Sumber: Bintang Merah Nomor Spesial, "Maju Terus" Jilid I. Kongres Nasional Ke-VII (Luar Biasa) Partai Komunis Indonesia. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1963.
Kawan-kawan yang tercinta!
Pertama-tama saya ingin menyatakan lebih dulu persetujuan saya sepenuhnya atas Laporan Umum Ketua, Kawan D.N. Aidit, yang berjudul “Untuk Demokrasi, Persatuan, dan Mobilisasi”. Bersama dengan itu saya pun menyetujui Pengantar Penyesuaian Konstitusi oleh Kawan M.H. Lukman dan Pengantar Penyesuaian Program oleh Kawan Njoto.
Kawan-kawan, sebenarnya kalau waktu mengizinkan, sebaiknya laporan tambahan saya ini lebih lengkap, sehingga memadai untuk pertanggungjawaban kepada massa tentang pekerjaan Partai dalam badan-badan perwakilan, terhitung sejak saluran yang biasa kita gunakan yaitu “Majalah PKI dan Perwakilan” distop penerbitannya dan sampai sekarang belum diizinkan terbit kembali, sekalipun sudah berkali-kali diminta.
Buat kita kaum Komunis, yang satu dengan rakyat, yang biasa dan senantiasa merasa wajib bertanggung jawab kepada massa, tidaklah bisa tenteram rasanya kalau disuruh atau dipaksa untuk tidak memberikan pertanggungjawaban itu.
Kawan-kawan! Melaporkan pekerjaan Partai dalam badan-badan perwakilan berarti melaporkan kejadian petugas-petugas Partai dalam melaksanakan dua tugas urgen Partai dalam badan-badan tersebut. Kedua tugas urgen yang telah ditetapkan dalam Kongres ke-5 dan oleh Kongres ke-6 dilengkapi dengan empat semboyan pokok yang terkenal, itulah yang menjadi pegangan, pedoman dan yang menjiwai petugas-petugas Partai, juga dalam badan-badan perwakilan.
Seperti juga di tengah-tengah masyarakat, di dalam badan-badan perwakilan pun akan kita temui manifestasi dari tiga kekuatan politik yang ada di tanah air kita, yang masing-masing memperjuangkan garis konsepsinya melalui apa yang dinamakan legislatif-products baik dalam bentuk perundang-undangan, mosi, resolusi atau pernyataan pendapat. Juga dalam badan-badan itu akan kita temui manifestasi dari kontradiksi pokok dan tidak pokok, dengan segala variasinya dan segala interkoneksinya.
Memencilkan golongan reaksioner, golongan kanan kepala batu menurut garis umum politik front persatuan, dalam kekhususannya di badan-badan perwakilan berarti memencilkan dan mengalahkan setiap konsepsi mereka melalui segala rencana-usul yang diajukan dan harus diputuskan oleh badan-badan perwakilan. Mengonsolidasi persatuan kekuatan progresif dengan kekuatan tengah berarti memenangkan konsepsi bersama, bukan saja untuk mengalahkan konsepsi kaum reaksioner, tetapi juga untuk menggoalkan konsepsi bersama itu menjadi keputusan dan ketetapan badan-badan perwakilan.
Tepatnya garis politik Partai, gigihnya kaum Komunis melaksanakan tugas-tugas urgen Partai, memungkinkan Partai memimpin perkembangan situasi demikian rupa, sehingga pada waktu Kongres ke-6, dalam batas-batas tertentu kita boleh gembira akan sukses-sukses perjuangan rakyat. Di satu pihak meningkatnya jumlah anggota, calon anggota dan simpatisan Partai, di lain pihak kaum kepala batu lama, Masyumi/PSI dan ekornya “Liga Demokrasi” sudah terpepet dan terpencil sampai ke hutan rimba, partainya terlarang dan dibubarkan. Dan dalam badan-badan perwakilan di Pusat, yang dibentuk setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menurut gagasan Demokrasi Terpimpin dan Gotong-Royong, Masyumi/PSI resminya tidak diwakili. Dan kalau kita bicara tentang “resminya” saja, maka dalam DPR-DPR Daerah pun sebenarnya dan semestinya orang-orang Masyumi/PSI “dilarang masuk”.
