantung kepada mereka. Apa yang baru saya kutip dari “Humphrey Report” membuktikan betapa besar peranan “bantuan” AS dalam mempertahankan “kemerdekaan” yang tergantung itu.
Selanjutnya, mengingat hal-hal yang saya gambarkan di atas, ketetapan Dekon bahwa bila mana kekuatan-kekuatan kita sendiri tidak mencukupi maka barulah dicari kredit-kredit luar negeri, haruslah diartikan, bahwa, sesuai dengan dasar-dasar ekonomi yang anti-imperialis, hanyalah negara-negara yang anti-imperialis pula, terutama negara-negara Sosialis, bisa diharapkan membantu kita sebagai partner yang sederajat berdasarkan prinsip-prinsip persamaan hak dan saling menguntungkan, bisa diharapkan membantu kita dalam mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dan dalam membangun suatu ekonomi nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan feodalisme. Hanya si Pandir dan kaum Manipolis munafik yang suka omong kosong bahwa kaum imperialis dapat membantu dalam membangun ekonomi yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme.
Perjuangan untuk membersihkan ekonomi kita dari sisa-sisa imperialis memang merupakan perjuangan yang meminta perhatian dan tenaga. Perjuangan ini harus dilakukan tidak hanya terhadap sisa-sisa imperialis yang masih ada di dalam ekonomi kita, melainkan pula terhadap usaha-usaha kaum imperialis untuk memperbesar peranan mereka di dalam ekonomi kita dengan melalui cara-cara baru, yaitu neo-kolonialisme, dengan menggunakan sisa-sisa imperialis itu sebagai pangkalan dan mengambil untung dari kesulitan-kesulitan ekonomi pada dewasa ini. Jika hal itu dibiarkan, maka ini berarti bahwa sisa-sisa itu bukannya dikikis habis, tapi malahan dikembangkan. Jadi, dalam melaksanakan kebijaksanaan jangka pendek, sesuai dengan strategi dasar ekonomi Indonesia, kita sudah harus melawan neo-kolonialisme.
Dalam hubungan ini, saya merasa perlu menyinggung peranan Dewan Moneter Internasional (IMF) di mana Indonesia masih menjadi anggotanya. DMI itu merupakan suatu organisasi yang pada pokoknya dimaksudkan untuk menggunakan kesulitan-kesulitan moneter negara-negara di dunia kapitalis yang timbul sebagai akibat adanya krisis-krisis ekonomi periodik, untuk memaksakan politik moneter yang dianjurkan oleh DMI dan dengan demikian memudahkan kaum monopolis AS untuk mengontrol dan mencampuri secara intensif politik moneter negara-negara anggota-anggota DMI.
DMI itu sebenarnya apa? DMI benar-benar merupakan organisasi yang sepenuhnya dikuasai negara-negara imperialis, terutama imperialisme AS. Karena jumlah suara masing-masing anggota ditentukan menurut kuota uang seru masing-masing dan bukan menurut prinsip “satu negara satu suara”, maka Amerika Serikat sendiri memegang tidak kurang dari 28% dari pada suara di dalam DMI, dan Inggris memegang 13,4%, sehingga dua negara imperialis itu saja sudah memegang lebih dari 41% dari pada suara di dalam DMI. Jika ini ditambah dengan negara-negara imperialis lainnya di Eropa Barat, maka jelaslah bahwa negara-negara imperialis itu mempunyai mayoritas yang mutlak. Jangan ditanya mengenai persentase Indonesia dalam suara DMI; satu setengah persen pun tidak sampai.
Tak dapat disangkal bahwa keanggotaan Indonesia di dalam badan tersebut yang sepenuhnya dikuasai oleh “the old established forces” sama sekali tidak sesuai dengan politik luar negeri kita; ia juga membuka kemungkinan lebar bagi kaum imperialis untuk ikut menentukan politik negeri kita dalam bidang yang begitu penting, yaitu bidang moneter.
DMI itulah yang paling giat menganjurkan supaya Indonesia suka mengadakan devaluasi. DMI itulah yang setiap tahun mengadakan penelitian-penelitian yang dalam mengenai keadaan devisa kita. DMI itulah yang secara terang-terangan mau dipergunakan oleh imperialiseme AS untuk ikut memaksa negeri kita supaya suka menjalankan “program stabilisasi ekonomi” yang telah saya sebut tadi. DMI itulah yang sekarang mau dipergunakan oleh kaum monopoli Belanda untuk mendesak negara kita supaya mau membayar “ganti-kerugian yang layak” kepada perusahaan-perusahaan Belanda yang diambil-alih.
Bukankah semuanya ini membuktikan, bahwa DMI merupakan salah satu “sisa imperialis” atau lebih tepat imperialis itu sendiri yang benar-benar harus “dikikis habis”?
Sifat ketergantungan ekonomi Indonesia pada pokoknya terletak dalam kenyataan bahwa sektor impor-ekspor masih memegang peranan yang sangat menentukan dalam seluruh ekonomi, terutama sebagai sumber pendapatan negara dan sebagai sumber barang-barang konsumsi yang pokok serta barang-barang yang diperlukan untuk berlangsungnya seluruh sektor produksi, termasuk produksi industri. Selama sifat ini belum diakhiri, adalah tidak mungkin untuk membangun suatu ekonomi yang benar-benar merdeka. Untuk mencapai tujuan ini, Dekon memberikan dasar-dasar yang sangat kokoh, yaitu dengan menetapkan bahwa “yang harus diselenggarakan sekarang ialah memperbesar produksi berdasarkan kekayaan alam yang berlimpah-limpah dan meletakkan dasar-dasar untuk industrialisasi”, dan bahwa “... kita harus mengutamakan pertanian dan perkebunan, kita harus mementingkan pertambangan” (lihat Dekon pasal 6), atau dalam kata-kata lain, kita harus membangun ekonomi nasional dengan pertanian dan perkebunan sebagai basis dan dengan industri sebagai tulang punggung.
Di samping usaha-usaha yang mutlak perlu di dalam negeri untuk mencapai tujuan ini, maka perubahan-perubahan dalam struktur perdagangan luar negeri kita juga sangat dibutuhkan. Sifat ketergantungan tersebut di atas memang timbul sebagai akibat politik kaum kolonialis Belanda dalam memperkembangkan hubungan-hubungan ekonomi negeri kita dengan luar negeri yang terus-menerus mempertahankan posisi kita sebagai sumber bahan-bahan mentah dan sebagai pasaran barang-barang industri negara-negara kapitalis yang maju. Hubungan-hubungan ekonomi dengan negara-negara kapitalis yang mana pun selalu pada pokoknya mengejar tujuan-tujuan yang demikian, karena negara-negara itu sangat berkepentingan supaya negara-negara yang ekonominya masih terbelakang (termasuk Indonesia) tetap menjadi pasaran bagi barang-barang hasil industrinya sendiri karena itu berkepentingan untuk menghampat perkembangan-perkembangan industri yang dapat menjadi saingan bagi industri mereka sendiri.
Hubungan-hubungan dagang Indonesia dengan luar negeri masih untuk sebagian yang terbesar sekali ditujukan ke negara-negara kapitalis. Di samping hal-hal di atas, ini juga berarti bahwa ekonomi kita selalu sangat dipengaruhi oleh naik-turunnya tingkat kegiatan ekonomi di negeri-negeri kapitalis yang makin sering dilanda oleh krisis. Oleh karena itu semua, perubahan-perubahan fundamental dalam struktur perdagangan luar negeri memegang peranan penting dalam mencapai ekonomi yang bersifat nasional-demokratis, ekonomi progresif. Seperti dinyatakan di dalam Dekon, maka “pelayanan kepada keperluan pertumbuhan ekonomi dan lalu lintas barang antara lain dicerminkan ... dalam hubungan ekonomi dengan dunia luar untuk memperkuat politik bebas dan aktif ...” (Dekon pasal 23). Dekon juga dengan sangat tepat menekankan tentang bahayanya blok-blok ekonomi (yang dimaksudkan dengan ini ialah khususnya Pasaran Bersama Eropa) karena “menimbulkan diskriminasi di lapangan perdagangan antar negara, dan dengan demikian memperkuat dominasi ekonomi dari ‘the old established forces”. Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa “Pemerintah berusaha untuk menghilangkan diskriminasi itu, yang tidak hanya menghambat kelancaran perdagangan internasional, akan tetapi yang di samping itu terlebih-lebih menekankan perkembangan pembangunan ekonomi di negara-negara yang baru saja memasuki alam kemerdekaan”. (pasal 10).
Dengan demikian, Dekon memberi petunjuk-petunjuk yang sangat jelas mengenai politik perdagangan luar negeri Republik kita. Satu-satunya dasar yang kokoh bagi politik perdagangan luar negeri kita ialah memperluas hubungan-hubungan ekonomi, khususnya hubungan-hubungan dagang dengan “the new emerging forces” berdasarkan prinsip-prinsip persamaan dan saling menguntungkan, terutama dengan negara-negara Sosialis. Belakangan ini, di samping Indonesia, sudah banyak negara-negara Asia-Afrika yang menentang Pasaran Bersama Eropa karena tindakan-tindakan diskriminasi kaum monopolis Eropa Barat terhadap negara-negara bukan anggota PBE yang sangat merugikan negara-negara yang ekonominya terbelakang. Adalah sama sekali tidak tepat pikiran sementara orang bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi diskriminasi negara-negara kapitalis, terutama PBE, ialah dengan mengadakan semacam asosiasi dengan PBE itu atau malahan untuk menjadi anggotanya. Ini berlawanan sama sekali dengan tujuan-tujuan menghapuskan sifat ketergantungan ekonomi kita. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan bahwa ide supaya Indonesia berasosiasi dengan atau mejadi anggota PBE ternyata menjadi idam-idaman kaum kapitalis monopoli Belanda yang sedang berusaha menyusup kembali ke dalam ekonomi Indonesia.
