Sumber: Tentang Sastra dan Seni, Yayasan Pembaruan, Jakarta, 1964. Scan PDF Brosur
PENGANTAR PENERBIT
Dari tanggal 27 Agustus sampai dengan 2 September 1964 CC PKI telah menyelenggarakan Konferensi Nasional Sastra dan Seni di Jakarta yang dikunjungi oleh para sastrawan dan seniman revolusioner dari segenap penjuru tanah air. Konferensi ini, Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR), adalah konfernas sastra dan seni yang pertama yang diselenggarakan oleh PKI.
Sebelum KSSR PKI sudah bekerja di bidang sastra dan seni, dasar-dasar untuk pekerjaan itu telah diletakkan. Meskipun demikian mengingat masih banyaknya tugas-tugas yang harus dikerjakan dalam rangka menegakkan dan mengembangkan “prinsip berkepribadian dalam kebudayaan”, maka KSSR ini diadakan.
Banyak bahan berguna telah disampaikan kepada Konfernas, baik oleh para pemimpin PKI maupun oleh para peserta KSSR. Kali ini kami terbitkan tiga bahan pokok yang diucapkan oleh Ketua CC PKI, D.N. Aidit, yaitu referat yang berjudul Dengan sastra dan seni yang berkepribadian nasional mengabdi buruh, tani dan prajurit dan Kibarkan tinggi-tinggi panji pertempuran di bidang sastra dan seni revolusioner! serta Ayo bersama-sama Bung Karno kita bina kebudayaan yang berkepribadian nasional! sebagai lampiran.
Semoga usaha ini dapat membantu pelaksanaan keputusan-keputusan KSSR.
Jakarta, Desember 1964
Penerbit
---------------------------------
Kawan-kawan yang tercinta!
Selamat datang saya ucapkan kepada kawan-kawan yang datang dari semua penjuru tanah air.
Kita sekarang berkumpul untuk bertukar fikiran tentang sesuatu yang pelik, tetapi juga menarik dan penting, tentang sastra dan seni. Mendiskusikan soal ini sekarang
adalah amat penting bagi kehidupan bangsa dan bagi peningkatan perjuangan revolusioner rakyat kita.
Tentu ada orang-orang yang tidak senang melihat setiap kegiatan untuk mengembangkan kekuatan rakyat. Mereka bertanya-tanya dan menjadi gusar. Mereka bertanya-tanya, ada apa lagi PKI ini? Ada-ada saja yang mereka perbuat. Tambah lagi pekerjaan kita untuk membuntutinya. Baru saja PKI membikin “heboh” dengan terus mengobarkan kebangkitan gerakan tani di mana-mana sebagai akibat gerakan riset yang mereka lakukan. Sebelum itu PKI telah memusingkan kepala dengan bermacam-macam kegiatannya di bidang organisasi, sampai-sampai orang-orang jompo dan anak mereka organisasi. Di bidang politik, ada saja inisiatif mereka. Sejak Federasi Malaya didirikan PKI sudah mengatakan bahwa itu adalah neo-kolonialisme. Sekarang seluruh bangsa bangkit mengganyang “Malaysia” yang intinya adalah Federasi Malaya. Sekali PKI menetapkan imperialisme Amerika Serikat sebagai musuh Rakyat Indonesia yang nomor satu dan paling berbahaya, maka satu setengah tahun kemudian seluruh bangsa mengutuk Amerika Serikat. Dan istilah politik baru apa saja yang tidak mereka lontarkan ke tengah-tengah masyarakat, mulai “kapitalis birokrat” sampai “tuan tanah birokrat”, mulai “salah urus” sampai “salah duduk”, mulai “setan desa” sampai “setan dunia”, dan entah apa lagi, dan ... semuanya cepat diterima masyarakat. PKI mengatakan peraturan ,,26 Mei 1963” itu teror di bidang ekonomi, masyarakat membenarkan pendapat ini dan mengutuk serta “menghukum mati” peraturan itu berdasarkan pengalamannya sendiri. Ketika Manikebu (Manifes Kebudayaan) muncul kaum Komunis seketika itu juga melawannya dan tidak lama kemudian Manikebu dilarang oleh Presiden Sukarno atas nama Pemerintah, dan tuntutan rakyat supaya kaum Manikebuis diritul makin santer dan luas. “Pancacinta” diganyang, tetapi justru “Pancacinta” malahan menjadi sah kedudukannya, pengesahan mana diperkuat oleh pidato Tavip Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus yang berlalu. Satu kali PKI tampil mengganyang Sumitro dalam Musyawarah Besar Sarjana dan Ahli Ekonomi, maka musyawarah itu pun mengambil keputusan mengganyang Sumitro, menuntut supaya perguruan-perguruan tinggi dibersihkan dari teori-teori ekonomi reaksioner Sumitro dan dari pengikut-pengikut Sumitro.
Sekarang PKl tampil lagi dengan inisiatif baru: Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) yang langsung diselenggarakan oleh CC PKI. Tentu ini ada apa-apanya! Mustahil CC PKI langsung mengurusi sastra dan seni! Tentu ada udang di balik batu!
Demikian gusarnya mereka melihat inisiatif-inisiatif Revolusioner.
Bagi kita, kawan-kawan, semuanya itu hanyalah pembuktian sudah bertambah baiknya pemaduan Marxisme-Leninisme dengan praktek konkret revolusi Indonesia, dan sama sekali bukan pembuktian energi PKI yang berlebih-lebihan. PKI tidak pernah dan tidak akan kelebihan energi dan sama sekali tidak mengadakan inisiatif yang berlebih-lebihan, tidak mengada-ada. Sebaliknya, kita merasa masih kurang berinisiatif. Dan justru untuk lebih mengembangkan inisiatif, di dalam Partai kita sekarang sedang berjalan kampanye untuk mengembangkan secara maksimal peranan aktif kesadaran subjektif semua anggota Partai. Ini berarti penonjolan peranan individu dalam kegiatan kolektif, supaya tiap-tiap anggota Partai lebih kreatif dan lebih banyak inisiatif dalam rangka meningkatkan kreativitas dan inisiatif kolektif masing-masing. Inisiatif-inisiatif kita sekarang baru terbatas pada yang paling perlu, sesuai dengan tuntutan-tuntutan yang paling mendesak dari perjuangan revolusioner rakyat kita. Juga konferensi ini kita adakan karena tuntutan-tuntutan yang terus meningkat, karena “rising demands” daripada perjuangan revolusioner kita.
Konferensi sastra dan seni ini adalah konferensi sastra dan seni pertama yang diselenggarakan oleh Comite Central sejak PKI didirikan 44 tahun yang lalu dan sejak PKI dengan sadar memimpin gerakan kebudayaan rakyat 14 tahun yang lalu, yaitu sejak berdirinya Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) pada tanggal 17 Agustus 1950. Konferensi ini kita adakan dalam rangka melaksanakan salah satu resolusi Pleno II CC pada akhir tahun 1963 tentang Konfernas Sastra dan Seni, dan dalam rangka menyambut pidato Tavip Presiden Sukarno yang antara lain menekankan tentang pentingnya pelaksanaan prinsip ”berkepribadian dalam kebudayaan”.
Sekalipun konferensi semacam ini baru untuk pertama kali kita adakan, bukanlah berarti bahwa dengan ini kita baru mau memulai meletakkan dasar-dasar sastra dan seni revolusioner kita. Dasar-dasarnya sudah diletakkan 14 tahun yang lalu dalam Mukadimah Lekra dan kemudian disempurnakan oleh Kongres Pertama Lekra tahun 1959. Dalam Kongres Lekra yang bersejarah ini, setelah menganalisa perkembangan Lekra sejak ia didirikan, Kawan Jubaar Ajub, Sekretaris Umum Lekra, yang kemudian diperkuat oleh Kawan Njoto, menyimpulkan bahwa sudah ada semua syarat yang diperlukan untuk bekerja lebih banyak, lebih baik dan lebih berguna bagi kebudayaan, bagi rakyat dan revolusi. Ini menunjukkan bahwa Lekra kita sudah dewasa, sekalipun usianya baru 9 tahun ketika itu.
Inisiatif kita mendirikan Lekra 14 tahun yang lalu ternyata sangat tepat. Kita tidak dapat membayangkan betapa isi dan rupa sastra dan seni Indonesia sekarang seandainya tidak ada Lekra.
Sekalipun Lekra baru mempunyai Anggaran Dasar sesudah berusia 7 tahun, tetapi kebudayaan rakyat, khususnya sastra dan seni yang bersifat kerakyatan, dengan senjata Mukadimah itu saja telah berkembang relatif sangat cepat dan pada pokoknya terpimpin baik. Ini membuktikan bahwa sastrawan dan seniman rakyat menerima baik pimpinan Partai.
Mukadimah Lekra menunjukkan kematangan politik dan kedewasaan pengertian PKI tentang kebudayaan rakyat serta peranannya dalam perjuangan revolusioner. Soal-soal asasi mengenai kebudayaan rakyat dijawab dengan baik dalam Mukadimah itu.
Keanggotaan Lekra yang 14 tahun yang lalu hanya terdiri dari beberapa orang, dapat dihitung dengan jari sebelah tangan, sekarang sudah lebih dari 500.000. Dan, anggota-anggota ini bukan liar, mereka tergabung dalam organisasi massa kebudayaan masing-masing atau terorganisasi dalam Lembaga-Lembaga & Sastra dan Seni dari Lekra. Satu perkembangan yang seirama benar dengan derap langkah kemajuan Partai kita. Satu prestasi yang membesarkan hati kita, yang membikin iri hati sekutu-sekutu dan membikin risau serta jengkel musuh-musuh kita. Kepada sekutu-sekutu kita berkata, bahwa perkembangan Lekra menguntungkan kita bersama, memperkuat front Manipolis di bidang kebudayaan. Mari, juga di bidang ini kita mengadakan kompetisi Manipolis. Biasanya dalam tiap-tiap kompetisi mesti ada yang kalah dan ada yang menang, tetapi dalam kompetisi Manipolis rakyat hanya mengenal menang karena kebudayaannya menjadi maju dan front Manipolis bertambah kuat oleh kompetisi-kompetisi kita.
Jadi, dasar-dasar sastra dan seni rakyat yang tepat sudah diletakkan dan perkembangannya, baik mengenai segi meluas maupun segi meningginya, sudah menggembirakan. Sekarang, apa lagi yang harus kita bicarakan dalam konferensi ini?
Ada dan banyak, kawan-kawan Partai selalu mengajar kita, bahwa kita tidak boleh puas dengan apa yang sudah kita capai. Memang banyak yang sudah kita capai dengan bekerja keras selama 14 tahun ini, tetapi masih jauh lebih banyak yang harus kita kerjakan. Berbicara tentang sastra dan seni rakyat, kita tak tahu berapa luas dan berapa dalam yang kita bicarakan, karena kita berbicara tentang rakyat itu sendiri.
Di dalam Partai kita sekarang sedang diadakan gerakan pembetulan pikiran melawan penyakit puas diri dalam rangka pengintensifan pembajaan diri dan pendidikan diri, dalam rangka menjadikan diri kita masing-masing Komunis yang baik dan lebih baik lagi, sebagai jawaban terhadap adanya gejala mau menempuh “jalan revolusi” yang mudah dan enak pada sementara kader-kader Partai. Bagi orang revolusioner jalan yang mudah dan enak pasti bukan jalan yang tepat. Membongkar secara revolusioner masyarakat lama yang sudah berabad-abad umurnya dan menggantinya dengan yang baru sama sekali dan yang baik bagi rakyat pasti bukan pekerjaan yang mudah, pasti bukan jalan yang bertabur bunga. Mereka yang diuntungkan oleh masyarakat lama tidak akan membiarkan rakyat mengganggu kesenangannya, mereka akan mati-matian melawan rakyat yang berjuang. Pengalaman revolusi Agustus ‘45 dan pengalaman perjuangan rakyat Indonesia untuk menegakkan kedaulatan dalam politik, berdiri di atas kaki sendiri dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan akhir-akhir ini memberikan bukti-bukti yang sangat kuat bahwa kaum imperialis yang dikepalai Amerika Serikat tidak akan pernah membiarkan rakyat Indonesia menempuh jalan yang dipilihnya sendiri. Mereka sudah, sedang, dan akan terus berusaha menghalangi jalan yang sedang ditempuh oleh perjuangan revolusioner rakyat Indonesia. Ini harus senantiasa hidup dalam pikiran setiap orang revolusioner Indonesia, termasuk sastrawan dan seniman revolusioner.
Gerakan melawan penyakit puas diri sangat penting bagi semua anggota Partai, terutama kader-kadernya, karena kita tidak mau mandeg, kita mau maju terus dan maju dengan langkah-langkah yang lebih tegap dan lebih panjang. Arti penting gerakan ini lebih besar lagi bagi para sastrawan dan seniman serta pekerja-pekerja kebudayaan revolusioner lainnya, karena pembentukan jiwa, semangat, kesedaran, moral dan watak anggota-anggota Partai dan massa rakyat banyak tergantung pada bantuan mereka. Mereka dapat banyak membantu dalam usaha kita mengembangkan peranan aktif kesadaran subjektif para anggota Partai. Inti daripada gerakan melawan penyakit puas diri adalah perjuangan membela ideologi proletar dari pengaruh-pengaruh pikiran dan watak non-proletar. Dengan melakukan gerakan ini berarti kita memperbarui dan memperkuat kesetiaan kepada kearifan nenek moyang kita, yaitu : Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Dan kesetiaan kepada apa yang sering kita katakan, bahwa “sebaik-baiknya pekerjaan kita, tidak mungkin cukup baik bagi proletariat”.Jelaslah betapa tinggi tuntutan Partai kepada sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman Komunis serta sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman revolusioner pada umumnya. Tetapi betapa mulia pula mereka di mata dan di hati Partai dan rakyat kita.
Kawan-kawan. Juga peribahasa kita mengajarkan: Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu. Dalam dunia modern sekarang laut yang sedalam-dalamnya mudah diukur, dan bahkan angkasa dapat diukur. Tetapi tidak ada dan tidak akan ada alat modern yang bagaimana pun yang dapat mengukur hati rakyat. Hati rakyat hanya dapat diukur dengan hati. Pikiran rakyat hanya dapat diselami dengan pikiran. Oleh karena itu masalah mengintegrasikan diri dalam pikiran dan perasaan dengan massa rakyat adalah masalah yang paling pokok bagi para sastrawan dan seniman revolusioner. Untuk ini kita harus mementingkan turun ke bawah (turba) untuk mengadakan riset. Tetapi kita tidak mungkin meriset semua yang perlu kita ketahui. Untuk itu usia kita terlalu pendek, sedangkan yang harus kita selami dan ketahui begitu banyaknya. Oleh karena itu, dengan tidak menunggu kesempatan turba untuk mengadakan riset yang tentu harus selalu kita usahakan, kita harus menambah pengetahuan kita dengan banyak belajar dan banyak bertukar pikiran.
Untuk itulah, untuk saling belajar dan bertukar pikiran, kawan-kawan kami undang. Kami yang sekarang memegang pucuk pimpinan Partai kita tidak mempunyai pretensi bahwa kami tahu segala. Kalau kami sekarang mempunyai pengetahuan dan pengertian serba sedikit tentang sastra dan seni yang diperlukan, maka hal ini adalah juga berkat bantuan kawan-kawan selama ini.
Untuk memudahkan jalannya diskusi saya akan memberikan sekedar pengantar tentang:
Tentang hal-hal inilah pidato ini saya lanjutkan.
Di muka sudah saya katakan, bahwa berbicara tentang sastra dan seni rakyat sama halnya dengan berbicara tentang rakyat itu sendiri, tentang sesuatu yang boleh dibilang sudah ada sejak rakyat itu ada. Demikian pula, berbicara tentang sastra dan seni revolusioner sama halnya dengan berbicara tentang sesuatu yang boleh dibilang sudah ada sejak gerakan revolusioner itu ada di negeri kita.
Pengintegrasian sastra dan seni revolusioner dengan kaum buruh, kaum tani dan rakyat pekerja lainnya sudah ada sejak adanya gerakan revolusioner modern di negeri kita, yaitu dimulai sejak awal abad ini. Ini tidak bisa lain, karena kaum revolusioner yang bergerak di bidang politik dengan sadar menggunakan media pers dan berbagai bentuk kesenian untuk keperluan agitasi dan propagandanya. Sarekat Islam (didirikan tahun 1912) pada tahun-tahun permulaan, serikat-serikat buruh yang dipimpin oleh ISDV (1914) dan PKI (1920), Sarekat Rakyat (SR) yang dipimpin oleh PKI, dan PKI sendiri, yang semuanya merupakan gerakan massa yang cukup luas, telah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan sastra dan seni Indonesia. Sesudah SI, SR dan PKI dilarang, peranan mengorganisasi dan memobilisasi massa secara terbuka diteruskan oleh PNI dan Partindo yang dipimpin oleh Bung Karno, dan kemudian oleh Gerindo. Kader-kader gerakan massa bekerja di tengah-tengah rakyat, tidak terkecuali di kalangan seniman-seniman rakyat dengan mengorganisasi dan mempengaruhi perkumpulan-perkumpulan kesenian, terutama drama rakyat.
Di waktu kegiatan politik revolusioner dilarang, kader-kader revolusioner banyak yang bergerak dalam rombongan-rombongan kesenian yang berupa drama rakyat, perkumpulan musik, pencak silat, dan sebagainya. Mereka juga bergerak dalam badan-badan pendidikan seperti Taman Siswa, Perguruan Rakyat dan sebagainya.
Proses pengintegrasian sastra dan seni dengan gerakan revolusioner pada masa itu datang dari dua jurusan.
Pertama, dari rombongan folklor, yang karena kekreatifan rakyat sendiri dan berkat pengaruh gerakan revolusioner, meningkat menjadi drama rakyat yang mengintegrasikan diri dengan gerakan revolusioner, seperti misalnya ludruk, ketoprak, reog (Jawa Barat), dan sebagainya. Bersamaan dengan berkembangnya drama rakyat, berkembang pula cabang-cabang kesenian rakyat lainnya seperti tari, musik, sastra, dan lain-lain.
Drama rakyat dan berbagai bentuk wayang yang di bawah pengaruh kaum revolusioner telah memainkan peranan yang positif, misalnya dalam menanamkan rasa cinta tanah air dan anti-kolonialisme. Cinta kebenaran, cinta keadilan, heroisme, anti-kemaksiatan dan sebagainya. Seniman-seniman drama rakyat dan pewayangan telah melahirkan banyak kritik sosial, terutama yang berupa satire (sindiran) dalam bentuk pantun-pantun atau lelucon-lelucon sindiran terhadap alat-alat kekuasaan kolonial Belanda dan fasis Jepang yang dibenci rakyat. Juga terhadap praktek-praktek tuan tanah seperti ijon, lintah darat, pologoro. pancen, dan lain-lain. Seniman-seniman satiris dari drama-drama rakyat sangat dicintai oleh penontonnya yang terdiri dari rakyat pekerja dan sebaliknya sangat dibenci oleh pemerintah kolonial serta musuh-musuh rakyat lainnya. Pemain ludruk yang sangat terkenal, yaitu Cak Durasim telah dibunuh oleh fasis Jepang karena kritik-kritik satirisnya yang tajam terhadap kekuasaan Jepang. Juga dalang-dalang banyak yang harus berkenalan dengan penjara kolonial.
Kedua, dari kalangan intelektual dan seniman revolusioner yang bergerak di bidang jurnalistik, polemik, karikatur, cerpen, essai, novel, musik dan sebagainya. Tak dapat disangkal peranan penting W.R. Supratman yang telah menciptakan lagu “Indonesia Raya” dan lagu-lagu revolusioner lainny. Juga tak dapat disangkal bahwa dengan buah tangan-buah tangan Supratman dimulailah dalam kehidupan musik modern di negeri kita “musik untuk rakyat” atau “musik untuk revolusi”. Pun tak dapat disangkal bahwa Haji Mukti, Tirto Adhisuryo, dan Mas Marto Kartodikromo adalah pelopor-pelopor sastra modern Indonesia. Dengan buah tangan-buah tangan mereka dimulailah dalam kesusastraan modern di negeri kita prinsip “sastra untuk rakyat”.