Tetapi, apakah dengan begitu berarti bahwa dalam badan-badan perwakilan sekarang sudah aman dari segala bentuk konsepsi kaum reaksioner? Dalam Sidang Pleno ke-2 CC akhir Desember 1960, Kawan D.N. Aidit mengemukakan kenyataan, bahwa karena basis sosialnya masih ada, yaitu imperialisme, feodalisme, kompradorisme, belakangan ini ditambah lagi dengan kapitalisme birokrat, sedang di sekitar kita terdapat negara-negara SEATO, di Irian Barat masih bercokol imperialis Belanda, maka kekuatan kanan tidaklah hilang sekaligus dengan dibubarkannya Masyumi-PSI dan matinya “Liga Demokrasi”. Karena itu, kata Kawan D.N. Aidit, “kita harus tetap waspada dan terus berlawan terhadap agen-agen politik kaum imperialis, kaum feodal, dan kaum kapitalis birokrat. Kaum kanan lama yang berbaju Masyumi/PSI dan ‘Liga Demokrasi’ memang sudah tidak ada lagi, tetapi mereka bisa dan sudah mengganti bajunya yang kotor itu. Di samping itu, syarat-syarat obyektif untuk timbulnya kanan baru masih cukup kuat”.
Canang itu tepat menurut kenyataannya. Memang, selagi basis sosialnya dan syarat-syarat obyektifnya ada, maka obyektif pulalah untuk adanya dan timbulnya kaum kanan baru, untuk kembali munculnya kaum kanan lama, untuk adanya dan timbulnya “neo-kepala batu”. Tetapi, biarpun demikian, sukses-sukses pengembangan situasi di masa lampau, telah banyak membantu pelaksanaan tugas-tugas urgen Partai dewasa ini dan membuka kemungkinan-kemungkinan untuk sukses-sukses baru di masa depan. Perkembangan situasi telah memungkinkan dan mendorong terciptanya Manifesto Politik, yang telah diperkuat dengan Ketetapan MPRS No. 1 bersama segala pedoman pelaksanaannya dan Ketetapan MPRS No. 2 yang memperkuat dan mempertegas garis Manipol dalam bidang Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama. Manifesto Politik berisi jawaban-jawaban terhadap persoalan-persoalan pokok Revolusi Agustus 1945, sebagai juga Kongres ke-5 Partai telah menjawab persoalan-persoalan pokok itu, yang dalam berbagai soal diperkuat oleh Manipol.
Garis politik front persatuan dan program tuntutan Partai yang sepenuhnya sesuai dengan tuntutan dan harapan rakyat, sesudah Kongres ke-6 mendapat kekuatan legal dalam bentuk Manipol, yang oleh Partai diterima sebagai garis politik bersama, dan Ketetapan MPRS dalam bidang pembangunan sebagai program bersama. Dengan begitu maka dewasa ini kita dapat mengatakan bahwa mengonsolidasi persatuan kekuatan progresif dengan kekuatan tengah, atau mengonsolidasi seluruh kekuatan revolusioner demokratis, adalah identik dengan mengonsolidasi seluruh kekuatan pendukung Manipol. Melawan kekuatan reaksioner, kepala batu dan sebangsanya, berarti melawan dan memencilkan kekuatan anti Manipol, atau yang memplintat-plintutkan Manipol, atau yang Manipol di mulut, tetapi monopoli di kantong dan di perut! (Tawa). Begitu di luar, begitu juga dalam badan-badan perwakilan.
Pengalaman di DPR-GR membuktikan, bahwa dengan menguasai Manipol dan segala pedoman pelaksanaannya, serta Ketetapan MPRS No. 2 dengan segala lampirannya, kita terbantu banyak untuk menjalankan garis “membawahkan kepentingan kelas di bawah kepentingan nasional” dengan tetap dapat berpegang teguh kepada prinsip. Tentu saja imbangan kekuatan secara keseluruhan, situasi khusus sewaktu-waktu, tetap akan menentukan pula banyak-sedikitnya hasil yang mungkin dicapai.