Kalau di bidang olah raga saja kita sudah bersemboyan “games of the new emerging forces” (Ganefo), maka di bidang perdagangan luar negeri sudah lebih dari pada semestinya jika kita bersemboyan “trade with the new emerging forces”. Semboyan ini dengan sendirinya berarti bahwa Indonesia seharusnya menghentikan perdagangannya dengan negara kapitalis, tetapi ia menggambarkan orientasi yang seharusnya dikembangkan dalam hubungan-hubungan dagang berdasarkan prinsip-prinsip persamaan hak dan saling menguntungkan. Hanya perdagangan luar negeri yang berorientasi kepada “the new emerging forces” dan tidak pada “the old established forces” seperti yang berlaku sekarang ini, dapat merupakan sendi kuat bagi usaha-usaha kita untuk menciptakan suatu ekonomi nasional yang benar-benar merdeka.
c) MENGIKIS HABIS SISA-SISA FEODALISME
Demikian beberapa pokok mengenai pelaksanaan Dekon yang khususnya berhubungan dengan tugas mengikis habis sisa-sisa imperialisme. Di samping tugas itu, Dekon juga menetapkan tugas untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme sebagai rintangan strategis dalam tujuan kita pada tahap pertama ini untuk membangun suatu ekonomi yang nasional dan demokratis. Memang benar demikian. Adanya sisa-sisa feodalisme yang masih merajalela dalam ekonomi Indonesia bukan hanya merupakan dasar sosial dari pada imperialisme – dan oleh karena itu memang sengaja dipertahankan dan dipupuk oleh kaum kolonialis Belanda – ia juga merupakan penghambat dalam membangun ekonomi yang berindustri di mana sektor pertanian menjadi basis yang kokoh dan bukan sumber kemiskinan dan penghisapan kolonial dan feodal seperti halnya sekarang.
Jika saya katakan bahwa sektor pertanian (di samping perkebunan) harus menjadi basis dari pada ekonomi negeri kita, ini berarti bahwa sektor pertanian harus dapat menyediakan bahan-bahan pokok, khususnya pangan. Sektor pertanian harus dikembangkan begitu rupa sehingga tidak hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, melainkan juga untuk dapat diekspor dan dengan demikian menghasilkan devisa untuk membeli barang-barang modal serta lain-lain kebutuhan industri. Selama sektor pertanian belum mampu memegang peranan ini, negeri kita akan terus-menerus tergantung kepada impor untuk sebagian dari bahan-bahan pangan dan tidak akan bisa memperbesar daya penghasilannya supaya dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan kita dalam masa pembangunan.
Penghambat yang terpokok dalam mencapai tujuan-tujuan ini ialah justru masih bercokolnya sisa-sisa feodalisme, yang harus disapu bersih itu. Sisa-sisa feodalisme yang pada pokoknya berupa sistem monopoli pemilikan tanah oleh tuan tanah-tuan tanah merupakan sebab utama mengapa produksi pertanian di negeri kita masih sangat terbelakang.
Dekon dengan tepat menyebut Undang-Undang Perjanjian Bagi-Hasil dan Undang-Undang Pokok Agraria landasan-landasan terpenting dalam menanggulangi persoalan ekonomi. Kedua Undang-Undang ini disokong dan dituntut pelaksanaannya oleh PKI. Undang-Undang Perjanjian Bagi-Hasil memberi kemungkinan bagi kaum tani untuk memperoleh sebagian yang lebih besar dari pada hasil tanaman mereka, sedangkan Undang-Undang Pokok Agraria ditujukan untuk membatasi pemilikan tanah tuan tanah-tuan tanah. Kedua Undang-Undang ini merupakan alat yang penting dalam tangan kaum tani, khususnya bagi tani miskin dan tani tak bertanah, untuk mengurangi penghisapan feodalisme. Adanya dua Undang-Undang ini merupakan langkah-langkah penting dalam memobilisasi kaum tani untuk berjuang melawan sisa-sisa feodalisme dan untuk menuntut langkah-langkah yang lebih radikal lagi guna mengakhiri sama sekali sisa-sisa feodalisme, yaitu melalui suatu landreform atau perubahan tanah yang benar-benar mengikis habis sisa-sisa feodalisme.
Undang-Undang Pokok Agraria berbeda dengan Program Agraria PKI. UU Pokok Agraria hanya bertujuan untuk membatasi penghisapan feodal agar dapat menguntungkan kaum tani, sedangkan Program Agraria PKI menuntut pensitaan tanah tuan tanah serta pembagian tanah tuan tanah itu kepada kaum tani, terutama tani miskin dan buruh tani, dengan cuma-cuma.
Yang sangat penting pada waktu ini ialah untuk menjamin supaya kedua Undang-Undang tersebut, dilaksanakan dengan konsekuen dan benar-benar dapat diselesaikan pelaksanaannya tepat pada waktunya. Ternyata bahwa pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria berjalan dengan sangat lambat. Manipulasi banyak terjadi, negara ditipu oleh tuan tanah-tuan tanah dengan secara formal membagi-bagi tanah-tanah yang luas kepada anggota-anggota keluarga yang bukan penggarap. Dari tanah lebih dan tanah-tanah lain seluas kira-kira 1 juta Ha yang harus dibagikan sebelum akhir tahun ini, belum 1% yang telah selesai dibagikan. Selain dari pada itu, cara membagikan tanah lebih sering tidak sesuai dengan penetapan Undang-Undang, sehingga yang menerima tanah lebih itu malahan sering kali adalah keluarga tuan tanah sendiri yang bukan penggarap. Semuanya ini dimungkinkan, karena operasi yang dijalankan bukan operasi radikal. Selanjutnya, perlu dicatat bahwa syarat-syarat pembayaran sering sangat memberatkan kaum tani yang menerima tanah lebih sehingga di beberapa daerah mereka merasa lebih beruntung dengan pelaksanaan Undang-Undang Perjanjian Bagi-Hasil karena memperoleh bagian yang lebih besar dari hasilnya dari pada jika harus membayar cicilan untuk tanah lebih yang mereka dapat. Kaum tani telah menyambut baik pernyataan Mentri Agraria dan Pertanian beberapa minggu yang lalu, yang menjanjikan bahwa pembagian tanah lebih dalam rangka UUPA akan selesai dilaksanakan sebelum akhir tahun ini. Bagi kaum tani tidak jelas langkah-langkah apa yang akan diambil oleh Menteri, tetapi karena sesuai dengan kepentingannya, kaum tani telah menyatakan kesanggupannya untuk berjuang terus guna menjamin suksesnya pelaksanaan UUPA tepat pada waktunya. Sikap ini adalah sangat sesuai dengan Dekon.
Sampai sekarang, masih banyak sekali rintangan yang dialami kaum tani dalam perjuangannya untuk melaksanakan kedua Undang-Undang ini, karena ternyata bahwa aparatur pemerintahan di daerah-daerah yang diserahi tugas dalam hal ini masih banyak mewakili kepentingan-kepentingan tuan tanah. Di samping itu, kaum kapitalis birokrat ternyata sekarang makin banyak terjalin kepentingan-kepentingannya dalam mempertahankan sisa-sisa feodalisme sebagai sumber penghisapan bagi mereka sendiri. Oleh karena itu, kaum tani dalam perjuangannya melawan sisa-sisa feodalisme harus melakukan perjuangan yang terus-menerus melawan kaum penghisap besar, yaitu kaum kapitalis birokrat, komprador, dan tuan tanah.
Dalam hubungan dengan hal ini, memang di kalangan sarjana-sarjana tertentu terdapat pendapat bahwa pemilikan tanah feodal pada umumnya tidak merupakan persoalan di Indonesia dan dengan demikian mereka berusaha membantah pendirian bahwa di Indonesia terdapat sisa-sisa feodalisme yang kuat. Kaum tani sendiri yang mengalami penghisapan feodal setiap hari telah memberi jawaban yang tepat terhadap pendapat yang sangat keliru ini dengan mengadakan berbagai bentuk aksi terhadap tuan tanah. Saya berpendapat, bahwa para sarjana juga dapat memberikan sumbangannya yang berharga sekali dalam ikut mengadakan penelitian mengenai hubungan agraria, dilihat baik dari segi ekonomi maupun dari segi sosial dan kebudayaan. Dengan demikian, para sarjana akan bisa ikut secara aktif dalam pekerjaan besar untuk melaksanakan Deklarasi Ekonomi.
d) PERANAN SEKTOR KOPERASI DAN SEKTOR SWASTA
Sebelum saya mengakhiri bagian pertama dari ceramah ini mengenai strategi dasar ekonomi Indonesia, saya ingin memberi beberapa penjelasan mengenai ketentuan Dekon yang menyatakan bahwa: “Dalam perjuangan untuk menyelesaikan tahap nasional dan demokratis ini, maka sudah tibalah waktunya untuk mengerahkan segenap potensi, baik potensi Pemerintah maupun potensi koperasi dan swasta (nasional dan domestik) dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan untuk meningkatkan produksi dan menambah penghasilan Negara”. (Lihat Dekon pasal 5). Ini berarti bahwa pada tahap pertama revolusi kita, ekonomi harus terdiri dari tiga sektor, yaitu sektor negara yang memegang posisi komando, sektor koperasi dan sektor swasta.
Umumnya sudah ada pengertian yang boleh dikatakan merata mengenai posisi memimpin yang harus dipegang oleh sektor negara. Yang masih sering kurang jelas ialah fungsi serta posisi dari pada sektor koperasi dan sektor swasta. Adakalanya kedua sektor itu hanya dibedakan dalam arti bentuk yuridis dari pada perusahaan yang bersangkutan. Koperasi sering dianggap sebagai salah satu bagian dari pada sektor swasta; bahkan tidak sedikit “koperasi” yang sebenarnya adalah gabungan perusahaan-perusahaan swasta yang menyalahgunakan nama koperasi guna memperoleh fasilitas.
Pengertian ini adalah keliru. Sektor koperasi justru mempunyai suatu fungsi tertentu yang sangat berbeda dengan sektor swasta, yaitu untuk mempersatukan Rakyat pekerja menurut lapangan penghidupannya masing-masing dan untuk menghambat proses diferensiasi antara produsen-produsen kecil, dan melalui persatuan dan kerja sama ini Rakyat pekerja dapat mengurangi penghisapan tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, tengkulak, dan kapitalis-kapitalis atas diri mereka. Dengan demikian, sektor koperasi membantu Rakyat pekerja, terutama kaum produsen kecil untuk membela diri terhadap penghisapan feodal dan terhadap penghisapan kapitalis. Tugasnya terbatas pada mengurangi penghisapan dan bukan menghapuskannya. Penghisapan baru dihapuskan pada tahap kedua, yaitu dalam ekonomi Sosialis. Tetapi sektor swasta dengan sendirinya tidak mempunyai tugas untuk mengurangi penghisapan, apalagi untuk menghapuskannya. Tugas sektor swasta ialah untuk menghimpung “funds and forces” nasional dan domestik dalam melawan imperialisme dan feodalisme. Penghisapan masih tetap terjadi di sektor swasta. Yang perlu bagi kaum buruh ialah memperoleh atau memperluas hak-hak demokrasinya untuk membela kepentingan-kepentingannya dalam batas-batas yang tidak merugikan perjuangan melawan musuh bersama seluruh Rakyat, yaitu imperialisme dan feodalisme.
