Sumber: Dekon Dalam Ujian. Yayasan "Pembaruan", Jakarta, 1963. Scan PDF Brosur "Dekon Dalam Ujian"
Pada saat ini Rakyat Indonesia sedang mencurahkan perhatian dan kekuatannya untuk melaksanakan instruksi Presiden Sukarno menghancurkan kontra-revolusi yang baru-baru ini mengambil bentuk teror rasial, membakar alat-alat produksi, pengangkutan, distribusi, dan lain-lain. Bersamaan dengan itu, Rakyat pun sedang mengambil bagian aktif dalam menanggulangi kesulitan-kesulian ekonomi dengan melaksanakan Deklarasi Ekonomi secara konsekuen. Dalam suasana yang demikian ini, tiba-tiba Rakyat dikejutkan oleh pengumuman Pemerintah pada tanggal 26 Mei 1963 tentang dikeluarkannya 14 Peraturan yang dinyatakan untuk melaksanakan Dekon, dan tentang kenaikan tarif-tarif listrik, kereta api, PTT, DIA, serta kenaikan harga barang-barang seperti kertas untuk surat kabar, dan sebagainya. Semuanya ini dilakukan tanpa setahu DPR atau Musyawarah Pimpinan Negara (MPN) yang menyusun Dekon.
Dari 14 peraturan tersebut, 9 di antranya mengenai soal ekonomi, 4 mengenai soal kepegawaian, dan 1 mengenai koordinasi pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut. Mengenai kenaikan-kenaikan tarif diumumkan antara lain, bahwa tarif listrik dinaikkan rata-rata menjadi 300%, tarif kereta apai menjadi 300%-500%, tarif PTT menjadi 400%, tarif GIA menjadi rata-rata 500%.
Yang sangat mengejutkan dan menimbulkan kecemasan di kalangan Rakyat ialah bahwa konseptor-konseptor dan perencana-perencana dari pada peraturan-peraturan ekonomi tersebut “atas nama” dan “untuk melaksanakan Dekon” justru menetapkan ketentuan-ketentuan yang secara langsung memberikan beban berlipat ganda beratnya kepada penghidupan Rakyat yang sudah amat sangat beratnya itu. Adalah kewajiban Rakyat Indonesia dari segala lapisan untuk mempelajari peraturan-peraturan tersebut dengan teliti dan menyatakan pendapatnya.
Khusus pendapat mengenai kenaikan tarif yang luar biasa tingginya itu kini telah mulai dinyatakan oleh pemimpin-pemimpin partai-partai NASAKOM dan organisasi-organisasi massa buruh dan tani yang demokratis. Hanya satu-dua orang Manipolis munafik saja seperti tokoh-tokoh yang berlagak “sok sosialis”, umumnya elemen-elemen Soska dan Masyumi dengan baju baru, yang sudah berani menusuk perasaan Rakyat dengan menyatakan setuju kenaikan tarif dan harga. Kaum Manipolis gadungan ini menyatakan bahwa kaum tani tidak terkena dengan kenaikan-kenaikan tarif dan harga dan mendorong Pemerintah supaya tidak menekan harga, melainkan mengikuti saja harga pasar yang spekulatif dan anarkis sekarang ini yang praktis dikendalikan oleh kaum spekulan. Kaum Manipolis munafik ini pada hakekatnya menjadi juru bicara dari pada tukang catut dan kaum kapitalis birokrat yang merupakan kaum penghisap besar di kota dan kaum tuan tanah yang merupakan kaum penghisap besar di desa.
Peraturan Ekonomi 26 Mei 1963 Memerosotkan Daya Beli Rakyat
Di antara peraturan-peraturan ekonomi itu yang pokok adalah peraturan mengenai ekpor dan impor, penetapan harga resmi, distribusi bahan-bahan pokok, dan mengenai PDN-PDN. Yang mengenai kepegawaian mengatur soal kenaikan tunjangan kemahalan umum dengan 100% dan pensiun dengan 50%.