Tetapi, di atas segala-segalanya, kombinasi dan hubungan timbal-balik antara kegiatan dan perjuangan di dalam badan-badan perwakilan dengan perjuangan dan aksi-aksi massa rakyat di luar badan-badan perwakilan yang terpimpin menurut garis front persatuan, adalah yang paling mendorong dan menentukan. Mendorong untuk terciptanya keputusan-keputusan, ketetapan-ketetapan dan perundang-undangan yang menurut perbandingan dapat dikatakan maju, yang sedikit-banyaknya memenuhi harapan rakyat, setidak-tidaknya bisa menjadi pegangan bagi rakyat meneruskan perjuangannya, aksi-aksinya, untuk menuntut perbaikan-perbaikan hidup dan kehidupannya, bagi membela hak-haknya. Menentukan agar segala keputusan-keputusan, ketetapan-ketetapan dan perundang-undangan itu dilaksanakan dengan tepat dan baik, sesuai dengan harapan dan tuntutan rakyat. Sebab segala macam tuntutan rakyat dalam segala bentuk perjuangannya itulah yang menurut istilah Presiden dinamakan Amanat Penderitaan Rakyat.
Kawan-kawan, saya tidak akan menjelimet, tetapi sekadar ilustrasi, baiklah kita ambil sekadar contoh hubungan perjuangan di dalam dan di luar badan-badan perwakilan itu.
Perjuangan rakyat yang menentang imperialisme-kolonialisme dan cinta damai, telah mendorong berbagai pernyataan pendapat DPR-GR dalam rangka setia kawan Asia-Afrika-Amerika Latin, yang menentang agresi terhadap Mesir, menentang segala bentuk kegiatan serakah kaum imperialis-kolonialis di berbagai negeri Afrika yang baru merdeka, di Laos, di Vietnam, di Kuba dan sebagainya; pernyataan-pernyataan pendapat yang menentang percobaan-percobaan bom nuklir di Pasifik dan Afrika, yang menuntut agar tercapainya perlucutan senjata secara umum dan mutlak, yang mengundang setia kawan internasional untuk menghadapi agresi Belanda di Irian Barat. Semua itu sesuai dengan semboyan Kongres ke-6, memperkuat front internasional anti-imperialisme dan cinta damai.
Dan kita semua masih ingat, bahwa tidaklah umpamanya akan tercipta UU Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, jika kaum buruh tidak lebih dulu beraksi menggulung dan mengambil-alih perusahaan-perusahaan tersebut dalam rangka merebut Irian Barat dengan “jalan lain”, setelah jalan lewat PBB berulang kali menemui kegagalan. Setelah itu, bagaimana caranya agar perusahaan-perusahaan yang sudah diambil-alih dan menurut UU harus dikuasai Negara itu jangan hendaknya menjadi sarang kaum kapitalis birokrat, perjuangan massa buruh selanjutnyalah yang akan paling menentukan, baik dalam bentuk menuntut dan turut serta di dalam Dewan-Dewan Perusahaan, maupun dengan cara-cara lain yang demokratis.
Perjuangan SS-SB Kepegawaian telah mendorong terciptanya UU Pokok Kepegawaian. Sekalipun UU ini belum sebaik konsepsi yang dikonsepkan oleh SOBSI, tetapi telah mengandung juga berbagai unsur, yang dalam tingkat sekarang sudah agak baik, seperti harus adanya dewan permusyawaratan kepegawaian untuk dapat turut menentukan politik kepegawaian dan menyukseskan pembangunan, badan atau dewan peradilan pegawai, di mana para pegawai yang merasa diperlakukan tidak adil dapat membela diri, ketentuan bahwa hak-hak asasi bagi para pegawai harus dijamin dan lain-lain. Kalau unsur-unsur yang baik itu belum terlaksana, maka perjuangan selanjutnya terutama dari SS-SB Kepegawaianlah yang akan menentukannya, sedang pegangan resmi sudah ada.
