Sumber: Bintang Merah Nomor Spesial, "Maju Terus" Jilid I. Kongres Nasional Ke-VII (Luar Biasa) Partai Komunis Indonesia. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1963.
Kongres yang mulia,
Kawan-kawan sekalian yang tercinta,
Apa yang dibuktikan oleh kehidupan dan perjuangan selama 2½ tahun sejak Kongres ke-6 yang lalu hingga sekarang?
Saya kira kita berlaku setia terhadap kenyataan terhadap kebenaran sejarah, jika kita mengatakan bahwa kehidupan dan perjuangan 2½ tahun ini memberikan sejumlah cukup banyak bukti-bukti tambahan yang baru dan segar akan benarnya Program Partai kita.
Tak pernah kita menyangsikan ketepatan Program Partai kita, tetapi harus kita akui bahwa sewindu yang lalu, ketika Program kita itu baru kita rumuskan dengan kearifan kolektif kita, soal-soalnya bagi kita belumlah sejelas dan sejernih sekarang. Antara detik Partai lahir sampai Kongres Nasional ke-5 di tahun 1954 berselang 34 tahun atau sepertiga abad penuh. Pengalaman perjuangan modern proletariat Indonesia selama sepertiga abad inilah yang menugaskan atau menginstruksi kita untuk merumuskan bahwa musuh-musuh kita adalah imperialisme dan feodalisme, bahwa maka dari itu revolusi kita revolusi nasional-demokratis, dengan kelas buruh, kaum tani, borjuasi kecil dan borjuasi nasional yang bersatu dalam front persatuan nasional sebagai kekuatan pendukungnya, dengan persekutuan kelas buruh dan kaum tani sebagai basisnya dan dengan proletariat sebagai pemimpinnya, untuk menegakkan suatu demokrasi rakyat, sebagai tingkat peralihan menuju ke Sosialisme. Sekarang, setelah menempuh 2 kali Plan 3 Tahun, yang salah satu intinya adalah gerakan pendidikan teori dan ideologi, pandangan kita makin gamblang, pengertian makin dalam dan keyakinan makin terhujam.
Kongres ini adalah Kongres daripada Partai yang dalam barisannya berderet beberapa puluh ribu kader yang bukan saja aktif dan sadar, tetapi tahu menghubungkan teori revolusioner dengan praktek revolusioner, cakap dan militan.
Kongres ini adalah Kongres daripada Partai dengan 2 juta anggota dan lebih dari 10 juta simpatisan, dan seperti dikatakan Lenin “perseorangan proletar tidak berjaya, tetapi jutaan proletar adalah mahajaya”.
Dalam mengalahkan kontra-revolusi dalam perjuangan yang sengit, kita telah mencapai kemenangan-kemenangan besar, tetapi lebih besar lagi adalah kemenangan kita dalam hati rakyat – kian hari nama Partai kita kian harum saja!
Sesuatu yang besar taklah mungkin dicapai secara mudah dan dalam waktu yang singkat. Kawan Aidit dalam Laporan Umumnya berbicara tentang “program besar” Kongres Nasional ke-6. Seperti kawan-kawan tahu, Kongres Nasional ke-6 adalah kelanjutan daripada Kongres ke-5. Maksud saya, bukan pertama-tama dalam arti kata kronologi, tetapi dalam arti kata ideologi, politik dan organisasi.
Selama hayat dikandung badan takkan ada di antara kita saya kira yang akan pernah melupakan Kongres ke-5 Partai. Kongres itu kecil dalam ukuran luas, tetapi besar dalam arti dan pengaruh, buat jalan revolusi Indonesia umumnya, dan terutama sekali bagi gerakan pembebasan kaum tani. Setelah dirumuskannya “Jalan Baru” di tahun 1948 dan ditempuhnya secara konsekuen “Jalan Baru” itu sejak 1951 maka Kongres 1954 adalah yang pertama di sepanjang sejarah Partai kita yang berhasil memformulasikan suatu Program yang menjawab secara tepat semua masalah penting dan pokok Revolusi Indonesia. Kongres 1959 mengonsolidasi kemenangan ini dan Kongres 1962 ini pun berkewajiban mengonsolidasinya lebih lanjut.
Ada kelas, partai, golongan, pemimpin, yang menganggap program tidak lebih sebagai secarik kertas yang tak banyak artinya dan bukan sebagai sesuatu yang berharga dan yang untuk dilaksanakan. Ambillah pengalaman kita 20 Mei 1948, ketika di ibukota Revolusi Yogyakarta Front Demokrasi Rakyat, Partai Nasional Indonesia sampai pun Masyumi mencapai kata sepakat dan menyusun suatu “Pernyataan Bersama”, yang ditandatangani oleh Tjugito, Sabilal Rasjad, almarhum Sangadji, dan lain-lain. Sebagai suatu program nasional bersama pernyataan itu cukup baik. Timbullah pertanyaan: bagaimana Masyumi suka menyetujuinya? Bagaimana bahkan Moh. Hatta dan almarhum H. Agus Salim menamakannya suatu “geloofsbelijdenis”? Pertama, dalam pendapat saya karena suasana revolusioner yang menuntut persatuan, persatuan, dan persatuan ketika itu tidak memungkinkan sesuatu kelas, partai, golongan, pemimpin untuk terang-terangan memusuhi persatuan nasional. kedua, karena mereka rupanya beranggapan bahwa program itu toh secarik kertas belaka, yang dalam hal konkret ketika itu “ditolak susah, diterima toh tidak apa-apa”. Dengan memilih istilah “geloofsbelijdenis”, kaum reaksioner sebenarnya ingin mengatakan bahwa “Pernyataan Bersama” itu “terlalu bagus untuk bisa dilaksanakan”. Bandingkanlah sikap kaum reaksioner ini dengan misalnya sikap Ki Hajar Dewantara, patriot termashyur kita yang memimpin persidangan-persidangan yang melahirkan “Pernyataan Bersama” itu, yang bekerja untuk “Pernyataan Bersama” itu dengan penuh kesungguh-sungguhan dan kemudian menilainya sebagai “saat permulaan untuk menyelenggarakan kesatuan tekad, guna mempertahankan kemerdekaan Negara dan menyelamatkan rakyat pada umumnya”, karena menurut beliau yang kita perlukan adalah “Kesatuan Nasional yang kokoh, dan sanggup menghadapi kemungkinan apapun juga”. Patriot yang lain, Bung Karno, mengenai “Pernyataan Bersama” itu mengatakan bahwa “apa yang dikemukakan di situ, memang mencerminkan apa yang perlu untuk mencapai hasil baik dalam kelanjutannya perjuangan kita yang sesulit dan seberat itu, yaitu ‘Kesatuan sikap, program, dan tindakan’ antara segenap bangsa Indonesia”. Saya kira “Pernyataan Bersama” 1948 ini adalah salah satu fundasi daripada Manifesto Politik Republik Indonesia. Bedanya, sekalipun disetujui Presiden Sukarno tetapi “Pernyataan Bersama” belumlah program resmi Republik, sedang Manipol yang menurut DPA berarti “untuk pertama kalinya RI, setelah 14 tahun, mengumumkan lewat Kepala Negaranya sebuah dokumen bersejarah yang menjelaskan persoalan-persoalan pokok dan Program Umum Revolusi yang bersifat menyeluruh” itu, diresmikan oleh MPRS sebagai garis-garis besar daripada haluan negara.