Dalam menghambat proses diferensiasi antara produsen kecil, maka koperasi dengan demikian menghambat lahirnya kapitalis-kapitalis baru atas kerugian mereka yang ekonominya lebih lemah. Jika ini berhasil, maka koperasi dapat membawa produsen-produsen kecil langsung menuju ke koperasi-koperasi Sosialis setelah tahap pertama revolusi selesai. Demikianlah fungsi dari pada sektor koperasi pada tahap pertama, yaitu tahap untuk menyusun ekonomi nasional dan demokratis.
Dengan penjelasan ini, maka menjadi teranglah bahwa bentuk-bentuk koperasi yang terpenting ialah koperasi kredit untuk melepaskan produsen kecil dari cengkeraman tukang-tukang ijon dan lintah darat, koperasi produksi untuk meningkatkan produksi pertanian, perikanan, atau kerajinan tangan, dan koperasi jual-beli untuk membela kepentingan-kepentingan bersama produsen kecil dalam marketing dan dalam memperoleh bahan-bahan yang mereka perlukan bagi usaha-usaha produktif mereka. Koperasi-koperasi yang demikian memegang peranan yang penting dalam usaha-usaha untuk mempertinggi produksi sehingga sangat sesuai dengan tujuan Dekon dalam mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini.
Di samping itu, kaum buruh dan pegawai juga sangat membutuhkan koperasi konsumsi guna melindungi kepentingan-kepentingannya sebagai konsumen dan melawan kenaikan-kenaikan harga.
Demikian secara singkat mengenai sektor koperasi pada tingkat revolusi sekarang. Sekarang beberapa penjelasan mengenai sektor swasta.
Ada orang yang merasa sangat heran mengapa PKI menyetujui adanya sektor swasta, dan malahan merasa curiga, apakah ini bukan suatu tipu muslihat yang lihai. Perlu saya menyatakan dengan tegas di sini bahwa PKI tidak hanya menyetujui adanya sektor swasta (nasional dan domestik) tetapi malahan menganjurkannya. Dan sikap ini bukanlah sikap baru bagi PKI, ia merupakan sikap yang tegas dinyatakan dalam Program Umum PKI yang disyahkan oleh Kongres Nasional V PKI yang dilangsungkan dalam tahun 1954 dan yang kemudian diperkuat lagi oleh Kongres Nasional VI (1959), yaitu sebagai berikut:
“Ekonomi Indonesia di samping mengutamakan ekonomi sektor negara yang memimpin, tidak seharusnya menentang industri dan perdagangan yang diselenggarakan oleh kaum kapitalis nasional, melainkan terus dengan konsekuen menentang ekonomi kaum imperialis dan feodal. Proteksi dan fasilitas harus diberikan kepada kapitalis-kapitalis nasional, untuk berkembang dalam batas-batas yang tidak dapat menguasai kehidupan Rakyat dan negara, dan di samping itu ekonomi individual Rakyat pekerja harus dibantu”.
Menurut PKI, persoalannya dalam ekonomi Indonesia ialah bukannya bahwa terdapat terlalu banyak kapitalis-kapitalis nasional atau pengusaha-pengusaha nasional, tetapi sebaliknya, masih terlalu sedikit. Kaum pengusaha nasional terutama mereka yang berusaha di bidang industri, harus diajak untuk mengerahkan potensi-potensinya dalam membangun suatu ekonomi yang anti-imperialis dan anti-feodal. Kaum pengusaha nasional sangat berkepentingan dalam usaha-usaha untuk mengakhiri sisa-sisa imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, sebab kedua-duanya merupakan halangan besar, halangan strategis, bagi perkembangan industri-industri nasional.
Sisa-sisa imperialisme sangat membatasi perkembangan industri dalam negeri karena kaum imperialis berkepentingan untuk tetap memelihara negeri kita sebagai pasaran bagi hasil-hasil industri mereka sendiri, sedangkan sisa-sisa feodalisme merupakan penghalang terpenting dalam mencapai kesatuan pasaran nasional yang stabil yang merupakan syarat mutlak bagi perkembangan industri nasional. Oleh karena itu, secara obyektif kaum pengusaha nasional, terutama pengusaha-pengusaha industri memang dapat diajak ikut serta dalam perjuangan Rakyat Indonesia melawan sisa-sisa imperialisme dan feodalisme itu.
Kaum pengusaha nasional terutama dapat memainkan peranan yang penting dalam membangun sektor industri yang justru sangat lemah sebagai akibat politik kolonial. Dengan demikian, kaum pengusaha nasional dapat membantu dalam menaikkan taraf produksi yang merupakan kunci bagi kita untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi pada dewasa ini. Dengan adanya industri nasional yang giat, maka makin banyaklah bahan-bahan mentah hasil kita sendiri yang akan bisa diolah di dalam negeri, makin besar kemungkinan untuk mengurangi impor barang-barang industri, dan makin luas lapangan kerja bagi kaum buruh. Pada saat ini, mengerahkan potensi swasta seperti yang ditetapkan dalam Dekon, harus berarti khususnya membuka kembali kemungkinan-kemungkinan bagi industri nasional yang sudah ada untuk mencapai kegiatan-kegiatan pada tingkat kapasitas penuh, mengingat bahwa ada perusahaan-perusahaan yang sudah terpaksa tutup atau bekerja pada tingkat kapasitas yang sangat rendah karena kekurangan atau tidak adanya bahan-bahan baku yang mereka perlukan, yang terlalu sering merupakan obyek spekulasi, terutama oleh kaum kapitalis birokrat. Di samping itu, ia harus berarti pula melindungi industri-industri yang sudah ada, memberikan fasilitas-fasilitas yang lebih luas kepada mereka serta memungkinkan dibangunkannya industri-industri baru dengan mempergunakan modal nasional dan domestik.
Dalam menentukan sikap kita terhadap sektor swasta, selalu perlu diingat, seperti ditegaskan pula di dalam Dekon, bahwa perspektif dari pada Revolusi Indonesia adalah Sosialisme dan bukan kapitalisme. Ini berarti bahwa sektor swasta harus memegang peranan sebagai pembantu sektor negara dan bahwa ia tidak mempunya perspektif untuk berkembang menjadi kapitalisme monopoli yang menguasai seluruh kehidupan ekonomi. Mendorong perkembangan swasta nasional sama sekali tidak berarti membiarkan kapitalis-kapitalis komprador yang hidup dari jasa-jasa mereka dalam memelihara hubungan erat dengan kaum imperialis, dan juga tidak dimaksudkan untuk membiarkan kapitalis-kapitalis birokrat yang justru merupakan salah satu penghambat bagi perkembangan industri nasional.
Selanjutnya, perlu juga ditekankan bahwa kaum imperialis sangat menentang adanya sektor negara yang memimpin di dalam ekonomi kita, sudah dan akan terus berusaha untuk mendapatkan partner-partner mereka dalam sektor swasta guna melakukan penetrasi ekonominya di negeri kita. Oleh karena itu, dari kaum pengusaha nasional sangat diharapkan semangat patriotisme, semangat menolak untuk memainkan peranan kaki-tangan imperialis, peranan menghambat penyelesaian Revolusi Agustus 1945.
Sektor swasta nasional yang patriotik hanya akan bisa berkembang jika di antara sektor itu dengan sektor negara terdapat hubungan yang erat dan yang saling membantu. Pemerintah membantu sektor swasta dengan memberikan fasilitas-fasilitas, perlindungan, pesanan-pesanan, dan lain sebagainya, sedangkan sektor swasta membantu sektor Negara dengan mengerahkan seluruh potensinya untuk membangun industri nasional, dalam mempertinggi produksi nasional dan dalam menyediakan lapangan kerja yang lebih luas. Perlu ada ketetapan yang jelas tentang bidang-bidang bergerak bagi swasta nasional dan bidang mana yang hanya terbuka bagi negara saja.
Demikian beberapa pokok yang ingin saya kemukakan mengenai strategi dasar ekonomi Indonesia seperti ditetapkan dalam Deklarasi Ekonomi. Dari uraian ini, dapat kita simpulkan secara kongkret sebagai berikut: Usaha-usaha untuk mencapai susunan ekonomi yang anti-imperialis dan anti-feodal, untuk mencapai susunan ekonomi yang progresif, harus dilakukan dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan mereka yang mewakili dan membela imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, yaitu dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan kaum penghisap besar di kota-kota dan di desa-desa, atau kongkretnya tuan tanah-tuan tanah, kapitalis-kapitalis birokrat, dan kaum komprador, dan dengan membela kepentingan-kepentingan Rakyat. Kemampuan seseorang untuk secara ikhlas dan sungguh-sungguh melaksanakan Dekon harus diukur berdasarkan kesungguhannya dalam melakukan tugas ini.
Di dalam bagian kedua dari pada ceramah ini, ingin saya mengemukakan beberapa pandangan mengenai hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam melaksanakan kebijaksanaan jangka pendek. Pertama-tama saya ingin menekankan kepada tiga hal yang harus menjadi pegangan bagi setiap usaha Pemerintah dalam rangka kebijaksanaan jangka pendek ini:
Pertama, langkah-langkah yang diambil tidak boleh bertentangan, malahan harus sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip anti-imperialisme dan anti-feodalisme, sesuai dengan strategi dasar ekonomi Indonesia dan ini berarti merealisasikan tujuan untuk membersihkan sisa-sisa imperialisme dan feodalisme. Jadi, tidak boleh memperkokoh posisi ekonomi kaum imperialis dengan jalan membuka pintu bagi penanaman modal monopoli asing secara klasik atau secara neo-kolonialisme.
Kedua, faktor yang paling menentukan dalam mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini, dan dalam melaksanakan kebijaksanaan jangka pendek ialah usaha-usaha untuk menaikkan tingkat produksi dengan berorientasi pada tenaga produktif yang pokok, yaitu kaum buruh dan kaum tani. Ini harus berarti bahwa tidak boleh ada tindakan-tindakan yang merugikan tenaga-tenaga produktif itu, karena ini dengan sendirinya akan berarti bertentangan dengan tujuan untuk mencapai kenaikan produksi.
Ketiga, usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini harus berdasarkan mobilisasi kekuatan dan potensi Rakyat dengan menciptakan kegotongroyongan nasional berporoskan NASAKOM di segala bidang, dan menggali serta mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia sendiri. Merehabilitasi semua potensi ekonomi yang ada dan menggunakan segala dana rupiah dan devisa yang ada atau bisa disediakan secara efektif dengan mencegah pemborosan serta memberantas salah urus di segala bidang ekonomi dan keuangan.
Dekon dengan secara tepat mengemukakan prinsip yang harus dipegang dalam menghadapi persoalan-persoalan ekonomi seperti inflasi, kekurangan devisa, dsb dengan mengatakan sebagai berikut: “Keadaan yang mendesak ini tidak dapat diatasi sebagai masalah yang berdiri sendiri, lebih-lebih tidak mungkin kita mengatasinya hanya dengan tindakan moneter konvensional belaka. Sebaliknya, tidak ada jalan mudah yang dapat mengangkat kita dari impase sekarang ini, kecuali atas dasar menggerakkan segenap potensi dan kekuatan Rakyat sesuai dengan konsepsi integral menanggulangi persoalan ekonomi nasional kita”. (lihat Dekon pasal 13).