Perjuangan kaum tani yang tak henti-hentinya dalam berbagai bentuk dengan berbagai macam pengorbanannya adalah sebenarnya pendorong hakiki untuk terciptanya UU Pokok Agraria sebagai landasan untuk landreform menurut garis Manipol dan terciptanya UU Bagi Hasil. Juga UUPA yang meskipun sifatnya masih terbatas, tetapi menurut perbandingan dapat dikatakan maju, beberapa ketentuan di dalamnya antara lain akan memaksakan tuan-tuan tanah mendaftarkan tanahnya yang melebihi batas menurut ketentuan sesedaerah, kelebihan tanah harus dijual kepada Pemerintah yang akan menjualnya pula kepada kaum tani, memonopoli tanah secara ongkang-ongkang seperti dulu, resminya tidak dimungkinkan, hak-hak modal asing atas tanah sudah mungkin digerowoti, kekuasaan pemerintahan desa harus disesuaikan untuk kepentingan pelaksanaan UU ini, dan lain-lain. Menurut pengalaman selama ini, karena tuan tanah menjadi sasaran UUPA ini, tentu saja mereka bersama pembela-pembelanya berjuang keras untuk menghambat pelaksanaannya yang tepat. Tetapi di lain pihak, kaum tani sudah terjamin dengan ketentuan perundang-undangan untuk memperjuangkan pelaksanaan UUPA yang tepat dan sesuai dengan tuntutan massa tani. Demikian juga halnya dengan UU Bagi Hasil, meskipun belum sebaik usul-konsepsi yang diajukan Fraksi PKI bersama pihak-pihak lain, tetapi UU ini dapat menjadi pegangan legal bagi perjuangan massa tani untuk melaksanakan tuntutan 6:4 atau untuk penurunan sewa tanah secara umumnya.
Contoh dalam bentuk lain, dapat saya kemukakan riwayatnya RUU Pers, yang sebenarnya lebih tepat kalau dinamakan RUU pengekangan Pers. Ketika DPR-GR, khususnya Komisi yang bersangkutan,, mulai membahas RUU ini, Komisi tersebut mendapat desakan dari delegasi-delegasi, terutama dari pihak yang langsung berkepentingan, yaitu kalangan wartawan, yang menuntut pembelaan hak-hak kemerdekaan Pers yang digelari Ratu Dunia itu. Akhirnya dengan segala hormat DPR-GR mempersilakan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Penerangan tatkala itu, untuk meninjaunya kembali. Sampai sekarang, sampai Menteri yang bersangkutan tidak menjadi Menteri Penerangan lagi, RUU Pers itu belum muncul kembali ke DPR-GR. Paling belakangan ini datang lagi RUU yang dikatakan untuk melaksanakan salah satu Ketetapan MPRS, yaitu pemilihan umum badan-badan perwakilan, baik di Pusat maupun di Daerah. RUU ini, baik namanya maupun isinya memang bukanlah RUU pemilihan umum. Karena masyarakat umum telah membaca dalam surat kabar-surat kabar bagaimana isi dan maksud RUU tersebut, maka sebelum DPR-GR membahasnya, baik DPR-GR maupun Pemerintah, keburu dibanjiri oleh berbagai macam tuntutan yang mendesak supaya RUU itu ditinjau kembali. Bagaimana nasibnya RUU ini, saya rasa tidak akan lebih baik dari RUU Pers tempo hari, malah mengingat luasnya tuntutan dan desakan, baik dari Partai-Partai demokratis maupun dari organisasi-organisasi massa dan pers, satu hal sudah dapat dipastikan, bahwa jika RUU itu nanti sampai dibahas oleh DPR-GR, maka isinya, terang tidak lagi akan seburuk yang ada sekarang ini.
Kawan-kawan! Contoh-contoh di atas adalah mengenai sesuatu rencana usul yang diajukan kepada DPR-GR, artinya, DPR-GR diikutsertakan untuk menetapkan sesuatu konsepsi. Dalam hal DPR-GR tidak diikutsertakan, tentu saja DPR-GR tidak dapat membantu dan mengurun pikiran-pikiran yang baik. Dan kalau sudah dijalankan, DPR-GR juga biasanya sudah sulit untuk berbuat sesuatu guna menghentikannya atau memperbaikinya. Contoh dalam hal ini, yang terbaru saja, adalah umpamanya tentang kenaikan tarif-tarif Pemerintah, antaranya tarif pengangkutan yang naik dari 100 sampai 200% dan kenaikan-kenaikan resmi dari harga sejumlah barang-barang.