Dari uraian singkat di atas dapat kita simpulkan tentang sudah ditanamkannya tradisi revolusioner dalam kesenian kita, yaitu pemaduan secara kreatif warisan kesenian nenek moyang dengan pembaruan yang revolusioner, yang sesuai dengan tuntutan gerakan revolusioner. Juga telah ditanamkan tradisi sastra dan seni mengabdi rakyat pekerja. Dengan demikian prinsip “berkepribadian dalam kebudayaan” dan prinsip “seni untuk rakyat” bukanlah sesuatu yang asing bagi Rakyat Indonesia.
Rakyat Indonesia tidak hanya kreatif dalam menerima warisan nenek moyang, tetapi juga dalam menerima apa yang datang dari luar. Keroncong yang sekarang sudah menjadi milik Rakyat Indonesia di seluruh nusantara merupakan contoh kreativitas dalam menerima yang datang dari luar. Pun wayang, gambus, terbangan (rebanan) dan arsitektur tidak diterima “sebagaimana adanya” saja. Demikian pula bentuk-bentuk kesenian lainnya, baik yang datang dari Barat maupun yang datang dari negeri-negeri Timur, semuanya diterima dengan melalui proses penyesuaian dengan kepribadian Rakyat Indonesia sendiri. Ada yang boleh dibilang sudah selesai proses penyesuaiannya, dan ada yang belum selesai serta masih lambat sekali jalannya.
Dengan sendirinya, ketiadaan pemimpin yang tepat telah menyebabkan kekurangsempurnaan, baik dalam memperbarui warisan nenek moyang maupun dalam menerima yang datang dari luar negeri. Tetapi dasar yang positif telah diletakkan, yaitu dengan bertitik tolak dari kepribadian sendiri berusaha untuk mengadakan pembaruan apa yang diwarisi dari nenek moyang dan bersedia menerima yang dari luar dengan lewat proses penyesuaian. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Rakyat Indonesia menolak dogmatisme dalam sastra dan seni, baik dogmatisme terhadap warisan nenek moyang maupun dogmatisme terhadap yang datang dari luar. Rakyat Indonesia menjungjung tinggi kepribadiannya sendiri, dan menolak baik konservatisme maupun nihilisme dalam sastra dan seni.
Revolusi Agustus 1945 telah membukakan kemungkinan-kemungkinan baru yang luas bagi perkembangan sastra dan seni revolusioner. Secara spontan semua bidang kesenian telah mengalami perkembangan dan umumnya telah mengabdikan diri kepada revolusi. Drama rakyat, terutama ludruk, ketoprak, reog, dan dagelan (bebodoran) bermunculan dan berkembang di mana-mana serta giat ambil bagian di front-front pertempuran dalam mengobarkan semangat prajurit dan kaum gerilya. Juga pelukis-pelukis dengan poster-poster dan coretan-coretan dindingnya ikut mengobarkan semangat revolusioner rakyat. Tetapi, karena ketiadaan pimpinan revolusioner dalam gerakan kebudayaan, khususnya ketiadaan pimpinan PKI, kesempatan yang sangat baik itu tidak membawa kemajuan yang besar pada perkembangan kebudayaan, khususnya pada sastra dan seni revolusioner.
Sampai tahun 1950 boleh dibilang PKI tidak memberikan pimpinan kepada perkembangan sastra dan seni revolusioner. Baru dalam tahun 1950, jadi sesudah revolusi menurun dan sudah banyak orang yang tadinya ambil bagian dalam revolusi meninggalkan revolusi atau sedang siap-siap untuk meninggalkan revolusi, kaum Komunis tampil memberikan pimpinan pada gerakan kebudayaan rakyat dengan mendirikan Lekra. Di satu pihak ini menunjukkan kesadaran yang datangnya terlambat, tetapi di pihak lain ini adalah hasil pengendapan dan pelajaran selama revolusi Agustus 1945, dan merupakan tekad bulat untuk meneruskan revolusi dengan jalan yang lebih baik, yaitu dengan menyusun front kebudayaan disamping front-front lain yang juga mulai digalang atau digalang kembali pada waktu yang hampir bersamaan. Lekra telah memainkan peranan yang penting dalam mencegah kemerosotan lebih lanjut dari gerakan revolusioner di negeri kita.
Lekra didirikan ketika di dalam PKI sedang berlangsung perjuangan intern yang sengit melawan oportunisme “kiri” dan kanan. Lekra merupakan perwujudan dari usaha sayap Leninis dalam PKI ketika itu dan sekaligus merupakan salah satu perwujudan daripada meningkat dewasanya PKI.
Berdirinya Lekra merupakan kemenangan dari pada satu asas, merupakan bukti kesadaran dan keyakinan akan datangnya kemenangan. Terutama sejak tahun 1951, yaitu tahun kelahiran kembali PKI, pengintegrasian sastra dan seni dengan massa rakyat pekerja dan gerakan revolusioner berjalan dengan terpimpin. Sejak itu front kebudayaan memainkan peranan yang sangat penting dalam barisan progresif. Dan jika sejak tahun 1951 perkembangan situasi politik Indonesia terus menaik, banyak sukses dicapai di bidang politik, maka peranan penting telah ikut dimainkan oleh front kebudayaan yang dipelopori oleh Lekra.
Seperti sudah saya katakan di bagian muka, Mukadimah Lekra menunjukkan kematangan politik dan kedewasaan pengertian PKI tentang kebudayaan rakyat serta peranannya dalam perjuangan revolusioner. Ini dibuktikan oleh kalimat-kalimat dalam Mukadimah yang antara lain mengatakan bahwa “Rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan”, bahwa “pembangunan kebudayaan Indonesia baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat” dan bahwa “Lekra menerima dengan kritis peninggalan-peninggalan nenek moyang kita, mempelajari dengan seksama segala segi peninggalan itu, seperti halnya mempelajari dengan seksama pula hasil-hasil ciptaan klasik maupun baru dari bangsa lain yang mana pun, dan dengan ini berusaha meneruskan secara kreatif tradisi yang agung dari sejarah dan bangsa kita, menuju ke penciptaan kebudayaan baru yang nasional dan ilmiah”.
Sejak berdirinya Lekra sudah bertekad untuk membikin sastra dan seni revolusioner Indonesia memiliki kekuatan untuk menuangkan jiwa hakiki masyarakat dan abad kita dalam bentuk artistik yang tinggi. Tekad inilah yang harus menjadi tekad tiap-tiap anggota Lekra dan semua sastrawan dan seniman revolusioner.
Sewaktu menerima rombongan drama “Sinandang” dari Sumatra Utara pada tanggal 23 Februari 1964, antara lain saya kemukakan, bahwa kaum Komunis sekarang sedang berjuang melaksanakan tiga prinsip: berdaulat di bidang politik, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Yangsaya maksudkan dengan berkepribadian di bidang kebudayaan adalah berkepribadian nasional di bidang tersebut, termasuk bidang sastra dan seninya. Mengapa hal ini harus kita perjuangkan?
Sebagaimana kawan-kawan sendiri telah menyaksikan, kaum Imperialis, mulai Belanda, kemudian Jepang dan kini Amerika Serikat, telah dan sedang berusaha melalui berbagai cara dan jalan untuk mematikan kepribadian rakyat Indonesia. Imperialis Amerika Serikat sekarang tidak hanya merupakan musuh nomor satu Rakyat Indonesia karena kedudukan politik dan ekonominya tetapi jugakarena dominasinya di bidang kebudayaan, khususnya di bidang ilmu, film, musik, dan lektur. Seiring dengan neo-kolonialisme yang mereka jalankan di bidang ekonomi dan politik, mereka mengintensifkan agresinya terhadap Rakyat Indonesia di bidang kebudayaan. Usaha-usaha mereka ini dibantu secara aktif oleh kaki tangan-kaki tanggannya di dalam negeri, yaitu kaum komprador, kapitalis birokrat dan tuan tanah. Usaha-usaha tersebut mendapatkan angin baik dari kegiatan kaum revisionis modern yang belakangan ini merembes ke dalam tubuh gerakan kelas buruh internasional dan gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa.
Kaum revisionis bukan hanya tidak melawan kebudayaan imperialis, tetapi mereka bangga kalau berhasil menjiplak atau membikin barang tiruan (surrogaat) dari kebudayaan imperialis. Mereka sungguh telahberbuat banyak dalam melancarkan kemerosotan moral dan ideologi generasi muda negeri-negerinya, mereka telah meracuni pewaris-pewaris daripada revolusi negeri mereka masing-masing. Dengan demikian perbuatan kaum revisionis cocok benar dengan perhitungan kaum imperialis, yaitu bahwa generasi-generasi kemudian akan mengkhianati revolusi Sosialis, dan dengan sendirinya memenuhi harapan-harapan kaum imperialis.
Dengan bantuan sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman sewaannya di dalam negeri, antara lain mereka yang berkerumun di sekitar Manikebu, imperialisme Amerika Serikat menyebarkan ideologi reaksioner di bidang sastra dan seni, dengan etiket yang berganti-ganti dan bendera yang berubah-ubah, tetapi isinya tetap yang itu-itu juga. Mereka sebarkan teori humanisme universal, yang mengajarkan “cinta kepada sesama manusia”. Mereka mengajarkan kemanusiaan yang abstrak, sekalipun maksud mereka konkret. Menurut kaum Manikebuis, sejelek-jelek manusia, misalnya Tengku Abdulrachman dan Lyndon Johnson, masih bersinar “cahaya Ilahi” di dalam dirinya, masih ada segi-segi baiknya. Oleh karena itu orang-orang semacam itu jangan dimusuhi, malahan harus diselamatkan. Demikianlah cara mereka mengebiri ajaran Manipol agar rakyat tidak mengenal dan tidak melawan musuh-musuhnya.
Menurut kenyataan di dalam masyarakat berkelas, seperti dalam masyarakat Indonesia sekarang, hanyalah terdapat kemanusiaan yang berwatak kelas dan tidak ada kemanusiaan yang terlepas dari kelas.
Kaum Komunis menjunjung kemanusiaan, yaitu kemanusiaan proletariat, kemanusiaan massa rakyat, sedangkan kaum imperialis dan tuan tanah menjunjung kemanusiaan borjuis dan kemanusiaan feodal. Dan bila diteliti lebih jauh, kemanusiaan yang dijaya-jayakan kaum reaksioner itu tidaklah lain daripada akal busuk untuk memperpanjang umur sistem pengisapannya. Oleh karena itu, humanisme kita harus mendidik rakyat tidak hanya untuk mencintai, tetapi juga sekaligus untuk membenci, yaitu mencintai sesama massa rakyat dan sebaliknya membenci kaum imperialis, kaum tuan tanah, dan kaum reaksioner lainnya, mencintai perjuangan revolusioner untuk merampungkan tugas-tugas Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya dalam perjuangan menuju ke Sosialisme dan sebaliknya membenci kaum kontra-revolusioner yang menghalang-halangi terlaksananya tugas tersebut serta berkehendak mempertahankan sistem pengisapan imperialis dan feodal yang ada.
Sejalan dengan menyebarkan humanisme universal, ideologis-ideologis imperialis menyebarkan kosmopolitanisme dan nihilisme nasional, seolah-olah ada manusia-manusia aneh yang bisa dilahirkan di muka bumi tanpa menjadi penduduk sesuatu negeri, tanpa menjadi anggota sesuatu masyarakat, dan tanpa termasuk dalam sesuatu kelas atau golongan dalam masyarakat. Bersamaan dengan itu mereka sebarkan sovinisme yang bertentangan dengan internasionalisme, seolah-olah ada manusia-manusia aneh yang hanya menjadi penduduk salah satu negeri tanpa sekaligus menjadi penduduk dunia.
Mereka juga mengobarkan provinsialisme, separatisme dan rasialisme tidak hanya di bidang politik tetapi juga di bidang kebudayaan untuk menggerowoti keutuhan persatuan nasional Rakyat Indonesia.
Pendeknya, dengan tindakan-tindakannya itu kaum imperialis Amerika Serikat dengan bantuan kaum reaksioner di dalam negeri ingin menolong kedudukannya yang sudah goyah di bidang politik dan ekonomi, ingin meneruskan penindasan dan pengisapannya terhadap Rakyat Indonesia dengan jalan menumpulkan patriotisme revolusioner rakyat dalam melawan imperialisme.
Serangan jahat kebudayaan imperialis Amerika Serikat tidak kalah berbahayanya dibandingkan dengan agresinya di bidang politik, ekonomi atau pun militer. Malahan dalam batas-batas tertentu dan dalam keadaan-keadaan tertentu tembakan “pelor mas” itu lebih berbahaya daripada tembakan pelor besi. Kewaspadaan rakyat terhadap bahaya pelor besi lebih tajam jika dibandingkan dengan kewaspadaan terhadap bahaya “pelor mas”. Ini terbukti dari kenyataan-kenyataan yang kita saksikan saban hari. Banyak orang-orang dan golongan-golongan yang sudah revolusioner atau sudah Manipolis dalam pandangan politiknya, hakekatnya masih bersikap reaksioner jika ditinjau dari sikap kebudayaannya. Malahan masih ada di antara kader-kader Partai kita, berikut keluarganya, yang sampai sekarang secara kebudayaan masih belum memiliki sikap yang tepat. Inilah yang sering disebut “politik kiri, kebudayaan kanan”. Oleh sebab itu, bagi kader-kader PKI tidak saja perlu terus mengasah ketajaman perasaan politiknya, tapi juga perlu terus mengasah ketajaman perasaan kebudayaannya, khususnya perasaan sastra dan seninya. Dalam rangka kita sekarang membangun keluarga-keluarga Komunis, peranan sastra dan seni revolusioner adalah sangat penting.
Kepada para sastrawan dan seniman revolusioner saya minta perhatian khusus mengenai anak-anak kita. Anak-anak rakyat pekerja sekarang memang masih ikut merasakan derita hidup bersama dengan orang tua mereka, tetapi mereka sudah tidak mengenal lagi kolonialisme yang telanjang seperti kita dulu mengenal kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang. Mereka sekarang hidup dalam neo-kolonialisme yang penuh dengan kemunafikan, yang kejahatannya oleh anak-anak tidak mudah diketahui, apalagi yang merembes lewat saluran “kebudayaan”. Padahal anak-anak kita adalah pelaksana-pelaksana revolusi dan kemudian akan menjadi pewaris-pewaris dan penerus-penerus revolusi. Baik sukses revolusi nasionaldemokratis maupun sukses revolusi sosialis dan pembangunan Sosialisme di negeri kita akan banyak tergantung pada anak-anak kita. Oleh karena itu anak-anak rakyat pekerja Indonesia memerlukan kehidupan sastra dan seni, memerlukan bacaan, musik, film, drama dan kegiatan-kegiatan sastra dan seni lainnya yang dapat membantu mereka untuk menjadi pelaksana dan kemudian menjadi pewaris dan penerus revolusi yang dapat dipercaya. Adalah kewajiban para sastrawan dan seniman dewasa ini untuk memberikan santapan kultural dan bimbingan kreatif kepada anak-anak rakyat pekerja.
Kawan-kawan yang tercinta!
Kita menyaksikan masih adanya sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman Indonesia yang selain mengagumi dan mengagung-agungkan apa saja yang datang dari Barat, juga meremehkan sastra dan seni rakyatnya sendiri. Kaum nihilis kebudayaan ini berpendapat bahwa sastra dan seni Barat itu baik, bermutu tinggi dan indah, sedang sastra dan seni Indonesia jelek, bermutu rendah dan tidak indah. Barat yang dijunjung di atas kepala kosongnya itu tidak lain adalah Barat imperialis. Mereka secara latah meniru mentah-mentah apa yang datang dari Barat, dan sebaliknya tidak berusaha untuk mengenal, menggali dan menyaring serta mengembangkan milik nasionalnya sendiri. Lebih jauh mereka tidak hanya meniru gayanya, tetapi bulat-bulat menjiplak segala kebrengsekan, kebejatan dan kebobrokan ideologi yang terkandung di dalam kebudayaan imperialis yang dekaden. Mereka lebih mahir menyanyikan lagu-lagu Barat daripada lagu-lagu Rakyat Indonesia sendiri. Mereka lebih bangga berdansa-dansi secara Barat, tetapi malu menarikan tari-tarian Indonesia sendiri. Pendeknya, mereka secara rohaniah telah menjadi tawanan jinak dari kaum imperialis, dan malahan berangsur-angsur menjadi serdadu sewaannya yang setia. Perbuatan mereka sepenuhnya bertentangan dengan sifat Rakyat Indonesia yang pandai memilih dan kreatif dalam menerima yang datang dari luar. Dari mereka tidak dapat kita harapkan sesuatu untuk mengembangkan kebudayaan yang berkepribadian, sebab justru mereka termasuk orang-orang yang membantu kaum imperialis dalam usaha hendak membius jiwa rakyat dan membunuh kepribadiannya dengan alat kebudayaan. Ini dapat kita lihat dari tindakan-tindakan mereka ketika bangkitnya kesadaran rakyat mengganyang kebudayaan imperialis Amerika Serikat belakangan ini, dan menggeloranya semangat untuk menegakkan kembali kepribadian nasional di bidang kebudayaan. Mereka menentang aks-aksi patriotik seperti aksi boikot film-film Amerika Serikat dengan “alasan-alasan” yang mentertawakan dan kerdil. Dan setelah musik ngak-ngik-ngok tidak boleh dijajakan, mereka kembali ke-“kepribadian nasional” menurut cara mereka. Mercka mengaransir dan membawakan lagu-lagu Indonesia menurut gaya ngak-ngik-ngok. Sebagai hasilnya lahirlah “Bengawan Solo” yang di-rock-‘n-roll-kan “Tirtonadi” yang di-twist-kan, dan lagu-lagu anak-anak yang dibrengsekkan. Mereka juga “menciptakan” lagu-lagu Indonesia “populer” dan lagu-lagu daerah, tetapi hanya kata-katanya saja yang Indonesia atau daerah, sedangkan ritme dan melodinya adalah ngak-ngik-ngok. Demikian pula setelah rock 'n roll, twist dan tarian-tarian yang lebih mengandung kebinatangan daripada kemanusiaan ditentang oleh massa, mereka mengadakan semacam rock 'n roll atau twist “nasional” yang diiringi oleh musik ngak-ngik-ngok “nasional”. Mereka bukan hanya tidak berhenti menerjemahkan buku-buku Barat yang mempropagandakan rasialisme, banditisme dan gangsterisme ke dalam bahasa Indonesia, tetapi mereka belakangan ini lebih getol menulis roman picisan dan cerita-cerita komik yang isinya serupa tentang Indonesia dengan mereka-reka bandit-bandit dan gangster-gangster a la Amerika di Indonesia. Tindakan mereka itu tidak lain adalah “meng-Indonesia-kan” kebuduyaan imperialis dengan segala kebejatan dan kemerosotan ideologinya. Hal ini lebih jahat dan lebih berbahaya, karena daya merusaknya bertambah besar dan bertambah cepat daripada kebudayaan imperialis yang asli. Tindakan mereka itu tidak sesuai dengan maksud membina kebudayaan yang berkepribadian nasional. Mereka merusak kepribadian nasional, merusak moral dan menumpulkan semangat perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia, terutama sekali pemuda-pemudi Indonesia. Karenanya, tindakan mereka harus kita lawan dan kita telanjangi habis-habisan.