Kaum Komunis, seperti umumnya kaum patriot yang baik, tidak menganggap sesuatu program itu secarik kertas mati. Dalam Pidato 1 Mei-nya 1957 yang berjudul “Bukan krisis, tapi banjir besar kekuatan demokratis dan patriotik”, juga dalam kesempatan-kesempatan lain, Kawan Aidit menekankan pentingnya arti program “yang memang tepat dan memang diperlukan dalam perjuangan, yang mendapat sambutan yang antusias dari massa”.
PKI, untuk sampai pada Program Kongres ke-5-nya, yaitu program yang menjawab secara tepat semua masalah penting dan pokok Revolusi Indonesia, harus menjalani perjuangan sepanjang sepertiga abad, yang penuh pergulatan-pergulatan mengalahkan rintangan-rintangan reaksi yang penuh daya upaya untuk bangkit kembali tiap-tiap kali kita terjerembab dalam kesalahan atau kegagalan. Tanpa pengalaman yang lama, sukar dan berat itu tak mungkin Partai kita akan sampai pada Programnya yang tepat. Program yang tepat juga takkan mungkin pernah terumuskan, apabila pengalaman yang lama, sukar dan berat itu tidak kita generalisasikan, tidak kita simpulkan secara ilmiah berpedomankan ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme yang revolusioner dan hidup abadi.
Marx dan Engels sudah dalam “Manifes Partai Komunis” menerangkan tuntutan tinggi yang harus dipenuhi oleh suatu Program Partai Komunis, “Manifes Partai Komunis”, bukan karena sesuatu pretensi melainkan secara objektif dikatakan oleh Marx dan Engels sendiri berlaku “di mana saja dan bilamana saja”. Marx dan Engels sendiri mengakui bahwa “di sana-sini mungkin beberapa detailnya dapat diperbaiki”, tetapi sungguh, “Manifes” itu tidak mungkin digantikan oleh dokumen lain macam apa pun, kapan pun, dan betapa pun. Friedrich Engels menulis bahwa “Manifes” dimaksudkan sebagai “suatu program partai yang secara teori dan praktek lengkap”. Suatu program partai yang secara teori dan praktek lengkap! Mudah dipahami, bahwa sukar menyusun program yang memenuhi tuntutan tinggi begini. Tetapi karena Partai Komunis adalah Partai Sosialisme ilmiah, kita tak mungkin dan tak layak menghindari tuntutan-tuntutan ilmiah bagi program kita itu.
Dalam catatan-catatannya atas rencana “Program Plechanov yang kedua” kita bisa mempelajari perumusan-perumusan Lenin tentang tuntutan-tuntutan ilmiah program Partai itu.
Lenin mengatakan bahwa Program Partai tidak boleh memberi “definisi-definisi akademis”, “berlebih-lebihan” dan “tak logis”, tidak boleh “seperti dimaksudkan buat serentetan kuliah”, melainkan buat “suatu Partai yang militan”, suatu program untuk proletariat yang sedang berjuang melawan pernyataan-pernyataan sangat riil dari kapitalisme yang sangat pasti”.
Lebih lanjut Lenin memperingatkan bahwa jika Program Partai “tidak akurat”, ia akan “menghambat perjuangan teoretis dan propaganda kita”.
Untuk mengambil satu-dua contoh, jika misalnya proletariat dinyatakan sebagai “kekuatan yang sangat penting”, tetapi tidak dinyatakan sebagai “kekuatan memimpin”, maka perumusan begini bukan hanya tidak lengkap, tetapi juga tidak tepat. Begitu pun jika misalnya kaum tani dinyatakan sebagai “kekuatan yang sangat besar”, tetapi tidak dinyatakan sebagai “kekuatan pokok” Revolusi Indonesia, maka perumusan begini juga tak dapat dipertanggungjawabkan. Lenin sendiri dalam memberikan contoh tentang tidak akuratnya perumusan-perumusan program mengambil misal bilamana borjuasi disebut sifat progresifnya tetapi dilupakan sifat konservatismenya – ini kata Lenin “berat sebelah dan tak tepat”.
Ketika saya di Yugoslavia ada dimajukan pertanyaan kepada saya “kenapa program PKI begitu singkat”. Saya harus mengakui, bahwa dibandingkan dengan Program “Liga Komunis Yugoslavia” Program PKI kalah tebal, jauh kalah tebal malahan, tetapi juga kalah…… jelek. Program PKI memang sederhana, sama sederhananya dengan kebenaran itu sendiri. Sebaliknya program “Liga Komunis Yugoslavia” boleh dibilang kaya, kaya dengan bermacam-macam ide, terutama ide-ide revisionisme modern. Marilah kita mengucapkan syukur, bahwa Program kita tidak “sekaya” itu! Penggunaan kalimat-kalimat yang dakik-dakik atau muluk-muluk selalu ditunjuk hidungnya oleh Lenin sebagai “tirai untuk menutupi ketiadaan pikiran yang jelas”. Masih mendingan jika yang disembunyikan “ketiadaan pikiran yang jelas” – ada kalanya yang disembunyikan atau dicoba disembunyikan itu suatu sikap khianat!
Makin singkat-padat atau cekak-aos program sesuatu partai revolusioner, makin baik. Sudah tentu, seperti dikatakan Engels dia harus “lengkap”, tetapi tetaplah yang singkat-padat atau cekak-aos yang sebaik-baiknya. Ini memudahkan usaha populerisasi atau usaha menjadikan program itu milik massa. Sebab, kita menyusun Program bukan hanya buat kaum Komunis, tetapi untuk seluruh massa progresif. Adalah menjadi kewajiban kita untuk menjadikan seluruh massa progresif, mulai kaum intelektual di kota-kota sampai kaum tani di dusun-dusun dan gunung-gunung, pendukung-pendukung Program Partai dengan pengertian-pengertian yang lempang, jadi dengan sadar. Yang mengenai massa anggota Partai sendiri, berkat usaha Comite-comite, Sekolah-sekolah Partai, kader-kader pekerja teori dan pembantu-pembantu pekerja teori, mereka umumnya sudah memahami soal-soal pokok Revolusi Indonesia. Dalam hal ini benar-benar telah tercipta kesatuan pikiran di dalam Partai, dan inilah modal yang terpenting untuk maju mengalahkan yang lama dan memenangkan yang baru. Seandainya Program kita bertele-tele berkepanjangan, sekalipun isinya benar, akan sulit usaha mempopulerkannya, dan dengan sendirinya takkan ampuh dia sebagai senjata pemersatu pikiran.
Ketika membicarakan “Program Erfurt” Engels mengecamnya karena “terlalu panjang” dan terlalu banyak detail-detail dan pengulangan-pengulangan”.
“Suatu program”, kata Lenin, “harus memberi pernyataan-pernyataan yang padat, tanpa satu pun perkataan yang berkelebihan, dan menyerahkan segala penjelasan kepada komentar-komentar, pamflet-pamflet, agitasi-agitasi, dan sebagainya”.
Jadi, dalam usaha kita mempopulerkan atau menjadikan milik massa Program Partai kita, harus lebih banyak kita menulis komentar-komentar, pamflet-pamflet dan lebih banyak pula melakukan agitasi-agitasi dan propaganda.
Dalam perjuangan kita melawan imperialisme dan feodalisme dewasa ini kita secara nasional mempunyai dua program yang amat penting sekali, yaitu Program Partai dan Program resmi Republik – Manipol.
