Sumber: Sosialisme - Hari Ini dan Hari Esok Bangsa-bangsa
Penerbit: Pustaka Marxis 1 , Depagitprop CCPKI, Jakarta 1963.
Ketika itu tahun 1913. Dalam artikelnya “Kebangunan Asia”, yang terutama mengenai Indonesia, W. I. Lenin gembira bukan kepalang bahwa di Indonesia yang berpenduduk 40 juta orang partai-partai politik dan organisasi-organisasi massa tumbuh dengan “kecepatan yang mengagumkan”, dan bahwa di antaranya ada organisasi yang beranggotakan 80.000 orang. Ketika itu belum ada PKI, bahkan belum pecah Revolusi Oktober.
Memperingati ulang tahun ke-45 Revolusi Oktober sekarang ini di Indonesia, teringatlah saya pertama-tama kepada pemimpin yang gilang-gemilang dari revolusi besar itu, W. I. Lenin, dan kepada artikelnya yang saya sebutkan di atas.
Tak mampu saya membayangkan betapa akan luar biasa bergembiranya guru kita W. I. Lenin, sekiranya beliau mengalami paruh kedua abad kita yang revolusioner ini, dan sekiranya beliau sempat menyaksikan perkembangan gerakan progresif di Indonesia.
Penduduk Indonesia selama setengah abad ini telah berlipat-ganda hampir 2½ kali lipat, menjadi hampir 100 juta, dan Partai Komunis, yang ketika artikel Lenin itu ditulis baru ada embrionya dalam wujud grup-grup Marxis kecil-kecil, sekarang sudah menghitung dalam barisannya lebih dari 2.000.000 anggota.
Bukan hanya itu. Penyerbuan Istana Musim Dingin yang di tahun 1917 hanya terjadi di Petrograd, sudah mengalami “edisi kedua”-nya, “edisi ketiga”-nya, dan seterusnya, di Praha, di Peking, di mana-mana, sehingga seperti dinyatakan dalam salah satu semboyan CC PKUS menjelang perayaan 45 tahun Revolusi Oktober ini rakyat-rakyat pekerja “Republik Rakyat Tiongkok, Albania, Bulgaria, Hungaria, Republik Demokrasi Vietnam, Republik Demokrasi Jerman, Republik Rakyat Demokratis Korea, Republik Rakyat Mongolia, Polandia, Rumania, dan Cekoslowakia sedang membangun Sosialisme”. Ditambah dengan Kuba, yang oleh pers Amerika disebut “satelit Soviet yang pertama di benua Amerika” (the first Soviet Satellite in the Americas) tetapi yang oleh rakyat Kuba sendiri dengan tepatnya dinamakan “wilayah merdeka di Amerika” (territorio libre de America), maka benar-benar Sosialisme kini telah menjadi suatu sistem dunia.
“Penyerbuan Istana Musim Dingin” juga berlangsung di tempat-tempat lain: di Asia, di Afrika, di Amerika Latin. Sudah tentu kebanyakan revolusi itu tidak langsung revolusi sosialis, tetapi dimulai dengan revolusi demokratis. Tetapi apa yang seabad yang lalu baru ditemukan oleh Marx dan Engels sebagai hukum objektif sejarah yang sukar memahaminya, sekarang sudah seperti fajar pagi yang sinar-sinarnya terlihat dan yang sejuk udaranya terasa oleh setiap makhluk. Sosialisme kalau bukan hari ini-nya ya hari esok-nya bangsa-bangsa. Makin banyak saja museum-museum di dunia yang memasukkan imperialisme sebagai sesuatu yang patutnya hanya di museum, sebab, dalam masyarakat manusia ia sesuatu yang anakronistis.
Kubu Sosialis kian hari kian perkasa, baik secara ekonomis maupun militer, dan kultural. URSS mulai melangkah ke arah pembangunan Komunisme dan negeri-negeri Sosialis lainnya menyusul.
Di negeri-negeri kapitalis gerakan progresif dengan proletariat sebagai intinya maju dengan pesatnya. Kemajuan ini tidak hanya ditandai oleh demonstrasi-demonstrasi dan pemogokan-pemogokan, tetapi bahkan oleh pemberontakan-pemberontakan.