Disamping itu memang kita pun mengetahui adanya sementara sastrawan dan seniman yang secara tidak sadar melakukan kesalahan yang serupa dalam ukuran yang lebih ringan. Didorong oleh keinginannya untuk mengembangkan kebudayaan Rakyat Indonesia, mereka berorientasi ke kebudayaan Barat yang dianggapnya maju dan bermutu. Sudah barang tentu keinginannya itu tidak terkabul, karena disamping sudah salah jalan, yaitu akan membina kepribadian nasional melalui Barat, ditambah lagi salah-pilih, yaitu keliru mengambil ampas kebudayaan Barat dan- bukan saripatinya yang baik. Mereka tidak bisa memisahkan antah dari beras. Memang dalam batas-batas tertentu seolah-olah tercapai kemajuan-kemajuan dalam karya-karyanya, tetapi sebenarnya kepribadian nasional yang diidam-idamkannya itu tidak tertemukan, bahkan mereka jauhi. Mereka sendiri justru kehilangan kepribadian, sedang karya-karya mereka hanya merupakan klise-klise dan duplikat-duplikat belaka dari kebudayaan Barat. Terhadap kaum nihilis kebudayaan yang tidak sadar ini kita harus bersikap sabar menyadarkan mereka, bahwa mereka salah jalan dan salah pilih, dan harus kita tunjukkan jalan yang tepat yang seharusnya mereka tempuh.
Agresi sastra dan seni imperialis hanyalah dapat kita lawan dan kita kalahkan dengan sastra dan seni yang berkepribadian nasional. Sastra dan seni yang kepribadiannya kuat tidak hanya tahan dan mempunyai kekebalan terhadap pengaruh merusak dari kebudayaan imperialis, tetapi lebih dari itu juga mempunjai kemampuan untuk secara aktif melawan dan mengalahkan kebudayaan imperialis.
Yang kita maksudkan dengan sastra dan seni yang berkepribadian nasional adalah sastra dan seni yang lahir dari tradisi patriotisme revolusioner Rakyat Indonesia sendiri, yang mencerminkan tradisi dan adat-istiadat bangsa sendiri, bertema nasional dan melukiskan aspirasi-aspirasi nasional Rakyat Indonesia yang revolusioner. Bidang-bidang sastra dan seni termasuk bidang-bidang terpenting daripada pekerjaan ideologi kita. Dan setiap pekerjaan ideologi, tanpa·perkecualian, jadi juga pekerjaan sastra dan seni, harus disubordinasikan kepada kepentingan Rakyat Indonesia. Perjuangan di bidang sastra dan seni adalah bagian daripada perjuangan kita dalam mengindonesiakan Marxisme-Leninisme, bagian daripada perjuangan kita dalam menjalankan revolusi secara kreatif, dalam menerapkan kebenaran universal Marxisme-Leninisme pada kenyataan-kenyataan spesifik negeri kita, menerapkan dengan sepenuhnya memperhitungkan sejaran dan situasi aktual negeri kita, dengan sepenuhnya memperhitungkan kemampuan dan tradisi, tuntutan-tuntutan dan taraf kesadaranrakyat kita. Ini berarti bahwa dalam memecahkan sesuatu problem yang kita hadapi, kita tidak seharusnya bersandar pada formula-formula atau dalil-dalil yang sudah tersedia, tetapi harus memahami problem itu secara tepat dan kena atas dasar analisa yang ilmiah daripada kenyataan-kenyataan dan mengambil tindakan-tindakan yang cocok untuk memecahkan problem itu.
Sebagai Komunis kita harus mempelajari sejarah revolusi-revolusi dan sejarah Partai-Partai Komunis di luar negeri, terutama sejarah Partai Komunis Uni Sovyet dan Partai Komunis Tiongkok. Tetapi apa tujuannya mempelajari sejarah-sejarah itu? Pasti bukan untuk “memindahkan” revolusi di luar negeri itu ke Indonesia, tetapi untuk melaksanakan revolusi kita sendiri dengan cara yang lebih tepat, supaya kita dapat menarik pelajaran-pelajaran yang baik dan tidak membikin kesalahan-kesalahan yang pernah dibikin oleh kaum Komunis di luar negeri dalam memimpin revolusi-revolusinya. Revolusi kita dilaksanakan di Indonesia, dan bukan di negeri lain, dilaksanakan oleh Rakyat Indonesia dan bukan oleh rakyat negeri lain. Inilah yang harus senantiasa kita ingat.
Sebagai Komunis kita harus lebih banyak mengenal keadaan negeri dan rakyat kita sendiri, keadaan masa lampau dan masa kini kita untuk membentuk masa depan kita yang gemilang.Ini berarti bahwa kita harus lebih sungguh-sungguh mempelajari sejarah, geografi dan adat-istiadat rakyat kita. Baik untuk kerja politik maupun untuk kerja sastra dan seni pengetahuan yang dalam tentang hal-hal ini sangat diperlukan bagi usaha kita membangkitkan kebanggaan nasional rakyat dan mendidik rakyat kita dengan cara yang paling cocok untuk mereka dan yang paling menjiwai mereka dengan kecintaan yang mendalam kepada tanah air.
Dengan demikian jelaslah betapa erat hubungannya antara pekerjaan politik dan pekerjaan sastra dan seni dengan pekerjaan di bidang sejarah, geografi dan antrapologi-budaya. Semuanja ini sangat erat hubungannya dengan masalah kepribadian bangsa, dan oleh karenanya harus terus-menerus mendapat dorongan dari kaum revolusioner.
Tidak ada gunanya kita mengeluh tentang ketiadaan atau tentang sangat kurangnya buku-buku sejarah yang baik, buku-buku ilmu bumi yang baik dan buku-buku antropologi-budaya yang baik. Mau tidak mau penyusunan semuanya ini sudah terletak di atas pundak kaum inteligensia revolusioner, dan harus dikerjakan ·dalam waktu yang cepat.
Terutama penulisan sejarah perjuangan yang memaparkan tradisi-tradisi revolusioner Rakyat Indonesia harus cepat disusun dan dipublikasi secara luas untuk lebih membangkitkan kebanggaan nasional dan meningkatkan perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia.
Mungkin masih ada “kerikil” yang menyebabkan para sastrawan dan seniman kita belum keranjingan untuk menggarap tema-tema besar seperti pemberontakan 1926, tanah pembuangan Digul, pemberontakan “Zeven Provincien”, Revolusi Agustus 1945, pembasmian “PRRI-Permesta”, penghancuran DI-TII, pembebasan Irian Barat dan tema-tema lain yang dapat membangkitkan kebanggaan nasional dan meningkatkan perjuangan revolusioner, misalnya karena melihat adanya kelemahan-kelemahan pada tiap-tiap perjuangan itu. Pemberontakan 1926 adalah pemberontakan yang gagal, di antara orang-orang yang dibuang ke Digul ada yang menyerah kepada Belanda, pemberontakan “Zeven Provincien” juga gagal, Revolusi Agustus berlangsung tanpa pimpinan yang sadar dari proletariat. “PRRI-Permesta” dan DI-TII diselesaikan dengan kompromi, Irian Barat bebas dengan campur tangan Bunker dari Amerika Serikat dan sebagainya., inilah yang mungkin menjadi “kerikil” sehingga tidak menimbulkan rangsang untuk menulis. Jika benar ini yang menjadi sebab, maka sama sekali tidak beralasan. Kegagalan sesuatu pemberontakan revolusioner tidaklah berarti bahwa pemberontakan itu salah, dan sekalipun ia gagal tetap melahirkan pahlawan-pahlawan. Kelemahan beberapa gelintir orang dalam pembuangan tidaklah berarti semua orang buangan revolusioner menjadi pengkhianat dan lemah jiwa seperti dicoba digambarkan oleh Sutan Sjahrir dalam bukunya “Indonesische Overpeinzingen” (Renungan Indonesia). Biarlah Sutan Sjahrir merenung-renung, tapi sastrawan dan seniman revolusioner harus menuliskan kepahlawanan orang-orang revolusioner tanah pembuangan Digul itu. Jika sesuatu perjuangan “diselesaikan” dengan kompromi, sudah pasti yang berkompromi bukanlah rakyat, dan korban sudah banyak berjatuhan, pahlawan sudah banyak dilahirkan. Jika sesuatu pemberontakan, sesuatu revolusi atau sesuatu aksi gagal atau tidak mencapai tujuan yang sepenuhnya karena tanpa pimpinan sadar dari PKI, ini tidaklah berarti bahwa pemberontakan, revolusi atau aksi itu salah, tidaklah berarti bahwa tidak ada perbuatan kepahlawanan yang harus ditulis. Tentang ketiadaan pimpinan yang sadar dari PKI, justru itu yang juga harus diungkapkan agar lain kali pimpinan dilakukan sesadar-sadarnya oleh PKI. Saya mengetok hati kawan-kawan dengan harapan supaya dalam waktu yang tidak terlalu lama pahlawan-pahlawan yang sudah berjatuhan dan yang masih hidup itu menambah semaraknya perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia lewat karya kawan-kawan.
Siapakah yang bersalah jika ada orang yang mengira bahwa nama “Aliarcham” ada hubungannya dengan “Al Azhar”? Bahwa Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham” di Jakarta dikira berafiliasi dengan Universitas Al Azhar di Kairo? Tcntu bukan salah ayah dan ibu Kawan Aliarcham yang memberi nama Arab kepada anaknya, tetapi karena pahlawan rakyat tidak diperkenalkan kepada rakyat yang memiliki pahlawan itu oleh mereka yang harus memperkenalkannya. Sekarang banyak universitas dan akademi memakai nama pahlawan. Ini baik sekali, menandakan bahwa kita generasi sekarang tidak menyia-nyiakan pahlawan-pahlawan kita. Tetapi berapa banyak orang yang mengetahui perbuatan kepahlawanan mereka? Dalam perjuangan yang bagaimana mereka tampil sebagai pahlawan?
Kira-kira sepuluh tahun yang lalu pernah gambar penulis Soviet Ilya Ehrenburg diarak dalam suatu demonstrasi 1 Mei. Kalau kita mau berterus-terang, kawan-kawan, berapalah jumlah buku Ehrenburg di negeri kita ini, berapa orang yang sudah membacanya, berapa pula yang membacanya tamat, dan di antara yang membacanya tamat itu berapa orang yang berhasil menarik pelajaran untuk revolusi Indonesia, khususnya untuk perkembangan sastra dan seni revolusioner Indonesia. Jumlah bukunya yang beredar hanya scdikit sekali, yang tamat membacanya bisa dihitung dengan jari dan yang membaca dengan berhasil menarik pelajaran untuk kepentingan revolusi Indonesia mungkin tidak ada. Tapi gambar Ehrenburg diarak. Gejala apa ini, kalau bukan gejala dogmatisme dan formalisme. Karena Ehrenburg seorang penulis Sovyet, sedangkan Sovyet itu adalah baik, karya-karyanya dikira juga baik, dan oleh karena itu gambarnya diarak sekalipun yang mengarak dan yang menyuruh mengarak tidak tahu apa-apa tentang karya Ehrenburg.
Masih ada lagi sastrawan dan seniman luar negeri yang pernah dipuja-puja oleh sementara orang revolusioner negeri kita dengan tidak memikirkan betapa hubungannya dengan revolusi kita dan dengan perkembangan sastra dan seni revolusioner kita. Saya tidak berbicara tentang apa yang terjadi di kalangan mereka yang tidak revolusioner, karena memuja segala yang datang dari luar negeri, termasuk juga memuja penyebar-penyebar Komunistophobi dan segala yang bertentangan dengan kepentingan revolusi Indonesia, adalah biasa dan akan terus menjadi kebiasaan mereka.
Kita kaum Komunis bisa dan harus pandai menilai dan menghargai karya-karya sastra dan seni progresif dari luar negeri. Tetapi penilaian dan penghargaan kita pertama-tama harus dilihat dari segi hubungannya dengan kepentingan revolusi Indonesia dan tidak boleh berakibat menganggap rendah sastrawan dan seniman kita sendiri serta karya-karyanya. Perkenalan kita dengan karya-karya sastrawan dan seniman progresif luar negeri harus menjadi perangsang bagi kita guna mengenal lebih baik sastrawan dan seniman kita sendiri, guna meningkatkan kesadaran kita tentang keharusan memberi tempat dan penghargaan yang wajar kepada sastrawan dan seniman kita yang sudah tidak ada lagi, serta mendorong maju ke pekerjaan sastrawan dan seniman kita sekarang.
Tanpa kepribadian dalam pekerjaan ideologi artinya juga tanpa kepribadian di bidang sastra dan seni kita akan menuju kepada kesalahan-kesalahan dogmatls dan formalis. Jika ini terjadi maka akan menjadi rusaklah urusan revolusioner kita. Oleh karena itu, sastrawan dan seniman revolusioner harus menguasai teori Marxisme-Leninisme dan menerapkannya secara kreatif di bidang kegiatan masing-masing.
Dalam bukunya “Marxisme dan Masalah-Masalah Nasional” Stalin antara lain menyatakan bahwa “Nasion itu berbeda satu dengan lainnya bukan hanya dalam keadaan-keadaan hidup mereka saja, tetapi juga dalam wajah kerohanian yang menampakkan diri dalam kekhususan-kekhususan kebudayaan nasional”. (J. W. Stalin, Marxisme dan Masalah-Masalah Nasional, Yayasan Pembaruan 1959, hal. 9).
Lebih jauh dalam bukunya itu Stalin juga menandaskan, bahwa “satu susunan kejiwaan bersama, yang menyatakan diri dalam satu kebudayaan bersama, adalah salah satu ciri nasion yang karakteristik”. (sda, hal. 10, garis bawah dari Stalin). Tulisan Stalin ini menegaskan bahwa “susunan kejiwaan bersama yang menyatakan diri dalam satu kebudayaan bersama” selain merupakan salah satu syarat bagi eksistensi sesuatu nasion, juga sekaligus memberikan corak khusus atau dengan kata lain memberikan “watak nasional” kepada nasion yang bersangkutan yang membedakannya dengan nasion-nasion lain. Ini berarti, bahwa tiap-tiap nasion mempunyai kepribadian sendiri-sendiri dalam bidang kebudayaan. Kepribadian itu bukan datang dari langit, melainkan tumbuh dan terbentuk melalui proses dalam waktu yang panjang. Ia tidak merupakan sesuatu yang sekali ditetapkan lalu berlaku untuk selama-lamanya, melainkan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan nasion yang bersangkutan. Tetapi karena ia ada pada
waktu tertentu, maka ia meninggalkan bekas pada nasion. Inilah sebabnya, sastra dan seni yang berkepribadian nasional lebih berakar dan lebih cepat berkembang di kalangan rakyat dan karenanya lebih mudah serta lebih mampu menggugah dan membangkitkan rakyat untuk mencintai tanah air dan melawan musuh-musuhnya.
Sebaliknya, sastra dan seni yang tidak berkepribadian adalah asing bagi rakyat, ditolak rakyat, tidak bisa berakar dan berkembang di tengah-tengah rakyat dan oleh karenanya tidak memiliki kemampuan untuk memobilisasi dan mengorganisasi massa dalam perjuangan revolusioner. Kenyataan juga membuktikan, bahwa jenis-jenis sastra dan seni yang hingga kini masih hidup dan berkembang di tengah-tengah rakyat adalah jenis-jenis yang memiliki kepribadian yang kuat. Karenanya, ia tahan uji dan tidak lebur walaupun diagresi oleh kebudayaan imperialis. Dan bila kepribadian yang sedemikian dikembangkan, tentu akan merupakan senjata ampuh di tangan rakyat dalam memenangkan perjuangan revolusionernya.
Oleh karena itu, penting sekali ditekankannya kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha untuk membina kebudayaan yang berkepribadian, sebab penekanan sedemikian itu sendiri pada hakekatnya sudah merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap penetrasi kebudayaan imperialis. Menegakkan kepribadian nasional di bidang kebudayaan pada hakekatnya adalah mengobarkan patriotisme atau mengobarkan semangat banteng di bidang kebudayaan.
Mungkin timbul pertanyaan apakah dengan sastra dan seni yang berkepribadian nasional kita tidak memisahkan diri dan menjadi terpisah dari sastra dan seni serta dari kebudayaan revolusioner dunia? Sastra dan seni yang berkepribadian pada hakekatnya adalah perwujudan patriotisme di bidang sastra dan seni. Dan patriotisme kita adalah patriotisme proletar, patriotisme sosialis atau patriotisme progresif, yaitu patriotisme yang mencintai tanah air dan di atas segala-galanya mencintai Rakyat Indonesia serta membela kepentingan-kepentingan mereka terhadap kaum pengisap.
Jadi, patriotisme kita berbeda dengan patriotisrne borjuis yang “mencintai tanah air” tetapi tidak mencintai dan tidak memperjuangkan pembebasan rakyat dari kaum pengisap, dan malahan mengisap dan menindas rakyat terbanyak serta membantu kaum imperialis dan kaum pengisap lainnya. Oleh karena itu sastra dan seni berkepribadian yang kita kehendaki adalah berwatak anti-imperialisme dan anti-pengisapan. Sastra dan seni yang
demikian itu mempunyai watak internasional, karena perjuangan melawan imperialisme dan melawan pengisapan terdapat di seluruh dunia. Sastra dan seni yang demikian pasti dapat dinikmati dan digemari oleh rakyat-rakyat di negeri-negeri lain sebagaimana halnya kita juga dapat menikmati sastra dan seni patriotik rakyat negeri-negeri lain. Hanya kaum
imperialis dan kaum reaksioner lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri, yang tidak bisa menikmati dan tidak bisa menggemari bahkan menentang sastra dan seni yang demikian karena kepentmgan mereka dirugikan olehnya.
Sastra dan seni yang berkepribadian nasional adalah kawan seperjungan sastra dan seni revolusioner negeri-negeri lain, adalah saling mengisi dan saling melengkapi serta saling mendorong dalam mengabdikan diri bagi perjuangan revolusioner rakyat negeri masing-masing dan rakyat-rakyat sedunia. Kenyataan itu membuktikan bahwa sastra dan seni revolusioner sesuatu nasion disamping mempunyai kekhususan sendiri-sendiri yang tercermin pada kepribadian nasionalnya masing-masing, juga dipertalikan dengan sastra dan seni revolusioner nasion-nasion lain di seluruh dunia oleh persamaan watak yang anti-imperialisme dan anti-pengisapan. Oleh karena itu, sastra dan seni yang berkepribadian nasional tidak hanya memperkuat perjuangan rakyat yang bersangkutan tetapi juga memperkuat perjuangan revolusioner rakyat-rakyat sedunia.
Sastra dan seni yang berkepribadian nasional adalah sastra dan seni yang berdiri di atas prinsip revolusioner dalam isi dan nasional dalam bentuk, ia bagaikan kembang nasional yang mekar indah dalam taman sari internasionalisme.
Adalah menggembirakan bahwa usaha-usaha sudah mulai timbul dari kalangan sastrawan dan seniman kita untuk menegakkan kepribadian di bidang kegiatannya masing-masing. Usaha ini mulai menampakkan hasil-hasilnya yang tercermin pada karya-karya sastra dan seni mereka, terutama setelah mereka belakangan ini lebih mendalami kehidupan dan perjuangan kaum tani, dimana mereka berhasil menemukan, mengenali, dan kemudian menegakkan ciri-ciri kepribadian nasional yang terkandung pada berbagai jenis sastra dan seni yang masih hidup dan berkembang di kalangan rakyat, terutama kaum tani, yang semula tidak mereka kenal. Sudah barang tentu usaha-usaha menegakkan kepribadian di bidang kebudayaan bukan pekerjaan yang mudah dan dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Ia merupakan pekerjaan pelik, makan waktu panjang, dan karenanya memerlukan ketelatenan dan kesungguhan serta ketekunan revolusioner. Tetapi betapa pun, ia bukan merupakan sesuatu yang tidak dapat dikerjakan. Dengan usaha-usaha yang tidak kenal lelah, bersandar pada kekuatan massa rakyat, dan disuluhi oleh pandangan dunia dan pandangan hidup Marxisme-Leninisme tentulah pekerjaan-pekerjaan itu akan mencapai hasil yang gilang-gemilang. Yang belum memulai harus mengawalinya, dan yang sudah memulai harus melanjutkan dan mengembangkannya terus-menerus.
Sudah agak lama para sastrawan dan seniman revolusioner menyadari, bahwa sastra dan seni harus diabdikan kepada rakyat, terutama kaum buruh dan kaum tani. Mereka menganggap masalah ini sebagai masalah yang prinsipiil dan karenanya selama ini dengan gigih mereka mengibarkan panji-panji “Seni Untuk Rakyat” guna meruntuhkan panji-panji reaksioner “Seni Untuk Seni”. Sekarang pada pokoknya asas “Seni Untuk Rakyat” sudah mengatasi asas “Seni Untuk Seni”. Tetapi, ini tidak berarti bahwa di dalam kenyataannya asas tersebut sudah terlaksana dengan baik.