Dengan demikian, Dekon dengan tegas menolak pandangan sementara orang, termasuk pula ahli-ahli ekonomi Indonesia tertentu yang masih berpegang pada teori-teori liberal dan borjuis, bahwa kesulitan-kesulitan ekonomi yang kita hadapi sekarang adalah merupaka “vicieuse cirkel” atau lingkaran yang tak berujung pangkal. Pandangan ini saya anggap sangat perlu perhatian sarjana-sarjana progresif, terutama sarjana-sarjana ekonomi. Berpegang pada pandangan “vicieuse cirkel” berarti beranggapan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi kesulitan ekonomi desawa ini ialah dengan mengundang penanaman modal serta “bantuan” ekonomi dari negara-negara imperialis. Berpegang pada pandangan ”vicieuse cirkel” berarti beranggapan bahwa hanya tindakan-tindakan teknis moneter yang drastis saja yang akan mampu mengakhiri keadaan kritis pada dewasa ini, yaitu tindakan-tindakan yang merugikan Rakyat dan menguntungkan modal monopoli asing karena memperkuat posisi dolar di dalam ekonomi kita.
Sikap yang diambil di dalam Dekon seperti saya kutip di atas merupakan dasar yang yang kuat bagi usaha-usaha menyelesaikan kesulitan-kesulitan ekonomi sesuai dengan semangat patriotisme, sesuai dengan penolakan dan perlawanan terhadap neo-kolonialisme yang selalu siap pada seitap saat untuk “membantu” kita keluar dari “vicieuse cirkel” dan dengan demikian memasukkan kita ke dalam perangkap mereka.
Kebijaksanaan jangka pendek pada pokoknya berkisar di sekitar usaha-usaha untuk dengan selekas mungkin menyediakan pangan yang cukup, terutama beras, dan untuk menyediakan bahan-bahan baku dan penolong serta spare parts bagi industri dan sektor produksi. Dua hal itu ditentukan sebagai prioritas utama dalam jangka waktu 2 tahun ini. Dekon juga menetapkan bahwa dua hal tersebut harus dibiayai dengan kekuatan kita sendiri, dan hanya “bila mana itu tidak mencukupi, maka barulah dicarikan kredit-kredit luar negeri dengan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Ketetapan MPRS No. II, tahun 1960” (lihat Dekon pasal 30).
Ada pihak yang menarik kesimpulan bahwa Dekon merupakan semacam program 2 tahun. Ini sama sekali tidak benar. Kesimpulan semacam ini menunjukkan bahwa Dekon sama sekali tidak dipahami. Dekon adalah merupakan program untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia tahap pertama. Program untuk menyelesaikan revolusi dengan sendirinya tidak bisa diikat dengan waktu. Ini tergantung seluruhnya dari keadaan obyektif serta imbangan kekuatan.
a) TENTANG “IRON STOCK” BERAS
Dekon menetapkan bahwa “Pemerintah harus mempunyai dan menguasai 'Iron stock' beras” (pasal 30). Ini pada pokoknya berarti bahwa Pemerintah harus dapat menguasai persediaan dan distribusi beras pada umumnya. Maksud-tujuan “Iron stock” ialah untuk dapat mempunyai pasaran beras guna mencegah kenaikan harganya. “Iron stock” dipergunakan untuk mengakhiri perdagangan gelap beras dan untuk memungkinkan seluruh Rakyat membeli beras yang dibutuhkannya dengan harga resmi. Jadi, maksudnya ialah untuk menurunkan kembali ongkos-ongkos hidup yang sudah sedemikian tinggi itu.
Karena hal ini merupakan sesuatu yang perlu diselenggarakan dengan segera, maka usaha-usaha ke arah tujuan ini harus meliputi tindakan-tindakan jangka pendek untuk dengan segera menaikkan produksi pangan, terutama beras. Hal yang demikian memerlukan fasilitas-fasilitas segera kepada kaum tani, untuk membantu usaha-usaha produktif mereka, dan terutama mendirikan Dewan-Dewan Produksi di mana kaum tani yang terorganisasi diikutsertakan. Dalam rangka ini pula, perlu segera diambil tindakan-tindakan untuk mengakhiri rintangan-rintangan yang dihadapi oleh kaum tani, khususnya rintangan-rintangan yang timbul karena penguasa-penguasa daerah yang berwatak feodal atau kapitalis birokrat.
Sumber “iron stock” beras yang paling tepat ialah dari produksi beras dalam negeri dan ini dengan sendirinya berarti bahwa di samping usaha-usaha untuk mensukseskan target kenaikan produksi padi harus pula diadakan peninjauan kembali secara seksama mengenai pembelian padi pemerintah yang mengalami kegagalan dalam tahun yang lalu.
Karena kesimpangsiuran yang sangat merajalela di bidang statistik, maka kita menghadapi kenyataan bahwa angka yang dapat dipercaya mengenai produksi padi dalam tahun 1962 tidak ada. Yang ada ialah angka Biro Pusat Statistik yaitu 17,8 juta ton, angka Komisi Juned (Menteri Riset Nasional) yaitu 18,3 juta ton dan angka Departemen Agraria dan Pertanian 19,8 juta ton dan 20,1 juta ton. Entah yang mana yang benar, tetapi yang jelas ialah bahwa semua angka ini tidak ada satu yang mencapai target produksi padi untuk tahun 1962 seperti yang ditetapkan oleh MPRS yaitu 20,4 juta ton. Program “self-supporting beras” telah diakui suatu kegagalan dan Padi Sentra ternyata telah menjadi sentra-sentra korupsi dan ketidakberesan yang sangat merugikan.
Saya berpendapat bahwa bidang statistik masih dihinggapi kesimpangsiuran serta cara-cara mengumpulkan statistik ternyata masih berdasar metode-metode kaum kolonialis Belanda dulu dengan sama sekali mengabaikan pengalaman tenaga-tenaga produktif sendiri, khususnya kaum tani dan kaum buruh di pabrik-pabrik. Hal yant tidak memuaskan ini patut mendapat perhatian yang serius dari pada sarjana Indonesia. Perencanaan dan penelitian tanpa statistik adalah laksana membikin kue tanpa bahan-bahan. Tetapi lebih celaka lagi ialah perencanaan dan penelitian dengan statistik yang salah, sebab perencanaan dan penelitian semacam itu dapat dipastikan akan meleset dari sejak semula. Mudah-mudahan para sarjana akan berhasil dalam ikut memperbaiki keadaan yang tidak memuaskan di bidang statistik ini, dan akan mengadakan penelitian bersama-sama dengan tenaga-tenaga produktif, untuk mengumpulkan bahan-bahan statistik yang benar, khususnya di bidang produksi pangan. Ini akan merupakan suatu sumbangan kongkret yang sangat berguna bagi pelaksanaan Deklarasi Ekonomi.
Seperti halnya dengan program kenaikan produksi padi, maka pembelian padi pemerintah juga telah mengalami kegagalan, karena kaum tani sebagai produsen padi ternyata tidak diajak untuk berunding mengenai penetapan jatah yang masuk akal dan mengenai harga yang pantas. Sedangkan pada umumnya tidak dijalankan usaha-usaha untuk melaksanakan pembayaran dengan cara-cara yang mudah dan cepat dengan disertai usaha-usaha efektif dalam membantu kaum tani untuk membeli kebutuhan-kebutuhannya dengan harga pantas, seperti misalnya garam, ikan asin, minyak tanah, tekstil, alat-alat pertanian, pupuk, dan sebagainya. Di beberapa daerah Pemerintah belum melunasi harga-harga padi yang dikumpulkan dari kaum tani.
Pada pokoknya kegagalan-kegalan yang dialami dalam mencapai kenaikan produksi beras dan dalam melaksanakan pembelian padi pemerintah disebabkan karena usaha-usaha itu tidak didasarkan secara kokoh pada tenaga produktif di sektor pertanian, yaitu kaum tani. Saya berpendapat, bahwa lebih-lebih dari pada di bidang-bidang lain, ketentuan Dekon mengenai mutlak perlunya “menggerakkan segenap potensi dan kekuatan Rakyat” harus dijalankan dengan konsekuen di bidang produksi pangan, khususnya padi. Potensi dan kekuatan Rakyat akan bisa digerakkan di bidang pertanian jika kepentingan-kepentigan kaum tani dibela dan kepentingan-kepentingan kaum tuan tanah serta kapitalis birokrat dikorbankan. Ini merupakan hal yang sangat urgen, ini merupakan syarat mutlak untuk mencapai kenaikan produksi, untuk mensukseskan program pembelian padi dan untuk menjamin adanya “iron stock” beras ada beberapa tafsiran yang mengartikan hal ini sebagai anjuran untuk memperoleh beras itu. Saya tidak membantah bahwa dalam keadaan yang sangat mendesak di mana terdapat kekurangan-kekurangan beras sehingga mengganggu kelancaran roda ekonomi, maka impor beras menjadi suatu keharusan. Tetapi menggantungkan diri pada impor beras saja tidak merupakan jalan keluar yang tepat. Malahan jika perhatian terlalu banyak diarahkan ke sana, sektor pertanian kita sendiri dapat mengalami kerugian-kerugian besar. Setiap kali Pemerintah mengimpor beras, ini berarti suatu kegagalan di bidang produksi dalam negeri, karena masih terlalu banyak devisa digunakan untuk keperluan konsumtif sehingga mengorbankan sektor produktif. Kita semua mengetahui bahwa dalam waktu akhir-akhir ini impor beras telah mencapai volume yang sangat besar, yaitu 1,3 juta ton dalam tahun yang lalu. Apakah dengan demikian persoalan pangan telah diatasi? Sama sekali tidak! Malahan sebaliknya! Volume impor beras telah mencapai rekor dalam tahun 1962, tetapi kekacauan dalam persediaan dan distribusi beras juga telah mencapai rekor dalam tahun itu!
Dalam hubungan dengan persoalan ini, saya ingin pula menyebut suatu pendapat yang sangat keliru tentang pengaruhnya sesuatu inflasi terhadap pertanian. Menurut ahli-ahli ekonomi tertentu, sesuatu inflasi dianggap hanya merugikan golongan-golongan yang berpenghasilan tetap, yaitu kaum buruh dan pegawai, sedangkan tenaga produktif di bidang pertanian tidak mengalami kerugian-kerugian karena, katanya, harga penghasilan mereka selalu disesuaikan dengan kenaikan harga yang terjadi dalam rangka inflasi itu. Teori ini dipergunakan untuk menyebarkan ide bahwa kaum tani Indonesia tidak mengalami kesulitan-kesulitan sebagai akibat inflasi pada saat ini.