Di Indonesia, jalan revolusi yang sekali sudah dipilih, yaitu revolusi dari bawah dan dari atas, didukung oleh massa rakyat yang belum pernah ada taranya dalam ukuran luas, berpuluh-puluh juta banyaknya, dengan tujuan merampungkan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya.
Total jenderal dari pengalaman-pengalaman kekalahan dan kemenangan, kesedihan dan kegembiraan, telah mematangkan rakyat Indonesia seperti pahlawan Bambang Tutuka dalam cerita wayang dimatangkan oleh kawah Candradimuka. Alangkah tajamnya W. I. Lenin, yang sudah di tahun 1913 dalam artikelnya “Kebangunan Asia” membayangkan tentang “demokrasi muda di Asia” yang maju dengan “keyakinan penuh atas kekuatannya dan kepercayaan langgeng akan massa”.
Sebagai salah seorang pemimpin PKI saya saban hari, saban detik merasakan dan mengalami kesukaran-kesukaran yang luar biasa yang dikedepankan oleh revolusi Indonesia dengan seribu satu masalahnya.
Setelah Revolusi Oktober menang 5 tahun lebih, dari pengalaman-pengalaman langsungnya yang luar biasa kayanya itu, W. I. Lenin dalam artikelnya yang terkenal “Revolusi Kita”, seperti diketahui, menulis bahwa Rusia “might therefore and was indeed bound to reveal certain peculiar features which, while of course in keeping with the general line of world development, distinguish her revolution from all previous revolutions in West-European countries”, *[1] dan bahwa lebih-lebih lagi, revolusi-revolusi di Timur, “which possess much vaster populations and a much vaster diversity of social conditions, will undoubtedly display even greater peculiarities than the Russian Revolution”*[2].
Apa artinya ini? Ini berarti bahwa pada pundak kaum Komunis di Timur, termasuk di Indonesia, terletak tanggung jawab yang besar dan berat, bahwa dari mereka dituntut kesetiaan yang sejauh-jauhnya kepada Marxisme-Leninisme dan sekaligus kreatifitas yang sebesar-besarnya dalam penerapannya.
Tetapi kami sedikit pun tak berkecil hati. Sebab, selain, sudah ada Revolusi Oktober yang pengalaman-pengalaman dan pelajaran-pelajarannya ibarat sumur abadi yang airnya tak kunjung-kunjung habis sekalipun ditimba terus-menerus itu, sudah banyak lagi revolusi-revolusi yang menyusulinya dan yang pengalaman-pengalamannya pun bersegi banyak dan kaya-raya.
Keyakinan kami akan hari depan dan kemenangan kami, kami nyatakan dalam Program Partai kami: “Tidak meragukan lagi, bahwa tujuan ini akan terlaksana, karena bintang kejora yang menerangi jalan perjuangan rakyat Indonesia ialah ajaran-ajaran Marx, Engels, dan Lenin yang maha jaya, dan karena pengalaman dua rakyat yang besar – Uni Soviet dan Tiongkok – merupakan teladan yang memberi inspirasi kepada rakyat Indonesia di bawah pimpinan kelas buruh dan Partai Komunis Indonesia”.
Semua ini memungkinkan Ketua Partai kami, Kawan D. N. Aidit menunjukkan dalam karya-karyanya seperti “Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia”, “Pelajaran dari Sejarah PKI”, dan lain-lain yang telah diterbitkan pula dalam bahasa Rusia, menunjukkan kekhususan-kekhususan yang diungkapkan oleh revolusi Indonesia itu, menilainya dengan takaran Marxis-Leninis dan menerangkan bagaimana memecahkannya.
Ya, kami jauh daripada berkecil hati, kami berbesar hati, karena barisan kami sebenarnya bukan 2 juta Komunis tetapi lebih dari 43 juta Komunis di seluruh dunia, yang selalu bersama-sama kami dan menyokong urusan kami, bukan hanya dalam hal pembebasan Irian Barat, tetapi dalam hal pembebasan seluruh negeri kami di lapangan politik, ekonomi, dan kebudayaan. Dari Uni Soviet, dan dari negeri-negeri Sosialis lainnya kami tidak hanya menerima sokongan moril, tetapi juga bantuan material, sampai pada senjata-senjata modern.