Meskipun sudah nampak kemajuan-kemajuan berkat usaha yang terus-menerus selama ini, namun ternyata bahwa pengabdian itu pada sebagian sastrawan dan seniman masih belum terlaksana secara tepat. Hal ini dapat kita lihat dan uji dari karya-karya sastra dan seni mereka. Benar, mereka sudah mulai membicarakan kaum buruh dan kaum
tani, tetapi kaum buruh dan kaum tani itu masih merupakan “embel-embel” dari reka-rekaan subjektif pikiran borjuis kecil penciptanya. Dengan demikian karya-karya itu tidak mempunyai daya penggugah dan pembangkit massa rakyat, sebab apa yang dilukiskan bukan apa yang dikehendaki massa dan bahasa yang digunakan pun bukan bahasa yang dimengerti oleh massa. Hal ini disebabkan karena dalam meninjau sesuatu hal yang akan diciptakannya sastrawan dan seniman tersebut belum menggunakan pendirian dan sikap yang tepat.
Sekalipun sastrawan dan seniman revolusioner ikut ambil bagian dalam menggalang front persatuan nasional, tidaklah berarti bahwa mereka boleh mempunyai pendirian dari salah satu kelas yang bukan proletar yang harus dipersatukan dalam front persatuan nasional, misalnya pendirian borjuis kecil atau borjuis nasional. Tidak, mereka harus mempunyai pendirian yang tepat, yang paling maju, yaitu pendirian proletariat. Bagi mereka yang telah menjadi anggota PKI, hal ini berarti bahwa mereka harus memiliki dan memegang teguh pendirian Partai, yaitu pendirian proletariat yang sudah dirumuskan secara paling baik. Demikian pula sikap mereka harus diletakkan secara konsekuen di atas dasar pendirian tersebut. Artinya sastrawan dan senirnan revolusioner harus mempunyai sikap kelas yang tepat selaras dengan keadaan konkret yang dihadapi. Mereka harus mempunyai sikap yang berbeda terhadap massa rakyat pekerja, terhadap sekutu dalam front persatuan dan terhadap lawan.
Terhadap massa rakyat pekerja berikut pelopornya, sikap sastra dan seni revolusioner harus memujinya. Kekurangan-kekurangan yang ada pada rakyat pekerja tidak seharusnya diejek atau dicemoohkan, tetapi justru sastra dan seni revolusioner harus membantu dalam mengatasi kekurangan-kekurangan itu. Sastra dan seni harus mendidik dan mendorong maju rakyat pekerja, memperteguh persatuan mereka dan mengobarkan semangat perjuangan mereka, sehingga mereka dapat mengangkat dirinya dari lumpur keterbelakangan kultural dan lebih mampu menunaikan tugas-tugas sejarahnya dengan baik.
Terhadap sekutu dalam front persatuan, sikap sastra dan seni revolusioner harus mengamalkan secara teguh tetapi luwes prinsip “bersatu dan berjuang”. Lewat sastra dan seni kita dorong sekutu kita untuk maju dalam perjuangan melawan musuh-musuh bersama dan terus bersatu dengan kita seerat dan selama mungkin. Sedang terhadap kebimbangan dan kekurangan sekutu, kita lakukan perjuangan-perjuangan atau kritik-kritik bersahabat.
Terhadap musuh, sikap sastra dan seni revolusioner harus mencela, dan harus menelanjanginya tanpa kenal ampun, menyingkapkan kejahatan dan kekurangajaran mereka, supaja rakyat makin membencinya sehingga musuh-musuh rakyat itu makin terpencil dan karenanya lebih mudah dikalahkan.
Baik dalam memuji maupun dalam mencela harus dilakukan dengan selalu menjunjung tinggi kebenaran, dalam arti kata dialektik, serta kejujuran dan dengan menjauhkan diri dari semua pemalsuan, kemunafikan dan semua bentuk subjektivisme. Sebab semua perkosaan terhadap kebenaran akhirnya akan memukul kembali diri kita sendiri dan akan memperlambat jalannya revolusi.
Hanya dengan pendirian dan sikap yang tepat, pengabdian kepada buruh, tani dan rakyat pekerja lainnya akan dapat diperbaiki.
Disamping itu, selama ini masih ada segolongan rakyat yang belum kita perhatikan dan belum kita jadikan objek kerja-kerja sastra dan seni, yaitu massa prajurit. Padahal secara politik bagi kita sudah tidak ada soal lagi, mereka pada umumnya adalah rakyat pekerja yang memanggul senapan, sebab mereka pada umumnya berasal dari buruh, tani dan rakyat pekerja lainnya. Apalagi jika diingat bahwa Angkatan Bersenjata Indonesia dilahirkan oleh Revolusi Agustus 1945, sehingga seperti pernah saya terangkan dalam ceramah di depan SESKOAD, Angkatan Bersenjata RI mempunyai ciri-ciri: 1) anti-fasis, demokratis, anti-imperialis, dan bercita-cita Sosialisme; 2) alat untuk mengabdi perjuangan besar Nefo kontra Oldefo; dan 3) alat membela keutuhan wilayah dan kesatuan nasion Indonesia.
Jadi ditinjau dari segi kelahirannya, asal-usulnya dan vitalitasnya prajurit merupakan bagian dari rakyat pekerja yang seharusnya menjadi salah satu sasaran penting bagi karya-karya sastra dan seni revolusioner. Mengadakan diskriminasi terhadap prajurit adalah tidak tepat, bukan hanya karena prajurit adalah juga warga negara Republik
Indonesia, tetapi juga karena prajurit pada umumnya termasuk rakyat pekerja.
Alasan yang selama ini dijadikan dasar untuk tidak menjadikan massa prajurit sebagai objek karya sastra dan seni revolusioner adalah karena “mengingat adanya dua aspek dalam kekuasaan politik atau kekuasaan RI sekarang ini, yaitu aspek anti-rakyat disamping aspek pro-rakyat”. Padahal, justru karena alasan ini, sastra dan seni revolusioner harus juga ditujukan kepada massa prajurit. Kalau tidak, maka sastra dan seni kita tidak ikut mengembangkan aspek pro-rakyat. Dijadikannya prajurit sebagai objek karya sastra dan seni revolusioner sebetulnya justru membantu usaha mendorong dan memperkuat aspek pro-rakyat dalam kekuasaan politik sekarang untuk mengalahkan dan mengusir aspek anti-rakyat.
Jadi jelaslah, bahwa sastra dan seni revolusioner tidak hanya harus diabdikan kepada buruh dan tani, tetapi tuga kepada prajurit. Ini berarti bahwa selain kita harusmenyempurnakan pengabdian kepada massa buruh dantani, pengabdian kepada massa prajurit melalui karya-karya sastra dan seni revolusioner harus segera dimulai.
Mengabdi kepada buruh, tani dan prajurit berarti memenuhi kebutuhan mereka, tidak hanja untuk waktu-waktu sekarang tetapi juga untuk waktu-waktu mendatang. Kita tidak
boleh berpikir bahwa taraf kebudayaan rakyat pekerja berhenti sampai taraf keadaan sekarang, tetapi kita harus berpikir sesuai dengan kenyataan, bahwa taraf kebudayaan rakyat pekerja terus meningkat. Oleh karenanya, disamping usaha populerisasi juga harus dilakukan usaha peningkatan. Pikiran yang berat sebelah, yang meremehkan salah satu dari kedua usaha itu, atau yang menganggap bahwa kedua-duanya tidak dapat berjalan secara simultan adalah salah dan harus kita lempangkan.
Sesudah jelas untuk siapa sastra dan seni revolusioner kita baktikan, maka jelas pula bagi kita, bahwa populerisasi yang kita maksud adalah mempopulerkan sastra dan seni kepada kaum buruh, tani dan prajurit. Demikian pula peningkatannya kita tujukan untuk meningkatkan taraf sastra dan seni mereka.
Sudah barang tentu yang harus kita populerkan bukanlah sesuatu yang hanya kita kehendaki sendiri, yang hanya kita mengerti sendiri dan yang hanya kita sukai sendiri, melainkan sastra dan seni yang dikehendaki, dimengerti dan disukai oleh massa buruh, tani dan prajurit. Demikian pula peningkatan yang kita lakukan di satu pihak harus kita dasarkan pada taraf massa buruh, tani dan prajurit dan di pihak lain harus kita juruskan ke arah tujuan buruh, tani dan prajurit, yaitu arah yang dituju oleh proletariat. Populerisasi maupun peningkatan yang tidak demikian tidak akan mencapai tujuan pengabdian kita.
Pekerjaan populerisasi dan peningkatan tidak mungkin dipisahkan. Populerisasi tanpa peningkatan sama dengan mandcg, sedangkan peningkatan tanpa populerisasi sama dengan melayang-layang tanpa landasan. Karenanya, keduanya harus kita hubungkan dengan baik. Populerisasi yang kita lakukan harus dibimbing oleh usaha peningkatan, peningkatan yang kita jalankan haruslah berlandaskan populerisasi. Dengan demikian kedua usaha itu bukan saja tidak bertentangan, tetapi bahkan saling mendorong dan memperkuat.
Kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah, bahwa di satu pihak semangat revolusioner dan kesadaran politik rakyat pekerja adalah sangat tinggi, sedangkan tingkat
kebudayaannya pada umumnya masih rendah, bahkan masih banyak di antara mereka yang buta huruf. Yang paling mendesak untuk mereka bukanlah karya-karya yang rumit dan sulit, melainkan karya-karya yang populer, sederhana dan mudah dimengerti. Oleh karenanya, dalam bubungan ini perlu diintensifkan penggarapan kita terhadap jenis-jenis kesenian yang mudah mencapai massa, termasuk massa yang buta huruf, dengan tidak mengurangi perhatian kita dalam menggarap jenis-jenis kesenian lainnya. Seperti sudah diuraikan di muka, drama termasuk yang paling memenuhi keperluan ini. Juga cergam, karikatur dan cukilan-kayu memenuhi keperluan ini.
Drama tradisional yang berbahasa daerah ternyata lebih merata sampai ke desa-desa. Jika dibandingkan dengan drama modern di kota-kota yang masih sangat terbatas itu. Sesuai dengan pengalaman kreatif Rakyat Indonesia, maka drama tradisionil perlu diperbarui dan dipertinggi. Bukan hanya teknik pementasannya yang harus disempurnakan, juga lakon-lakon yang dimainkan harus diperbaiki. Tidak cukup hanya dengan merevolusionerkan lakon-lakon yang sudah ada, tetapi juga harus menciptakan lakon-lakon baru yang melukiskan kehidupan dan perjuangan rakyat sekarang.
Adalah menggembirakan, bahwa Kongres BAKOKSI baru-baru ini telah secara bulat bertekad memperbarui ketoprak agar menjadi senjata yang lebih ampuh ditangan rakyat.
Tentang pembaruan di bidang sastra dan seni memang kita tidak boleh gegabah, lebih-lebih terhadap jenis-jenis sastra dan seni yang populer di kalangan rakyat dan dicintai rakyat. Tetapi ini tidak berarti tidak mengadakan pembaruan. Adalah tidak tepat bila kita berhenti memuaskan diri pada keadaannya yang sekarang saja tanpa mengusahakan penyempurnaan-penyempurnaan. Sebaiknya, untuk waktu yang cukup panjang, kedua-duanya, baik yang lama maupun yang sudah mengalami pembaruan, dibiarkan hidup berdampingan dan saling berlomba. Dan jadikan rakyat sebagai juri yang memutuskan mana yang mereka gemari dan mana tidak. Dengan cara demikian kedua-duanya akan lebih didorong untuk menyempurnakan diri dan mempertinggi pengabdiannya kepada rakyat.
Masih ada kawan-kawan kita yang ngotot tidak mau menerima pembaruan, misalnya di bidang pewayangan. Nampaknya mereka sayang dan cinta betul pada wayang. Tetapi hakekatnya, sikap mereka yang kolot itu akan mematikan pewayangan karena tanpa adanya pembaruan, generasi sekarang dan apalagi generasi-generasi kemudian makin tidak tertarik pada wayang, penonton wayang akan makin lama makin berkurang, akhirnya tinggal yang tua-tua. Dan jika yang tua-tua sudah mati semua maka habislah penonton wayang. Cinta buta dari kawan-kawan yang kolot ini harus dilawan dengan tidak usah mengganggu kesenangannya, melainkan dengan menempatkan yang sudah diperbarui di samping yang lama dan menarik mereka berangsur-angsur kepada yang sudah diperbarui itu. Oleh karenanya yang baru atau yang sudah diperbarui harus lebih baik, lebih indah dan lebih tinggi mutu artistiknya daripada yang lama.
Mengenai drama modern, perlu diusahakan syarat-syarat yang memungkinkan drama itu dapat lebih cepat masuk ke desa-desa, ke perkebunan-perkebunan, dan perkampungan-perkampungan kaum buruh, misalnya dengan penyusunan repertoar-repertoar drama yang bertemakan kehidupan dan perjuangan rakyat sekarang, baik dalam bahasa daerah maupun dalam bahasa Indonesia. Selain daripada itu, baik untuk drama tradisional maupun modern, supaya diutamakan pementasan di panggung-panggung terbuka, agar lebih bersifat massal, lebih mudah penyelenggaraannya dan lebih murah biayanya dengan tidak meninggalkan usaha peningkatan mutu keseniannya. Inilah yang di kalangan pekerja kebora (kebudayaan dan olah raga) SOBSI dikenal dengan “4 M” (Massal, Mudah, Murah, dan Meninggi).
Dalam hubungan dengan drama, terutama untuk menjamin berhasilnya usaha-usaha pembaruan dan peningkatannya, sangat diperlukan bantuan para sastrawan guna menuliskan repertoar-repertoar drama yang diperlukan. Bila tidak demikian, tentulah usaha-usaha pembaruan dan peningkatan akan menghadapi kesulitan-kesulitan karena ketiadaan repertoar-repertoar yang sesuai dengan makin meningkatnya tuntutan perjuangan rakyat.
Usaha-usaha populerisasi maupun peningkatan hanya dapat dilakukan oleh sastrawan dan seniman revolusioner bila mereka mengintegrasikan pikiran, perasaan, dan tindakannya dengan massa buruh, tani, dan prajurit. Tanpa berbuat demikian tidak mungkin mereka menciptakan sastra dan seni tentang kehidupan dan perjuangan buruh, tani, dan prajurit secara tepat. Mereka di satu pihak harus terjun ke tengah-tengah massa, memanaskan diri dalam api perjuangan massa, dan dengan rendah hati belajar dari massa agar kemudian dapat menjadi pendidik massa yang baik. Inilah asas dari massa kembali ke massa. Di pihak lain sastrawan dan seniman revolusioner harus terus-menerus meningkatkan pengetahuannya, terutama pengetahuan tentang Marxisme-Leninisme dan pengetahuan tentang penciptaan sastra dan seni, sehingga mereka lebih mampu menciptakan karya-karya baru yang tidak hanya tinggi mutu ideologinya, tetapi juga tinggi mutu artistiknya. Pendeknya, sastrawan dan seniman revolusioner juga harus melaksanakan semboyan belajar dan bekerja “Tahu Marxisme dan kenal keadaan”.
Sastra dan seni revolusioner merupakan satu bagian dari usaha revolusi seluruhnya, bagian yang mutlak diperlukan, bagian yang aktif mendorong usaha-usaha revolusi. Tugas ini akan dapat dipenuhi bila sastra dan seni revolusioner mengintegrasikan diri dengan tugas-tugas politik yang konkret. Ini berarti bahwa prinsip “politik adalah panglima” juga berlaku bagi sastra dan seni revolusioner.
Oleh karena itu, bagi kaum Komunis, tanpa mengakui pimpinan Partai, sastra dan seni revolusioner tidak mungkin menjadi alat revolusi yang terkoordinasi baik dengan semua kegiatan revolusioner.
Menerima pimpinan Partai berarti sadar menjadikan diri sebagai sastrawan dan seniman revolusioner yang konsekuen anti-imperialisme dan anti-feodalisme. Dan lebih dari itu harus menyiapkan diri untuk menempuh segala bentuk perjuangan yang bagaimana pun beratnya dalam merebut dua benteng, baik benteng nasional-demokratis dalam tahap pertama maupun benteng sosialis dalam tahap kedua revolusi kita. Kesiapsiagaan ini menuntut kepada setiap sastrawan dan seniman revolusioner untuk lebih-lebih lagi dan terus-menerus mengintensifkan pembajaan diri dan pendidikan diri.
Sebagai pencerminan keadaan masyarakat Indonesia yang belum merdeka penuh dan masih setengah feodal, maka dominasi di bidang kebudayaan sekarang masih berada pada kaum imperialis dan feodal serta kaki tangan-kaki tangannya. Sudah barang tentu dengan makin meningkatnya aksi-aksi massa melawan imperialisme, melawan kaum komprador, kapitalis birokrat, dan 7 setan desa, secara berangsur-angsur musuh-musuh rakyat makin terdesak dan pimpinan proletariat di bidang kebudayaan makin diperkuat. Tugas kita ialah terus mendesak kedudukan kaum imperialis dan kaum feodal serta kaki tangan-kaki tangannya dan terus memperkuat pimpinan proletariat menuju dominasi rakyat di bidang politik sebagai syarat mutlak untuk menegakkan dominasi rakyat di bidang kebudayaan. Ini antara lain berarti bahwa kita harus terus-menerus memperkuat kedudukan sastra dan seni yang memihak dan membela rakyat pekerja, terus-menerus memperkuat pimpinan proletariat di bidang sastra dan seni.
Sejak Kongres Nasionalnya yang ke VI (1959), Partai kita telah menyimpulkan bahwa imperialisme Amerika Serikat telah melakukan agresi kebudayaan terutama di bidang film, musik, dan lektur. Presiden Sukarno pada Peringatan Sumpah Pemuda tahun 1959 di Surabaya telah menyerukan untuk melawan kebudayaan imperialis yang gila-gilaan seperti rock ‘n roll, musik ngak-ngik-ngok, text-book thinking, dan lain-lain. Dalam Kongres Nasional ke VI itu juga telah kita rumuskan bahwa kaum reaksioner makin sulit memukul PKI dari segi politik, karena begitu satunya program dan politik PKI dengan kepentingan paling vital seluruh rakyat dan nasion Indonesia. Oleh karena itu mereka terus-menerus mencoba menyerang PKI dari segi ideologi. Dalam serangan ideologi itu inti ideologi kebudayaan imperialis bertemu di satu titik yang sama dengan ekspresi kebudayaan kaum revisionis modern, karena kedua-duanya berusaha melemahkan jiwa dan semangat revolusioner rakyat.
Akibat politik impor Dewan Film Indonesia yang menganakemaskan AMPAI, artinya menganakemaskan film-film Amerika Serikat, pintu bagi agresi kebudayaan imperialis Amerika Serikat lewat film telah dibuka lebar-lebar. Penetrasi imperialis dijalankan dengan pembanjiran film-film dekaden, cabul, penyebar naluri kebinatangan, sifat-sifat anti-demokrasi, diskriminasi rasial, cross-boy-isme, gangsterisme, rambut sasak dan rambut gondrol (beatle) serta usaha lain-lain untuk memisahkan rakyat dari tradisi revolusioner dan perjuangan revolusioner. Pembanjiran piring hitam brengsek telah menimbulkan penyakit dalam masyarakat. Rock ‘n roll, dansa monyet seperti twist dan climb telah merusak kehidupan sebagian pemuda dan pelajar kita. Lagu-lagu brengsek telah menyusup ke dalam kegiatan musik “babi-cincang”, yaitu semacam band bocah, dan musik-musik daerah. Musik sangat erat hubungannya dengan tari, sehingga agresi imperialis di bidang musik juga berarti agresi di bidang tari.