Dengan peraturan-peraturan impor-ekspor dan harga itu dapat diperhitungkan secara pasti bahwa harga barang-barang sandang pangan pada umumnya rata-rata akan meningkatkan paling sedikit 300%. Dengan demikian, walaupun diadakan kenaikan tunjangan kemahalan umum pegawai denan 100%, atau bersihnya dengan kurang dari 100% karena ada tunjangna-tunjangan lain yang tidak dinaikkan, namun akan terjadi kemerosotan daya beli upah di sekitar 50% dari pada keadaan sebelum adanya peraturan-peraturan ekonomi baru itu. Oleh karena itu, akan dibuktikan dalam praktek bahwa peraturan-peraturan ekonomi tersebut, yang dinyatakan oleh konseptor-konseptornya “untuk melaksanakan Dekon”, bertentangan sama sekali dengan Dekon pasal 26 yang menyatakan ”tiap konsepsi dan tindakan Pemerintah harus dapat dirasakan dan dimengerti oleh Rakyat, bahwa kepentingan mereka diperhatikan”. Peraturan-peraturan ekonomi tersebut bukan saja bertentangan dengan Dekon tetapi juga dengan Panca Program Front Nasional dan dengan Resolusi MPRS No. I/1963 yang baru-baru ini disyahkan oleh Sidan Umum I MPRS dan telah disambut hangat oleh segenap golongan Rakyat, yang antara lain menyatakan bahwa: “Politik harga harus ditujukan untuk mencegah kenaikan harga dan tarif menuju terlaksananya Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960, Lampiran B, Bab V, ayat 5, yang harus dilaksanakan secara berencana berdasarkan pada tingkat perkembangan produksi dan menjamin peningkatan daya beli Rakyat pekerja termasuk petani produsen”, (Resolusi MPRS pasal 9, ayat 7).
Sekadar untuk menjelaskan kesimpulan-kesimpulan tersebut di atas mengenai peraturan-peraturan ekonomi dapatlah dikemukakan sebagai berikut:
Merurut Perpres No. 5 tahun 1963 yang mengatur soal ekspor, maka eksportir akan mendapat keuntungan rupiah dan devisa (mata uang asing, seperti dolar Amerika Serikat misalnya) yang lebih besar dari pada waktu masih berlakunya peraturan SIVA. Untuk tiap dolar dari hasil ekspornya, seorang eksportir akan menerima kurang lebih Rp 300,- (yaitu 95% dari Rp 270,- plus Rp 45,-) ditambah dengan hak retensi 5% dari pada hasil devisa yang dapat dipergunakan “sebebas-bebasnya”, serta hak menggunakan 10% dari hasil devisa itu untuk mengimpor barang-barang. Dengan demikian, eksportir dapat memperoleh kurang lebih Rp 450,- atau lebih untuk setiap dolar, maka peraturan itu berarti devaluasi rupiah terhadap mata uang asing sebesar kurang lebih 1000% (Rp 450,- adalah 1000% dari pada kurs dasar Rp 45,-).
Dengan peraturan SIVA berdasarkan kurs 30 sudah berarti devaluasi rupiah terhadap tiap dolar yang dihasilkan oleh ekspor kurang lebih sebesar 500% dibandingkan dengan kurs dasar. Jadi, walaupun Dekon menyatakan pasal 31: ”tidak akan diambil tindakan-tindakan moneter yang drastis, seperti umpamanya devaluasi ...”, tetapi Perpres No. 5/1963 justru mendevaluiasi rupiah kita sampai 1000% atau dua kali dari pada devaluasi berdasarkan peraturan SIVA. Ini adalah suatu tindakan memerosotkan nilai rupiah yang paling besar semenjak tahun 1950.
Dengan Perpres No. 6/1963 mengenai impor, yang menentukan pungutan-pungutan atas impor berupa Hasil Perdagangan Negara (HPN), dan HPN-tambahan, ditambah lagi dengan tarif bea masuk baru yang lebih besar, maka barang-barang esensi, yaitu barang-barang pokok kebutuhan dalam negeri seperti tekstil, obat-obatan, kertas koran, benang tenun, buku-buku pelajaran, dan sebagainya akan mengalami kenaikan harga luar biasa. Barang-barang esensi yang masuk Golongan I, meski pun hanya dikenakan HPN Rp 270,-, di samping kurs dasar Rp 45,- dan bebas dari HPN-tambahan serta bea masuk, akan mengalami kenikan harga kurang lebih 35%, sedangkan beras dan pupuk yang dulu sama sekali dibebaskan dari pungutan komponen harga akan mengalami kenaikan harga sebesar 700% jika dibandingkan dengan sebelum adanya peraturan baru.