Pandangan ini adalah sangat keliru dan sama sekali mengabaikan kenyataan bahwa di sektor pertanian kita masih terdapat sisa-sisa feodalisme yang berat. Seandainya halnya memang demikian, saya rasa Rakyat Indonesia yang lebih-kurang 70% hidup dari pertanian, tidak akan begitu berkeberatan jika terjadi inflasi sebab, menurut teori itu, yang rugi hanya sebagian kecil saja.
Pandangan ini hanya berlaku terhadap tuan tanah dan tani kaya, tetapi sama sekali tidak berlaku terhadap kaum tani miskin dan mereka yang tidak mempunyai tanah sama sekali, yaitu buruh tani, sedangkan jumlah tani miskin dan buruh tani justru meliputi bagian terbesar dari pada mereka yang hidup di desa. Tani miskin dan buruh tani mengalami kesulitan-kesulitan yang amat besar karena hampir semua kebutuhan mereka harus dibeli, termasuk pula beras. Kaum tani di pedusunan di Jawa dan Madura telah mengalami kenaikan harga yang sangat berat sekali sejak tahun 1960 seperti yang dapat dilihat dari index harga 12 barang makanan pokok dan barang-barang tekstil di daerah pedusunan, sebagai berikut:
Tahun |
12 bahan makanan pokok |
Tekstil |
1960 |
388 |
926 |
1961 |
1243 |
836 |
1962 (Maret) |
1910 |
1176 |
Sumber: BPS. (1953 = 100)
Di samping itu, sistem distribusi barang sandang-pangan yang sedikit atau banyak mulai berjalan di beberapa kota besar, walaupun dengan berbagai kemacetan, sama sekali tidak dijalankan di desa-desa. Kaum tani juga menjadi sasaran tengkulak-tengkulak lama dan tengkulak-tengkulak baru alias kapitalis-kapitalis birokrat yang dengan tepat sudah dinyatakan oleh kaum tani sendiri sebagai “tikus kaki dua”.
Kaum tani juga mengalami kesulitan-kesulitan yang sangat besar karena makin rusaknya seluruh aparatur pengangkutan termasuk jalan-jalan. Ada berita misalnya di salah satu daerah di Sumatera Selatan yang banyak menghasilkan bahan-bahan hasil ekspor bahwa satu-satunya cara yang tinggal untuk mengangkut hasil-hasil mereka itu ialah dengan tenaga manusia saja.
Teori atau lebih tepat dikatakan “dongengan” mengenai tidak ruginya kaum tani di waktu inflasi ini, sebenarnya hanya meneruskan kebohongan yang suka disebarkan oleh kaum kolonialis Belanda dulu bahwa Rakyat Indonesia umumnya tidak menderita di waktu krisis ekonomi karena selalu bisa ditampung oleh desa. Orang-orang atau sarjana-sarjana yang masih percaya pada dongengan-dongengan ini perlu “turun ke bawah” untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa kemelaratan di desa-desa pada saat ini.
Inflasi justru memperkuat posisi ekonomi kaum tuan tanah dan kaum penghisap lainnya di desa-desa dan membikin lebih berat lagi kehidupan kaum tani, terutama tani miskin dan buruh tani. Kenyataan ini harus diperhitungkan dalam menetapkan langkah-langkah untuk menaikkan produksi pangan.
b) USAHA-USAHA UNTUK MEMULIHKAN KEMBALI APARAT PRODUKSI
Tujuan kedua dari pada kebijaksanaan jangka pendek ialah untuk “menyempurnakan aparat produksi yang ada, untuk mempertahankan dan mempertinggi tingkat produksi masa sekarang ini”. Tugas ini, disamping tugas untuk menyediakan “iron stock” beras, dinyatakan harus diberi prioritas utama dalam waktu-waktu tahun ini. Kedua tugas ini dimaksudkan “supaya dapat memperbesar daya-produksinya, sehingga dengan demikian di dalam waktu jangka pendek itu dapat dijamin bertambahnya peredaran barang di dalam masyarakat sebagai imbangan dari pada beredarnya uang” (Dekon pasal 30).
Penegasan ini berarti bahwa prinsip pokok dari pada Dekon dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi ialah untuk mencapai kenaikan tingkat produksi. Penegasan ini adalah sangat penting dan harus dijadikan dasar bagi setiap langkah yang mau diambil. Kongkretnya, prinsip ini berarti bahwa pada pokoknya, mulai dengan diucapkannya Dekon, setiap tindakan di bidang eknomi dan di bidang politik pada umumnya harus ditinjau dari sudut: apakah tindakan itu mendorong produksi ataukah sebaliknya, menghambat produksi; apakah tindakan itu menguntungkan tenaga-tenaga produktif, ataukah sebaliknya, merugikan tenaga-tenaga produktif.
Dekon menetapkan bahwa usaha-usaha untuk memulihkan aparat produksi harus pada tingkat pertama dipusatkan kepada memperlancar kembali persediaan spare parts dan bahan-bahan baku/penolong. Sudah diketahui secara umum betapa sektor industri serta sektor pengangkutan menghadapi kemacetan-kemacetan yang sangat mendalam pada saat ini karena kekurangan spare parts dan bahan-bahan baku/penolong. Walaupun tidak ada suatu angka yang menyeluruh mengenai tingkat produksi di sektor industri pada umumnya, saya rasa tidak berlebih-lebihan jika diperkirakan bahwa industri dalam negeri pada saat sekarang hanya bekerja rata-rata 25% dari pada kapasitas penuhnya.
Adalah suatu kenyataan bahwa negeri kita masih tergantung kepada luar negeri untuk persediaan-persediaan spare parts dan bahan-bahan baku/penolong, walaupun dapat diketahui pula bahwa bukan hanya persediaan bahan-bahan baku dari luar negeri yang mengalami kemacetan-kemacetan dewasa ini. Pun bahan-bahan baku yang terdapat di dalam negeri sangat kurang, atau distribusinya macet karena dijadikan obyek spekulasi. Sedangkan di mana telah diambil tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk mengatasi kemacetan-kemacetan dan ketidakberesan itu, seperti misalnya dengan sistem pengawasan ban-ban yang baru-baru ini, ternyata mempunyai efek yang justru sebaliknya, yaitu lebih memacetkan bidang-bidang yang sudah demikian macetnya itu.
Ketergantungan sektor produksi kepada luar negeri untuk spare parts tersebut berarti bahwa tugas pokok dari pada sektor impor pada dewasa ini harus ditekankan pada melayani kebutuhan-kebutuhan tersebut. Di samping pembelian bahan-bahan konsumsi pokok yang masih harus diimpor, sektor impor harus dikerahkan khususnya untuk mendatangkan kebutuhan-kebutuhan sektor produksi. Dalam hubungan ini, Dekon juga menegaskan bahwa kita harus “mengurangi sejauh mungkin impor bahan-bahan lux” (Dekon pasal 30).
Saya anggap hal ini sangat penting dalam rangka menjaga kebebasan kita di bidang impor bahan-bahan baku dan spare parts. Telah diketahui bahwa kaum imperialis AS, Belanda, dan lain-lain telah siap untuk “membantu” kita dalam mengatasi kesulitan-kesulitan spare parts tersebut. Misalnya, dalam bulan Pebruari yang baru lalu, telah ditandatangani persetujuan kredit dengan AS sebesar $17 juta khususnya untuk spare parts dan bahan-bahan penolong. Kaum imperialis ternyata melihat bidang ini sebagai suatu kemungkinan yang baik untuk mengikat ekonomi kita secara lebih efektif kepada ekonomi mereka dan mengabadikan posisi mereka sebagai sumber barang-barang keperluan industri. Ini berarti bahwa, lebih di sektor ini, kita harus berusaha untuk membiayai impor barang-barang tersebut dengan penghasilan devisa kita sendiri dan sejaum mungkin tidak dengan kredit-kredit dari negara-negara kapitalis yang disertai syarat-syarat yang merugikan Indonesia.
Di samping kekurangan impor, persediaan bahan-bahan baku/penolong juga sangat dikacaukan karena berbagai penyelewengan dan korupsi serta manipulasi di bidang distribusi. Benang menjadi obyek korupsi dan manipulasi, ban mobil menjadi obyek korupsi dan manipulasi, semen menjadi obyek korupsi dan manipulasi. Ya, tak ada satu bahan pun yang tidak dikorupsi dan dimanipulasi oleh kaum kapitalis birokrat. Ini berarti bahwa tindakan-tindakan untuk memberantas korupsi dan meritul tukang-tukang salah urus adalah sangat erat hubungannya dengan tugas untuk menaikkan tingkat produksi.
c) DEKONSENTRASI DALAM SOAL MANAJEMEN
Salah satu ketentuan dalam Dekon yang perlu mendapat perhatian ialah mengenai akan diadakannya dekonsentrasi dalam manajemen. Hal ini dikemukakan karena dirasakan betapa kurang baik berjalannya pengurusan atau manajemen pada saat ini khususnya di dalam perusahaan-perusahaan negara, sehingga salah urus itu sangat mengakibatkan kemacetan-kemacetan di segala lapangan.
Memang dapat dimengerti bahwa jika “sistem manajemen” terlalu terpusat, maka ekonomi kita yang meliputi suatu daerah yang sangat luas dengan jaringan komunikasi yang pada umumnya sangat kurang, akan menghadapi berbagai kesulitan dan kemacetan. Salah satu prinsip yang sangat penting dalam hal pengurusan ekonomi sektor negara ialah supaya mereka yang bertanggung jawab terhadap satu perusahaan atau di dalam satu perusahaan terhadap satu bagian, cabang atau daerah, diberi otoritas atau wewenang serta tanggung jawab perseorangan yang cukup karena hanya dengan demikian, perusahaan atau cabang-cabang yang bersangkutan akan bisa berjalan dengan lancar. Tentunya, tanggung jawab tersebut harus sepenuhnya dilakukan sesuai dengan garis-garis atau kebijaksanaan umum dan tidak boleh diartikan sebagai ketentuan yang membuka kemungkikan bagi orang-orang untuk secara sesuka-sukanya menentukan langkah-langkah yang bersifat kedaerahan yang sempit atau hanya menguntungkan kepentingan pribadi si manajer sendiri.