Agresi ideologi melewati lektur kita rasakan dalam majalah-majalah berbahasa Indonesia yang menyebarkan keisengan, humanisme universal, kosmopolitanisme, nihilisme nasional, pasifisme, dan kebejatan moral yang hakikatnya hendak melucuti ideologi revolusioner rakyat. Abstraksionisme di lapangan sastra dan seni adalah bagian dari bentuk-bentuk agresi kebudayaan imperialis yang dilakukan melewati aparat-aparat seperti USIS, Pusat Kebudayaan Amerika Serikat, Field Service, Peace Corps, Foundation, Library, afiliasi, dan lain-lain. Sensasionalisme dan “pahlawan perseorangan” sebagai petualang tidak hanya mereka salurkan lewat film dan lektur, tetapi juga lewat strips, komiks, ilustrasi, iklan, reklame, slides, dan lain-lain.
Dalam riset tentang keadaan kaum tani dan gerakan tani di seluruh Jawa yang saya lakukan pada bulan-bulan Februari, Maret, April, dan Mei tahun ini, terbukti bahwa agresi kebudayaan imperialis, terutama imperialis AS, juga telah menyusup ke desa-desa dengan dukungan kaum komprador, kapitalis birokrat, dan tuan tanah melalui makin tersebarnya radio, pick-up, radio transistor dan majalah-majalah berbahasa Indonesia yang menjajakan kebejatan moral, atau pun melewati band-band gaya ngak-ngik-ngok. Kebejatan “cara hidup Amerika Serikat” (American way of life) berjalin dengan kemaksiatan feodal dalam wujud 5 M (Maling, Melacur, Main judi, Madat, dan Minum mabuk-mabukan). Oleh karena itu melawan agresi kebudayaan imperialis AS harus disatukan dengan kemaksiatan kaum feodal, kaum komprador, dan kaum kapitalis birokrat.
Dalam situasi kebudayaan di Indonesia sekarang kita menghadapi tiga konsep sebagai pencerminan sikap politik dari tiga kekuatan, yaitu kekuatan kepala batu, kekuatan tengah, dan kekuatan progresif.
Kaum kepala batu atau kaum reaksioner, adalah pendukung, penyebar, dan pembela sastra dan seni dekaden imperialis, terutama imperialis Amerika Serikat, serta sastra, seni, dan kemaksiatan feodal (5 M). Mereka adalah pembiaya kegiatan-kegiatan kemaksiatan baik terbuka maupun bersembunyi-sembunyi. Mereka adalah penentang-penentang setiap aksi baik yang memukul agresi kebudayaan imperialis AS dan kemaksiatan, maupun kegiatan massa untuk melaksanakan Gerakan Kebudayaan Baru. Contoh yang paling hidup dalam hal ini adalah kaum Manikebuis.
Kaum tengah, terutama sayap kirinya bersikap patriotik, melawan kebudayaan imperialis dan mau bekerja sama dengan pekerja-pekerja sastra dan seni progresif. Tetapi mereka juga masih mengeloni kemaksiatan feodal seluruhnya atau sebagian, berhubungan dengan sifat borjuasi Indonesia yang masih berdiri dengan satu kakinya di atas eksploitasi feodal. Mereka juga misalnya menganggap bahwa kerja atau pun pekerja itu “hina”, dan hal ini tercermin juga dalam estetika mereka.
Kaum progresif yang bertulangpunggungkan sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman Komunis adalah golongan yang paling konsekuen melaksanakan perjuangan untuk melikuidasi kebudayaan imperialis dan kebudayaan feodal, serta untuk membela dan memenangkan kebudayaan rakyat. Pemihakan sepenuhnya kepada perjuangan kaum buruh dan kaum tani, terutama tani miskin dan buruh tani, bagi mereka adalah ukuran kerevolusioneran pekerja sastra dan seni.
Seperti juga di lapangan politik, di lapangan kebudayaan sekarang kekuatan kepala batu makin terpencil. Front kebudayaan anti-imperialis dan anti-feodal makin terkonsolidasi. Tetapi jika dibandingkan dengan kemenangan-kemenangan di bidang politik, ofensif revolusioner di lapangan sastra dan seni masih belum memadai, terutama dalam bidang kreasi.
Kalau kita rumuskan secara singkat, maka situasi kebudayaan sekarang adalah sebagai berikut: Kebudayaan reaksioner sedang berada dalam keadaan makin bangkrut sebagai bagian dari kebangkrutan politik reaksi pada umumnya. Semangat rakyat melawan kebudayaan imperialis dan feodal makin menanjak, tetapi sastra dan seni revolusioner belum berkedudukan berdominasi, sesuai dengan keadaan perimbangan kekuatan kelas yang nyata, sesuai dengan belum berdominasinya rakyat di bidang politik. Sastra dan seni revolusioner aktif ambil bagian dalam usaha menegakkan dominasi rakyat di bidang politik.
Di lapangan seni lukis bisalah dikatakan pelukis-pelukis revolusioner menempati kedudukan di depan, tetapi ini tidak berarti bahwa persoalan seni lukis sudah kita menangkan sepenuhnya. Kemenangan-kemenangan yang sudah dicapai harus terus kita konsolidasi dan kita kembangkan. Juga dalam bidang seni patung. Di lapangan seni lukis dan seni patung kita dihadapkan kepada persoalan: Apakah ciri nasional atau kepribadian nasional dalam seni lukis Indonesia? Apakah prinsip revolusioner dalam isi dan nasional dalam bentuk sudah kita praktekkan sebaik-baiknya? Ini penting kita perhatikan agar kita tidak terjangkit nihilisme nasional, terutama di bidang seni lukis.
Di lapangan poster ada kemajuan-kemajuan penting yang sudah dicapai, seperti juga di bidang seni grafik (cukilan kayu, sketsa, ilustrasi, karikatur, dan lain-lain). Tetapi kemajuan-kemajuan ini masih belum memadai jika dibandingkan dengan kemajuan-kemajuan di bidang politik dan meluasnya aksi-aksi massa. Padahal seni grafik mempunyai kemungkinan-kemungkinan paling baik untuk bisa tersebar seluas-luasnya di kalangan massa kaum buruh dan kaum tani dalam kondisi-kondisi masyarakat sekarang. Kelemahan di lapangan seni grafik ini juga tercermin dalam kekurangan kita di bidang cerita bergambar, yang sangat efektif untuk meningkatkan kesadaran massa yang masih buta huruf atau setengah buta huruf. Alat-alat pendidikan visual yang bersifat massal harus lebih intensif kita pikirkan dan kita perbaiki pengorganisasiannya. Dalam mengintensifkan alat-alat pendidikan visual ini, seni foto juga dapat ikut memegang peranan yang penting. Walaupun untuk mencapai taraf “meluas dan meninggi” memerlukan syarat-syarat yang banyak, tapi baik dilihat dari tingkat artistik yang ada sekarang maupun dilihat dari segi bertambahnya kegiatan secara kuantitas, sudah seharusnya kita mulai mengorganisasi dan mengembangkan seni foto kita. Foto-foto tentang aksi-aksi revolusioner massa pasti dapat ikut menggugat dan meningkatkan kesadaran massa. Pameran foto-foto revolusioner di kota-kota dan di desa-desa dapat membantu perjuangan revolusioner. Kemajuan-kemajuan di lapangan dekorasi belum meluas karena dekorator-dekorator kita belum merumuskan metode membuat dekorasi yang baik, murah dan massal. Di lapangan kerajinan tangan termasuk keramik, kita belum memberi perhatian yang cukup.
Kegiatan menggubah tari baru akhir-akhir ini makin meluas. Hal ini sangat baik. Tari sangat erat hubungannya dengan musik. Oleh karena itu merevolusionerkan tari, mau tidak mau harus disertai dengan pembaruan musik, karena tidak ada tari tanpa iringan musik. Di lapangan tari dalam menggubah tari baru, nampak kecenderungan mengabaikan peninggalan-peninggalan teknik tari tradisional yang bisa digunakan. Sebaliknya ada pula kecenderungan untuk menganggap segala yang baru tidak baik sehingga bersikap konservatif. Juga dalam musik daerah ada dua kecenderungan yang kurang tepat itu. Dalam hal tari maupun musik daerah kita harus meneruskan tradisi dengan keberanian kreatif dalam mengadakan pembaruan. Mempelajari gerak tari folklor serta musiknya akan sangat memperkaya kemungkinan-kemungkinan untuk menggubah tari baru. Hasil-hasil kerja dilapangan tari pada umumnya masih naturalistis, atau bahkan abstrak sehingga sulit ditangkap oleh massa. Sisa pikiran feodal masih tercermin dalam pengungkapan yang terlalu diliputi oleh gerak-gerak erotis, sedangkan gerak kerja masih kurang dipelajari dan diolah. Pembaruan tari harus juga berarti meneruskan tradisi yang dipadukan dengan memasukkan hasil studi tentang gerak kerja dan gerak juang sesuai dengan derap langkah gerakan revolusioner.
Dilapangan musik daerah dituntut keberanian kita melakukan aransemen-aransemen baru, orkestrasi-orkestrasi baru, serta menggali kemungkinan-kemungkinan kekayaan ritme dan melodi yang ada dalam kehidupan rakyat. Kegiatan menyanyikan lagu-lagu rakyat dengan suara modern harus kita perluas. Pembaruan musik daerah harus dipadukan dengan perlawanan terhadap pencarian efek-efek murah dan efek-efek mat-matan feodal, sehingga lebih mampu melukiskan perjuangan sekarang. pengorganisasian paduan-paduan suara yang membawakan lagu-lagu daerah, lagu-lagu nasional, dan lagu-lagu revolusioner harus lebih diratakan tidak hanya di kota-kota tetapi juga harus diluaskan sampai ke desa-desa.
Selama ini film di Indonesia dikuasai oleh film-film imperialis AS melalui AMPAI yang meliputi ± 75% dari seluruh screen time. Produksi film Indonesia masih terlalu kecil jumlahnya, hanya meliputi sekitar satu sampai lima persen dari seluruh peredaran film. Dari hasil produksi itu pun masih terlalu kecil jumlah yang dapat dikatakan seirama dengan kesadaran politik dan kebudayaan di kalangan massa rakyat dewasa ini. Oleh karena itu kita harus lebih mendorong dan berjuang untuk melindungi produksi film nasional di satu pihak dan di pihak lain lebih memperbanyak karya-karya film yang mencerminkan ofensif revolusioner dan semangat revolusioner rakyat pekerja. Kekurangan film sementara sebagai akibat boikot film-film AS lebih menuntut kepada kita untuk lebih banyak lagi memproduksi film-film nasional yang revolusioner dan indah. Adanya pikiran bahwa film yang progresif akan kehilangan pasaran sungguh tidak tepat. Pikiran demikian sama artinya dengan bersikap menganggap massa rakyat “tetap bodoh”. Rakyat kita makin berkembang kesadaran politik dan kebudayaannya, dan perkembangan ini tidak ada yang dapat menghalanginya.
Dilapangan sastra pernah kita mempersoalkan adanya “paceklik sastra”. Maksud kita dengan “paceklik sastra” berbeda sama sekali dengan “krisis kesusastraan” yang dilancarkan kaum soska, yang mencerminkan krisis pikiran mereka sendiri dan majikannya yang sedang mengalami kebangkrutan ideologi dan politik. Timbulnya persoalan “paceklik sastra” adalah akibat kemajuan kesadaran politik dan tingkat kebudayaan kaum buruh, kaum tani dan rakyat pekerja lainnya, sehingga hasil karya kurang memenuhi tuntutan massa yang lebih maju. Seperti juga dalam proses dialektis, tiap kemajuan dan tiap kemenangan menimbulkan persoalan baru, maka kemajuan massa menimbulkan kontradiksi antara tuntutan massa dengan kemampuan kreasi baik kuantitatif maupun kualitatif. Ini tidak berarti bahwa semua hasil karya sastra yang ada adalah jelek. Tidak, sama sekali tidak. Persoalannya adalah bagaimana kita meningkatkan kemampuan kreasi dengan memperbesar barisan kreatif dan mempertinggi mutu ideologi dan artistik karya-karya para sastrawan kita.
Indonesia sebagai negeri agraris mempunyai ciri, bahwa bentuk puisi merupakan kegiatan kreasi yang sangat meluas. Tetapi tidak cukup dengan meluas saja. Oleh karena itu harus dibarengi dengan usaha-usaha peningkatan atas dasar kegiatan meluas.
Sebaliknya perkembangan penulisan cerita pendek, esai, novel, dan reportase literer sampai sekarang masih belum cukup meluas. Kita harus menyadari bahwa bentuk prosa lebih cepat diterima oleh massa. Oleh karenanya mengembangkan kegiatan penulisan cerpen, esai, novel, dan reportase literer sangat penting. Ada pikiran bahwa kesulitan menulis hanya disebabkan karena kesulitan teknis saja. Hal ini sudah tentu tidak tepat. Banyak penulis-penulis yang sudah berpengalaman dan sudah menguasai teknik menulis juga masih mengalami kesulitan. Sesungguhnya kesulitan itu timbul oleh karena tidak menguasai bahan dan persoalan sehingga tidak mungkin timbul rangsang yang wajar untuk menulis. Jadi persoalannya bagaimana lebih banyak mengenal kehidupan massa dengan mengintegrasikan diri dengan massa, mengetahui dan menguasai benar-benar kontradiksi-kontradiksi yang terdapat dalam kehidupan massa, disamping penguasaan teknik menulis.
Kehidupan kritik sastra menunjukkan bahwa dilapangan sastra pun kita harus berjalan dengan dua kaki, yaitu memadukan kerja kobar dan kerja tekun. Disamping masih adanya sikap kader kita yang tidak tepat terhadap kritik, antara lain menganggap kritik sastra bukan sebagai kreasi, kritik sastra masih mengandung kelemahan terutama disebabkan karena masih lemahnya segi kerja tekun dan ilmiah. Sebaliknya, penulis kritik sastra yang hanya bertekun dan tenggelam dalam buku-buku saja, tidak ikut dalam kehangatan kehidupan revolusioner akan menyebabkan metode kritiknya formalistis. Dalam hubungan dengan kritik sastra saya minta perhatian supaya karya-karya sastrawan-sastrawan muda mendapat perhatian cukup dari kritikus-kritikus sastra kita, jangan sampai terjadi yang muda merasa “digagahi” oleh yang tua sedangkan yang tua “beku kreasi”. Peranan membimbing dari kritikus-kritikus sastra terhadap sastrawan-sastrawan muda supaya lebih dirasakan.
Salah satu kelemahan yang agak menyolok nampak pada kegiatan penulisan repertoar drama dan skenario film. Kemajuan film dan drama sangat rapat hubungannya dengan kegiatan penulisan repertoar drama dan skenario. Oleh karena itu memadukan kegiatan sastra dengan bidang-bidang lain sangat penting.
Sudah sejak agak lama timbul kesadaran pada sastrawan-sastrawan revolusioner bahwa mereka “berhutang” kepada revolusi karena belum mengadakan penulisan yang memadai tentang Revolusi Agustus 1945. Timbulnya kesadaran ini sangat penting, karena ia dapat mendorong untuk melangkah lebih maju. Tetapi yang lebih penting lagi ialah membayar “hutang” itu, karena kalau tidak hutang-hutang baru akan menyusul. Dan kalau terus tidak membayar maka juru sita akan datang membawa vonis kebangkrutan. Mungkin kata-kata saya ini terlalu “keras”, tetapi sungguh kita ingin memiliki karya-karya sastra dan seni yang monumental, tidak hanya tentang Revolusi Agustus, tetapi juga tentang kepahlawanan-kepahlawanan dalam perjuangan rakyat sebelum dan sesudah Agustus ’45.
Dalam Sidang Pleno ke-II CC Kongres ke-VII, telah disimpulkan pentingnya mengembangkan kegiatan drama, sebab drama adalah kesenian yang dapat cepat sampai ke massa, termasuk yang masih buta huruf. Negeri kita memiliki tradisi drama yang tua, seperti kita lihat pada pewayangan. Pada umumnya, seperti sudah saya uraikan di muka, drama daerah adalah perkembangan lebih lanjut dari folklor, yang berpadu dengan perkembangan kesadaran politik massa pada abad ke-20. Drama daerah pada umumnya adalah drama kaum tani. Kelemahannya yang pokok terletak terutama pada belum bersihnya pengaruh dan pemujian feodal dalam cerita. Mengembangkan drama daerah harus berprinsip pada pembaruan isi sesuai dengan garis kelas yang mencerminkan perjuangan kaum tani sekarang sambil meneruskan tradisi. Dengan demikian pembaruan drama daerah tidak berarti pencabutan dari akar tradisi, melainkan justru setia kepada tradisinya, memelihara sifat-sifat khususnya yang tidak menyempit dan dengan isi yang baru. Pikiran yang menganggap bahwa dengan merevolusionerkan drama daerah akan membuat drama daerah menghadapi kesulitan “pasaran” adalah tidak tepat. Justru dengan pembaruan ini dan peningkatan teknik atas dasar penerusan tradisi, akan membuat drama daerah lebih tinggi mutunya dan lebih luas penggemarnya. Sesuatu yang lebih baik tidak akan ditolak oleh rakyat. Kemungkinan-kemungkinan pembaruan juga tidak tertutup pada ludruk, wayang orang, gambuh, arja, topeng, abdulmuluk, randai, sandiwara Sunda, lenong, dan lain-lain. Sudah tentu masing-masing mempunyai kemungkinan-kemungkinan dan kesulitan-kesulitannya. Tetapi di manakah ada kemajuan tanpa kesulitan? Kontradiksi antara kemajuan dan kesulitan adalah wajar dan akan selalu ada. Bentuk-bentuk drama pada umumnya dapat kita bedakan dengan pengertian, bahwa ditinjau dari sudut penggunaan bahasa, kita menjumpai drama daerah dan drama nasional. Jika kita tinjau dari teknik pementasannya, maka kita melihat ada penggunaan teknik klasik atau tradisional dan teknik modern. Segala bentuk harus kita gunakan dan kembangkan sesuai dengan tuntutan massa yang makin meningkat. Kita harus meningkatkan pengetahuan teori pekerja-pekerja drama daerah, seperti pengetahuan tentang prinsip-prinsip drama, pelakonan, penggunaan bahasa dalam dialog, penggunaan tari, gerak mimik, dan musik dalam drama serta tata sinar lampu, dekorasi dan komposisi panggung, dan sebagainya. Oleh karena itu perhatian dan bantuan kepada kegiatan drama daerah harus lebih diintensifkan, misalnya mengenai riset, pengorganisasian, pementasan, dan lain-lain. Jika kita berbicara tentang kesenian kaum tani, maka drama daerah adalah salah satu bentuk kesenian kaum tani dan merupakan senjata paling ampuh bagi perjuangan kaum tani.
Dalam rangka pembaruan drama daerah sangat penting bantuan para sastrawan untuk penulisan repertoar. Mengenai pembaruan drama daerah harus kita pegang teguh prinsip setia kepada garis kelas dan mengembangkan ciri pokoknya sebagai drama daerah, atau dengan kata lain meneruskan tradisi dan memadukannya dengan kesenian revolusioner. Untuk mengembangkan tradisi kita harus mempelajari bentuk-bentuk kesenian yang berhubungan dengan drama daerah. Karenanya kegiatan mempelajari folklor dan kegiatan riset di bidang folklor harus dikembangkan. Pembaruan hanya mungkin jika kita mengenal hari ini, artinya mengenal dan ikut merasakan kehangatan perjuangan revolusioner, dan mengenal Marxisme-Leninisme serta kondisi-kondisi khusus dan sejarah Rakyat Indonesia.