Kenaikan-kenaikan tarif dan harga ini telah membantu banyak untuk membumbung dan meningkatnya harga-harga segala macam keperluan hidup secara menyeluruh, sehingga rakyat terbanyak menjadi setengah hidup atau seperempat hidup dengan cuma mengharapkan penghasilannya yang biasa. Massa rakyat tentu tidak tinggal diam untuk menuntut penurunan tarif dan penurunan harga yang sangat tidak populer itu. Di samping itu massa rakyat juga tidak menyerah dengan kesulitan-kesulitan hidup yang dideritanya, 1001 akal mereka jalankan, antaranya dengan Gerakan 1001 yang dianjurkan Partai, yang kini sudah merata di seluruh tanah air. Dan cara yang baik menampung tuntutan rakyat untuk mengatasi kesulitan-kesulitan penghidupan dewasa ini, dapat dikemukakan Pemerintah Daerah Jawa Tengah tingkat I yang telah memutuskan untuk membentuk Komando Anti Lapar!
Tetapi ada pula, yang sekalipun DPR-GR diikutsertakan, hasilnya saban-saban mengecewakan. Yang saya maksud adalah mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Terus terang saja, dari dulu sampai sekarang, baik kita kaum Komunis maupun pihak-pihak lain yang berkemauan baik dalam badan perwakilan di Pusat ini, dalah hal APBN ini terus-menerus dirundung kekecewaan. Politis APBN itu di satu pihak adalah hak terpenting dari badan perwakilan, di lain pihak, setiap APBN adalah menggambarkan keseluruhan kebijaksanaan dari setiap Pemerintah yang sedang berkuasa. Di dalam APBN akan kita dapati bagian-bagian yang baik, yang menguntungkan rakyat, di samping itu ada pula bagiannya yang kurang baik, tetapi mungkin sebenarnya dapat diperbaiki lagi dan ada pula bagian-bagiannya yang jelek. Sampai sekarang, petugas-petugas Partai dan semua pihak yang berkemauan baik, belum dan tidak berhasil untuk menertibkan APBN, agar imbangan antara yang baik dengan yang kurang baik dan yang jelek menjadi lebih banyak bagian yang baiknya.
Tetapi memang, soal APBN adalah soal duit, soal uang. Soal duit bisa menyebabkan orang bertengkar cakar-cakaran karena berebut banyak, tetapi juga bisa membikin orang kompak bersatu untuk saling menguntungkan. Lagi pula soal duit itu sangat rapat hubungannya dengan “tiga si” yang disinyalir oleh Presiden dalam Resopim, soal duit orang lebih suka terus memakai sistem liberal, sekalipun sudah di zaman Demokrasi Terpimpin.
Dalam APBN tahun 1961 – ini sekadar contoh – ada angka yang baik dalam hal pemasukan keuangan yang berasal dari laba perusahaan-perusahaan negara, ditaksir akan didapat 4 miliar rupiah. Tetapi menurut Nota Keuangan 1962, sampai Oktober 1961 yang masuk baru setengah miliar lebih sedikit. Taruhlah sampai habis tahun 1961 pemasukan akan berjumlah 1 miliar, ini pun masih mengecewakan, sebab 3 miliar rupiah kurangnya dari harapan semula. Kenapa? Dua hal “besar” yang mungkin terjadi: atau pemasukan terlalu besar ditaksir, atau pencoleng-pencoleng terlalu besar menggusur! (Tepuk tangan). Pencoleng-pencoleng menurut istilah Presiden itu adalah penamaan secara populer dari kapitalis-kapitalis birokrat.
Kawan-kawan! Kalau di masa lampau, sesuai dengan cara kerja badan perwakilan di masa itu, sesuatu bagian yang jelek dari APBN, atau secara umumnya, sesuatu rencana-usul yang jelek, yang reaksioner sifatnya, dapat dikonfrontasikan langsung kepada massa dengan membelejetinya di muka umum, yaitu di muka rapat-rapat pleno terbuka, yang biasanya segera nyambung ke surat kabar-surat kabar. Dan sebaliknya konsepsi-konsepsi yang progresif dapat pula dipopulerkan dengan cara yang sama. Kejelekannya adalah sesuatu rencana-usul yang baik dan progresif oleh kaum kanan dapat ditolak begitu saja, hanya dengan menggunakan mayoritas mekanis dan yang buruk, yang reaksioner sifatnya, bisa digoalkan begitu saja dengan cara yang sama. Contoh, ambillah umpamanya UU Penanaman Modal Asing. Meskipun PKI menolaknya dengan segala argumentasi yang tak terbantah, diterima juga dengan suara terbanyak.