Seperti kita semua ingat, Manipol dimaklumkan pada tanggal 17 Agustus 1959. Lebih setahun kemudian, yaitu pada tanggal 19 November 1960, MPRS menetapkan “memperkuat Manipol RI serta perinciannya sebagai garis-garis besar daripada haluan negara”. Jauh sebelum itu, yaitu pada tanggal 25 September 1959 atau hanya 5 minggu sesudah Manipol dimaklumkan, DPA menganjurkan penerimaan Manipol sebagai garis-garis besar haluan negara dan memerincinya. Tetapi sebelumnya lagi, yaitu hanya 3 minggu sesudah Manipol dimaklumkan, adalah Kongres ke-6 Partai kita yang dengan tak ayal menerima Manipol. Kata Resolusi Kongres ke-6 itu antara lain: “Kongres berseru kepada seluruh kaum Komunis dan rakyat Indonesia untuk mempelajari dan mendiskusikan Manipol” dan “Kongres mendesak kepada pemerintah agar Manipol benar-benar menjadi pegangan pemerintah dalam melaksanakan programnya secara konsekuen”.
Saya mengemukakan catatan ini bukan hanya karena kenyataan bahwa PKI adalah yang pertama mendukung Manipol, tetapi karena catatan ini barangkali ada gunanya buat pemfitnah-pemfitnah PKI yang rajinnya bukan kepalang tanggung kalau menuduh PKI “anti-Manipol”. Saya hanya ingin tahu sejak kapan tuan-tuan itu mendengar kata Manipol? Adakah tuan-tuan itu punya gagasan apa isi Manipol sesungguhnya? Karena pemfitnah-pemfitnah PKI biasanya orang-orang komprador atau kapitalis birokrat yang hubungannya lebih dekat pada kaum imperialis daripada pada rakyat saya khawatir bahwa jika dipaparkan isi Manipol yang sebenarnya, mereka akan pingsan. Akhirnya, yang tadinya mereka itu ingin melawan indoktrinasi Komunisme, karena kehilangan kepala suka kurang pikir terus melarang indoktrinasi…… Manipol.
Manipol bukan hanya tak bertentangan dengan Program PKI, tetapi malahan sama-sama revolusioner. Unsur-unsur yang sama ini bukan karena Marxisme diterima atau tidak diterima dalam garis besar haluan negara, tetapi karena kedua-duanya, baik Manipol maupun Program PKI, menggali apa yang objektif dalam masyarakat Indonesia dan revolusi Indonesia dan merumuskannya dalam formulasi-formulasi yang bertanggung jawab.
Manipol memerinci “Persoalan-persoalan pokok revolusi Indonesia” dan mengemukakan apa yang menjadi:
Mengenai kelima-lima pokok ini tak ada pertentangan antara Manipol dan Program Partai, sekalipun, sudah tentu, perumusan-perumusannya tak mungkin dalam semua hal sama.
Oleh sebab itu, jika dalam Laporan Umumnya Kawan Aidit menganjurkan supaya dikibarkan lebih tinggi “panji-panji Manipol”, hal ini harus dilakukan oleh segenap kaum Komunis dan simpatisan-simpatisannya dengan tanpa cadangan. Ya, tugas ini bukan hanya harus dilakukan dengan tanpa keragu-raguan, tetapi harus dilakukan sepenuh jiwa, dengan kepala yang sadar dan hati yang yakin.
Kaum Komunis malahan harus membuktikan dirinya Manipolis-Manipolis yang terjujur, terikhlas, dan terbaik, Manipolis-Manipolis yang tidak plintat-plintut atau plungkar-plungker atau pertentang-pertenteng, Manipolis-Manipolis sejati yang menempatkan kepentingan tanah air, rakyat, dan revolusi di atas segala-galanya, dan pertama-tama di atas kepentingan pribadi.
Kita kaum Komunis harus menjadikan Manipol senjata di tangan, senjata untuk melawan perpecahan nasional, senjata untuk menempa persatuan dari semua kekuatan yang bisa dipersatukan, dan senjata untuk mengalahkan imperialisme dan feodalisme, kaum komprador dan kaum kapitalis birokrat. Dalam rangka perjuangan melawan imperialisme, kita harus juga berjuang melawan rasa takut kepada imperialisme dan melawan ilusi terhadap imperialisme. Kita, sambil menanamkan keyakinan tentang terbatasnya kekuatan rakyat, harus terus-menerus mengobar-ngobarkan semangat berlawan terhadap imperialisme.
Dalam hubungan ini, semboyan-semboyan yang lahir di kancah revolusi 1945, seperti, “Kita cinta damai, tetapi lebih cinta merdeka”, “Merdeka atau Mati”, “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”, dan sebagainya harus kita hidupkan kembali dan kita gamblangkan maknanya.
Dalam pada itu dari Manipol, Jarek, Resopim, dan sebagainya, kita harus merumuskan semboyan-semboyan pula, semboyan-semboyan yang diperlukan dan yang merangsang gerakan. Misalnya: “Bukan perpecahan kekuatan nasional, tetapi konsentrasi kekuatan nasional”, “Holopis-kuntulbaris, gotong-royong lawan imperialis”, “Bukan rakyat untuk demokrasi, tetapi demokrasi untuk rakyat”, “Ritul yang tidak becus, ganti dengan yang tulus”, dan sebagainya.
Kaum anti-partai-partai suka terdengar menuntut begini: “karena kalian sudah menerima Manipol, tinggalkanlah program kalian sendiri”. Dengan meminta kita meninggalkan program sendiri, mereka menanggalkan kedok mereka sendiri dan maka tampaklah wajah mereka yang sesungguhnya, yang anti-Manipol. Dalam Manipol tegas-tegas digariskan, bahwa bagi semua Partai yang sah “apa yang sudah ditetapkan sebagai Program Revolusi harus juga menjadi programnya dan harus ambil bagian dalam melaksanakan Program tersebut”, tetapi, “tiap Partai, organisasi, dan perseorangan boleh mempunyai keyakinan politiknya sendiri, boleh mempunyai programnya sendiri”.
Demikianlah hubungannya antara program Partai kita khususnya, program partai-partai umumnya, dengan Program Republik, yaitu Manipol.
Salah satu sila Pancasila, yaitu “perikemanusiaan”, sudah sejak tahun 1945 ditafsirkan oleh Bung Karno sebagai juga internasionalisme. Ketentuan ini penting sekali, karena menjadi kepentingan seluruh rakyat Indonesialah untuk di satu pihak melawan kosmopolitanisme dan di pihak lain melawan sovinisme.
Bagi kaum Komunis internasionalisme bukanlah soal lagi. Sejak lahir, kaum Komunis sudah internasionalis. Ini dinyatakan dalam semboyan baku kaum Komunis yaitu “kaum buruh semua negeri, bersatulah!” Alasan bagi internasionalisme ini terang sekali: karena kapitalisme itu bersifat internasional, melawannya pun harus secara internasional. Perjuangan kelas bersifat internasional.