Seperti sudah saya singgung di muka, mengenai pewayangan masih ada anggapan bahwa wayang tidak bisa diperbarui. Sikap yang menganggap secara mutlak bahwa tidak mungkin diadakan pembaruan pada pewayangan sungguh bukan sikap dialektis. Dalam sejarahnya wayang memang suatu “filsafat yang diwujudkan dalam kehidupan”, artinya suatu konsep filsafat yang terkandung dalam Mahabarata atau Ramayana yang didramakan. Perwujudan wayang itu sendiri adalah spesifik Indonesia, karena bentuk kesenian wayang seperti yang kita temukan di Indonesia tidak dikenal di India tempat kelahiran Mahabarata dan Ramayana. Ini juga menunjukkan bahwa dasar-dasar filsafat yang terkandung dalam Mahabarata dan Ramayana tidak sepenuhnya sama diwujudkan dalam pendramaan pewayangan. Artinya pewayangan di tanah air kita merupakan perwujudan Mahabarata dan Ramayana yang sudah diindonesiakan, disesuaikan dengan struktur masyarakat feodal pada waktu itu dan bahkan pada waktu sekarang dimana basis ideologi feodal masih ada di tanah air kita.
Soal pembaruan bukan soal perombakan total yang berarti membuang sama sekali tradisi. Sebagai juga hari ini adalah perkembangan proses melewati kontradiksi-kontradiksi dari masa lampau dan juga akan berkembang membentuk hari depannya, maka sikap mempertahankan wayang tetap seperti “apa adanya” adalah sikap konservatif. Seperti sudah saya uraikan di muka, sikap demikian justru akan membuat pewayangan menjadi tidak lagi disukai rakyat, karena rakyat itu sendiri maju dan generasi-generasi baru terus lahir. Kehidupan itu sendiri adalah perubahan terus-menerus. Jadi soalnya bukan terletak pada bisa atau tidak diperbarui, melainkan bagaimana cara kita mengadakan pembaruan. Sekali lagi saya tekankan, bahwa mengadakan pembaruan segala bentuk kesenian yang populer dan sangat disukai rakyat tidak boleh gegabah.
Pendangkalan dan perkosaan dalam “pembaruan” yang menyimpang dari kenyataan sejarah, seperti memasukkan paham-paham dan semboyan-semboyan politik modern ke dalam mulut tokoh-tokoh dalam pewayangan yang terang tidak pada tempatnya dan anti-sejarah harus kita cegah. Dengan demikian dapat kita cegah sikap vulgar dan sembrono terhadap pembaruan. Dan bersamaan dengan itu kita melawan sikap yang konservatif, yang tidak dialektis, karena menolak perkembangan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Kalau kita persoalkan tentang konsepsi, adakah kesenian yang tidak membawakan konsepsi? Soalnya konsepsi apa yang dibawakan? Atau segi apa yang dibawakan dalam suatu pelukisan kontradiksi?
Bentuk-bentuk tradisional yang sudah lama mempengaruhi rakyat, misalnya wayang, mungkin digunakan secara baru dengan isi baru. Dalam menuangkan isi baru dengan menggunakan bentuk tradisional, sudah pasti akan menghadapi kesulitan, misalnya di dalam segi visual. Karena kita sudah biasa melihat garis-garis bentuk wayang yang sangat halus, mempertunjukkan wayang dengan dengan garis-garis visual wayang. Ini memang sulit, tetapi pasti dapat diatasi melalui kesungguhan dan ketelatenan penggarapan.
Dalam memajukan drama nasional, artinya drama yang menggunakan bahasa Indonesia serta menggunakan teknik modern (bukan tradisional), pada pokoknya kita harus memperbanyak repertoar yang benar-benar melaksanakan garis kelas, yang benar-benar realis, revolusioner dan artistik. Dalam kegiatan drama banyak pikiran yang terpancang pada kesulitan-kesulitan dekorasi, artinya kesulitan-kesulitan materiil. Padahal, yang terpokok dalam drama adalah pelakonan cerita serta kuat dalam dialog dan gerak mimik. Jika ini sudah dipenuhi keberanian pementasan dalam bentuk arena di panggung-panggung terbuka, di halaman rumah, di pabrik, di sawah, di tempat kerja, pokoknya di mana saja dimungkinkan, harus kita kembangkan. Kita harus dengan penuh semangat mengembangkan drama nasional, misalnya paling sedikit satu rombongan di tiap kota. Ini akan sangat penting artinya bagi perkembangan drama nasional kita. Tetapi, untuk kuncinya adalah repertoar, karena tanpa repertoar tidak mungkin dipentaskan suatu drama.
Setelah menelaah situasi sastra dan seni sekarang, maka persoalannya adalah bagaimana kita memperkuat dan memperbesar barisan kreatif, memperbanyak karya yang tinggi mutu ideologi dan mutu artistiknya, sehingga sesuai dengan tuntutan massa yang makin meningkat dan dapat memperkuat ofensif revolusioner atau ofensif Manipolis di bidang kebudayaan.
Seperti sudah saya kemukakan dalam Konferensi Nasional ke-1 PKI belum lama berselang, berbicara tentang kader-kader PKI, juga kader-kader PKI di bidang sastra dan seni, mereka pada umumnya adalah baik. Mereka mempunyai kecintaan terhadap rakyat pekerja dan revolusi, mereka sudah berpihak dan berpihak pada yang tepat, pada yang sedang tumbuh dan yang menjadi pemilik hari depan.
Tetapi berbicara secara khusus mengenai kekurangan-kekurangan yang masih ada, kita pernah menyimpulkan bahwa di kalangan kader-kader sastrawan dan seniman kita masih terdapat kawan-kawan yang kena penyakit “ngeloni ideologi borjuis kecil”. Mereka mencintai kaum buruh dan kaum tani bukan karena mereka sudah sungguh-sungguh menjadi bagian dari rakyat pekerja, tetapi karena didorong oleh rasa belas kasihan intelektual melihat penderitaan kaum buruh dan kaum tani. Titik tolak mereka dalam memandang sesuatu adalah titik tolak borjuis kecil. Ciptaan mereka pun, sekalipun mereka menulis tentang kaum buruh, buruh tani, atau tani miskin, pada hakikatnya ditujukan untuk memenuhi selera borjuis kecil. Ketika sedang mencipta mereka diliputi oleh kekhawatiran kalau-kalau si Anu dan si Fulan, maksudnya si Anu dan si Fulan borjuis kecil, tidak senang dengan buah ciptaannya. Orientasi mereka belum orientasi proletariat. Kawan-kawan yang demikian masih ada dan dalam waktu yang panjang terus akan ada di dalam Partai kita, karena pintu Partai kita akan terus terbuka bagi mereka yang bukan berasal dari proletariat, termasuk sastrawan dan senimannya.
Pada umumnya kader-kader sastrawan dan seniman kita sudah melalui fase cinta yang dangkal kepada kaum buruh, tani, prajurit, dan rakyat pekerja lainnya. Tetapi untuk menghasilkan karya yang tinggi mutu ideologi dan mutu artistiknya mereka harus meningkatkan rasa cintanya menjadi cinta sejati, cinta yang dibawa mati, cinta yang mendalam yang menimbulkan rindu dendam kepada kaum buruh, tani, prajurit, dan rakyat pekerja lainnya. Rasa cinta yang demikian ini harus terus-menerus ditanamkan dan diusahakan untuk memilikinya. Para sastrawan dan seniman kita harus terus bertanya pada dirinya, apakah mereka sudah marah dan memaki-maki serta bangkit semangat perlawanannya kalau rakyat pekerja diganggu, dihina, dan diinjak-injak orang? Ataukah masih acuh tak acuh dan bersikap dingin serta merasa bahwa itu bukan urusannya? Apakah benar bahwa antara dirinya sudah tidak ada lagi jarak pemisah dengan kaum buruh, kaum tani, dan prajurit? Semuanya ini adalah soal ideologi, yang harus terus-menerus diasah agar benar-benar seperasaan dan sepikiran dengan rakyat pekerja. Memadukan perasaan dan pikiran dengan rakyat pekerja hanyalah mungkin jika kita mengintegrasikan diri dengan mereka. Dan pengintegrasian itu hanya mungkin jika kita membiasakan diri turun ke bawah ikut merasakan penghidupan mereka serta melakukan riset dengan senjata Marxisme-Leninisme. Tanpa senjata Marxisme-Leninisme turun ke bawah tidak akan banyak artinya, karena tidak akan mungkin mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi yang tidak mudah kelihatan, apalagi kontradiksi-kontradiksi yang ada di dalam perasaan dan pikiran massa. Tanpa memahami kontradiksi-kontradiksi tidak mungkin mengenal keadaan.
Berbicara tentang memperkuat pimpinan proletariat dan tentang dominasi rakyat di bidang kebudayaan, tetapi tidak mengintegrasikan diri dengan kaum tani, yang merupakan mayoritas Rakyat Indonesia adalah omong kosong. Juga mempersoalkan kepribadian nasional tanpa mengintegrasikan diri dengan bagian terbesar dari nasion Indonesia dan kekuatan pokok revolusi Indonesia adalah juga omong kosong. Lebih tandasnya, masalah mengintegrasikan diri dengan kaum tani pada hakekatnya adalah masalah memihak revolusi, dan oleh karenanya bukan soal mudah, menghendaki ketekunan, ketelatenan, tekad yang bulat dan kuat. Tidak ada jalan lain, jika benar mau memihak revolusi.
Pengintegrasian pertama-tama harus diartikan pengintegrasian dalam perasaan pikiran dan dengan kaum tani, yaitu menyatukan pikiran dan perasaan dengan tuntutan-tuntutan dan aspirasi-aspirasi revolusioner kaum tani dalam perjuangannya untuk membebaskan diri.
Pemihakan pada penyelesaian tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya pada hakekatnya tidak bisa lain dari pada persetujuan pada pelaksanaan landreform secara radikal, yaitu penghapusan sistem feodal atau penghapusan tuan tanah atas kaum tani dengan jalan menyita tanah tuan-tuan tanah, membagikannya dengan cuma-cuma kepada kaum tani, terutama buruh tani dan tani miskin dan keluarganya secara seorang-seorang. Bagi sastrawan dan seniman Komunis, juga bagi sastrawan dan seniman lain yang konsekuen revolusioner, semuanya ini bukanlah yang terakhir, tetapi harus dilanjutkan dengan pengkoperasian pertanian secara sosialis. Tanpa melalui pelaksanaan landreform yang radikal seperti yang dimaksudkan oleh kaum Komunis tidaklah mungkin kita sampai ke Sosialisme.
Pengintegrasian perasaan dan pikiran dapat dilakukan melalui dua jalan, yaitu jalan tidak langsung: melalui tulisan-tulisan atau laporan-laporan lisan kader-kader yang memimpin massa; dan yang langsung, yaitu datang sendiri di tengah-tengah massa. Untuk perkembangan seniman dan sastrawan dalam kerja kreatifnya jalan yang paling baik, supaya hasil karyanya hidup, ialah jalan pengintegrasian secara langsung hidup di tengah-tengah massa rakyat pekerja dan mengambil bagian dalam proses produksi dalam masa waktu tertentu. Kehidupan adalah perubahan senantiasa, adalah praktek produksi dan praktek perjuangan kelas yang kompleks dan penuh warna. Mengambil jarak dengan kehidupan bagi sastrawan dan seniman akan berarti melucuti dirinya dari kenyataan yang hidup, dari sumber kreasi, dan warna kehidupan.
Pada hakikatnya ke dalam rasa cinta kita kepada kerja, kepada perjuangan kaum buruh, kaum tani, prajurit, dan rakyat pekerja lainnya hanya bisa kita perdapat jika kita melakukan pengintegrasian secara langsung.
Cinta kepada kelas bukanlah cinta yang abstrak, kebencian kepada musuh bukanlah kebencian yang abstrak, dan kedalaman rasa cinta dan rasa benci kita temukan dalam pergulatan kehidupan sehari-hari, dalam praktek produksi dan praktek perjuangan kelas.
Kebencian yang mendalam kepada musuh-musuh rakyat tidak tumbuh atas dasar prasangka-prasangka melainkan atas dasar apa yang diketahui dan dirasakan sendiri kejahatan musuh-musuh rakyat, karena dirinya mengalami sendiri apa itu pengisapan, penindasan dan ketidakadilan.
Pengintegrasian diri para sastrawan dan seniman, berarti mengintegrasikan subjek sastrawan dan seniman dengan kecintaan dan kebencian massa dalam perjuangannya untuk membebaskan diri. Hanya dengan integrasi itu kita akan merasakan secara mendalam apa arti massa rakyat pekerja sebagai pencipta sejarah, disamping arti manusia sebagai produk sejarah. Kita akan melihat langsung bahwa massa bukan hanya objek tetapi juga kreator-kreator yang aktif, yang hidup dan bergulat dengan sekitar yang merintangi kemajuannya. Warna kehidupan akan dapat kita lukiskan bukan seperti seorang yang buta warna, tetapi benar-benar berlandaskan kehidupan. kekayaan pembayangan juga akan kita peroleh dari kekuatan dan kekayaan fantasi massa yang tidak ada batas dan taranya. Semuanya itu akan menjamin kemampuan para sastrawan dan seniman kita untuk secara realis mencerminkan kehidupan dan perjuangan massa. Malahan lebih dari itu, karya-karya mereka akan lebih hidup, lebih segar dan lebih indah dari realitas itu sendiri, sehingga memiliki kemampuan menggugah dan membangkitkan massa untuk berjuang guna mencapai yang lebih tinggi. Sebaliknya jika tidak demikian, karya-karya sastrawan dan seniman kita akan tidak mampu memobilisasi dan menjiwai massa, karena pencerminan kehidupan akan demikian pucat dan demikian miskinnya, tanpa jiwa dan tanpa api. Dengan karya-karya sastra dan seni kita tidak hanya sekedar mencerminkan realitas tetapi mendorong dan mengubahnya menjadi lebih maju.
Kita pernah mempersoalkan bagaimana cara sebaik-baiknya mengabdikan hasil-hasil karya kepada massa rakyat. Dan pernah juga kita simpulkan bahwa kader adalah pemimpin-pemimpin massa, karenanya untuk mencapai massa rakyat, tanpa memperhatikan kader-kader revolusioner sulit dibayangkan. Kita ambil contoh dilapangan sastra. Massa rakyat masih banyak yang buta huruf atau setengah buta huruf. Oleh karena itu massa rakyat pun masih menghadapi kesulitan membaca, disamping jumlah (oplah) penerbitan buku juga belum cukup besar, sehingga belum bisa menjangkau massa luas. Apa artinya jumlah oplah 10.000 sampai 20.000 jika kita bandingkan dengan puluhan juta penduduk Indonesia yang sudah tidak buta huruf lagi? Pun tidak sepadan jika kita bandingkan dengan jumlah kader PKI dan ormasrev semua tingkat yang ratusan ribu jumlahnya.
Kalau kader-kader revolusioner kita mengenai hasil-hasil karya seniman-seniman dan sastrawan-sastrawan revolusioner, ini berarti, entah bagaimana dan dalam bentuk apa, karya-karya itu akan juga sampai kepada massa yang dipimpinnya. Oleh karena itu ukuran yang paling praktis pada taraf sekarang adalah, seberapa jauh kader-kader gerakan revolusioner sudah mengenal dan bisa mengerti hasil-hasil karya sastrawan-sastrawan dan seniman-senimannya. Kalau karya sastrawan dan seniman revolusioner tidak bisa dimengerti oleh kader-kader revolusioner, lebih-lebih lagi oleh massa luas, karena betapa pun kader-kader itu lebih tinggi tingkat kesadaran politik dan kebudayaannya dibandingkan dengan massa pada umumnya. Dengan demikian lebih terang apa yang pernah saya sampaikan kepada kader-kader sastrawan dan seniman di Bandung beberapa tahun yang lalu, bahwa praktis sasaran pengabdian sekarang adalah kepada kader-kader revolusioner. Kader-kader adalah pencerminan massa, karena mereka adalah inti, tulang punggung dan juru bicara perasaan dan pikiran massa yang mereka pimpin. Mengenal perasaan dan pikiran kader pada hakikatnya mengenal perasaan dan pikiran massa yang sampai batas-batas tertentu atau sepenuhnya sudah terkristalisasi. Oleh karena itu sastrawan dan seniman revolusioner harus berusaha lebih sungguh-sungguh untuk bergaul lebih mesra dengan kader-kader revolusioner dari pusat sampai ke basis, sehingga lebih mengenal sasaran pengabdian karyanya.
Kaum kapitalis secara “sistematis dan ilmiah” berusaha mengenal langganan-langganannya, supaya bisa menggaruk keuntungan lebih besar. Oleh karena itu, sudah seharusnya jika sastrawan dan seniman revolusioner dengan sadar berusaha lebih mengenal sasaran pengabdian karyanya, pendukung-pendukung karyanya, pembaca-pembaca aktifnya, yaitu kader-kader revolusioner, sehingga tujuan pengabdian kepada kelas buruh, kaum tani, prajurit, dan rakyat pekerja lainnya akan lebih berhasil. Perbedaannya, kaum kapitalis bertujuan menggaruk untung, sedang sastrawan dan seniman revolusioner bertujuan memperbesar kadar pengabdiannya. Kalau kita hubungkan dengan kerja kreasi, melukiskan massa revolusioner pun tidak bisa dilepaskan dari pengenalan kita terhadap kader-kader revolusioner.
Sebagaimana saya katakan tadi, kader-kader revolusioner, pemimpin-pemimpin massa, adalah pencerminan yang terkristalisasi dari perasaan dan pikiran massa. Di dalam kader-kader revolusioner itulah dicerminkan segi-segi tipikal dan karakteristik massa. Mengenal kader, meskipun mungkin belum mencapai kebenaran objektif sepenuhnya, paling tidak kita sudah mendekati kebenaran perasaan dan pikiran massa yang hendak kita lukiskan. Tentang masih adanya hasil karya yang “tidak berbunyi” bagi kader-kader revolusioner hanyalah menunjukkan bahwa kader-kader sastrawan dan seniman kita belum erat berhubungan dengan pemimpin-pemimpin massa. Kalau ada hasil karya yang “tidak berbunyi” bagi kader-kader revolusioner, siapakah yang bersalah? Sebagai orang revolusioner kita tidak akan menyalahkan massa! Inilah sebabnya mengapa kita harus lebih mengenal perasaan, pikiran, dan bahasa massa rakyat pekerja.
Oleh karena itu tidak ada jalan lain bagi seniman dan sastrawan revolusioner selain harus meningkatkan pengabdiannya atas dasar lebih setia kepada massa dan tetap setia kepada kesenian. Sebaliknya kader-kader revolusioner yang bukan seniman harus juga berusaha keras untuk meningkatkan daya apresiasinya, sehingga lebih mudah menangkap “bahasa artistik”. Dengan demikian ada usaha saling mendekati dan saling mengerti, sehingga tercapai saling bantu yang lebih efektif.
Kalau kita ambil persoalannya secara hakikat, sastrawan dan seniman revolusioner sebagai juru bicara massa melewati “bahasa artistik” hendak menyampaikan suatu konsepsi, suatu ekspresi pemikiran dalam pembayangan artistik dari massa kepada massa. Kalau apa yang akan kita sampaikan itu tidak bisa dimengerti oleh kader atau pun massa, tidak ada artinya kreasi itu sebagai senjata artistik di tangan rakyat.
Untuk mengenal kader, mengenal massa, mengenal kehidupan, maupun mengenal bentuk-bentuk ekspresi rakyat pekerja, terutama kaum tani, akan jelas apa arti riset yang dilakukan Partai pada awal tahun ini. Mengembangkan pengalaman riset yang sudah kita miliki untuk pekerjaan sastra dan seni akan membantu memecahkan berbagai persoalan yang timbul karena kontradiksi-kontradiksi antara pekerjaan organisasi dan kreasi, antara kesetiaan kepada rakyat dan kesetiaan kepada kesenian dan antara kemahiran artistik sastrawan dan seniman dengan daya apresiasi kader dan rakyat pekerja pada umumnya. Hanya dengan mengembangkan semangat riset dengan metode “tiga sama” (sama kerja, sama makan, dan sama tinggal dengan kaum tani, terutama kaum buruh tani dan tani miskin) akan menjamin suksesnya pembinaan sastra dan seni yang bersifat nasional, demokratis, dan ilmiah. Hanya dengan riset akan terjamin kerja kreatif seniman dan sastrawan revolusioner dalam melaksanakan garis kelas untuk menciptakan karya-karya yang bergaris kelas dan patriotik. Juga hanya dengan riset dan melakukan integrasi secara langsung di tengah-tengah massa akan terjamin karya yang mendalam, realistik, revolusioner, berkepribadian dan universal.