Ini adalah internasionalisme proletar dalam aksi, internasionalisme yang sama seperti yang selalu diajarkan oleh Marx dan Engels, dan yang di tahun 1917 memungkinkan tegaknya Republik Soviet, tentang hal mana Lenin begitu sering berbicara dan menulis.
Kami di Indonesia sedang bekerja untuk merampungkan tugas-tugas pembebasan nasional dan perubahan-perubahan demokratis negeri kami. Sejumlah kemenangan telah tercapai. Partai-patai reaksioner Masyumi dan PSI kini sudah terlarang, anti-Komunisme juga sudah dinyatakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Konstitusi, pemberontakan kontra-revolusioner “PRRI-Permesta” dan gerombolan-gerombolan teroris “DI-TII” sudah dihancurkan oleh kerjasama rakyat dan tentara, kapital imperialis Belanda sebagian terbesar sudah diambil alih dan dinasionalisasi, organisasi-organisasi spion Amerika, Inggris, Belanda, dan lain-lain seperti “Rotary Club”, “Vrijmetselarij”, “Asian Foundation”, dan lain-lain sudah dilarang, suatu Program Bersama Rakyat Indonesia yaitu “Manifesto Politik” sudah ada, Front Nasional yang diketuai oleh Presiden Sukarno dengan tokoh-tokoh NASAKOM (Nasionalis-Agama-Komunis) Ali Sastroamidjojo, Idham Chalid, dan D. N. Aidit sebagai wakil-wakil ketuanya sudah tersusun, dan paling akhir kekuasaan imperialis Belanda atas 20% wilayah kami, pulau terbesar ke-dua di dunia, Irian Barat, telah dapat dipatahkan. Sungguh pun demikian, kemenangan-kemenangan ini adalah seperti dikatakan Kawan Aidit dalam artikelnya dalam “Pravda” 13 Oktober yang berlalu “kemenangan yang belum selesai”, dan maka itu “harus dikonsolidasi” dan “diselesaikan”.
Tugas-tugas apa yang belum terlaksana? Pertama, penghapusan kapital monopoli asing yang masih menyisa, terutama di lapangan minyak, yaitu kapital imperialis Belanda, Inggris, dan Amerika. Kedua, landreform, karena sampai sekarang baru terlaksana landreform yang konsekuen di bagian-bagian tertentu Republik yang dilaksanakan di hari-hari Revolusi 1945-1948 dan landreform menurut “Undang-Undang Pokok Agraria” sekarang yang belum melenyapkan melainkan hanya membatasi milik tanah tuan-tanah. Ketiga, pemulihan hak-hak demokrasi bagi rakyat. Dan keempat, mengatasi krisis ekonomi. Semua ini harus kami lakukan, sedang rakyat Indonesia menghadapi bahaya-bahaya baru, yaitu neo-kolonialisme, baik di Irian Barat melalui mungkin PBB mungkin langsung Amerika Serikat, maupun di wilayah-wilayah lain Republik melalui penanaman modal monopoli asing baru, “Korps Perdamaian”, dan sebagainya. Sudahlah menjadi tekad rakyat Indonesia untuk, sesudah keluar dari mulut singa, tidak masuk ke mulut buaya maupun mulut serigala.
Segera setelah ditandatanganinya Persetujuan Subandrio-Van Royen mengenai penyerahan kekuasaan atas Irian Barat, Kawan Aidit merumuskan adanya tiga tugas urgen bagi rakyat Indonesia, yaitu mengkonsolidasi kemenangan, melawan neo-kolonialisme, dan menanggulangi soal ekonomi.
Apakah menanggulangi soal ekonomi itu mungkin di Indonesia dewasa ini? Sudah tentu mungkin, mungkin sekali. Hanya saja, untuk ini harus dipenuhi syarat-syarat ekonomi tertentu. Syarat-syarat ini telah dirumuskan oleh Politbiro CC PKI dalam statementnya tertanggal 10 Oktober yang berlalu dan yang kini menjadi bahan diskusi yang hangat di kalangan-kalangan rakyat dan orang-orang Pemerintah Indonesia.