Setelah Komintern dibubarkan, Partai-partai Komunis seluruh dunia tidak pernah, dan sekarang pun tidak terikat oleh sesuatu ikatan organisasi internasional. Tetapi karena dasar perjuangan kaum Komunis, apapun kebangsaannya, selalu sama, dan musuhnya pun sama serta misi sejarahnya sama, maka pada tahun 1957 dilangsungkanlah di Moskow suatu pertemuan antara Partai-partai Komunis dan Buruh seluruh dunia, yang ketika itu 87 Partai banyaknya. Partai kita ambil bagian dalam pertemuan itu, diwakili oleh Kawan Sudisman. Pertemuan itu, seperti kawan-kawan semua maklum, melahirkan “Deklarasi” dan “Manifes Perdamaian”, yang seperti dikatakan Kawan Aidit dalam Kongres yang lalu “telah sangat besar artinya dalam mengonsolidasi Partai kita di lapangan politik dan ideologi”. Saya kira tidak hanya bagi PKI “Deklarasi” dan “Manifes Perdamaian” itu besar artinya, tetapi juga bagi Partai-partai sekawan semua negeri. Di tahun 1960 pertemuan antara Partai-partai Komunis dan Buruh seluruh dunia dilangsungkan lagi, juga di Moskow. Partai kita diwakili oleh Kawan Lukman. Pertemuan ini, seperti kawan-kawan semua tahu, melahirkan “Pernyataan” dan “Seruan Perdamaian”, yang seperti dikatakan Kawan Aidit dalam Kongres ini “berlaku sebagai dokumen internasional, platform buat semua Partai Komunis”.
Terutama mempunyai arti luar biasa buat kita di Indonesia, dan tentunya juga buat negeri-negeri yang belum merdeka atau belum merdeka penuh lainnya, adalah bagian IV dari “Pernyataan” tentang revolusi-revolusi pembebasan nasional.
Di situ diterangkan bahwa kehancuran kolonialisme sepenuhnya tak dapat dielakkan lagi, bahwa wajah Asia sudah berubah, di Afrika sistem kolonial sedang runtuh dan front perjuangan aktif melawan imperialisme dibuka di Amerika Latin, bahwa kaum kolonialisme di mana-mana, bahwa hanya dengan perjuangan tegas melawan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, dengan jalan menyatukan semua kekuatan patriotik bangsa dalam front persatuan nasional yang demokratis sajalah revolusi-revolusi pembebasan nasional itu bisa menang, bahwa kelas buruhlah yang harus memimpin, bahwa pemecahan masalah tani adalah yang terpokok, bahwa borjuasi nasional harus ditarik sejauh mungkin, bahwa persekutuan buruh dan tani adalah dasar front nasional, bahwa anti-Komunismelah yang mau memecah front nasional, bahwa tindakan-tindakan anti-demokratis dan anti-rakyat harus dilawan dengan aktif, bahwa terbuka kemungkinan nyata untuk menegakkan negara yang konsekuen anti-imperialis, anti-feodal, anti-diktator lalim dan menjamin kebebasan-kebebasan demokratis yang luas bagi rakyat, bahwa revolusi-revolusi pembebasan nasional mendapatkan sokongannya dari kelas buruh yang sadar kelas di negeri-negeri penjajah – dalam hal kita kelas buruh Nederland – yang bersemboyan “bangsa yang menindas bangsa lain tidak dapat merdeka”, dan bahwa hapusnya kolonialisme akan juga mempunyai arti yang maha besar bagi peredaan ketegangan internasional dan bagi pengokohan perdamaian umum.
Dalil-dalil ini, bagi kita, ibarat bintang pagi yang menunjukkan arah dan yang menerangi jalan.
Jadi, Program Partai adalah senjata di tangan, Manipol adalah senjata di tangan, “Pernyataan 81 Partai” pun senjata di tangan. Tiga senjata ampuh yang ada di tangan kita, kawan-kawan, semisal prajurit berangkat ke medan perang dengan senapan, dengan bayonet dan dengan juga menyandang granat. Tentu, kita harus mahir menggunakan ketiga-tiganya.
Dewasa ini di Indonesia istilah Sosialisme sudah demikian galibnya, sehingga boleh dibilang semua orang Indonesia sekarang berbicara perkara Sosialisme. Dilihat dari satu sudut, hal ini bisa menimbulkan kekaburan dan kekisruhan. Tetapi dilihat dari sudut lain, hal ini malahan baik: disamping pengakuan terhadap hari depan revolusi kita, yaitu Sosialisme – sesuatu yang tak bisa dibantah lagi oleh siapa pun – dia juga mempertinggi daya kritis rakyat Indonesia, sehingga umumnya rakyat pekerja Indonesia sekarang tahu betul, bahwa tidak semua “Sosialisme” adalah Sosialisme, dan bahwa di samping begitu banyak Sosialisme lancung dan palsu ada Sosialisme yang murni dan sejati.
Barang siapa mempelajari ABC-nya Marxisme dan membaca “Manifes Partai Komunis”, yang menurut Presiden Sukarno berisi “waarheden yang tetap benar, tetap laku, tetap benar selama-lamanya” itu, akan tahulah dia bahwa Marx dan Engels, sudah 115 tahun yang lalu berbicara dan mensinyalir akan “sosialisme borjuis”, “sosialisme borjuis kecil”, “sosialisme feodal”, “sosialisme konservatif”, ya, “sosialisme reaksioner”. Dan tidak hanya secara umum di dalam “Manifes Partai Komunis”. Barangkali masih banyak orang yang tidak tahu, bahwa Marx dan Engels secara konkret pernah membicarakan adanya suatu macam “sosialisme reaksioner” di Indonesia, khususnya di Jawa yaitu “sosialisme negara”. Ini mengenai masa kolonial.
Mereka menulis tentang ini di tahun 1884 (baca kumpulan Marx dan Engels “Tentang Kolonialisme”) dan inilah katanya: “Belanda mengorganisasi produksi di bawah pengawasan negara dan menjamin bagi rakyat suatu penghidupan yang mereka anggap cukup menyenangkan. Hasilnya: rakyat dikekang pada tingkat kebodohan primitif dan 70 miliun Mark (sekarang tentu lebih) saban tahunnya didapat oleh kas nasional Belanda”.
Jadi, “sosialisme negara” macam ini jelas adalah “sosialisme” dengan pengisapan oleh manusia atas manusia, bahkan dengan penindasan nasional. Dengan perkataan lain – “sosialisme” yang bukan sosialisme. Cita-cita kita adalah menegakkan Sosialisme di Indonesia, Sosialisme Indonesia. Tentu ada yang memilih supaya buat Indonesia ini diadakan “sosialisme” dengan pengisapan oleh manusia atas manusia, tetapi dengan meminta maaf kepada sekalian kaum kapitalis, saya harus menyatakan bahwa kaum Komunis memilih sosialisme tanpa pengisapan oleh manusia atas manusia! Kaum Komunis bukanlah penipu-penipu, maka itu kapitalisme kami sebut kapitalisme, belum merdeka penuh kami sebut belum merdeka penuh, sisa-sisa feodalisme kami sebut sisa-sisa feodalisme, dan baru jika benar ada sosialisme kami akan menyebutnya sosialisme.
Tetapi kita kaum Komunis pun tahu, bahwa Sosialisme itu tak bisa dicapai dengan sekali pukul. Rakyat Indonesia tidak berpamrih menamakan tingkat revolusi sekarang “revolusi sosialis”, karena memang bukan, melainkan revolusi nasional atau revolusi anti-imperialis, untuk mencapai kemerdekaan nasional yang penuh, atau lebih lengkapnya revolusi nasional-demokratis anti-imperialis dan anti-feodal, untuk mencapai kemerdekaan dan demokrasi.