Kita sudah mempunyai garis yang tepat dilapangan sastra dan seni yaitu garis 1-5-1 (satu-lima-satu), yaitu 1 asas “politik adalah panglima”; 5 pedoman penciptaan yaitu meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, memadukan tradisi dengan kekinian revolusioner, memadukan kreativitas individual dengan kearifan massa, memadukan realisme revolusioner dengan romantisme revolusioner, dan 1 cara kerja yaitu turun ke bawah (turba). Garis ini telah teruji ketepatannya dalam praktek selama ini, dan telah menuntun sastra dan seni revolusioner memperoleh sukses-sukses yang menggembirakan.
Politik adalah pernyataan yang paling terpusat dari pada ekonomi, demikian pendirian kaum Marxis. Dengan kalimat lain dapat kita katakan bahwa politik adalah pernyataan paling terpusat dari kepentingan-kepentingan kelas, politik adalah panglima. Aspirasi-aspirasi massa pekerja dan nasion Indonesia yang paling vital dan penting dinyatakan dalam Program Umum PKI sejak tahun 1954 (Kongres Nasional ke V PKI). Kemudian hal ini juga dinyatakan dalam Manipol (1959). Oleh karena itu untuk mengerti inti aspirasi-aspirasi rakyat pekerja, sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman harus mengetahui, bahkan harus menguasai politik Partai. Sastra dan seni hanya akan bisa menjadi senjata yang ampuh di tangan rakyat, jika sastrawan dan seniman mampu memadukan politik yang tepat dengan kecakapan artistik. Pengertian yang dalam tentang gejala-gejala, kontradiksi-kontradiksi, kepentingan-kepentingan, atau pun aspirasi-aspirasi rakyat dalam manifestasi-manifestasi politik yang didasarkan pada analisa filsafat kelas buruh, filsafat materialisme dialektik. Kita tidak akan mengerti apa hakikat Manikebuisme di lapangan sastra dan seni tanpa mengerti hakikat kebangkrutan politik kaum sosialis kanan dan Masyumi serta kaum kontra-revolusioner lainnya. Kita akan menghadapi kesulitan menjebol kebudayaan imperialis AS, tanpa mengetahui hakikat politik gangster dan bajak laut imperialisme AS dan politik kelas buruh terhadap kepala imperialisme yang paling jahat itu. Membongkar kebudayaan feodal yang menyebarkan kemaksiatan, ketahyulan, dan lain-lain hanya mungkin berhasil baik jika kita mengenal hakekat hubungan agraria di desa dan tahu politik PKI untuk pembebasan kaum tani. Bagi sastrawan dan seniman revolusioner keharusan menguasai Manipol sama halnya dengan keharusan menguasai Program PKI, menguasai dan melaksanakan Manipol secara konsekuen pada hakikatnya juga berarti melaksanakan Program PKI.
Menempatkan asas “politik adalah panglima” dalam kerja kreatif berarti menjadikan politik untuk memimpin pemikiran kreatif dan pembayangan kreatif mengenai masalah-masalah seperti perjuangan untuk kemerdekaan penuh dengan melikuidasi imperialisme, perjuangan kaum tani untuk melaksanakan UUPA dan UUPBH secara konsekuen menuju ke perubahan agraria yang radikal, garis politik Partai untuk mengonsolidasi front persatuan nasional dan lain-lainnya. Hanya dengan demikian sastra dan seni dapat meneruskan tradisinya yang agung dan mengintegrasikan kegiatan kreatif dengan perjuangan revolusioner kelas buruh dan rakyat pekerja lainnya.
Menempatkan asas “politik adalah panglima” di dalam kreasi bukanlah berarti menyatupadukan atau mengawinkan ideologi kelas buruh dengan kelas-kelas lain, karena dalam hal ideologi tidak bisa ada perkawinan.
Dalam rangka melaksanakan asas “politik adalah panglima” kita harus berpegang pada pandangan, pendirian, sikap, dan metode kelas buruh supaya kita tidak terjerembab ke dalam pencampuradukan antara estetika kelas buruh dengan estetika borjuasi atau feodal.
Dalam hal 5 pedoman penciptaan para sastrawan dan seniman kita masih belum menjadikannya sebagai pedoman yang mendarah daging, artinya belum benar-benar menjadi bagian dari pedoman pemikiran dan pembayangan kreatif mereka. Menghapal perumusan-perumusan bukanlah jalan kreatif. Soalnya adalah bagaimana sastrawan dan seniman terus-menerus melatih diri menggunakan pedoman itu, sehingga pedoman itu benar-benar menjadi bagian dari dirinya. Jika banyak mereka berlatih menggunakan pedoman itu, sudah pasti pada suatu saat akan mencapai suatu kualitas tertentu. Memperbaiki pekerjaan atas dasar 5 pedoman penciptaan itu harus dilakukan terus-menerus, karena kita bukan melaksanakan rumus ramuan obat yang bisa sekali jadi.
Berbicara tentang “meluas dan meninggi” kita harus mengetahui tentang “meluas dan meninggi” untuk apa dan untuk siapa? Suatu karya yang bersifat meluas, pada pokoknya adalah hasil kreasi yang dilakukan secara sadar dengan tujuan untuk kepentingan praktis mendorong dan memobilisasi massa dalam bentuk yang tepat, mudah dan gampang ditangkap isinya. Sebaliknya karya yang meninggi memerlukan pengolahan artistik yang lebih tinggi, tetapi juga memerlukan lebih banyak waktu untuk mempopulerkannya.
Garis “meluas dan meninggi” adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena kedua-duanya diperlukan oleh praktek revolusioner. Baik meluas maupun meninggi kedua-duanya untuk diabdikan kepada perjuangan revolusioner, kepada massa rakyat pekerja. Oleh karena itu kita harus tetap berpegang teguh pada pendirian meluas atas dasar massa dan untuk massa, serta meninggi juga atas dasar massa untuk massa. Pengertian tentang perlunya meluas dan meninggi juga dapat kita pahami berhubung dengan adanya perbedaan tingkat kesadaran artistik dan daya apresiasi antara massa pada umumnya dan para kader pada khususnya. Massa rakyat pekerja pada umumnya karena masih mengalami penindasan dobel, yaitu penindasan imperialis dan feodal, belum mempunyai kesempatan yang cukup untuk menikmati karya sastra dan seni dan belum dapat dengan leluasa mengembangkan kemampuannya. Segi inilah yang harus diperhatikan oleh sastrawan dan seniman dalam melaksanakan tugasnya untuk membantu dalam mendorong, mendidik dan memobilisasi massa dengan senjata sastra dan seni. Pada hakikatnya adalah sungguh salah jika pengertian meluas itu diidentikkan dengan “membodohkan” massa atau memberi “barang rongsokan” kepada massa. Sebaliknya juga tidak dapat berarti bahwa hasil yang tinggi mutunya tidak dapat dipopulerkan.
Masalah meluas dan meninggi banyak bersangkut-paut dengan cara ekspresi. Mengenal baik cara ekspresi rakyat, perlambang-perlambang atau kiasan-kiasan yang digunakan oleh massa, perasaan, pikiran, dan aspirasi massa akan membantu menyelesaikan persoalan meluas dan meninggi dalam kerja kreatif. Untuk melaksakan garis “meluas dan meninggi” juga tidak bisa lain kita harus lebih mengenal massa dan kader, mengintegrasikan diri kita dengan rakyat pekerja, terutama kaum tani.
Dalam rangka meluas masih terdapat kekurangan-kekurangan, antara lain karena masih adanya sikap kurang sungguh-sungguh dalam mengembangkan sastra dan seni daerah (suku-suku bangsa) yang pada umumnya merupakan bentuk ekspresi yang populer di kalangan kaum tani.
Dalam kegiatan kreasi atas dasar garis meluas dan meninggi tidak boleh kita abaikan kenyataan bahwa negeri kita terdiri dari ribuan pulau, banyak suku bangsa yang tingkat perkembangan politik, ekonomi, dan kebudayaannya tidak sama.
Cara yang paling tepat untuk meluas di antaranya ialah dengan memperluas sanggar-sanggar seni serba guna, yang berarti memperluas aktivitas basis sehingga peningkatan daya apresiasi massa dapat dilakukan secara efektif. Pelaksanaan semboyan “satu desa satu sanggar” adalah jalan populerisasi hasil karya sastrawan dan seniman revolusioner di tengah-tengah massa, terutama kaum tani. Dan sekaligus dengan meluasnya aktivitas basis itu akan berarti mempererat hubungan antara sastrawan dan seniman revolusioner dengan rakyat pekerja.
Untuk menjalankan garis meninggi, kader-kader sastrawan dan seniman harus lebih rajin belajar Marxisme-Leninisme supaya lebih mampu menganalisa dan menyimpulkan keadaan, mengerti lebih baik kontradiksi-kontradiksi dan tahu mana yang pokok dan mana yang tidak pokok serta tahu jalan penyelesaiannya. Disamping itu pengintegrasian diri secara langsung dengan datang dan ikut dalam praktek sosial, baik praktek produksi maupun praktek perjuangan kelas, di tengah-tengah massa rakyat pekerja terutama kaum tani, disamping lebih rajin berdiskusi dengan kader-kader revolusioner, mendengarkan dan membaca serta mempelajari laporan-laporan kegiatan perjuangan revolusioner yang dilakukan di basis-basis dan daerah-daerah, merupakan jaminan untuk tercapainya garis meninggi. Hanya ini jalan yang tepat untuk mengerti benar persoalan-persoalan tentang tema yang mau digarap. Hanya dengan mengerti benar-benar seluk-beluk tema yang mau digarap hasil kreasi akan bebas dari keruwetan, kekaburan, dan kehampaan.
Mempersoalkan “tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik”, ini pun harus juga dicapai dengan jalan belajar Marxisme-Leninisme dan pengintegrasian diri dengan massa, karena bahan baku untuk kerja kreatif sastra dan seni terdapat pada massa; juga keartistikan yang harus diolah oleh para seniman dan sastrawan terdapat pada massa. Pendeknya para sastrawan dan seniman harus mencari sumber kreasinya pada massa, dan terus-menerus membajakan diri dan mendidik diri. Mutu ideologi karya tidak mungkin tinggi kalau manusia yang mengkreasinya sendiri tidak menempa ideologinya sendiri, tidak membajakan diri di dalam kehangatan perjuangan revolusioner. Dan mutu artistik karya juga tidak akan meninggi jika sastrawan dan seniman tidak terus-menerus mendidik diri, belajar Marxisme-Leninisme serta giat belajar dan giat berlatih dilapangan artistik. Pada pokoknya untuk mencapai “dua tinggi” harus mempergiat kreasi, belajar dan ikut langsung dalam praktek revolusioner sehingga memiliki penghayatan revolusionernya.
Karya-karya yang mutu ideologi dan mutu artistiknya tinggi hanya akan disambut baik oleh massa jika karya-karya itu didukung oleh ideologi dan moral yang tinggi dari pencipta-penciptanya. Massa, terutama kader-kader gerakan revolusioner, sering dikecewakan oleh kenyataan bahwa karya-karya yang tadinya mereka senangi ternyata tidak didukung oleh ideologi dan moral yang tinggi dari para penciptanya. Dalam karyanya para pencipta memuji moral yang tinggi, pendirian kelas yang teguh, sikap kelas yang tepat, keberanian dan kepahlawanan, disiplin yang kuat, keluwesan dalam membawakan prinsip, keunggulan kerja kolektif, dan sebagainya, tetapi kemudian ternyata, setelah berkenalan dari dekat, para pencipta yang bersangkutan tidak memiliki sifat-sifat yang demikian, malahan memiliki yang sebaliknya. Ini tidak hanya membikin massa dan kader-kader memaki-maki sastrawan dan seniman yang tadinya disayanginya, tetapi juga mudah menimbulkan sinisme terhadap sastrawan dan seniman. Untuk tidak menimbulkan luka dalam hati semacam ini, yang sulit diobati, para sastrawan dan seniman revolusioner harus satu dalam karya dan perbuatan, harus menjauhi kemunafikan. Dan malahan pribadi sastrawan dan seniman harus lebih baik mutunya daripada karya-karyanya. Oleh karenanya para sastrawan dan seniman revolusioner harus ikut berpacu dalam membajakan diri dan mendidik diri untuk menjadi orang revolusioner yang baik dan lebih baik lagi.
Tentang memadukan “tradisi dan kekinian revolusioner” pertama-tama para sastrawan dan seniman revolusioner harus mengenal tradisi rakyat kita, dan ini hanya mungkin dengan jalan lebih intensif melakukan riset. Pekerjaan riset akan dapat membantu kita untuk mengetahui mana tradisi rakyat dan mana tradisi feodal atau pengaruh feodal dalam tradisi rakyat. Dengan mengenal lebih baik tradisi rakyat sastrawan dan seniman kita tidak lagi seperti “orang asing” di tanah airnya sendiri.
Pengenalan tentang materi sastra dan seni tanah air, menilai segi-seginya, tidak lain adalah juga penerapan slogan “Tahu Marxisme dan kenal keadaan”. Menegakkan sastra dan seni revolusioner hanya mungkin jika kita mampu menerapkan garis kelas atas dasar kondisi-kondisi konkret kehidupan dan keadaan konkret sastra dan seni di tanah air kita. Mengenal dan mengembangkan tradisi adalah sebagian dari perjuangan untuk melawan bahaya perkembangan sastra dan seni tercabut dari akarnya. Kekinian revolusioner adalah persoalan perjuangan massa rakyat pekerja sekarang, yang tidak lain adalah garis politik Partai. Untuk mengenal hari ini tidak mungkin tanpa menguasai garis politik Partai, tanpa mengetahui teori revolusioner, tanpa mengenal keadaan konkret perjuangan massa rakyat pekerja dengan pengintegrasian diri lewat turba, dengan ambil bagian dalam produksi dan dalam kegiatan revolusioner serta mengadakan riset.
Memadukan tradisi dengan kekinian revolusioner berarti memadukan warisan dengan pembaruan. Sekali lagi harus selalu diingat: jangan gegabah memperbarui sesuatu yang lama yang disenangi massa. Sikap gegabah adalah bukan sikap sungguh-sungguh yang harus menjadi sikap seorang revolusioner dalam melakukan pembaruan. Memperbarui bukan soal memperbarui, tetapi justru harus dengan meneruskan tradisi dan bukan menghancurkannya.
Sepanjang sejarah rakyat adalah pencipta agung, oleh karena itu mengabaikan kearifan massa pada hakikatnya sama artinya dengan mengingkari rakyat. Menjunjung tinggi kearifan massa, harus juga diartikan suka bekerja kolektif dan menghargai pendapat kolektif. Sikap tidak tepat terhadap kritik, apalagi kritik massa, tidaklah lain daripada pencerminan individualisme borjuis, dan melupakan untuk siapa sastrawan dan seniman revolusioner berkreasi. Mengabdi sebaik-baiknya kepada massa, tidak mungkin tanpa menjadi murid massa yang baik. Untuk menjadi guru massa yang baik harus pandai menjadi murid massa yang baik. Oleh karena itu kritik massa kepada karya sastra dan seni harus dikembangkan.
Kita bukannya tidak mengakui peranan perseorangan. Sebaliknya, kita harus mengembangkan secara maksimal peranan aktif kesadaran subjektif dalam mengabdi rakyat pekerja. Untuk ini kita harus memperkuat usaha memadukan subjek sastrawan dan seniman dengan massa. Dari sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman Komunis dituntut supaya mereka meningkatkan individualitasnya sebagai Komunis, untuk tidak hanya puas menjadi Komunis-Komunis minimum tetapi harus berusaha keras melalui pembajaan diri dan pendidikan diri menjadi Komunis-Komunis maksimum sebagaimana belakangan ini telah diserukan oleh Partai kita. Pengembangan peranan aktif kesadaran subjektif dalam rangka mengembangkan kemampuan kolektif bukan hanya berbeda, tapi bertentangan sama sekali dengan individualisme borjuis. Ia sepenuhnya sesuai dengan filsafat Marxis, yaitu materialisme dialektis yang menjunjung tinggi peranan aktif daripada ide.
Kreativitas individual sebagai pengembangan dari kebijaksanaan massa adalah revolusioner dan memperkuat pengabdian sastra dan seniman kepada perjuangan massa, karena dengan demikian mereka menjadi elemen aktif di dalam kehangatan perjuangan. Sastrawan dan seniman yang tenggelam dalam rawa-rawa kepasifan tidak mungkin menghasilkan karya yang menghangati perjuangan rakyat pekerja. Sastrawan dan seniman yang hanya berpikir dan merasakan kehangatan perjuangan dengan setengah hati tidak mungkin menghasilkan karya yang menghangati perjuangan rakyat pekerja. Sastrawan dan seniman yang hanya berpikir dan merasakan kehangatan perjuangan dengan setengah hati tidak mungkin menghasilkan karya yang tinggi mutu ideologi dan mutu artistiknya. Kesadaran subjektif sastrawan dan seniman revolusioner adalah sebagaian dari kesadaran massa yang berjuang aktif untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus ’45 sampai ke akar-akarnya dalam menuju cita-cita massa rakyat pekerja, yaitu Sosialisme.
Perumusan memadukan “realisme sosialis dan romantik revolusioner” yang selama ini digunakan oleh Lekra lebih tepat jika kita rumuskan dengan memadukan “realisme revolusioner dan romantisme revolusioner”. Realisme revolusioner artinya berprinsip realis dan revolusioner terhadap kenyataan. Secara fundamental sikap revolusioner berarti selalu berpihak kepada yang baru dan sedang tumbuh untuk kehidupan lebih maju, lebih baik, dan lebih indah, memihak pikiran-pikiran objektif, menolak pikiran subjektif, baik sekarang, sebelum Sosialisme, maupun kemudian di dalam Sosialisme dan sesudah Sosialisme. Dengan demikian perumusan realisme revolusioner lebih mudah dimengerti, lebih tepat, lebih langgeng dan berlaku sampai ke zaman Komunisme.
Mengukur sesuai atau tidaknya sesuatu karya dengan perpaduan realisme revolusioner dan romantisme revolusioner tidak gampang, tetapi setiap karya sastrawan dan seniman yang disukai rakyat sudah pasti mengandung perpaduan dua unsur tersebut. Oleh karena itu ukuran yang paling objektif terhadap setiap hasil karya pada setiap saat adalah massa, karena massa adalah kritikus sastra dan seni yang paling besar. Pada pokoknya romantisme revolusioner adalah suatu angan-angan revolusioner yang berdiri tegak di atas dasar kenyataan-kenyataan tentang kontradiksi-kontradiksi dalam kehidupan. kita harus menggambarkan kehidupan tidak secara naturalis seperti potret, melainkan dengan penuh kegairahan revolusioner, kaya dan penuh cita-cita, dan kita harus mencurahkan segenap pikiran dan perasaan untuk mengedepankan hakekat dan semangat yang terkandung pada kenyataan itu. Untuk itu, selain realisme revolusioner, kita perlukan romantisme revolusioner.
Asas “politik adalah panglima” dan 5 Pedoman Penciptaan akan berhasil dilaksanakan jika sastrawan dan seniman kita melakukan kegiatan turun ke bawah (turba). Turba seperti sudah saya katakan di muka harus dengan senjata Marxisme-Leninisme, sebab tanpa itu sama halnya dengan meraba-raba dalam malam gelap atau seperti seorang buta mencari jarum di padang rumput, pasti tidak akan mendapat apa yang dicari.
