Sumber: Bintang Merah Nomor Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1960
Kawan-kawan,
Saya menyatakan persetujuan sepenuhnya atas Laporan Umum Kongres Nasional ke-VI Partai yang disampaikan Kawan D. N. Aidit. Laporan Umum itu dengan jelas menunjukkan kepada rakyat jalan terang yang harus ditempuh menuju kemenangan dalam perjuangan melawan imperialisme, dan jalan untuk mencapai kehidupan adil dan makmur. Juga Laporan Umum dengan jelas menunjukkan musuh-musuh pokok dan musuh yang paling berbahaya yang dihadapi dan yang sedang terus-menerus mengancam kemerdekaan Rakyat Indonesia. Tapi Laporan Umum itu tidak hanya menunjukkan kepada Rakyat Indonesia musuh-musuhnya, dan kekuatan politik mana yang menjadi penyokong-penyokong imperialisme Belanda dan Amerika Serikat, akan tetapi secara lengkap dan jelas menunjukkan kekuatan rakyat dan kekuatan-kekuatan mana yang bisa bersatu dengan rakyat melawan imperialisme, dan kekuatan progresif di dunia, yaitu kubu Sosialisme yang setia memihak perjuangan kemerdekaan nasional Rakyat Indonesia.
Atas nama anggota dan calon anggota Partai di daerah kami, saya sampaikan hormat yang ikhlas kepada CC Partai yang telah memberikan pimpinan politik dan organisasi yang tepat, yang telah banyak memberikan kepada kader-kader Partai kemampuan bekerja yang lebih besar daripada masa yang lampau.
Dalam sambutan yang saya sampaikan ini, soal yang akan saya kemukakan hanya mengenai soal penghancuran gerombolan teror DI-TII dan sisa-sisa Permesta, dalam rangka usaha pemerintah melakukan pemulihan keamanan.
Persoalan pemulihan keamanan di Sulawesi Selatan Tenggara sudah sejak lama menjadi tuntutan rakyat yang paling mendesak. Sulawesi Selatan Tenggara termasuk salah satu daerah yang telah lama dikacau bandit-bandit teroris DI-TII, dan belakangan ini juga oleh sisa-sisa gerombolan kontra-revolusi “PRRI” – Permesta. Dalam rangka tuntutan pelaksanaan program keamanan rakyat Kabinet Sukarno-Juanda, adalah sangat penting untuk belajar dari beberapa pengalaman yang pernah dirasakan rakyat di Sulawesi Selatan Tenggara. Ada dua macam pengalaman Rakyat Sulawesi Selatan: pertama, pengalaman di bawah kabinet Natsir dan Sukiman yang menjalankan politik keamanan “berunding dengan DI-TII” yang menghasilkan kompromi dan memberikan konsesi-konsesi kepada DI-TII, seperti memberikan kesempatan kepada gerombolan DI-TII melaporkan diri, dan menerima masuk menjadi anggota APRI. Kedua, politik keamanan yang dijalankan Kabinet Ali Sastroamijoyo dan Kabinet Juanda yang pada dasarnya politik “tidak kompromi”, yaitu politik pengamanan daerah yang dijalankan dengan menghantam DI-TII dan gerombolan kontra-revolusi “PRRI” – Permesta. Dua pengalaman rakyat dan dua jalan yang pernah ditempuh oleh pemerintah dalam usahanya melaksanakan politik keamanan, akan tetapi keduanya tidak mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan baik oleh pemerintah sendiri maupun seperti apa yang diharapkan rakyat, malahan sebaliknya dari apa yang diharapkan rakyat. Kedua-dua kegagalan ini disebabkan rakyat kurang diikutsertakan. Yang pertama bahkan memusuhi rakyat, yang kedua dikecilkan peranan rakyat. Bahwa tiap kegagalan dalam usaha pemulihan keamanan di Sulawesi Selatan, tiap kali rakyat, terutama kaum tani, harus menderita korban yang lebih banyak lagi, oleh karena kegagalan seperti itu pasti akan menambah kesombongan dan kekejaman DI-TII terhadap rakyat.