Dia antara barang-barang impor Golongan II yang juga meliputi barang esensi dan yang dulu masuk dalam Golongan I akan ada barang-barang yang mengalami kenaikan tak kurang dari 900%, misalnya saja, susu baji, sedangkan barang-barang baku/penolong penting yang dulu masuk dalam Golongan II akan meningkat dengan kurang lebih 300%. Sebaliknya barang-barang yang dulu diimpor berdasarkan SIBA (barang-barang mewah) dan yang sekarang masuk Golongan II tidak akan mengalami kenaikan harga, dan barang-barang mewah yang sekarang masuk Golongan III hanya akan mengalami kenaikan kurang lebih 60%. Pembatasan-pembatasan terhadap impor barang-barang mewah tidak ada, kecuali mengenai 10% hasil devisa yang boleh digunakan oleh eksportir hanya untuk mengimpor barang-barang Golongan I dan II.
Kenaikan-kenaikan harga yang demikian itu dihitung berdasarkan kenaikan-kenaikan pungutan impor, dan belum memperhitungkan kenaikan-kenaikan yang disebabkan liberalisasi politik harga. Misalnya saja, harga kertas koran telah dinaikkan 700% (dari Rp 7,- per-Kg menjadi Rp 50,-), walaupun perhitungan kenaikan berdasarkan pungutan impor bisa kurang dari pada itu. Barang-barang baku dan penolong untuk produksi dalam negeri dengan harga yang sedemikian tingginya akan menyebabkan ongkos produksi makin meningkat, yang semuanya harus dipikul akibatnya oleh Rakyat. Bagi kaum pengusaha nasional yang terbatas modal kerjanya akan menjadi lebih merosot kemampuannya untuk meningkatkan kapasitas kerja perusahaannya sehingga pengangguran sudah tentu akan menjadi lebih luas. Semua kenaikan biaya impor yang dibayar oleh importir pada akhirnya harus dipikul oleh Rakyat sebagai konsumen, karena harus membeli harga barang-barang dengan harga yang lebih tinggi.
Peraturan Pemerintah 20/1963 tentang kebijaksanaan di bidang harga pada pokoknya menetapkan agar harga resmi selalu mendekati dan mengikuti harga pasar bebas setempat dengan tidak boleh berbeda lebih besar dari pada 30% dengan harga itu. Perbedaan harga resmi sekarang dengan harga pasar bebas mengenai barang-barang sandang pangan bergerak antara 300% sampai 500%.
Jadi menurut peraturan baru ini harga resmi harus dinaikkan dengan rata-rata lebih dari 300%. Harga tekstil kasar yang resminya sekarang Rp 60,- per-meter harus dinaikkan menjadi Rp 210,- per-meter karena di pasar bebas harganya Rp 300,-. Kalau kaum spekulan menaikkan harga pasar bebas, maka harga resmi Pemerintah akan segera mengejarnya, untuk memelihara perbedaan 30%. Ini adalah politik harga yang sangat liberal, yang sama sekali tidak mengandung unsur pengendalian harga oleh Pemerintah dan oleh karena itu sangat bertentangan dengan politik harga yang ditetapkan dalam Resolusi MPRS No. I/1963 sebagai berikut: “Politik harga harus ditujukan untuk mencegah kenaikan harga dan tarif... yang harus dilaksanakan secara berencana berdasarkan tingkat perkembangan produksi dan menjamin peningkatan daya beli Rakyat pekerja termasuk petani-petani produsen”.