Filsafat, ekonomi politik, dan Sosialisme Marxis-Leninis mengajar kita untuk bertitik tolak dari kenyataan objektif dan melihat segala sesuatu dalam perkembangannya, menunjukkan kepada kita tentang sumber-sumber dari eksploitasi atas manusia oleh manusia dan tentang perjuangan kelas sebagai lokomotif perkembangan masyarakat. Semuanya ini kita perlukan untuk mengenal keadaan. Sebaliknya, tahu Marxisme tanpa turba, membuat teori pucat tidak berdarah, karena terpisah dari sumber kreasi yang hidup, yaitu massa. Pengetahuan tentang Marxisme semacam itu tidak ada gunanya atau sama halnya dengan tidak tahu apa-apa tentang Marxisme. Turba pada hakekatnya adalah cara yang terpenting untuk mewujudkan slogan “Tahu Marxisme dan kenal keadaan”. “Tahu Marxisme” dan “kenal keadaan” bukanlah dua hal yang dapat dipisahkan. “Tahu Marxisme” diperlukan untuk mengenal keadaan, dan “kenal keadaan” diperlukan untuk mengetahui Marxisme. “Tahu Marxisme” tanpa mengenal keadaan sama halnya dengan tidak mengetahui apa-apa tentang Marxisme, karena sudah menjadi watak dari Marxisme sebagai “pedoman untuk beraksi” tidak bisa dipisahkan dari keadaan konkret. “Kenal keadaan” tanpa mengetahui Marxisme tidak mungkin mengenal keadaan itu sepenuhnya.
Karena kehidupan selalu berubah, maka pengetahuan teori kita akan menjadi beku jika tidak kita padukan dengan praktik konkret. Oleh karenanya, juga dalam hal kreasi sastra dan seni, terpisah dari praktik dan dari massa berarti bahaya.
Sebagaimana saya katakan di muka, sudah sejak berdirinya Lekra bertekad untuk membikin sastra dan seni revolusioner Indonesia memiliki kekuatan untuk mengemukakan jiwa hakiki masyarakat dan abad kita dalam bentuk artistik yang tinggi. Sudah pada tempatnyalah, jika Lekra mengambil peranan sebagai penghimpun sastrawan dan seniman revolusioner yang bertekad untuk melaksanakan politik yang termaju dengan penuangan artistik terbaik. Politik termaju dan penuangan artistik terbaik demikian itu adalah politik PKI dan haluan PKI di bidang sastra dan seni. Bukankah politik dan haluan sastra dan seni demikian yang diterima, dibela, dan dilaksanakan Rakyat Indonesia selama belasan tahun ini?
Kekuatan Lekra terletak pada tekadnya yang bulat untuk bersatu dengan massa dan mengabdi tanpa reserve kepada massa. Sebagaimana pernah saya katakan, bahwa sebaik-baiknya yang kita berikan tidak mungkin cukup baik bagi proletariat. Semangat itulah yang harus menjiwai sastrawan dan seniman Lekra dalam memberikan segala kemampuannya dengan sepenuh hati kepada massa, untuk selalu meningkatkan diri dan memperbesar peranannya dalam pengabdian kepada perjuangan revolusioner. Sejak berdirinya Lekra sudah teruji dalam perjuangan melawan reaksi di bidang politik kebudayaan seperti perjuangan membubarkan Sticusa, perjuangan melawan kegiatan-kegiatan kaum sosialis kanan di bidang sastra dan seni, terutama dalam mengganyang humanisme universal sebelum dan sesudah ada Manikebu, perjuangan untuk membubarkan AMPAI dan melarang pemutaran film imperialis Amerika Serikat, pendeknya melawan semua bentuk kebudayaan imperialis dan feodal. Disamping itu Lekra menyatupadukan diri dengan perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia di semua bidang.
Juga Lekra telah berpengalaman dalam perjuangan di lapangan kreasi dan dalam mengalahkan serangan reaksioner yang berupa ejekan-ejekan, yang menganggap karya-karya sastrawan dan seniman Lekra tidak mempunyai nilai sastra dan seni. Dilapangan teori dan estetika perjuangan antara “seni untuk rakyat” dan “seni untuk seni” telah mencapai kemenangan bagi “seni untuk rakyat”. Pelarangan terhadap “Manikebu” adalah salah satu bukti tentang kemenangan garis “seni untuk rakyat” sebagai hasil kekuatan front kebudayaan revolusioner.
Demikianlah dalam waktu 14 tahun sejak berdirinya, Lekra telah mendapatkan kemenangan-kemenangan satu demi satu di bidang politik kebudayaan, teori dan kreasi. Kemenangan-kemenangan tersebut harus terus dikonsolidasi dengan makin memperkuat barisan kreatif dan meningkatkan kemampuan kreatif serta mengonsolidasi front kebudayaan revolusioner. Makin hebatnya ofensif revolusioner di segala bidang, yang berarti makin terpencilnya kekuatan kepala batu di bidang sastra dan seni, serta makin meningkatnya kesadaran politik dan taraf kebudayaan massa tidak lain berarti cemerlangnya hari depan sastra dan seni revolusioner Indonesia.
Berbicara tentang meningkatkan peranan Lekra di dalam perjuangan revolusioner tidak bisa kita pisahkan dari membicarakan persoalan kader sastra dan seni revolusioner. Anggapan sementara orang yang mengidentikkan sastrawan dan seniman dengan “liberalisme” adalah tidak tepat, karena sastrawan dan seniman revolusioner secara ideologis berbeda dengan sastrawan dan seniman borjuis. Demikian pula pikiran untuk memberikan “keistimewaan” kepada sastrawan dan seniman tentu juga tidak tepat, sebab kader sastra dan seni revolusioner sebagai kader gerakan revolusioner mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kader-kader revolusioner lainnya, yaitu mengabdi massa rakyat. Oleh karena itu kader-kader sastra dan seni revolusioner harus juga membajakan diri dan mendidik diri sebagaimana yang dilakukan oleh kader-kader revolusioner lainnya. Sudah tentu jika seorang sastrawan atau seniman sudah berhasil dalam kreasi, sudah mempunyai hasil karya yang baik, tidak lalu ia kehilangan hak untuk menjadi seorang pekerja politik revolusioner yang baik. Malahan sastrawan dan seniman yang sekaligus menjadi pekerja politik revolusioner yang baik merupakan bantuan besar bagi pengintegrasian kegiatan-kegiatan kebudayaan dengan kegiatan-kegiatan politik.
Tetapi, jangan dilupakan, disamping pekerja politik revolusioner, pekerja sastra dan seni adalah tetap sastrawan dan seniman yang mempunyai kewajiban untuk terus-menerus meningkatkan kemampuan diri dalam mempertinggi mutu sebagai sastrawan dan seniman agar dapat mengkreasi karya-karya yang disenangi dan dicintai massa.
Barisan sastrawan dan seniman revolusioner pada pokoknya mempunyai dua macam kader ditinjau dari asal-usulnya, yaitu: yang berasal dari kaum buruh dan tani, dan yang berasal dari kalangan intelektual borjuis kecil. Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang pertama umumnya lemah dalam pengetahuan tentang penciptaan sastra dan seni, sedang yang kedua lemah dalam praktek produksi dan praktek perjuangan kelas. Kelemahan itu harus diatasi dan dengan saling bantu antara kedua macam sastrawan dan seniman revolusioner itu pengatasan akan lebih cepat dapat dilaksanakan. Kombinasi di antara kedua macam kader itu akan memperkuat barisan sastra dan seni revolusioner, dan lebih lanjut akan memperkuat front kebudayaan revolusioner serta perjuangan revolusioner pada umumnya.
Memperkuat, mengonsolidasi dan memperkembangkan terus-menerus kekuatan kreatif tidak mungkin dipisahkan dengan kehidupan kritik sastra dan seni. Kritik sastra dan seni memerlukan keahlian, memerlukan kerja ilmiah yang tekun, oleh karena itu kritik sastra dan seni tidak mungkin baik tanpa pengetahuan tentang Marxisme-Leninisme dan penguasaan atas materi. Pekerjaan melakukan kritik sastra dan seni harus juga diartikan sebagai kreasi. Kritik sastra dan seni yang kreatif mendorong kreasi dan meningkatkan daya apresiasi massa. Oleh karena itu pekerjaan ini harus dikembangkan. Dan untuk efektifnya kritik sastra dan seni harus dilakukan dengan pedoman “saling asah, saling asih, dan saling asuh” yang berarti saling kritik dengan perasaan saling mencintai dan saling mendorong maju.
Tanpa kritik dan selfkritik kita tidak maju, juga dilapangan sastra dan seni. Tanpa kritik sastra dan seni tidak mungkin ada perkembangan sastra dan seni yang baik, karena sastrawan dan seniman revolusioner tidak dibantu untuk mengembangkan diri dan massa tidak dibantu untuk mempertinggi daya apresiasinya. Tanpa kritik sastra dan seni massa tidak dituntun dalam menilai karya-karya yang baik, yang kurang baik, dan yang buruk. Dengan demikian peningkatan taraf kebudayaan massa menjadi lambat dan akibatnya juga kurang mendorong sastrawan dan seniman untuk mencipta lebih banyak dan lebih baik lagi. Kritik sastra dan seni serta juga resensi-resensi sangat membantu meningkatkan daya apresiasi massa.
Untuk meningkatkan taraf kebudayaan massa rakyat pekerja yang luas, peranan kritik sastra dan seni terhadap kenyataan-kenyataan yang bisa dijangkau oleh massa, seperti cerita-cerita dalam drama rakyat yang banyak dipentaskan, dongeng-dongeng yang hidup di kalangan massa, koran-koran dinding dari serikat-serikat buruh dan organisasi-organisasi massa revolusioner lainnya, ruang-ruang kebudayaan surat kabar-surat kabar, paduan suara-paduan suara, lagu-lagu rakyat, dan lain-lain harus diutamakan. Tenggelam dalam kegiatan kritik buku-buku yang jumlahnya hanya beberapa ribu dan tidak menjangkau massa adalah tidak tepat. Hanya mementingkan kritik terhadap kegiatan-kegiatan yang menjangkau sebagian dari massa yang tidak luas, berarti bersikap “hendak meninggi sendiri” tanpa landasan massa, sama dengan bergantung di awang-awang. Membangun kebudayaan rakyat sudah tentu tidak mungkin maju sendiri tanpa massa rakyat pekerja yang jumlahnya puluhan juta.
Soalnya sekarang bagaimana seharusnya kritik itu kita lakukan, dan ukuran apa yang kita gunakan. Dalam hubungan ini kritik harus kita lakukan secara tepat sesuai dengan pendirian dan sikap kelas. Harus dibedakan antara kritik kepada massa yang bersifat mendorong agar tidak bimbang dan lebih bersatu dengan kita, dan dengan penelanjangan yang tidak kenal ampun terhadap musuh agar lebih mudah kita kalahkan. Tentang ukuran kritik, kita gunakan dua ukuran, yaitu ukuran politik dan ukuran artistik, dengan menekankan pertama-tama pada ukuran politiknya, tanpa mengurangi usaha kita dalam memadukan dua tinggi, yaitu tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik.
Kawan-kawan yang tercinta!
Kaum Komunis bersama-sama rakyat, serta sastrawan dan senimannya sedang bergulat untuk menundukkan hari ini dan membentuk hari depan. Dalam Partai kita sudah populer sekali bait sajak Kawan Agam Wispi: Hati kita lebih keras daripada lapar. Ucapan demikian mencerminkan perasaan rakyat yang memiliki optimisme revolusioner. Betapa tidak, bukan hanya rakyat tidak pernah pesimis, tetapi perkembangan situasi sekarang menunjukkan perspektif baik yang semakin dekat. Banyak kawan-kawan sudah mengatasi kontradiksi dengan hari ini sedangkan hari depan pasti ada di tangannya.
Kalau pada waktu Partai baru bangkit kembali dalam tahun 1951 anggotanya kurang dari 8.000 sudah tidak bisa dimusnahkan, apalagi sekarang sesudah beranggota lebih dari 3 juta dan terkonsolidasi di bidang organisasi, politik, dan ideologi.
Partai sekarang sudah menjadi organisasi Komunis yang besar dan sudah merupakan Partai massa dan Partai kader sekaligus. Perkembangan Partai yang makin meluas di seluruh negeri, makin terbajakan dalam praktek perjuangan dan dalam teori dan ideologi, serta makin meningkatnya kepercayaan massa rakyat kepada Partai harus menjiwai dan menjadi sumber inspirasi para sastrawan dan seniman Komunis.
Dengan bertambah kuatnya persatuan kaum buruh dan makin tinggi kesadarannya, dengan kebangkitan kaum tani untuk membebaskan diri di mana-mana, dengan makin menanjaknya semangat anti-imperialisme Amerika Serikat di kalangan rakyat yang sangat luas, perspektif menjebol dan membangun bagaikan kehadiran matahari di waktu pagi cerah. Kader-kader kita menyadari bahwa kemenangan harus direbut dengan kesiapan menghadapi pukulan reaksi, tetapi pukulan itu jika datang bukan akan mematikan kita, sebaliknya pasti akan mematikan reaksi itu sendiri.
Coba bayangkan kawan-kawan, sekarang Partai sedang melaksanakan Plan 4 Tahun dilapangan kebudayaan, ideologi, dan organisasi. Tekanan Plan Pembangunan Partai yang raksasa ini diletakkan pada kebudayaan. Sekarang tiap anggota dan organisasi-organisasi revolusioner di bawah pimpinan Partai sedang berlomba-lomba untuk merebut kemenangan. Kaum buruh yang tergabung dalam SOBSI sangat aktif mempertinggi pengetahuannya, berlomba-lomba menyelenggarakan kegiatan sastra, seni, dan olah raga. Pemuda rakyat sangat giat mendirikan paduan-paduan suara dan makin banyak Komunis-komunis muda tidak mau ketinggalan dilapangan sastra dan seni. Kaum tani yang tergabung dalam BTI disamping mengganyang 7 setan desa, berkompetisi untuk memenangkan 6 baik, yang diantaranya “naik kebudayaan”. Makin meningginya kesadaran di kalangan wanita terutama yang tergabung dalam Gerwani untuk membebaskan dirinya dari kungkungan sisa-sisa feodal dan merebut hak emansipasi, tidak bisa lain berarti makin meningkatnya taraf kebudayaan di kalangan wanita.
Plan 4 tahun Partai akan mengubah berjuta-juta rakyat yang buta huruf menjadi pandai membaca dan menulis, dari buta ilmu menjadi memiliki pengetahuan, dari suasana desa yang “sepi” menjadi bergolak dengan memiliki sanggar-sanggar untuk kegiatan sastra dan seni. Dan apa artinya ini bagi sastrawan dan seniman? Massa yang taraf kebudayaannya makin meningkat ingin mengecap lebih banyak hasil karya kawan-kawan. Dan karya kawan-kawan akan menjadi bagian mutlak dari kehidupan kaum buruh, kaum tani, pemuda, wanita, prajurit, dan rakyat pekerja lainnya.
Kalau berbicara dengan istilah “pasaran”, maka “pasaran” sastra dan seni revolusioner selalu luas dan selalu akan meluas. Sekarang sudah mulai terasa “kebanyakan pembeli dan kekurangan barang”, berbeda dengan sastra dan seni reaksioner yang “kebanyakan barang tapi pembelinya makin kurang”. Sungguh, keadaan sekarang dan hari depan sangat baik bagi sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman yang sungguh-sungguh revolusioner. Dengan suksesnya Plan 4 Tahun Partai bukan hanya pendukung sastra dan seni revolusioner yang akan meluas, tetapi juga akan lahir kader-kader baru dari rakyat pekerja untuk memperkuat barisan sastrawan dan seniman kreatif. Menyukseskan Plan 4 Tahun Partai itu sendiri merupakan perwujudan yang hidup dari karya besar memadukan realisme revolusioner dengan romantisme revolusioner.
Apa yang lebih besar dan lebih menggembirakan bagi sastrawan dan seniman daripada perspektif hasil karyanya menjadi bagian dari kehidupan massa rakyat yang luas. Apa yang lebih membahagiakan sastrawan dan seniman revolusioner daripada perubahan kedudukan sastra dan seni revolusioner dari kedudukan diejek orang, menjadi disegani orang dan dicintai serta disenangi oleh berjuta-juta rakyat pekerja? Perspektif itulah, kawan-kawan, yang sedang kita hadapi, suatu prospek yang harus kita jemput dengan hati gembira ria dan kita rebut dengan kegairahan kerja yang besar.
Kawan-kawan yang tercinta!
Saya ingin mengulangi apa yang pernah saya katakan, bahwa pekerjaan politik adalah otaknya Partai, sedang sastra dan seni adalah hatinya Partai. Orang Komunis adalah manusia yang mempunyai otak dan hati yang terbaik. Oleh karenanya kaum Komunis tidak menarik garis pemisah antara kerja politik dengan kerja kebudayaan. Kedua-keduanya menjadi bagian dari kehidupan dalam kehangatan revolusioner sekarang maupun di masa yang akan datang.
Karena tanah garapan sastrawan dan seniman banyak menyangkut hati, dan bidang sastra dan seni adalah bidang yang sangat perasa, maka sastrawan dan seniman revolusioner memainkan peranan yang sangat penting dalam front ideologi. Oleh karena itu pula mereka menjadi sasaran kegiatan ideologi yang pertama dari kaum imperialis, kaum feodal, dan kaum revisionis. Sastrawan dan seniman revolusioner adalah prajurit ideologi dan politik yang bersenjatakan ekspresi sepenuh hati yang artistik.
Situasi sekarang adalah baik bagi sastrawan dan seniman revolusioner untuk mengabdikan diri lebih baik kepada kelas buruh, kaum tani, prajurit, dan rakyat pekerja pada umumnya. Kebangkitan kaum buruh dan kaum tani maupun rakyat pekerja lainnya dewasa ini merupakan gudang perbendaharaan tema yang belum pernah terjadi dalam sejarah kita. Soalnya tinggal kita harus datang mengambil dan mengolahnya guna dijadikan senjata ampuh bagi massa itu sendiri. Keberanian kreatif dengan kesadaran pengabdian kepada massa dan memberikan seluruh kemampuan, energi dan kearifan individual yang kita perdapat dari kebijaksanaan massa, adalah syarat untuk mempercepat perkembangan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh massa. Harapan massa dan Partai kepada sastrawan dan seniman revolusioner adalah berlandaskan kepercayaan yang diberikan massa dan Partai kepada mereka. Ini adalah satu kehormatan besar bagi sastrawan dan seniman. Apa yang lebih besar dalam kehidupan kita daripada mendapat kepercayaan Partai dan massa rakyat?
Partai dan rakyat percaya kepada kemampuan sastrawan dan seniman revolusioner untuk mencerminkan dalam karya-karyanya politik yang paling maju, heroisme yang paling tidak mementingkan diri sendiri, semangat Partai dan rakyat dalam perjuangan untuk pembebasan nasion dan rakyat pekerja.
Partai dan rakyat percaya bahwa sastrawan dan senimannya adalah bagian tak terpisahkan dalam kiprah revolusioner untuk merebut benteng nasional-demokratis dan benteng sosialis.
Partai dan rakyat percaya bahwa sastrawan dan seniman revolusioner akan menggunakan senjata artistik secara maksimal untuk mengganyang Si Empat jahat: “Malaysia”, tujuh setan desa, setan dunia imperialisme Amerika Serikat, dan revisionisme modern.
Atas dasar kepercayaan itulah kawan-kawan, Partai dan rakyat mengharapkan karya-karya sastrawan dan seniman revolusioner yang seindah-indahnya, yang disukai dan dimiliki massa, sehingga menjadi kebanggaan Partai, kebanggaan rakyat, dan kebanggaan nasion kita.
Kawan-kawan, Partai dan rakyat meyakini bahwa karya-karya sastra dan seni yang baik adalah kekuatannya. Kembangkan kegiatan kreasi kawan-kawan untuk membikin kekuatan ini terus-menerus tergembleng dan terus-menerus tumbuh sehingga akhirnya tidak terkalahkan.
Dengan senjata sastra dan seni yang berkepribadian nasional majulah terus mengabdi buruh, tani dan prajurit!
Majulah terus sastrawan dan seniman revolusioner, integrasikan dirimu sepenuhnya dengan massa rakyat dan revolusi yang menjadi sumber inspirasi, sumber kreasi, dan sumber kekuatanmu!
Majulah terus dengan sastra dan seni yang bersemangat banteng merah merebut benteng nasional-demokratis dan benteng sosialis!