Kemerdekaan penuh harus dicapai dulu, baru bisa berbicara tentang merealisasi Sosialisme; revolusi nasional-demokratis harus diselesaikan dulu, baru boleh bicara tentang revolusi sosialis. Buat kedua-duanya, peranan memimpin dari proletariat tak boleh dilupakan.
Di tahun 1882, dalam salah satu suratnya kepada Kautsky, Friedrich Engels menulis bahwa negeri-negeri yang dijajah Belanda “harus dioper sekarang ini oleh proletariat dan dipimpin secepat-cepatnya ke arah kemerdekaan” (baca buku “Tentang Kolonialisme”).
Dua hal menjadi sangat jelas dari surat Engels ini: tentang kepemimpinan proletariat, dan tentang fase revolusi kemerdekaan, yaitu “fase sosial dan politik” yang “harus dilalui sebelum mereka sampai pada susunan sosialis”.
Di sekolah-sekolah Partai dan di tempat-tempat lain pernah dipersoalkan apakah revolusi nasional-demokratis itu revolusi demokrasi rakyat. Dan jika ya, apakah tingkat ini suatu keharusan, apakah tak bisa ia dilangkaui.
Inti revolusi demokrasi rakyat adalah masalah agraria dan kekuatan pokoknya adalah kaum tani. Oleh sebab itu revolusi demokrasi rakyat disebut juga revolusi agraria. Apakah revolusi kita revolusi yang demikian ini? Saya kira, ya! Dalam “Program” kita dinyatakan dengan jelas: “Dengan tidak turut aktifnya kaum tani, yang merupakan 60% sampai 70% penduduk, tidak mungkin kita berbicara tentang kemenangan rakyat”.
Kemenangan rakyat! Inilah yang mau kita capai – bukan kemenangan satu-satu kelas, tetapi kemenangan rakyat, kemenangan seluruh rakyat. Sudah tentu, kalau kita katakan kekuasaan rakyat, yang kita maksud adalah kekuasaan rakyat, bukan kekuasaan sebagian rakyat, apalagi kekuasaan anti-rakyat. Hal ini dalam kalimat-kalimat “Program” kita dinyatakan sebagai “suatu Pemerintah yang dibangun atas demokrasi yang ditujukan untuk semua golongan rakyat dan demokrasi yang mengenai semua lapangan”, “ini akan merupakan pelaksanaan secara konsekuen dari apa yang dikatakan Presiden Sukarno ‘Negara semua buat semua’ atau ‘demokrasi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial’”, “negara dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, “pemerintah ini harus tidak merupakan pemerintah diktator proletariat melainkan pemerintah kekuasaan rakyat. Pemerintah ini bukannya harus melaksanakan perubahan-perubahan sosialis melainkan perubahan-perubahan demokratis. Ia akan merupakan suatu pemerintah yang mampu mempersatukan semua tenaga anti-feodal dan anti-imperialis, yang mampu memberikan tanah dengan cuma-cuma kepada kaum tani, yang mampu menjamin hak-hak demokrasi bagi rakyat, suatu pemerintah yang mampu membela industri dan perdagangan nasional, yang mampu meninggikan tingkat hidup material kaum buruh dan menghapuskan pengangguran, yang mampu memberantas buta huruf dan yang mampu melakukan revolusi kebudayaan di kalangan rakyat. Dengan singkat, ia akan merupakan suatu pemerintah rakyat yang mampu menjamin kemerdekaan nasional serta perkembangannya melalui jalan demokrasi dan kemajuan”.
Inilah tujuan revolusi demokrasi rakyat Indonesia. Nyatalah, bahwa tujuan ini tujuan revolusioner, tujuan suatu revolusi. Tetapi nyata juga, bahwa tujuan ini tujuan suatu revolusi demokratis, bukan suatu revolusi sosialis.
Untuk memenuhi dua syarat ini, yaitu pertama bahwa ia harus tujuan suatu revolusi, dan kedua bahwa ia harus tujuan revolusi tingkat pertama, program demokrasi rakyat adalah yang sesuai dan tepat.
Kita bukan kaum reformis, maka itu kita harus menjebol yang lama, merombak yang lama, dan tak boleh tinggal dalam “kerangka yang lama” atau tinggal dalam demokrasi borjuis tipe lama, apapun nama demokrasi itu.
Tetapi kita juga bukan avonturir-avonturir, yang dengan tak semena-mena mau melangkaui revolusi tingkat pertama dan mau langsung ke Sosialisme.
Baik reformisme maupun avonturisme “kiri” akan membawa revolusi tersungkur di lumpur kegagalan. Kita bukan hanya harus menghindari kedua-duanya, kita harus melawan kedua-duanya.
Seperti dikatakan oleh Konferensi Partai Sumut: “penting untuk menggarisbawahi kembali tentang jalan dan bentuk-bentuk perjuangan yang harus diambil oleh rakyat Indonesia untuk mencapai tujuan strategisnya”.
Mengapa pimpinan harus di tangan kelas buruh?
Ini bukan soal orang-seorang – ini soal kelas dan soal ideologi. Kita mau menyelesaikan revolusi sampai pada akhirnya, kita mau melaksanakan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya. Ketetapan dan tekad ini takkan mungkin tercapai, jika yang memimpinnya bukan kelas yang paling tidak mementingkan diri sendiri, kelas yang paling berkepentingan akan hapusnya sama sekali exploitation de l’homme par l’homme, kelas yang paling berpandangan jauh dan yang paling konsekuen, kelas yang paling “sepi ing pamrih rame ing gawe”. Kelas buruh sendiri, seperti digariskan oleh “Program” kita, “harus meningkatkan aktivitasnya, mendidik dirinya sendiri dan menjadi kekuatan yang besar dan sadar”.
Seperti diterangkan oleh “Program” pula, “rakyat bisa mencapai kemenangan hanya apabila kelas buruh Indonesia sudah merupakan kekuatan yang bebas, sadar, matang dalam politik, terorganisasi dan mampu memimpin perjuangan seluruh rakyat, hanya apabila rakyat sudah melihat kelas buruh sebagai pemimpinnya”.
Mengapa bagi kaum tani harus ada program agraria yang revolusioner?
Karena, di samping yang dikatakan di depan, bahwa kaum tani itu merupakan 60% atau 70% rakyat Indonesia, revolusi Indonesia hakikatnya adalah revolusi agraria dan kekuatan pokoknya adalah kaum tani, seperti dikatakan oleh “Program” kita, “rakyat Indonesia takkan mungkin membebaskan diri dari keadaan melarat, terbelakang, pincang”, selama “sisa-sisa feodalisme belum dihapuskan”.
Kenyataannya sekarang, “sisa-sisa feodalisme di desa-desa, baik di dalam bentuk monopoli tanah oleh tuan tanah, dalam bentuk sewa tanah yang berwujud barang dan kerja, maupun dalam bentuk hutang-hutang yang menempatkan kaum tani dalam kedudukan budak terhadap kaum lintah darat dan tuan tanah, masih terus berlaku”. “Kaum tani masih menderita kekurangan tanah garapan atau sama sekali tidak punya tanah. Berbagai bentuk pengisapan feodal masih berlaku hingga sekarang. Bagian yang sangat terbesar dari kaum tani ditindas oleh pengisapan-pengisapan tuan tanah, lintah darat, dan oleh pajak-pajak yang berat. Pengusiran-pengusiran terhadap kaum tani dari tanah garapannya belum sama sekali lenyap”.