Dalam menetapkan perlu adanya dekonsentrasi dalam manajemen, Dekon dengan tepat menekankan bahwa ini harus dijalankan “dengan tidak mengorbankan Indonesia sebagai suatu kesatuan ekonomi dan politik”, bahwa dekonsentrasi itu dimaksudkan berlaku hanya “mengenai sesuatu hal, yang hanya mengenai daerah atau wilayah cabang itu sendiri”, dan bahwa dekonsentrasi ini “tidak berarti mengorbankan sentralisasi dalam perencanaan (planning) dan pengawasan (control) terakhir, yang ada di tangan pihak pusat”. Juga ditekankan bahwa “dekonsentrasi dalam manajemen tidak dimasukkan dalam otonomi lokal” (pasal 24).
Syarat-syarat ini memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa dekonsentrasi hanya ditujukan kepada mencapai efisiensi dalam menjalankan perusahaan-perusahaan dan dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan teknis karena keadaan geografis serta kekurangan-kekurangan perhubungan yang terdapat pada saat ini. Dekonsentrasi sama sekali tidak boleh mengurangi kesatuan ekonomi dan politik nasional dan oleh karena itu sangat bertentangan dengan usaha-usaha kaum separatis khususnya kaum pemberontak PRRI-Permesta beberapa tahun yang lalu yang memang sengaja mempergunakan keluh kesah Rakyat di daerah-daerah tertentu serta kesulitan-kesulitan komunikasi antara daerah dan pusat untuk mencapai maksud-maksudnya yang jahat dalam menghancurkan Republik Kesatuan kita.
Perlu saya kemukakan pula bahwa penetapan mengenai dekonsentrasi itu tidak berarti bahwa salah urus hanya terjadi karena manajemen terlalu banyak dipusatkan di Jakarta. Ketentuan Dekon ini sama sekali tidak mengurangi konstatasi bahwa faktor terpenting dalam pengurusan ialah manusianya, dan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami oleh perusahaan-perusahaan atau bank-bank negara di daerah-daerah pada pokoknya disebabkan oleh karena banyaknya orang yang salah duduk. Dari pengalaman dapat diketahui bahwa banyak sekali pemimpin-pemimpin perusahaan-perusahaan negara di daerah merupakan orang-orang yang tidak cakap, yang tidak jujur, dan tidak Manipolis sehingga mereka mudah diperalat oleh kalangan-kalangan tertentu untuk kepentingan-kepentingannya sendiri.
Kalau seandainya salah duduk dan salah urus hanya menimbulkan inefisiensi dan kelalain, mungkin tidak seberapa jelek pengaruhnya terhadap ekonomi. Tetapi yang kita hadapi ialah salah duduk dan salah urus yang mengakibatkan penyalahgunaan kekayaan negara, pencolengan, korupsi, dan pemborosan secara besar-besaran. Karena itu, salah duduk dan salah urus, apalagi di tempat-tempat yang jauh dari pengawasan pusat, harus segera diakhiri.
Dekonsentrasi pengurusan atau manajemen berarti bahwa lebih dari pada sebelumnya, faktor manusia harus diperhatikan. Jika orang-orang yang tidak cakap dan tidak jujur membikin segalanya kacau dalam keadaan di mana pusat mempunyai wewenang yang besar, orang-orang itu akan lebih-lebih sangat membahayakan jika mereka diberi wewenang yang luas. Dapat kita bayangkan bahwa dekonsentrasi bisa berarti suatu “jaman emas” untuk tukang-tukang salah duduk dan salah urus itu.
Dekonsentrasi harus berarti bahwa lebih dari pada sebelumnya harus sedera dilakukan ritul, sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam Dekon.
d) PERUBAHAN-PERUBAHAN DALAM SISTEM PERPAJAKAN
Apa yang ditetapkan dalam Dekon mengenai perpajakan merupakan suatu kemajuan yang sangat penting. Dekon menolak sistem perpajakan yang lama karena sistem itu berpokok kepada pajak-pajak langsung dan tidak langsung yang pada umumnya sangat memberatkan Rakyat. Sistem perpajakan itu yang sampai saat ini masih tetap berlaku, merupakan satu aspek yang tak bisa dipisahkan dari sifat ekonomi kita sebagai ekonomi yang tergantung, di mana ekspor dan impor memegang peranan yang menentukan, di mana keuangan negara masih bersandar kepada pajak-pajak langsung dan tidak langsung semata-mata. Malahan perpajakan masih dianggap oleh ahli-ahli ekonomi tertentu sebagai “instrumen pembangunan yang utama”. Dekon menetapkan tiga prinsip baru mengenai perpajakan, yaitu “(a) untuk memberikan dorongan kepada inisiatif produsen guna memperluas dan memperbesar produksi mereka; (b) untuk meratakan akumulasi modal dalam pembangunan secara kesuluruhan, dan (c) untuk mendapat kepastian supaya perusahaan-perusahaan Negara merupakan sumber terpenting dalam mengumpulkan modal guna pertumbuhan selanjutnya” (pasal 27).
Prinsip pertama dalam mengubah sistem perpajakan harus menetapkan politik pajak yang berpegangan pada prinsip dari Rakyat kembali ke Rakyat dan dengan sendirinya politik fiskal pada umumnya tidak boleh menghambat kegiatan produksi dan menambah berat beban penghidupan Rakyat. Politik keuangan harus mengabdi pada produksi dan tidak sebaliknya seperti halnya sekarang ini di mana produksi mengabdi, atau lebih tepat, dikorbankan karena politik keuangan dan fiskal yang keliru. Sampai saat ini, cara-cara yang dipergunakan untuk memperoleh kenaikan penerimaan negara ialah melalui kenaikan tarif pajak, kenaikan harga, dan juga melalui macam-macam pajak baru, seperti komponen harga, meerwinst, dan sebagainya. Cara-cara demikian itu biasanya dibenarkan, juga dalam textbooks mengenai politik fiskal kapitalis, karena administratif gampang; tetapi segi yang paling gampang dari cara-cara itu bisa pindah efeknya kepada para konsumen, yaitu Rakyat, terutama Rakyat pekerja. Kenaikan pendapatan pajak-pajak langsung dan tidak langsung harus dicapai bukan dengan cara itu melainkan melalui perkembangan ekonomi yang sehat. Bertambahnya kegiatan ekonomi dengan sendirinya akan bertambah penerimaan negara dari pajak.
Penegasan Dekon bahwa usaha-usaha untuk menaikkan penghasilan negara harus berpegang pada prinsip untuk “tidak menambah beban Rakyat banyak” (Dekon pasal 31) berarti bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh Perusahaan Listrik Negara hanya tiga hari sesudah Dekon diucapkan, yang menaikkan tarif listrik dengan 300%, sangat bertentangan dengan Dekon. Ini memperlihatkan betapa perlu dilakukan perjuangan yang terus-menerus untuk menjamin supaya Dekon dilaksanakan secara konsekuen dan untuk melawan setiap tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Dekon.
Politik perpajakan yang memberikan dorongan kepada inisiatif produsen juga berarti bahwa bagi mereka (pengusaha-pengusaha swasta) yang bersedia mempergunakan kekayaan secara produktif (di bidang produksi) perlu diberikan kelonggaran-kelonggaran pajak serta lain-lain fasilitas untuk berkembang, karena kemudian, jika tingkat produksi telah meningkat maka penerimaan dari mereka melalui pajak akan menjadi lebih besar dari pada sebelum usaha-usaha produktif itu dimulai. Kelonggaran-kelonggaran itu dapat merupakan dorongan penting bagi kegiatan-kegiatan produktif secara umum.
Prinsip kedua yang ditetapkan dalam Dekon, yaitu untuk meratakan akumulasi modal, merupakan prinsip yang sangat penting. Karena pajak-pajak pada saat ini untuk sebagian besar didapat dari Rakyat, maka dengan sendirinya akumulasi modal adalah sangat tidak merata dan sangat memberatkan Rakyat. Orang-orang yang memperoleh keuntungan-keuntungan besar dari inflasi bisa menghindari pembayaran pajak bukan hanya karena kelicikan mereka sendiri tetapi juga karena sistem perpajakan pada saat ini memang tidak menampung tambahan-tambahan besar dalam kekayaan seseorang. Selain dari pada itu, pajak-pajak yang diambil dari Rakyat justru akhirnya lebih memperkaya orang-orang itu, yaitu uangnya keluar dari kantong Rakyat yang begitu tipis untuk masuk ke kantong-kantong OKB-OKB yang sudah begitu gemuk. Prinsip, dari Rakyat pekerja ke OKB-OKB harus diganti dengan dari Rakyat pekerja kembali kepada Rakyat pekerja, dan juga, selama OKB-OKB masih ada di tenga-tengah kita, dari OKB-OKB ke Rakyat pekerja. Keadaan inflasi sudah pasti sangat merugikan Rakyat karena harga barang-barang melonjak dengan cepat, penghasilan riil Rakyat makin tertekan rendah. Kaum kapitalis birokrat, modal monopoli asing, semuanya bertambah untung dan kaya dalam keadaan inflasi sedangkan Rakyat pekerja bertambah miskin dan bertambah papa-sengsara.
Dengan demikian Rakyat pekerja memikul dua beban yang sangat berat, yaitu keadaan inflasi itu sendiri dan di samping itu sistem perpajakan yang sangat tidak merata, sedangkan OKB-OKB sama sekali bebas dari beban-beban itu.
Keadaan yang demikian juga terdapat di desa-desa di mana tuan tanah-tuan tanah menerima penghasilan yang semakin besar dengan adanya kenaikan harga hasil bumi, sedangkan penghasilan mereka itu umumnya terlepas dari pajak. Sebaliknya kaum tani bertambah miskin.
Prinsip ketiga dalam Dekon dalam mengubah sistem perpajakan sebenarnya merupakan kunci bagi politik fiskal di dalam sesuatu ekonomi nasional dan demokratis yang mau kita bangun. Sektor ekonomi negara harus menjadi sumber terpenting bagi pendapatan negara. Ini harus dicapai melalui kenaikan kegiatan atau intensitas perusahaan-perusahaan negara di berbagai sektor dan tidak melalui kenaikan tarif atau harga. Dengan demikian, setingkat demi setingkat sumber pendapatan negara dan pembiayaan pembangunan bisa kita kurangi dari sektor perpajakan yang sekarang meliputi lebih dari 30 jenis macam pajak dan mengubah prinsip tersebut sehingga pendapatan negara terutama bersumber pada perkembangan ekonomi sektor negara. Ambillah sebagai misal perusahaan seperti DKA. Jika kapasitas operasi DKA dinaikkan maka tanpa adanya kenaikan harga karcis atau tarif kereta api, penerimaan negara akan meningkat, dan ini akan memungkinkan pula bertambahnya penanaman modal baru sehingga terjadi lagi kenaikan kapasitas, dan seterusnya. Tetapi sebaliknya, dengan memperkecil operasi DKA seperti halnya sekarang, perusahaan itu dengan sendirinya tambah mengalami kerugian.