Cara kerja sekarang lain lagi. Karena diharuskan adanya kata sepakat dalam musyawarah, maka sesuatu rencana-usul yang diajukan, ada kemungkinannya untuk dapat dibahas secara lebih mendalam dan lebih matang, sehingga sampai batas-batas tertentu ada kesempatan untuk beradu banyak fakta, untuk beradu kuat argumentasi, dengan Manipol dan Ketetapan-Ketetapan MPRS sebagai landasan dan alat penguji. Dengan cara begini, ada kemungkinan untuk mendorong lebih maju yang baik, memperbaiki yang kurang baik atau menolak yang tidak sesuai dengan Manipol dan Ketetapan-Ketetapan MPRS. Dengan cara ini pula kita dimungkinkan untuk lebih mengenal sesuatu golongan dan bahkan setiap orang, sehingga dapatlah kita menjalankan garis dalam hal apa, dalam keadaan bagaimana, untuk apa dan dengan siapa kita dapat dan harus bersatu, atau tidak mungkin bersatu dan harus berlawan.
Segi negatif dari cara kerja sekarang adalah, bahwa segala pembahasan sesuatu rencana-usul hanya berlaku secara tertutup, sehingga massa rakyat tidak jelas mengerti segala sesuatunya dan buat universitas-universitas kita tidak mendapat banyak bahan yang perlu untuk mengikuti perkembangan dan pertumbuhan hukum nasional kita dari jalannya pembahasan dalam badan perwakilan itu. Sebab kalau sudah di muka umum, dalam rapat pleno terbuka, kesempatan mengemukakan stemmotivering tidak mencukupi untuk dapat menggambarkan jalannya pembahasan yang menyebabkan terjadinya sesuatu perubahan, atau ditolaknya sesuatu usul-perubahan, bersama dengan segala alasan yang dikemukakan masing-masing, sedang kata terakhir biasanya telah merupakan persetujuan bersama atas keputusan atau ketetapan yang diambil.
Segi negatif yang demikian itu memungkinkan pula seseorang konseptor dari sesuatu rencana-usul main licik, bahkan juga main intrik. Hal ini dimungkinkan, karena bukan saja sifat serba tertutup itu, tetapi juga karena pembatasan-pembatasan tertentu dari hak-hak badan perwakilan itu sendiri. Buat mereka yang lebih suka bekerja tanpa penyertaan, apalagi pengawasan badan perwakilan, yaitu mereka yang termasuk golongan reaksioner dan berjiwa anti-rakyat dan anti demokrasi, segi-segi negatif di atas itu sangat menguntungkan politik jahatnya. Membelejetinya di muka umum, baik melalui tulisan atau interview di surat kabar-surat kabar atau pun mengupasnya di muka rapat-rapat umum, dewasa ini tidak pula dimungkinkan atas nama keadaan bahaya.
Hal-hal yang semacam itu bisa menimbulkan orang acuh tak acuh akan kewajibannya sebagai anggota badan perwakilan. Untungnya hal yang demikian tidak akan terjadi pada petugas-petugas Partai dalam badan perwakilan. Malah sebaliknya, petugas-petugas Partailah yang biasanya sering tampil ke depan untuk mengatasi keadaan yang mengecewakan itu.
Kawan-kawan! Kita akan berat sebelah kalau hanya melihat segi-segi negatif saja, sedang kita kaum Komunis adalah orang yang memperjuangkan dan mempertahankan keadilan. Karena itu segi lainnya pun harus kita kemukakan. Ditinjau dari kenyataan bahwa di badan-badan perwakilan seperti MPRS, DPA, dan DPR-GR, yang resminya tidak mengikutsertakan kaum kanan lama dengan segala kepala batunya, sedang komposisinya bersifat gotong-royong dan jumlah perwakilan Nasakom kenyataannya bukan saja tidak berkurang malahan bertambah, ini segi positifnya, positif dalam artian kemajuan pengubahan demokratis sebagai dimaksud dalam Laporan Umum Kawan Ketua. Dulu wakil-wakil PKI dan golongan non-Partai dalam daftar PKI tercatat 39 orang. Dalam DPR-GR sekarang yang masuk atas nama PKI memang ada 30 orang saja, tetapi jumlah ini ditambah lagi dengan mereka yang masuk sebagai golongan karya, biasanya disebut karya-Komunis. Umpamanya Kawan Njoto masuknya adalah sebagai karya buruh, demikian juga beberapa kawan lainnya lagi, sehingga jumlah golongan Komunis dalam DPR-GR sekarang lebih banyak dari dulu. Idem dito keanggotaan MPRS. (Tepuk tangan).