Oleh sebab itu “semua tanah yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah asing maupun tuan-tuan tanah Indonesia harus disita tanpa penggantian kerugian. Kepada kaum tani, pertama-tama kepada kaum tani tak bertanah dan kaum tani miskin, diberikan dan dibagikan tanah dengan cuma-cuma. Tanah-tanah harus dibagikan kepada anggota keluarga kaum tani seorang-seorang. Sistem milik tanah haruslah sistem milik tanah kaum tani, artinya milik perseorangan kaum tani atas tanah”.
Program agraria yang revolusioner ini adalah untuk menghapuskan sama sekali sisa-sisa feodalisme yang sangat membelenggu kaum tani itu. Sudah tentu, pembebasan kaum tani ini hanya bisa dilakukan oleh kaum tani sendiri. Kewajiban proletariat dan Partainya adalah membangkitkan kaum tani itu dengan menanamkan kesadaran politik di kalangan mereka.
Persekutuan buruh dan tani. Alangkah merdunya! Inilah dasar perjuangan rakyat kita. Seperti dinyatakan oleh “Program” Partai kita: “Pembentukan persekutuan buruh dan tani, persekutuan pejuang-pejuang yang sadar, aktif dan terorganisasi – di sinilah letak jaminan bagi kemenangan rakyat”.
Sekarang, perubahan-perubahan apa yang diusulkan kepada Kongres ini untuk dimasukkan dalam “Program”?
Seperti dinyatakan dalam Resolusi Sidang Pleno ke-3 CC beberapa bulan yang lalu, perubahan-perubahan “Program” yang diusulkan kepada Kongres ini adalah terutamanya “berhubung dengan ketentuan-ketentuan Penpres No. 7/1959 dan Penpres No. 13/1960”.
Usul-usul perubahan yang telah disahkan oleh Sidang Pleno ke-3 itu telah disampaikan kepada semua Comite, Fraksi dan Grup Partai dan di mana-mana dia telah didiskusikan.
Konferensi-konferensi Partai, mulai yang paling bawah sampai pada tingkat Daerah Besar, telah memenuhi seruan Desember 1961 yang berbunyi: “Sidang Pleno ke-3 CC PKI menyerukan kepada anggota-anggotanya dan calon-calon anggota PKI untuk mempelajari secara mendalam dan seksama, bukan saja usul-usul perubahan yang akan diajukan kepada Kongres Nasional ke-7 (Luar Biasa) ini, tetapi juga Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (Konstitusi) serta Program PKI sebagai keseluruhan”.
Berbagai usul juga telah diajukan oleh sejumlah Konferensi-konferensi itu. Baik Komisi Program yang dibentuk oleh Politbiro dan saya ketuai, maupun Politbiro sendiri, telah mempelajari semua usul-usul itu, dan kesimpulan-kesimpulannya telah pula disahkan dalam Sidang Pleno ke-4 Partai beberapa hari yang lalu.
Dengan prosedur ini, untuk kesekian banyak kalinya Partai kita membuktikan dirinya Partai yang demokratis.
Syarat terpenting dari Penpres 7 dan Penpres 13 bagi Partai-partai untuk mendapatkan pengesahan Pemerintah adalah soal penerimaan dan pembelaan UUD ’45 yang di dalamnya tercantum Pancasila.
Mengenai ini sikap PKI tak mungkin diragukan. Sebab, arsip negara sendiri, terutama yang berwujud risalah sidang-sidang Konstituante masih berbicara dan akan terus berbicara sendiri tentang bagaimana pembelaan PKI terhadap Pancasila dan argumentasi-argumentasi yang bagaimana yang diajukan PKI untuk membelanya.
Fraksi PKI di Konstituante dengan tanpa ayal sedikit pun membela Pancasila boleh dibilang mati-matian, dari serangan-serangan dan cemoohan-cemoohan Moh. Natsir, Kasman Singodimedjo, Isa Anshary, dan sebagainya. Dan PKI membela Pancasila itu sejak Natsir masih ketua Partai Masyumi sampai dia masuk ke hutan, dan sampai sekarang dan seterusnya.
Orang-orang Masyumi dulu dan orang-orang reaksioner lainnya suka mengatakan: “orang-orang Komunis orang-orang materialis, bagaimana mereka dapat menerima Pancasila?” Tentang “logika” yang keblinger ini Bung Aidit sudah memberikan jawabannya: Karena kita materialistis, maka kita dapat menerima Pancasila!
Mengapa rakyat Indonesia harus menerima dan membela Pancasila? Presiden Sukarno memberikan salah satu alasannya dan salah satu alasannya yang sangat penting, ketika beliau dalam “Resopim” mengatakan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu dan bahwa harus dicegah Pancasila digunakan atau disalahgunakan orang sebagai alat pemecah-belah.
Dari sini jugalah keterangannya, mengapa sebagai salah satu usul perubahan “Program” sekarang ini diajukan (Program Tuntutan pasal 8) supaya yang tadinya berbunyi politik anti-persatuan dari sebagian pemimpin-pemimpin Masyumi-PSI dikalahkan, sekarang dipertegas bahwa yang harus dikalahkan itu ialah “politik anti-persatuan dan politik diktator anti-Komunis dari siapa saja, terutama dari mereka yang hanya berpura-pura mendukung UUD ’45, Pancasila dan Manipol”.
Jadi, PKI menghendaki supaya ada sanksi terhadap mereka-mereka yang menyalahgunakan UUD ’45, Pancasila, Manipol dan juga sudah tentu pedoman-pedoman pelaksanaannya, yaitu Amanat Pembangunan Presiden, Membangun Dunia Kembali, Jarek dan Resopim.
Selebihnya dari soal yang pokok tersebut, maka usul-usul perubahan lainnya adalah memang seperti yang dikatakan oleh Konferensi Partai Jateng untuk “meniadakan soal-soal yang sudah lampau dan mengadakan penyesuaian dengan situasi yang baru”.
Soal ini dalam situasi Indonesia sejak 10-11 tahun yang lalu hingga sekarang, mempunyai cirinya yang tersendiri. Apa ciri yang saya maksudkan? Bagian-bagian Program Partai tiap-tiap kali harus ditiadakan, bukan karena dia tidak cocok dengan tuntutan keadaan, tetapi karena dia sudah terlaksana. Begitu pun bagian-bagian Program Partai yang lain harus diubah, tetapi dengan perubahan yang bukan berarti mundur, melainkan maju. Pendeknya, Program Partai bukannya disangkal oleh perkembangan keadaan, melainkan dibenarkan. Ini sekaligus menunjukkan kedudukan berinisiatif dari Partai kita dalam situasi tanah air yang bagaimana pun. Dan ini mempunyai artinya, karena tak mungkin ada kepemimpinan tanpa inisiatif.
Adapun usul-usul perubahan yang diajukan oleh Sidang Pleno ke-3 CC akhir tahun yang lalu kawan-kawan sudah mengetahuinya. Saya hanya ingin menyebutkan kembali beberapa di antaranya yang sangat penting-penting. Semuanya menyangkut Program Tuntutan, dan tidak ada yang menyangkut Program Umum, kecuali soal memasukkan elemen “kapitalisme birokratis” sebagai sasaran revolusi. Saya kira tak ada di antara kawan-kawan yang berkeberatan untuk memberi di dalam Program kita “tempat yang terhormat” kepada kapitalisme birokratis.