Dalam hal politik luar negeri, Pemerintah Indonesia yang perumusan politik luar negerinya adalah “politik bebas dan aktif”, kini harus menjalankan ketentuan “Manifesto Politik”, yaitu: “Pembentukan satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dan semua negara di dunia, terutama sekali dengan negara-negara Asia-Afrika, atas dasar hormat-menghormati satu sama lain, dan atas dasar bekerja sama membentuk satu Dunia Baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme, menuju kepada Perdamaian Dunia yang sempurna”.
Dalam pidatonya di depan Hari Sarjana tanggal 29 September yang berlalu Presiden Sukarno memberikan penjelasan yang interesan dan penting mengenai politik luar Pemerintahannya. Beliau terang-terangan mengoreksi politik luar negeri Indonesia tadi-tadinya, yang mendasarkan kegiatannya atas anggapan adanya “blok Barat” dan “blok Timur” lalu “menyisipkan suatu blok ketiga atau blok negeri-negeri non-alligned ke tengah-tengahnya”. Sebagai penggantinya beliau mengemukakan teori “the new emerging forces melawan the old established forces”. Dengan yang pertama beliau maksudkan adalah tiga kekuatan, yaitu: Kubu Sosialis, negara-negara A-A-A merdeka atau yang berjuang untuk mencapai kemerdekaannya, dan kekuatan progresif di negeri-negeri imperialis. Dengan yang belakangan yang beliau maksudkan adalah imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme.
Perumusan-perumusan di atas merupakan kemenangan besar bagi rakyat Indonesia, yang selama 17 tahun usia Republiknya selalu berjuang melawan segala “teori”, “netralisme”, “blok-ketiga”, dan lain-lain seperti yang selalu dikaok-kaokkan oleh kaum sosialis-kanan, kaum reformis, dan kaum revisionis.
Semua yang saya uraikan ini membuktikan, bahwa pengaruh Revolusi Oktober yang besar itu tidak hanya terbatas pada proletariat Indonesia, bahkan tidak hanya terbatas pada rakyat Indonesia, tetapi juga mengenai Pemerintah Indonesia. Sungguh Revolusi Oktober telah “melantunkan” Rakyat-rakyat Timur ke dalam orbit revolusi dunia!
Ketika memperingati 10 tahun “Pravda” – yang atas permintaannya dan untuknya artikel singkat ini saya tulis pada hari besar proletariat ini – W. I. Lenin menulis bahwa rakyat India, rakyat Tiongkok, dan rakyat-rakyat tetangganya di Asia, yang seluruhnya merupakan lebih separuh penduduk dunia “sedang menghampiri 1905 mereka”, dengan perbedaan bahwa jika Revolusi 1905 di Rusia masih bisa berlangsung dalam keadaan “terisolasi”, revolusi-revolusi Rakyat Timur sesudah itu, terutama sesudah Revolusi Oktober tidak saja tidak terisolasi, tetapi menjadi bagian dari revolusi dunia. Ya, sekarang 45 tahun sesudah Revolusi Oktober, Rakyat-rakyat Timur bukan lagi “menghampiri 1905 mereka” – sebagian dari mereka sudah melalui dan menyelesaikan “1905” mereka, bahkan ada yang sudah melalui “1917” mereka, seperti rakyat-rakyat Tiongkok, Korea, dan Vietnam. Ya, sesudah 45 tahun Revolusi Oktober ini wajah Asia banyak berubah, wajah dunia banyak berubah.
Seandainya Lenin mengalami semua ini! Tetapi untuk kita, generasi-generasi yang ingin saya namakan “generasi post-Lenin” (sesudah-Lenin) inilah Lenin bekerja, berjuang, memberikan seluruh hidupnya. Mari kita teruskan urusan Lenin yang agung itu dengan rasa cinta rakyat yang sama besarnya, dengan rasa benci musuh yang sama besarnya, dengan pikiran yang jelas seperti kecintaan, kebencian, dan kejelasan Lenin!
[1] “oleh karena itu mungkin dan memang pasti menyingkapkan ciri-ciri khas tertentu yang, disamping sejalan dengan garis umum perkembangan dunia, membedakan revolusinya dengan semua revolusi sebelumnya di negeri-negeri Eropa Barat”.
[2] “yang mempunyai penduduk yang jauh lebih besar dan keragaman syarat-syarat sosial yang jauh lebih besar, tak dapat tiada pasti akan menunjukkan kekhususan-kekhususan yang bahkan lebih besar daripada Revolusi Rusia”.