Segi negatif dari politik “berunding” terhadap DI-TII atau gerombolan teror lainnya, yang paling reaksioner ialah bahwa dengan diterimanya bekas anggota-anggota gerombolan DI-TII masuk dalam APRI, maka dalam APRI terdapat anasir-anasir DI-TII dari akibat politik Kabinet Natsir-Sukiman itu, yang dengan secara “sah dan legal” memasukkan DI-TII ke dalam AP. Pembebasan-pembebasan mereka dari tuntutan-tuntutan hukum atas perbuatan terornya selama menjadi DI-TII, yaitu perbuatan-perbuatan garong, bakar, dan bunuh rakyat membawa pengaruh yang sangat kurang baik terhadap APRI di mata rakyat, juga terhadap disiplin dan ketaatan anggota-anggota AP dan terhadap nama baik AP sendiri.
Segi negatif dari pengalaman kedua, yaitu pengalaman dalam usaha pemulihan keamanan dengan jalan tidak kompromi, dengan operasi, politik ini mendapat dukungan sepenuhnya dari rakyat karena sesuai dengan harapan-harapan mereka. Tapi walaupun politik tidak kompromi ini pada pokoknya baik, dan mendapat dukungan rakyat, terutama kaum tani dan golongan-golongan yang mempunyai kemauan baik, dalam pelaksanaannya masih mengandung banyak kelemahan, pertama karena kaum tani di desa-desa tidak diikutsertakan. Tidak diberikan kebebasan-kebebasan demokratis dan tidak diorganisasi dalam OPD-
............. (bersambung ke halaman 368 tapi tidak ada s.d. halaman 369)
bahwa OPD-OPR bisa benar-benar menjadi alat rakyat untuk menghadapi pengacau-pengacau, tidak seharusnya dilakukan pembentukannya dari atas, dan benar-benar diletakkan pada tiap desa yang anggotanya rakyat yang bertempat tinggal di desa yang bersangkutan sendiri. Tentang saling bantu antara desa satu dengan desa lainnya tentu saja sangat ideal. Mengenai pembiayaannya, peraturan yang dikeluarkan penguasa setempat yaitu “sokongan wajib” yang harus dibayar oleh tiap kepala rumah tangga, adalah segi lemah dari OPD-OPR itu. Pertama, karena dengan demikian membuat rakyat yang memang sudah tidak mampu memikul berbagai pajak, sekarang ini diwajibkan lagi membayar sokongan wajib untuk OPD-OPR dan kedua, karena OPD-OPR dengan cara seperti di atas sudah merupakan tentara tetap yang mendapat honorarium tiap bulan. Perbedaannya hanya terletak pada: mereka tidak mendapat jaminan sebagaimana yang berlaku bagi AP. OPD-OPR yang baik ialah OPD yang dibentuk tidak terlepas dari lapangan kerja mereka masing-masing.
Dalam hubungan pemulihan keamanan perlu dikemukakan bahwa di waktu-waktu yang lampau tidak pernah ada tindakan ke arah usaha merehabilitasi desa yang telah dibebaskan oleh APRI dari tangan DI-TII. Rehabilitasi desa-desa dengan jalan memberi bantuan kepada rakyat berupa penggantian alat-alat pertanian mereka yang hancur sebagai akibat operasi dan selama di bawah kekuasaan DI-TII akan sangat membantu kaum tani pulih semangatnya kembali dari berbagai tekanan jiwa yang dialami selama di bawah kekuasaan teror DI-TII. Rehabilitasi desa juga berarti pemberian hak-hak kebebasan demokratis dan penyusunan aparat pemerintahan desa, ini berarti membangun kembali kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Tindakan tersebut di atas ini sangat penting karena ia memberikan perbedaan yang nyata antara kekuasaan Republik Indonesia yang demokratis dengan kekuasaan teror DI-TII – “PRRI”-Permesta.
Hidup Kongres Nasional ke-VI PKI.