Dalam bagian “Untuk kemerdekaan Nasional”, pada pasal 3 tuntutan “menasionalisasi” semua perusahaan Belanda, termasuk modalnya dalam perusahaan-perusahaan campuran, diubah menjadi tuntutan “menyita” atau “konfiskasi”, dan pada pasal 6 ditambahkan tuntutan mengikutsertakan rakyat dalam usaha menggulung “gerakan subversif di segala lapangan”. Semua ini berhubung perkembangan baru dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, khususnya sesudah Trikomando Rakyat.
Dalam bagian “Untuk hak-hak demokrasi”, pada pasal 8 tuntutan membentuk “pemerintah gotong-royong di antara partai-partai yang setuju konsep Presiden” dilengkapi menjadi “di antara partai-partai dan perseorangan-perseorangan yang sungguh-sungguh setuju Konsepsi Presiden, Manipol dan pedoman-pedoman pelaksanaannya”; pada pasal 9 tentang “otonomi daerah” dituntut pelaksanaan sungguh-sungguh “Ketetapan MPRS”; pada pasal 11 tentang pemilihan umum yang demokratis ditambahkan tuntutan pembentukan kabinet dan BPH-BPH Daerah “atas dasar perwakilan berimbang hasil pemilihan umum yang demokratis”, jadi sesuai dengan Konsepsi Presiden; pada pasal 12 dituntut pembaruan “undang-undang keadaan bahaya” dan penghapusan keadaan bahaya “di daerah-daerah yang sudah tidak ada pertempuran”; pada pasal 13 ditambahkan tuntutan tentang pembentukan “Dewan-dewan Perusahaan yang representatif; dan pada pasal 17 ditambahkan tuntutan “ritul dari jawatan-jawatan dan badan-badan penting lainnya tenaga-tenaga yang menghalang-halangi pelaksanaan Manipol, Amanat Pembangunan Presiden, Membangun Dunia Kembali, Jarek, dan Resopim”.
Dalam bagian “Untuk perbaikan nasib” tidak ada usul-usul perubahan.
Dalam bagian “Untuk perbaikan ekonomi”, pada pasal 35 ditambahkan tuntutan membentuk “Dewan-dewan Produksi Pertanian di pusat dan di daerah-daerah dan membubarkan badan-badan seperti “Badan Pembelian Padi”, “JUBM”, dan sebagainya; pada pasal 36 ditambahkan tuntutan pembelaan atas “perusahaan-perusahaan sandang pangan”; pada pasal 39 tentang distribusi ditambahkan tuntutan pengikutsertaan rakyat “dalam melakukan pengawasan”; pada pasal 41 diubah tuntutan tentang “rencana-rencana pembangunan ekonomi” menjadi tentang pelaksanaan “Ketetapan-ketetapan MPRS”.
Dalam bagian “Untuk kemajuan kebudayaan” tak ada usul-usul perubahan yang penting.
Dalam bagian “Untuk perdamaian dunia”, pada pasal 49 dan 50 ditambahkan perumusan “kekuatan-kekuatan baru yang sedang tumbuh” (“the new emerging forces”), yang dalam “Laporan Umum” telah dinilai arti pentingnya itu.
Dari usul-usul perubahan “Program” ini sesungguhnya dapat dibaca hasil-hasil dan kemenangan-kemenangan perjuangan rakyat Indonesia selama 2½ tahun ini. Hasil-hasil dan kemenangan-kemenangan itu, dicapai berkat kombinasi perjuangan parlementer dan ekstra-parlementer, dalam bentuk hasil-hasil perundang-undangan seperti antara lain Undang-Undang Bagi Hasil dan Undang-Undang Pokok Agraria atau Landreform, maupun dalam bentuk-bentuk lain seperti diterimanya secara umum keperluan menyita modal imperialis Belanda, termasuk yang dalam perusahaan-perusahaan campuran, atau pun perlunya membentuk Dewan-dewan Produksi Pertanian. Soal penyitaan modal imperialis Belanda, seperti diketahui, sudah menjadi tuntutan Musyawarah Partai-partai dan Ormas-ormas, dan soal Dewan-dewan Produksi Pertanian sudah menjadi tuntutan Musyawarah Tani, kedua-duanya diselenggarakan oleh PB Front Nasional. Hasil yang besar yang harus dicatat dalam masa antara Kongres yang lalu sampai sekarang adalah Ketetapan-ketetapan MPRS, termasuk ketetapan tentang menjadikan Manipol garis besar haluan negara, karena dengan diterimanya Ketetapan-ketetapan MPRS dengan suara bulat oleh wakil-wakil semua aliran, semua golongan, semua suku bangsa dan semua agama dari bangsa kita, berartilah bahwa gagasan-gagasan yang baru dan maju, yang oleh kaum revolusioner diperjuangkan selama berpuluh-puluh tahun, kini telah menjadi program atau platform seluruh bangsa, program nasional. Dari sini terbuktilah peranan inti atau peranan menentukan dari kaum revolusioner dalam menegakkan kemerdekaan bangsa.
Adalah kemenangan yang sangat penting pula bahwa gagasan Presiden Sukarno yang maju, yaitu gagasan “samenbundelling van alle revolutionaire krachten” dan gagasan “alle leden van de familie aan de eet- en werktafel” buat dalam negeri, serta gagasan “the new emerging forces” melawan “the old established forces” buat luar negeri, kini mendapatkan tempat terhormat dalam otak dan hati rakyat Indonesia, bukan hanya kaum kirinya, tetapi juga kaum tengahnya. Sebagai salah satu akibat langsung dari kemajuan ini, kue lama “anti-Komunisme” yang sudah basi dan tengik itu praktis tak ada lagi yang berani menjajakannya. Baik dari radio maupun dari pers dia geruisloos melenyap. Sudah tentu, di sana-sini masih suka dicoba untuk menjual kue itu dengan bungkus baru, kadang-kadang bungkus yang mengkilat, tetapi sungguh – pembeli hampir-hampir tak ada lagi, pasaran tak ada! Yang sedikit yang masih ada itu pun harganya bukan saja sudah sangat rendah; sekalipun banyak merosot, karet dan kopra kita di luar negeri masih ada harganya, tetapi “anti-Komunisme” di Indonesia betul-betul tak laku sepeser lagi. Malahan, barang siapa mau menerimanya, dia tak usah mengeluarkan uang – dia boleh terima uang!
Adalah menjadi kewajiban kita, kawan-kawan, untuk mengonsolidasi sekokoh-kokohnya apa-apa yang telah dimenangkan dan untuk merebut kemenangan-kemenangan baru satu demi satu.
Sekarang sedikit tentang taktik-taktik dan semboyan-semboyan Partai.
Kematangan Partai dapat diukur pertama-tama dari tepat-tidaknya taktik-taktiknya, tetapi juga – dan ini tak kalah pentingnya – dari dipahami-tidaknya taktik-taktik itu oleh massa anggota dan massa rakyat progresif, didukung-tidaknya dan dilaksanakan-tidaknya taktik-taktik itu oleh seluruh Partai.
Dalam menetapkan garis-garis Partai, Kawan Aidit mengatakan dalam Kongres ke-6 bahwa “semua persoalan harus dipikirkan secara komplit dan baru kemudian sesudah diteliti dengan saksama Partai menentukan garis”. Ini berarti, bahwa kebenaran harus dicari dari fakta-fakta, bahwa kita harus selalu bertolak dari fakta-fakta dan dari antar hubungan fakta-fakta itu menemukan kebenaran. “Subjektivisme harus terus kita perangi” berarti bahwa kita harus terus memerangi cara berpikir yang bertolak dari keinginan-keinginan, dan tidak dari fakta-fakta. “Tahu Marxisme-Leninisme dan kenal keadaan” adalah semboyan yang sederhana, tetapi dalam maknanya.