Demikian halnya dengan PKI, demikian juga dengan Partai-Partai lain sekutu kita, masing-masing sama mempunyai golongan karyanya, walaupun memang tidak semua golongan karya itu menjadi salah satu Partai dari golongan politik. Tetapi bagaimanapun juga, umumnya golongan karya itu pun mempunyai pendirian politik. Dan ini logis, masuk akal. Sebab, badan perwakilan adalah badan politik, orang yang tidak mempunyai pendirian politik dalam badan politik menjadi sesuatu yang aneh bin ajaib. Orang yang tidak mempunyai pendirian politik sebenarnya adalah orang yang terkena penyakit dua “nga”, atau ngawur, atau ngacau! (Tawa… tepuk tangan). Karena itu adalah semacam ilusi belaka dasar pikiran dari sementara orang yang mau menjalankan konsepsi “depolitisasi”. Buktinya, konsepsi itu sekarang sudah tidak laku lagi, atau diselomoti terang-terangan!
Konsepsi yang riil jugalah yang pasti akan menang dari segala konsepsi yang tidak riil, yang bersifat ilusi belaka. Komposisi persatuan nasional yang berporoskan Nasakom menurut konsepsi Gotong-Royong dari Presiden Sukarno adalah riil, revolusioner, sesuai dengan tuntutan dan harapan rakyat. Pimpinan MPRS dan DPR-GR telah disusun berdasarkan konsepsi persatuan nasional dengan poros Nasakom. Komisi-komisi, badan-badan, panitia-panitia yang dibentuk dalam MPRS dan DPR-GR juga komposisinya berporoskan Nasakom, demikian pula pimpinan-pimpinannya. Pendek kata, komposisi yang berporoskan Nasakom itu sekarang sudah menjadi biasa dan wajar, tidak hanya terbatas dalam komisi-komisi, badan-badan, atau panitia-panitia MPRS dan DPR-GR saja, bahkan dalam Panitia-Panitia Negara yang bekerja sama dalam menunaikan tugas bersama antara Pemerintah dan DPR-GR sudah dianggap tidak wajar lagi kalau tidak ada Nasakom di dalamnya.
Tetapi, untuk memenangkan konsepsi Gotong-Royong dari Presiden, untuk menjadikan biasa dan wajarnya komposisi yang berporoskan Nasakom, perjuangan di dalam dan di luar badan-badan perwakilan jugalah yang paling mendorong dan menentukan sebagai telah dikemukakan di atas tadi. Sekalian dalam hubungan ini sekaligus juga saya akan mengemukakan beberapa hal mengenai badan-badan perwakilan di Daerah-Daerah.
Menurut Penpres No. 6/59 dan Penpres No. 5/60 maka Pemerintah Daerah itu adalah Kepala Daerah dibantu oleh BPH dan DPR Daerah. Baik Penpres No. 6/59 maupun Penpres No. 5/60 barulah dapat disempurnakan setelah aksi-aksi massa rakyat menuntutnya. Tetapi meskipun Presiden telah turun tangan untuk menyempurnakan kedua Penpres itu, pelaksanaannya yang plintat-plintut di daerah-daerah pada umumnya masih begitu rupa, belum memenuhi harapan dan tuntutan rakyat. Tentang hal ini, Laporan Umum Kawan Ketua telah diperkuat dengan banyak sekali fakta-fakta oleh laporan-laporan dari para delegasi dalam sidang Kongres kita ini.