Pada saat ini, perlu dikonstatasi bahwa perusahaan-perusahaan negara bukannya hanya tidak merupakan sumber penerimaan negara, tetapi malahan sebaliknya, mereka merupakan beban finansial bagi Pemerintah karena banyaknya kredit yang terus-menerus diberikan kepada mereka sedangkan hasilnya sama sekali tidak seimbang. Dalam hubungan ini, Dekon menyatakan bahwa perangsang-perangsang (incentives) akan diberikan kepada PN-PN yang dapat mengurangi penggunaan kredit. Ini tentunya tidak mengurangi perlunya ritul secara intensif untuk mengakhiri salah urus yang sangat merajalela di bidang perusahaan-perusahaan negara pada saat ini dan yang menjadi sebab utama dari pada pemborosan dan pencolengan kekayaan perusahaan-perusahaan itu yang hidup dari kredit bank-bank negara. Maka dari itu, ritul juga merupakan syarat mutlak untuk mencapai prinsip ketiga yang ditetapkan dalam Dekon dalam mengubah sistem perpajakan.
Mengenai kenyataan bahwa Dekon dalam membicarakan perangsang-perangsang kepada perusahaan-perusahaan negara, khususnya menyebut perusahaan dagang negara (PDN-PDN), ada yang mengartikan ini sebagai usaha untuk menganak-emaskan PDN-PDN. Tetapi ini bisa juga diartikan sebagai tanda bahwa justru PDN-PDN itu yang paling tidak beres dalam hal memutar modal dengan jumlah kredit yang besar; ini bisa juga diartikan bahwa justru PDN-PDN yang perlu diritul!
Bagian yang mengenai perangsang kepada eksportir dalam Dekon tidak boleh disalahtafsirkan dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan lain dalam Dekon yang menolak devaluasi dan tindakan-tindakan yang bersifat “moneter konvensional”. Pada hakekatnya yang terpenting adalah perangsang kepada produsen barang-barang ekspor dengan menutup kerugian rupiah yang dialami oleh produsen akibat disparitas antara harga penjualan produsen (ongkos produksi ditambah winstmarge tertentu) dengan harga luar negeri. Di samping itu ekspor didorong maju melalui perluasan pasar dunia, upgrading (peningkatan dari pada kwalitas), pemberantasan penyelundupan-penyelundupan dengan lebih intensif lagi, perluasan ekspor dengan kelebihan-kelebihan barang jadi hasil pengolahan sendiri bahan-bahan mentah. SIVA yang sekarang ini mengacaukan harga di semua bidang supaya dihapuskan dan untuk mengatasi keadaan yang sulit sekarang ini Presiden sebagai mandataris MPRS supaya mengambil tindakan-tindakan agar Pemerintah menyelenggarakan ekspor dan impor.
Selanjutnya mengenai politik keuangan, Dekon juga menetapkan bahwa “menaikkan penghasilan negara... harus dicapai dengan menggali sumber-sumber baru serta mengintensifkan penggalian sumber-sumber lama, dan dengan tidak menambah beban Rakyat banyak”. Dinyatakan pula bahwa “penyusunan Anggaran Negara... ditujukan untuk menjamin terlaksananya kebijaksanaan jangka pendek ini dan pelaksanaan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana” (pasal 31). Prinsip-prinsip ini berarti bahwa Anggaran Belanja harus benar-benar di-Manipolkan atau di-Dekonkan. Pokok pangkal dalam menetapkan anggaran harus terletak pada tingkat pembangunan yang perlu dicapai dengan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan secara realistis, dan kemudian anggaran pendapatan disesuaikan dengan pokok itu. Di samping itu, anggaran rutin yang pada saat ini dipisahkan dari anggaran pembangunan harus diabdikankepada anggaran pembangunan itu, dan tidak sebaliknya, yaitu anggaran rutin menjadi pokok dan anggaran pembangunan hanya memperoleh sisa-sisa saja atau menjadi embel-embel saja.
Dalam menetapkan usaha-usaha pembangunan yang perlu diberikan prioritas, di samping prioritas-prioritas utama yang diberikan kepada kebijaksanaan jangka pendek seperti ditetapkan dalam Dekon, maka Dekon memperkuat memorandum MPRS tanggal 5 Januari 1963 mengenai hal tersebut. Skema prioritas MPRS memberi prioritas secara umum kepada usaha-usaha yang pasti akan menambah pendapatan nasional. Selanjutnya ditetapkan bahwa proyek-proyek yang akan mengatasi kemerosotan ekonomi dan keuangan, terutama proyek-proyek sandang pangan harus dilaksanakan, dan juga proyek untuk perkembangan industri yang sudah committed. Di samping itu diberi prioritas pula kepada semua proyek dasar untuk perkembangan faktor produksi tenaga kerja serta kepada proyek-proyek infrastruktur yang sudah committed dan yang diperlukan untuk menyukseskan proyek-proyek lain yang diberi prioritas. Selanjutnya MPRS telah menekankan bahwa proyek-proyek B, yaitu proyek-proyek yang harus menjadi sumber pembiayaan, harus diteruskan, dengan tidak membatasi proyek-proyek itu kepada 8 jenis proyek yang khusus disebut dalam Pola Pembangunan Semesta. Tekanan pada saat ini harus diberikan kepada quickyielding projects, yaitu proyek-proyek yang bisa menambah pendapatan nasional dalam waktu yang pendek.
e) PRODUCTION-SHARING DAN KREDIT LUAR NEGERI
Deklarasi Ekonomi, dalam menyebut kemungkinan-kemungkinan untuk menjalankan “production-sharing”, mengulani kembali prinsip-prinsip yang terpenting, yaitu bahwa production-sharing “pada hakekatnya merupakan kredit dari luar negeri untuk melaksanakan sesuatu proyek, yang akan dibayar dengan sebagian dari hasil yang diperoleh proyek tersebut; milik dan pimpinan harus tetap di tangan pihak Indonesia” (pasal 23).
Sedangkan mengenai kredit luar negeri, Dekon menyatakan bahwa: Pembiayaan untuk menyukseskan politik ekonomi jangka pendek tersebut di atas, harus dapat diusahakan sebagai berikut: (a) dengan kekuatan funds and forces nasional (termasuk domestik) kita sendiri; (b) bila mana ini tidak mencukupi maka baru dicarikan kredit luar negeri, dengan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Ketetapan MPRS No. II, tahun 1960” (lihat pasal 32).
Prinsip-prinsip production-sharing sudah ditetapkan secara tegas di dalam “Pernyataan Presiden/Panglima Besar Komando Tertinggi Operasi Ekonomi mengenai Pinjaman atau kredit atas dasar Production-Sharing” tertanggal 3 Agustus 1962. Pernyataan itu dengan tegas menolak adanya penanaman modal asing, sesuai dengan Ketetapan MPRS No. II tahun 1960. Jadi, sudah sangat jelas bahwa production-sharing merupakan kredit atau pinjaman di mana kekhususannya terletak dalam cara membayar kembali kredit yang bersangkutan, yaitu dari hasil produksi proyek yang bersangkutan. Ia sama sekali tidak boleh diartikan atau dipraktekkan sebagai penanaman modal asing dalam berbagai bentuk di mana pihak yang menanam modalnya bisa secara diam-diam main di belakang layar pimpinan atau manajemen nasional dan malahan merasa lebih aman karena “sifat nasionalnya” proyek bersangkutan memberi perlindungan terhadap “bahaya-bahaya” akan terjadinya nasionalisasi atau pengambilalihan yang selalu begitu ditakuti oleh modal monopoli asing.
Usaha-usaha untuk mensalahtafsirkan prinsip-prinsip production-sharing sebagai penanaman modal asing bukanlah suatu fantasi atau kekhawatiran yang tak beralasan. Jika kita membaca “Humphrey Report” yang terkenal itu maka ternyata bahwa justru inilah yang menjadi pegangan kaum imperialis AS serta kalangan-kalangan tertentu di negeri kita yang ternyata telah memberikan penjelasan-penjelasan yang sedemikian rupa sehingga dikatakan bahwa: “Penanaman modal asing diterima (maksudnya, oleh Indonesia) dalam bentuk persetujuan-persetujuan production-sharing atau kontrak-kontrak dengan perusahaan-perusahaan lokal, baik milik pemerintah atau pun swasta”. (“Humphrey Report”). Sedangkan yang dengan tegas ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia ialah, bahwa “pemilikan harus di tangan Indonesia” dinyatakan di dalam “Humphrey Report” sebagai “dilution of ownership” atau “pemilikan campuran”. Demikianlah pengertian AS tentang production-sharing. Demikianlah bahayanya jika persetujuan-persetujuan production-sharing mau diadakan dengan modal AS atau pun modal dari lain-lain negara kapitalis!
Dengan adanya Dekon yang mempertegas kembali bahwa hanyalah kredit-kredit luar negeri yang dapat diterima, maka menjadi lebih mendesak lagi supaya Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1958 segera dibatalkan sesuai dengan tuntutan-tuntutan Rakyat. Pembatalan Undang-Undang tersebut sangat dibutuhkan untuk menutupi setiap kemungkinan atau landasan legal bagi kaum rekasi dalam begeri dan kaum imperialis di luar negeri untuk melakukan penanaman modal dalam bentuk production-sharing.
Penetapan prinsip-prinsip production-sharing memang merupakan suatu kemenangan bagi Rakyat Indonesia, dan tidak boleh terjadi bahwa secara diam-diam, prinsip-prinsip itu disalahgunakan sehingga justru memungkinkan sesuatu yang paling ditentang, yaitu penanaman modal asing. Baru-baru ini oleh Pemerintah diumumkan bahwa suatu kontrak telah ditandatangani dengan modal Cathay di Hongkong untuk melaksanakan proyek-proyek berdasarkan production-sharing dalam bidang usaha-usaha yang sangat luas. Berita itu menimbulkan berbagai pertanyaan. Pertama-tama, apakah benar bahwa proyek-proyek yang bersangkutan memang masuk dalam prioritas-prioritas seperti yang telah ditetapkan oleh MPRS? Apakah benar bahwa seandainya proyek-proyek itu memang bersifat prioritas, ia tidak dapat dibiayai dengan “funds and forces” nasional dan domestik? Bagaimana syarat-syarat dari pada kredit itu? Apakah syarat-syarat itu benar-benar menjamin bahwa pemilikan dan pimpinan berada di tangan Indonesia?