Arti pentingnya taktik yang tepat sudah kita alami selama belasan tahun ini. Ambillah misalnya, “zaman KMB”. Ketika itu Partai kita boleh dibilang tercerai-berai: anggota sedikit, pendidikan dalam Partai tidak jalan, dan alat-alat perjuangan sangat terbatas. Tetapi ada satu yang menyelamatkan kita, yaitu taktik yang tepat. Dari sinilah mulainya kita membangun Partai, dari sinilah kita mulai merebut kedudukan berinisiatif dalam kehidupan politik bangsa kita.
Seperti dikatakan Lenin dalam bukunya “Dua Taktik” yang mashyur itu: “penentuan keputusan-keputusan taktik yang tepat sangat penting artinya bagi suatu partai yang dalam semangat asas-asas Marxisme yang sejati, ingin memimpin proletariat dan bukannya mau merangkak di ekor kejadian-kejadian”. Lenin lebih lanjut menunjukkan keharusan mutlak “kesatuan taktik” serta “ketaatan yang pasti kepada resolusi-resolusi taktik”. Jadi, kemungkinan membikin kesalahan-kesalahan taktik memang diperkecil, karena taktik-taktik Partai sejak waktu itu dan seterusnya didukung oleh massa, makin lama makin sadar, makin lama makin matang. Untuk seterusnya kita harus tak henti-hentinya mencari jalan yang lebih baik dan lebih baik lagi untuk senantiasa lebih mempopulerkan taktik-taktik Partai ke kalangan massa anggota dan massa progresif.
Seperti dikatakan Laporan Umum “kepercayaan massa rakyat kepada Partai terus bertambah besar dan dalam keadaan politik yang betapa pun sulit dan rumitnya massa rakyat pekerja mengerti politik dan taktik Partai”. Kalau di sana-sini ada kejadian yang politik dan taktik Partai tak dipahami, yang tidak memahaminya bukanlah massa, tetapi sementara kader Partai sendiri, yang bukan karena kemauan jelek tetapi karena melihat soal-soalnya kurang menyeluruh, dan gemas melihat situasi ekonomi yang buruk, menjadi kurang sabar, mulai meninggalkan garis aksi “kecil hasil” dan “jumlah banyak”, dan mau beralih kepada semata-mata aksi besar-besaran. Perlu diingat bahwa aksi “kecil hasil” dan “jumlah banyak” bisa lebih besar daripada “aksi besar-besaran”, bukan hanya bisa lebih besar ukuran luasnya, tetapi juga lebih besar arti pengaruh dan hasilnya.
Seperti dikatakan oleh Lenin, selalu Partai membutuhkan “semboyan-semboyan taktik yang tepat untuk memimpin massa”. Juga dalam hal menetapkan semboyan-semboyan taktik yang tepat, Partai kita sudah mulai banyak pengalaman. Empat semboyan pokok Kongres ke-6 dan semboyannya yang terpokok yaitu “Untuk demokrasi dan kabinet gotong-royong” yang seperti saya katakan dalam Kongres yang lalu harus “menjadi poros yang akan memutar seluruh roda perjuangan revolusioner di negeri kita untuk tahun yang akan datang”, telah benar-benar berlaku sebagai matahari, yang bukan saja menunjukkan lor-kidul, tetapi pun menghidupi dan menghidupkan perjuangan revolusioner.
Sementara itu semboyan-semboyan Partai telah diperkaya. Sidang Pleno ke-2 CC Kongres ke-6 mempersenjatai Partai dengan “Tripanji Partai”, yaitu “Front Nasional”, “Pembangunan Partai”, dan “Revolusi Agustus”. Dengan “Tripanji Partai” ini tidak ada seorang pun Komunis yang mungkin lupa akan tugas-tugas pokoknya, atau kalau masih ada juga yang melupakannya, entahlah apa yang harus saya katakan! Kemudian Pleno ke-3 CC mempersenjatai lagi kita dengan senjata tambahan yang tak kalah ampuhnya, yaitu “Tripanji Rakyat” – “Demokrasi”, “Persatuan”, dan “Mobilisasi”. Semboyan ini, yang lahir di tengah-tengah golak-gejolak perjuangan pembebasan IB, mempunyai jangkauan yang lebih jauh daripada hanya pembebasan IB. Inilah keterangannya mengapa “Tripanji Rakyat” ini menjadi semboyan Kongres Nasional ke-7 (Luar Biasa) sekarang ini. Juga sangat penting lahirnya semboyan “satu tangan pegang bedil dan satu tangan lagi pegang pacul”, untuk pembebasan IB dan mengatasi krisis sandang pangan, serta untuk perjuangan nasional dan demokratis umumnya. Juga semboyan-semboyan “5 lebih” untuk perjuangan melawan reaksi, “Gerakan 6 Baik” untuk kalangan kaum tani, dan “Gerakan 4 Meningkat” dalam pembangunan Partai, penting sekali artinya.
Juga di daerah-daerah Comite-comite sudah memiliki kemahiran merumuskan semboyan-semboyan yang tepat, baik semboyan-semboyan taktis maupun semboyan-semboyan lain, misalnya semboyan-semboyan organisatoris. Kalau ada sedikit pendapat saya, sedikit pendapat itu hanyalah ini: terkadang dirumuskan juga semboyan-semboyan yang tidak perlu, yang berkelebihan, ditambah dengan kegemaran ekstra untuk sedikit-sedikit membikin “dwi” ini, “tri” itu, “catur” ini, “panca” itu, “sapta” ini, “dasa” itu, dan sebagainya. Gejala ini mungkin dapat diterangkan sebagai ekspresi daripada kegandrungan kita kepada semboyan, tetapi baiklah kita ingat selalu, bahwa semboyan akan hidup apabila dia objektif memang diperlukan dan apabila jumlahnya pun tak kebanyakan. Tetapi satu hal kini sudah pasti: Partai kita, seluruhnya, sudah menyadari arti pentingnya semboyan-semboyan revolusioner dalam perjuangan revolusioner.
Saya sampai kepada akhir pidato saya.
Atas nama CC saya mengundang Kongres untuk menyetujui atau tidak menyetujui, menyetujui sepenuhnya atau menyetujui dengan perubahan-perubahan, usul-usul perubahan Program Partai kita.
Kalau kita meninggalkan Kongres ini nanti, mungkin masing-masing kita akan merasa seperti Bambang Tutuko sehabis digembleng dalam kawah Candradimuka. Tentu akan datang saatnya, ketika kita merasa otot-otot kita mulai agak kejang dan pikiran barangkali agak butek karena banyak dan beratnya persoalan-persoalan, maka kita masuk lagi nanti bersama-sama ke kawah Candradimuka Partai, apakah dia Konfernas, Sidang Pleno CC, atau Kongres.
Sebagai variant atas “Manifes Partai Komunis” saya ingin berseru: Biarkan kaum imperialis dan kaum reaksioner lainnya gemetar menghadapi revolusi Indonesia. Rakyat Indonesia takkan kehilangan suatu apapun kecuali belenggu mereka. Mereka akan menguasai tanah airnya. Rakyat Indonesia, bersatulah!