Perpres No. 10/1963 menetapkan antara lain pembagian beras untuk pegawai negeri setiap jiwa 8 Kg sebulan. Tetapi peraturan ini juga menetapkan bahwa Pemerintah akan membagikan pengganti berupa uang sebesar selisih harga beras di pasar bebas dengan harga beras menurut harga distribusi Pemerintah, apabila Pemerintah ternyata tidak mampu memberikan distribusi beras.kalau sudah ada bayangan demikian, bagaimana nasib Dekon yang menandaskan perlunya ada “iron stock beras” untuk menjamin keperluan hidup dan mencegah kenaikan harga beras?
Perpres No. 7/1963 mengenai aktivitas PDN lebih-lebih lagi memberikan keleluasaan kepada PDN untuk bekerja tanpa pengawasan. Selama ini, PDN telah banyak memboroskan dan merugikan keuangan negara. Sebabnya ialah karena Badan Pemeriksa Keuangan, yang berwenang untuk memeriksa keuangan PDN dan PN, berhubung dengan kekurangan syarat-syarat yang diperlukan oleh Badan tersebut, belum dapat melaksanakan tugasnya secara efektif. Di samping itu, karena putusan DPRGR yang menghendaki disampaikannya Laporan Tahunan dari masing-masing PDN dan PN kepada DPRGR belum dilaksanakan. Jika Perpres No. 7/1963 ini dipadukan dengan peraturan mengenai kebijaksanaan harga, maka syarat-syarat ekonomi perusahaan yang lazim untuk melaksanakan efisiensi dalam manajemen guna mencegah kerugian dan mendapatkan keuntungan bagi PDN dan PN menjadi dihapuskan sama sekali. Dengan kekuasaan yang ada pada BPU-PDN dan wewenang yang luas yang diberikan kepada pemimpin-pemimpin PDN, mereka hanya menempuh jalan yang paling mudah saja untuk menambah penghasilan PDN dengan menaikkan harga barang-barang dan mengikuti harga pasar bebas. Kredit yang telah diperolehnya dari Pemerintah sebagian dinyatakan sebagai modal perusahaan dan kewajiban menyetor kepada Dana Pembangunan Pemerintah dapat sewaktu-waktu dibebaskan. Ini sama sekali berlawanan dengan garis agar PDN betul-betul memegang peranan sebagai ekonomi sektor negara yang memegang posisi komando dalam melancarkan peredaran barang dan mengendalikan harga. Dengan ini sudah lebih sulit diharap PDN dan PN akan memberi iuran yang besar kepada negara. Ini semua bertentangan pula dengan Dekon yang menyatakan: “perusahaan-perusahaan negara merupakan sumber terpenting dalam mengumpulkan modal guna pertumbuhan selanjutnya”.
Tindakan Moneter Konvensional Terulang Lagi
Dari uraian-uraian di atas, jelas bahwa konseptor-konseptor atau arsitek-arsitek dari pada peraturan-peraturan ekonomi tersebut merupakan sumber bahaya bagi pelaksanaan Dekon. Peraturan-peraturan ekonomi itu makin memperbesar penderitaan Rakyat karena ongkos hidup makin meningkat sedangkan nilai penghasilan reall Rakyat pekerja sangat merosot. Tindakan ekonomi yang akan dilakukan dengan peraturan-peraturan negara tersebut pada hakekatnya adalah “tindakan moneter konvensional” yang justru ditolak oleh Dekon dalam pasal 13.
Pada eksportir diberikan perangsang besar. Tetapi apakah produsen yang bukan eksportir yang banyak jumlahnya itu juga mendapat perangsang? Ini tanda tanya besar. Yang sudah terang, kaum buruh, pegawai, anggota Angkatan Bersenjata, pendeknya semua yang hidup dari upah dan gaji, dibunuh semangat kerjanya, jadi sama sekali tidak dirangsang untuk bekerja keras, dengan adanya kenaikan harga yang keterlaluan.
Soal lain, pasti akan timbul kontradiksi baru antara produsen dan pedagang ekspor serta makelar-makelarnya di mana produsen, karena juga menderita akibat kenaikan-kenaikan harga, akan menetapkan ongkos produksi yang lebih tinggi. Dengan begitu akan timbul diparitas baru antara harga dalam negeri dengan harga luar negeri yang akan menyebakan penghalang bagi perkembangan ekspor. Tanda-tanda kenaikan harga karet dalam negeri sekarang sudah nampak ke arah itu, sedangkan harga karet di luar negeri masih tetap menghadapi bahaya kemerosotan-kemerosotan sebagai akibat krisis ekonomi yang masih menimpa dunia kapitalis.