Pendeknya, komposisi keanggotaan DPRD-DPRD tidak dan belum konkordan dengan DPR-GR, sekalipun resminya badan-badan perwakilan itu namanya juga DPRD Gotong-Royong. Malahan di berbagai daerah, Komunis yang mestinya wajar dan adil diikutsertakan, telah ditinggalkan begitu saja. Orang yang seharusnya memang tidak wajar dan tidak patut dimasukkan telah diikutsertakan. Demikian juga komposisi BPH-BPH malahan lebih mengecewakan, apalagi kalau ditinjau dari sudut hak-haknya BPH itu dalam praktik. Padahal pelaksana-pelaksana kedua Penpres itu adalah petugas-petugas yang sudah mengangkat sumpah setia untuk mematuhi, baik Manipol maupun UUD ’45 dengan Pancasilanya, sedang Presiden telah tegas-tegas mengatakan siapa Manipolis sejati, siapa yang setuju UUD ’45, siapa yang setuju Pancasila, harus setuju Nasakom.
Benar di sementara daerah pelaksanaan kedua Penpres itu rada mendingan terbanding dengan yang terburuk. Dan benar juga di waktu yang akhir-akhir ini bentuk khusus dari garis Nasakom menurut konspesi Gotong-Royong dari Presiden itu terdapat di DPRD tingkat I Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tetapi semua itu belum lagi mengubah hakikat dan tidak mengubah fakta secara keseluruhan dan yang terpenting lagi, kesemuanya itu hanya mungkin tercapai setelah melalui proses perjuangan yang berliku-liku.
Kawan-kawan! Ketetapan MPRS No. 2 sebagai garis besar dan sebagai program bersama dalam bidang pembangunan banyak menampung tuntutan-tuntutan dan harapan-harapan yang diperjuangkan rakyat. Dalam bidang pemerintahan antaranya terdapat rumusan-rumusan pokok dari tuntutan-tuntutan dan harapan-harapan itu, baik mengenai Pemerintah Pusat maupun mengenai Pemerintah Daerah sebagaimana telah dikemukakan juga dalam Laporan Umum kawan Ketua. Untuk ketetapan-ketetapan MPRS dalam bidang Pemerintahan Daerah maka dengan Keputusan Presiden No. 514 Tahun 1961 telah dibentuk suatu Panitia Negara yang ditugaskan:
Semua itu seharusnya telah diselesaikan dalam tahun ini. Bagaimana hasilnya, apakah Panitia tersebut dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dalam tahun ini dan kalau juga sudah diselesaikan tepat pada waktunya, apakah juga akan diterima baik begitu saja oleh Pemerintah dan apakah dalam tahun ini pula dapat disahkan oleh DPR-GR, semua itu belum dapat dikatakan dari sekarang. Hanya satu hal dapat saya katakan, bahwa mengenai hal-hal tersebut di atas, DPRD-DPRD yang sekarang akan banyak dapat membantu, manakala DPRD-DPRD itu berhasil merumuskan pula harapan-harapan dan tuntutan-tuntutan rakyat daerahnya masing-masing mengenai keempat macam tugas Panitia tersebut. Dalam hal ini kembali DPRD tingkat I Jawa Tengah menjadi teladan yang baik, meskipun kita menginsyafi bahwa dalam keadaan seperti sekarang, mengikuti teladan Jawa Tengah itu tidak mudah, harus melalui dan mengatasi berbagai macam bentuk kesulitan yang “normaliter” sebenarnya tidak perlu ada.
Kawan-kawan! Mengingat waktu dan keadaan, laporan tambahan ini akan segera saya akhiri. Hanya satu hal saja lagi ingin saya kemukakan, yaitu bahwa meskipun komposisi gotong-royong dengan poros Nasakom di Pusat ini boleh dikatakan sudah menjadi sesuatu yang wajar dan biasa saja, perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa hal itu masih terbatas dalam bidang badan-badan perwakilan. Keterangan sudah cukup jelas dikemukakan dalam Laporan Umum Kawan D.N. Aidit, bahwa tuntutan Kongres ke-6: “Untuk Demokrasi dan Kabinet Gotong-Royong” masih tetap kita perjuangkan terus, karena tuntutan itu belum sepenuhnya tercapai, meskipun dua orang pemimpin Komunis dalam bahasa resminya sudah harus diperbahasakan dengan Yang Mulia Pak Menteri! (Tepuk tangan).
Hidup Kongres Nasional ke-7 yang jaya! (“Hidup!” Tepuk tangan).
Hidup PKI, Partai Komunis yang terbesar di seluruh dunia di luar kubu sosialis! (Tepuk tangan lama).