Timbulnya keragu-raguan ini memang wajar, karena kaum kapitalis di negara-negara asing memperlihatkan reaksi yang begitu antusias mengenai production-sharing. Malahan pernah dirumuskan oleh Ketua Panitia Production-Sharing bahwa tak kurang dari 20 negara telah menunjukkan perhatiannya terhadap production-sharing. Prinsip-prinsip production-sharing memang baik dan pada pokoknya sesuai dengan pendirian Rakyat Indonesia dalam hal kredit luar negeri. Tetapi kita tidak boleh terlalu naif dalam hal ini. Kita tidak boleh melupakan bahwa prinsip-prinsip yang baik itu bisa dipergunakan untuk memberi kepada modal monopoli asing suatu kemungkinan untuk menguasai salah satu bahan ekspor kita dan untuk menguasai pimpinannya walaupun yang resmi menduduki posisi pimpinan adalah orang-orang kulit sawo matang.
Karena prinsip production-sharing berarti bahwa pinjaman dibayar kembali dari hasil-hasil proyek yang bersangkutan, dapat diduga bahwa “si pemberi kredit” akan berusaha keras untuk memperoleh posisi yang berpengaruh dalam proyek itu dengan dalih untuk menjamin bahwa modalnya benar-benar dibayar kembali. Tuntutan semacam ini merupakan tanda tidak percaya kepada pihak Indonesia, oleh karena itu harus ditolak sebagai sesuatu yang bertentangan dengan prinsip production-sharing.
Saya berpendepatan bahwa satu-satunya jalan untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan production-sharing ialah dengan menempatkan semua persetujuan mengenai hal yang demikian dalam tangan Dewan Kredit Luar Negeri, di mana Pemerintah serta pimpinan lembaga-lembaga negara, khususnya DPRGR, MPRS dan Depernas, harus diikutsertakan, dan dengan Nasakom sebagai porsnya. Dewan tersebut perlu diberi wewenang mengenai semua hal yang bersangkutan dengan kredit luar negeri, khususnya untuk menetapkan apakah sesuatu kredit memang dibutuhkan dan apakah syarat-syaratnya sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Dekon.
Dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai persetujuan-persetujuan baru di bidang kredit, Dewan Kredit Luar Negeri harus melihat bukan hanya bahwa kredit yang bersangkutan benar-benar dibutuhkan karena “funds and forces” di dalam negeri tidak tersedia, tetapi harus juga menjamin supaya persetujuan-persetujuan kredit yang telah ditandatangani sudah dipergunakan sebelum mulai mengadakan persetujuan-persetujuan kredit baru. Dapat diketahui, misalnya, bahwa berbagai kesibukan sedang dijalankan untuk mengadakan kontrak-kontrak baru dengan negara-negara Barat sedangkan masih ada persetujuan kredit yang ditandatangani dengan negara-negara Sosialis yang belum dipergunakan sama sekali atau yang hanya sebagian digunakan. Ternyata misalnya bahwa instansi-instansi Pemerintah tertentu “kurang antusias” terhadap kredit dari negara-negara Sosialis dengan memberikan segala macam alasan, seperti dalih bahwa harganya terlalu tinggi, barang-barangnya belum dikenal dan sebagainya, sedangkan alasan yang sebenarnya tak lain dan tak bukan ialah karena adanya kepentingan yang sudah bercokol alias “vested interest” dan komisi-komisi yang menarik dari kredit-kredit yang diperoleh dari negara-negara imperialis. Dewan tersebut harus menjaga supaya politik luar negeri yang bebas dan aktif benar-benar dilaksanakan di bidang kredit. Jangan sampai, terhadap negara-negara Sosialis dituntut selama macam kelonggaran seperti penundaan pembayaran pertama dan lain sebagainya, sedangkan terhadap negara seperti Jerman Barat, misalnya, yang notabene meminjamkan kredit dengan bunga 5-6% yaitu jauh lebih tinggi dari pada apa yang diminta oleh negara-negara Sosialis, yaitu 2-2½%. Pemerintah bersedia menerima syarat-syarat pembayaran kembali yang jauh lebih berat.
Kredit luar negeri menyangkut satu segi yang sangat erat hubungannya dengan usaha-usaha untuk menyusun suatu ekonomi nasional yang benar-benar merdeka atau bersih dari sisa-sisa imperialisme. Kredit luar negeri merupakan bidang di mana semangat patriotisme harus dijunjung tinggi dan pelaksanaan prinsip-prinsip MPRS serta Dekon harus benar-benar diawasi.
Dalam hubungan dengan persoalan ini, dan khususnya bahayanya modal asing akan menyusup ke dalam ekonomi kita, perlu saya menyebut pula Bank Pembangunan Swasta. Mengenai hal ini, Dekon menyatakan: “Perlu terus-menerus berikhtiar untuk mencapai perbaikan dan penyempurnaan pada lembaga-lembaga keuangan, ... khususnya Bank-Bank Pembangunan Daerah dan Swasta”. (pasal 34). Sikap hati-hati ini, yang menekankan pada perlunya perbaikan dan penyempurnaan adalah tepat, jika kita mengingat bahwa pihak modal asing yang, bagaimanapun juga mereka berusaha untuk secara cerdik menyalahgunakan production-sharing, tentu lebih senang dengan cara-cara penanaman modal yang klasik dan terbuka, menaruh perhatian dan harapan besar kepada adanya Bank Pembangunan Swasta dan juga bank-bank pembangunan daerah. Bank-bank itu mendapat perhatian khusus di dalam “Humphrey Report” karena menurut ahli-ahli ekonomi yang menyusun laporan itu, “modal swasta belum cukup efektif dikerahkan sebagai salah satu sumber yang terpenting”. Modal monopoli AS ternyata sudah siap sedia untuk mempergunakan seumber atau saluran ini secara “seefektif-efektifnya”. Bahaya ini memperkuat kekhawatiran yang dikemukakan oleh fraksi PKI dalam DPRGR sewaktu Undang-Undang Bank Pembangunan Swasta dibahas, yaitu tentang adanya bahaya modal imperialis memrembes ke dalam Bank itu. Lewat Bank Pembangunan Swasta kaum imperialis berusaha menjadikan kaum swasta sebagai saluran penetrasi modalnya dan dengan demikian memperkuat barisan kapitalis komprador dan kapitalis birokrat. Ini merupakan landasan utama bagi politik reaksioner kaum imperialis.
Memang, kecuali mereka yang sangat naif, saya rasa tidak ada orang yang tidak mengerti bahwa tujuan yang sebenarnya dari pada modal monopoli imperialis ialah justru untuk menghidupkan sektor modal swasta sebagai sektor memimpin dan untuk mematikan sektor negara. Sikap ini dengan sangat tegas dinyatakan dalam laporan Jenderal Clay mengenai “bantuan ekonomi” AS, yang dikeluarkan dalam bulan Maret yang baru lalu. Dalam laporan itu, dikatakan sebagai berikut: “Kami berpendapat bahwa AS tidak dapat membantu sesuatu pemerintah asing dalam proyek-proyek untuk mendirikan perusahaan-perusahaan industri atau dagang yang dimiliki pemerintah untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan swasta” (lihat Newsweek, tanggal 8 April 1963, hal. 42). Mungkin ada yang merasa kutipan ini sebenarnya kurang berguna karena toh hanya merupakan nasehat kepada Pemerintah AS, sedangkan yang penting ialah sikap resmi pemerintah Kennedy. Dalam menjawab keragu-raguan ini, perlu saya jelaskan bahwa Kennedi tentunya tidak akan mengangkat seorang penasehat yang tidak mewakili pendirian Kennedy sendiri. Di samping itu tidak lain dari pada Kennedy sendiri yang sudah memberikan suatu reaksi mengenai Laporan Clay dengan mengatakan bahwa Laporan itu adalah “sangat membesarkan hati” atau “most heartening” (lihat Newsweek, tanggal 8 April 1963, hal. 42).
Demikian ulasan saya tentang Deklarasi Ekonomi dan syarat-syarat pelaksanaannya. Berdasarkan pikiran-pikiran yang telah saya ajukan di atas, maka dapat kita menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Penyusunan Dekon merupakan hasil penting dari pada perjuangan Rakyat untuk memenangkan gagasan-gagasan yang benar dalam menetapkan susunan ekonomi yang harus kita bangun pada tahap pertama Revolusi serta dalam menetapkan cara-cara yang tepat guna mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi pada dewasa ini. Perjuangan itu sekarang harus dilanjutkan untuk mencapai kemenangan dalam pelaksanaannya. Seperti halnya penyusunan Dekon hanya bisa dicapai dengan melalui perjuangan Rakyat, maka pelaksanaannya juga tergantung pada perjuangan Rakyat. Dalam hal ini, Front Nasional dengan Panca Program Front Nasional dapat memainkan peranan yang menentukan.
Hal-hal yang perlu diperjuangkan dalam usaha-usaha memenangkan pelaksanaan Dekon adalah sebagai berikut:
Pertama: untuk mencapai pengintegrasian antara Pemerintah dengan Rakyat haruslah dilaksanakan ritul di segala bidang dari Pusat sampai ke Daerah-daerah, terutama harus dibentuk Kabinet Gotong Royong berporoskan NASAKOM. Ini akan membuka kemungkinan seluruh aparat pemerintahan diisi dengan orang-orang yang bersedia menjalankan prinsip-prinsip Dekon secara konsekuen, yang bersedia mengorbankan kepentingan-kepentingan kaum penghisap besar di kota-kota dan di desa-desa, yaitu kaum tuan tanah, komprador, dan kapitalis birokrat, serta membela kepentingan-kepentingan Rakyat. Orang-orang yang melawan atau menyabot pelaksanaan Dekon harus dituntut supaya disingkirkan.
Kedua: untuk memenangkan tafsiran-tafsiran yang tepat mengenai prinsip-prinsip Dekon haruslah dilawan tiap-tiap usaha untuk memutarbalikkan prinsip-prinsip Dekon dan melaksanakan tindakan-tindakan anti-Dekon “atas nama Dekon”.
Ketiga: untuk mengadakan tindakan-tindakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Dekon tujuan pokok meningkatkan produksi, harus diadakan perlawanan yang serius terhadap usaha-usaha sabotase di bidang ekonomi. Perlu pula dilakukan perjuangan untuk menolak setiap tindakan yang bertentangan dengan Dekon.
Rakyat harus dijamin hak-hak demokrasinya untuk dapat melakukan perjuangan ini, untuk dapat melakukan People’s control (pengawasan Rakyat) sebagai landasan guna mencapai People’s support (dukungan Rakyat) yang seluas mungkin bagi setiap usaha di bidang ekonomi. Jika ini tercapai, maka akan berarti bahwa masa Rakyat bukan hanya ikut langsung dalam menentukan politik, ekonomi, yaitu ikut menentukan penyusunan Dekon, melainkan pula turut aktif melaksanakan dan bertanggung jawab atas jalannya politik ekonomi tersebut. Tanpa ini, adalah tidak mungkin untuk menyusun ekonomi nasional dan demokratis, ekonomi progresif.