Selanjutnya, tindakan moneter konvensional yang bertentangan dengan Dekon ini digunakan juga untuk mengadakan keseimbangan anggaran belanja negara atau setidak-tidaknya memperkecil jumlah defisit dengan jalan yang sangat memberatkan Rakyat. Jika kemampuan mengimpor dengan hasil ekspor setahun sama dengan tahun 1962, maka pungutan-pungutan atas impor saja yang bisa diperoleh dari HPN-tambahan dan bea masuk dapat diperkirakan lebih dari 10 kali dari pada anggaran pendapatan 1962 dari sektor perdangangan luar negeri. Di atas kertas nampaknya baik. Tetapi ini semua harus dipikul oleh Rakyat yang sudah demikian berat beban hidupnya, yang akhirnya akan memukul ekonomi negeri atau “perut negara” karena kenaikan-kenaikan hara yang terus-menerus. Apalagi uang Rakyat yang masuk kas negara itu pun penggunaannya tidak terjamin berdasarkan satu prinsip prioritas pembangunan yang efektif sebagaimana ditetapkan dalam Memorandum Pimpinan MPRS.
Antusiasme Rakyat dalam pembangunan tak dapat dibangkitkan dengan jalan menyerang kepentingan ekonomi Rakyat yang sudah berat, tetapi dengan jalan menciptakan syarat-syarat material yang diperlukan untuk hidup layak sebagai manusia.
Konseptor-konseptor peraturan-peraturan ekonomi tersebut justru menempuh jalan yang dikehendaki oleh kaum imperialis Amerika Serikat dengan apa yang mereka namakan “program stabilisasi ekonomi”, yang isinya tidak lain ialah devaluasi, liberalisasi perusahaan-perusahaan negara dan kenaikan-kenaikan harga. Inilah hakekat dan jiwa dari pada konseptor-konseptor peraturan-peraturan ekonomi 26 Mei 1963. Rakyat yang tinggi kesadaran politiknya tidak mudah ditipu dengan peraturan-peraturan tersebut sekali pun dengan semboyan “untuk melaksanakan Dekon”.
Selamatkan Pelaksanaan Dekon!
Pada waktu ini tidak ada jalan patriotik yang lain bagi Rakyat Indonesia untuk menanggulangi krisis ekonomi kecuali menyelamatkan dan melaksanakan Dekon dengan memperjuangkan hal-hal sebagai berikut:
Akhirnya, dengan ini Politbiro CC PKI menyerukan kepada Rakyat Indonesia untuk lebih mendalami Deklarasi Ekonomi, Perincian Panca Program Front Nasional dan Resolusi MPRS No. I/1963. Di samping itu peraturan-peraturan tanggal 26 Mei 1963 supaya dipelajari sungguh-sungguh sehingga dapat diketahui seberapa jauh konseptor-konsepto peraturan-peraturan tersebut sudah menyimpang dari Deklarasi Ekonomi, Panca Program Front Nasional dan Resolusi No. I MPRS tahun 1963 dan sampai di mana peraturan-peraturan yang mengenai ekonomi, terutama yang mengenai ekspor-ompor, harga dan distribusi akan makin memberatkan beban Rakyat. Semuanya ini ditujukan untuk memperoleh pengertian dan kesadaran yang lebih tinggi lagi sehingga dapat diciptakan kekuatan dan tekad yang lebih bulat guna menyelamatkan Pelaksanaan Dekon.
Nyatakanlah perasaan dan pikiran mengenai Peraturan-peraturan 26 Mei 1963!
Perkuat Persatuan Nasional untuk meringkus dan mengganyang kontra-revolusi!
Dengan persatuan nasional yang lebih kuat, selamatkan Dekon!
Politbiro CC PKI
Jakarta, 3 Juni 1963